8 | Coincidental
Dy tertawa ketika memasuki Grill and Chill café dan keempat temannya sudah menunggu. Ia lebih dulu duduk di kursinya, meraih gelas berisi smoothies mangga yang digeser Choky. Setelah satu sedotan dan menelan, Dy mengangguk, "Orangnya ganteng."
"Enggak mungkin!" Febrian langsung sangsi.
"Serius, orangnya ganteng, enggak kelihatan kalau udah akhir tiga puluh tahun."
"Buncit, botak?" tanya Ayaka.
Dy menggeleng, "Kurus, tinggi, rambutnya dipotong pendek dan rapi."
"Lo yakin ketemu orang yang bener, Dy?" Yumna justru curiga.
"Beneran, orang kami ngobrol lama, tipe nice guy."
Choky menyipitkan mata, "Sebaik apa emangnya, Dy?"
"Sopan, bahkan untuk ukuran lelaki yang butuh pasangan secepatnya, dia enggak ngebet, justru gue yang kayak enggak punya malu." Dy kembali menyedot isi gelasnya. "Dia ngebayarin makan siang kami, dan waktu gue paksa split bill, dia taruh uang gue di kotak tips."
"Makan dimana emang?" tanya Febrian.
"Italiano," jawab Dy.
"Yee, makan disitu mah, kebangetan kalau dia nerima duit lo," kata Febrian.
"Gue enggak percaya kalau Om-om ini ganteng, tiga puluh delapan lho," kata Yumna.
Dy teringat kontak pribadi Ray, ia segera mengeluarkan ponselnya, memeriksa foto profilnya. Foto Ray dengan latar gurun pasir di sekitarnya, dalam foto itu Ray sedang mengangkat kamera, hanya sebagian wajahnya yang terlihat, tapi itu sudah cukup.
"Nih, nih." Dy menunjukkan foto tersebut.
"Wow, ini sih rare item istilahnya," ucap Ayaka saat memperhatikan foto Ray.
"Ah biasa aja," kata Febrian.
Choky mengangguk, "Iya, biasa aja."
"Eh, ini foto zaman kapan? Sepuluh tahun lalu?" tanya Yumna.
"Enggak, orangnya masih seganteng ini, serius, gue enggak bohong."
"Orangnya diajak ngobrol nyambung, Dy?" Ayaka jadi penasaran dengan cerita lengkap pertemuan pertama Dy dan Ray.
"Nyambung, masih agak hati-hati sih orangnya dan sopan banget... taksi dia kan datang duluan, dia nungguin dong sampai taksi gue juga datang terus baru sama-sama cabut, dia ke Senayan, nyusul temannya gitu mau motret."
"Dia cerita enggak Dy, kenapa butuh pasangan cepet?" tanya Ayaka lagi.
"Cerita, jadi mantan istrinya mau menikah, terus dia—"
"Mantan istri?" seru semua orang bersamaan, terdengar heboh hingga mereka sempat jadi pusat perhatian semua orang di café.
"Biasa aja dong, tampang kece begitu kalau setua ini belum pernah berpasangan malah mencurigakan, iya kan?" ucap Dy sembari memandangi temannya satu per satu.
"Duda, Dy... dudaaa..." Febrian geleng-geleng kepala.
"Kayak lo enggak pernah main sama janda aja," cibir Yumna.
"Barusan apa udah lama cerainya, Dy?" tanya Choky.
"Udah lama, sepuluh tahun, mantan istrinya tuh KAmelia."
"HAH! KAmelia yang itu?" pertanyaan itu kompak diserukan dan sekali lagi mereka jadi pusat perhatian semua orang di café.
Dy menepuk keningnya, "Kalian kenapa sih? Lebay banget tahu enggak."
"Emangnya lo enggak kaget, Dy?" tanya Ayaka.
"Ya kaget, cuma enggak diumumin ke semua orang juga dong..."
"KAmelia bukannya baru mau menikah ya?" Febrian mengingat-ingat.
"Nah kan, lo cepet banget sinyalnya kalau soal janda," kata Yumna.
Febrian tertawa, "Gue juga baru tahu dia janda, Na... tapi serius, gue kayak baca beritanya mau menikah gitu sih, bentar gue cari."
"Gue nyari waktu di taksi tadi, sama Rizuki Abdi, pembawa berita itu," kata Dy sembari mengendikkan dagu ke layar televisi plasma yang menampilkan berita singkat.
"Ganteng juga sih, pantesan KAmelia move on," ucap Ayaka.
"Lo diceritain alasan cerainya, Dy?" tanya Yumna.
"Diceritain dikit, KAmelia yang menggugat sih."
"Wah kira-kira kenapa tuh?" tanya Choky dan segera memperingatkan Dy, "Lo tetap harus hati-hati ya, Dy... kalau pihak istri yang menggugat biasanya suami emang bermasalah."
Dy menghabiskan smoothies di gelasnya, "Gue enggak berniat kencan beneran."
"Jangan bilang gitu, lo belum aja kena modusnya," kata Febrian.
"Umur segitu masa masih modus, Yan?" tanya Yumna.
"Modus itu segala umur, Yumna sayang." Febrian memandang Dy saat memberi kelanjutan kalimat, "Dy, tolong jaga diri lo baik-baik ya, demi masa depan kita."
"Kita enggak akan pernah jadi masa depan, Rian sayang," kata Dy dengan yakin.
Choky tertawa, "Tapi serius gue penasaran kalian kencan bakal ngapain."
"Dimana-mana kencan itu prinsipnya 3N." Febrian mengacungkan tiga jari tangan kanannya dan menyebutkan maksudnya, "Nonton, nongkrong, nginep."
"Lo banget ya, Yan?" tanya Ayaka.
Dy meringis-ringis, ia tahu seharusnya menceritakan tentang kesepakatan menjadi pasangan Ray berarti bersedia ikut bersama lelaki itu ke Yogyakarta selama satu minggu. Tapi jika teman-temannya tahu, situasinya pasti akan jadi heboh. Dy mengalihkan pembicaraan dan berharap ia mendapat alasan yang tepat saat nanti harus menceritakan tentang kesepakatan itu.
***
Ray Haris: Dy, sudah pulang?
Dy mendapati chat tersebut ketika selesai makan malam dan kembali ke kamarnya.
Dy Madia: Sudah dari tadi, ini sudah selesai makan malam
Ray Haris: Aku lupa enggak memintamu memberi kabar tadi
Dy Madia: Aku bukan remaja tanggung, Ray
Ray Haris: Aku tahu, tapi aku tipe yang senang mendapatkan kabar kalau orang yang sebelumnya kutemui sudah pulang atau sampai rumah dengan selamat.
Membaca chat tersebut, diam-diam Dy tersenyum, dalam hal seperti ini baru terasa bahwa Ray berusia tiga puluh delapan tahun.
Dy Madia: Oke, aku sudah pulang dan selesai makan malam
Ray Haris: Sial, kau pasti menganggapku seperti orang tua cerewet
Dy Madia: Hahaha, tapi aku rasa apa yang kau lakukan benar juga, kita kan enggak tahu apa yang terjadi di jalan, kalau ternyata orang yang terakhir kutemui adalah kau, itu akan melibatkanmu dalam banyak hal juga
Ray Haris: Ku kira kau penulis romance, bukan thriller
Dy Madia: Beberapa romansa bisa dimulai dengan kejadian mengerikan
Ray Haris: Enggak terbayangkan
Dy Madia: Kau sendiri sudah pulang? Dapat foto bagus?
Ray Haris: Sudah, ada beberapa foto yang lumayan, besok akan kupasang di blog
Dy Madia: Kau punya blog?
Ray Haris: Ya, tapi enggak menggunakan namaku, Ara yang mengurusnya.
Dy Madia: Boleh aku tahu situs blognya?
Ray Haris: Aku juga ingin tahu tentang tulisanmu
Dy Madia: Tulisanku diterbitkan atas nama orang lain, Ray
Ray Haris: Enggak masalah, aku mau membacanya
Dy Madia: Kirimkan dulu situs blognya
Ray Haris: Judul bukunya dulu, Dy
Sial, setelah berpikir-pikir Dy akhirnya mengirimkan tautan versi buku digital kepada Ray, dibalas dengan tautan situs blog. Tidak ada chat lagi setelah mereka saling mengirimkan situs tersebut.
Dy menjelajah blog hitam putih yang diberi judul RALENS, ketika melihat profil pengelola blog bernama Adara Astaka, Dy begitu saja menyadari bahwa RALENS maksudnya Ray, Ara, dan lensa kamera. Ara memiliki media sosial dengan beberapa ribu followers, tapi akun tersebut private. Dy memutuskan kembali melihat-lihat blog, tampaknya blog tersebut baru dibuat tahun lalu, foto-foto yang diambil kebanyakan pemandangan.
Foto terakhir yang diunggah sudah lebih dari sebulan yang lalu, foto area pertambangan di Ekuador, lalu beralih pada foto pengunungan Andes yang megah. Dy menyipitkan mata dan melakukan pencarian, hewan apa yang mungkin Ray cari di sana. Dy menemukan artikel tentang spesies katak kaca yang langka.
Dy Madia: Ray, apa kau memotret katak kaca dari Ekuador?
Balasan dari Ray masuk beberapa menit kemudian.
Ray Haris: Ya, Manduriacu, tahu dari mana?
Dy terkesiap dan alih-alih membalasnya, ia mendapatkan ide bagus untuk menyusun kerangka ceritanya. Ia meraih laptop dan mulai mengetik. Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu menatap layar laptop tanpa mengetik sesuatu yang membuat kemajuan, kali ini ide mengalir di kepala Dy, seperti air dalam bejana setelah sumbatnya dilepaskan.
***
Beautiful Bastard, Lissa Young.
Ray memandang bagian depan buku digital di ponselnya, berwarna merah muda dengan tulisan judul dan nama pengarang diberi warna keemasan. Tampak mencolok meski desainnya sederhana. Ray menggeser layar, mendapati informasi legalitas dan setelah beberapa kali menggeser layar barulah sampai pada bab pertama.
Ray suka membaca dan menonton, tapi ini kali pertamanya membaca cerita romantis. Ray pikir sekalipun nanti merasa bosan membaca cerita jenis ini, ia akan berusaha sebaik mungkin menamatkannya.
Cerita dimulai dengan perkenalan seorang lelaki bernama Marco, pembalap formula one yang kerap bergonta-ganti pacar, lalu peristiwa naas membuatnya mengalami kecelakaan dan berakhir dalam perawatan dokter cantik, Ilana. Menurut Ray, Dy berhasil menceritakan konflik batin yang dialami Marco dengan baik. Seseorang yang sebelumnya telah menggenggam dunia, bisa dengan mudah mendapatkan apapun yang dia inginkan, kemudian terbaring tak berdaya, bahkan membutuhkan bantuan orang hanya untuk bangun dari tidur.
Memasuki konflik utama saat Marco mulai meragukan perkembangan kesehatannya, kehilangan kepercayaan diri, Ray baru tersadar ia sudah menghabiskan setengah bagian buku tersebut. Itu agak mengejutkan karena cerita romantis sama sekali bukan genre favoritnya. Ray kembali membaca dan semakin lama, jemarinya semakin cepat menggeser layar, ia begitu saja penasaran dengan cara Ilana, si dokter yang cerdik dalam membantu Marco untuk kembali pulih.
Beberapa kali Ray tertawa sendiri, dan pada akhirnya juga, Ray merasa terharu atas setiap penerimaan yang digambarkan dalam cerita tersebut. Bukan hanya tentang apa yang telah hilang dari Marco, namun juga bagaimana cara Ilana menunjukkan cinta.
Ray Haris: Sulit dipercaya, tapi bukunya keren, aku baru menamatkannya
Dy membalas beberapa jam kemudian saat Ray sudah hampir terlelap.
Dy Madia: Sulit dipercaya, tapi blogmu juga keren, aku dapat ide bagus
Ray Haris: Kalau ada hal yang ingin kau tanyakan, aku bisa membantumu
Dy Madia: Besok bisa bertemu lagi? Atau boleh aku melihatmu memotret?
Ray tersenyum membaca chat tersebut dan ia segera memeriksa brosur yang tadi diterimanya dari Jae-in.
Ray Haris: Aku ingin pergi ke Galeri Cipta besok, ada pameran seni di sana
Dy Madia: Sepertinya aku tahu acara itu, dimulai jam sepuluh pagi
Ray Haris: Kita bertemu di sana? Jam sepuluh?
Dy Madia: Oke
Dy Madia: Sekadar info, besok aku akan pakai baju hitam
Ray Haris: Hahaha, sampai ketemu besok, Dy
***
"Selamat pagi," sapa Dy pada orang tuanya yang sedang duduk di sofa ruang tengah, keduanya sama-sama memegang cangir berisi kopi.
Jati Madia memeriksa jam tangannya, "Mau ke mana pagi-pagi begini sudah rapi?"
"Nonton pemeran di TIM." tapi alih-alih segera pergi, Dy memutuskan duduk di tengah-tengah orang tuanya. "Koper sudah beres? Jangan lupa bawa syal sama penutup telinga."
"Iya, sudah disiapkan semua." Lina tersenyum sembari mengelus pipi putri tunggalnya, "oh iya, Dy kamu mau ditemani Mbak selama Papa dan Mama pergi?"
Mbak adalah panggilan untuk pengurus rumah tangga yang biasanya datang setiap Senin, Rabu dan Jum'at untuk mencuci, menyeterika, sekaligus mengepel rumah.
"Enggak, kayak baru pertama kalinya aja ditinggal pergi."
"Kami lama, Dy, dua minggu." Jati mengingatkan putrinya.
Dy tersenyum sembari mengedipkan mata, "Asal kartunya Papa ditinggal satu, Dy pasti baik-baik saja."
"Uang jajan kan baru ditransfer, Dy," kata Lina.
"Ya siapa tahu kan, Papa mau..." Dy teralihkan begitu saja saat menatap ke meja, ada undangan pernikahan dengan desain wayang dan aksara jawa yang sangat khas. Nama mempelai yang tercetak di atasnya membuat Dy terpana.
Amelia Resti Sutedjo & Rizuki Abdi Jayantaka, 01 Januari 2021
"Ini undangan buat Papa?" tanya Dy dan segera mengambil undangan tersebut.
"Ah, iya, KAmelia menikah, undangannya terselip, untung Mama menemukannya," kata Jati lalu menunjukkan bagian amplop yang dicetak nama. "Acaranya di Yogyakarta."
"Nanti temani Mama yuk, Dy, cari kado... biar Papa kirimkan sebelum berangkat."
Dy menatap sang ibu lalu kepada ayahnya, "Undangan ini, biar Dy yang berangkat mewakili Papa dan Mama."
"Eh, kamu mau?" tanya Lina.
Jati juga memandang bertanya, "Ini acaranya di Yogyakarta, Dy."
"Enggak papa, aku lama juga enggak liburan di sana, refreshing."
"Kamu ini bagaimana, diajak ke Swedia enggak mau, malah ke Yogyakarta," protes Lina sebelum memunculkan raut cemberut. "Lagian mau berangkat sama siapa coba, kamu?"
"Swedia hujan salju, Mama... Yogyakarta hujan air doang."
"Kamu berangkat sendiri?" tanya Jati.
"Ya, nanti cari barengan, siapa tahu Lissa dapat undangan yang sama."
Jati berpikir-pikir sejenak, "Kamu ajak Ayaka atau Yumna saja, biar enggak sendirian."
"Mereka sibuk, Pa... lagipula cuma Yogyakarta ini." Dy menyandarkan kepalanya di pundak sang ayah. "Lagipula selama ini Papa sama KAmelia kan sering promo buku bareng, kalau Papa cuma kirim kado, rasanya gimana gitu? Kalau Dy datang mewakili kan lebih menunjukkan penghargaan."
Lina meletakkan cangkir kopi di tangannya, "Ini kayaknya cuma akal-akalan biar ditinggalin kartu ini, Pa."
Dy tertawa mendengar itu, "Iya dong, Papa sama Mama kan kerja bonus liburan ke Swedia dibayarin PH, Dy liburan ke Yogyakarta dibayarin Papa, hehe..."
Jati menghela napas dan kemudian merogoh ke dalam saku belakang celana, mengeluarkan dompet lalu mengulurkan salah satu kartu debit pada sang putri, "Jangan boros."
"Yaaaayyyy," seru Dy, menerima kartu tersebut dan mencium pipi ayahnya.
"Sebagai gantinya, kalau nanti pulang-pulang adik kamu ngikut, enggak papa ya, Dy."
Dy langsung menggeleng, "Enggak, enak aja, Mama udah umur berapa."
Lina tertawa-tawa, lain halnya dengan anak lain yang menginginkan saudara, anaknya ini sejak dulu sudah menyatakan bahwa tidak ingin memiliki adik. Lina sendiri mengalami dua kali keguguran sampai bisa mendapatkan Dy, putri cantiknya ini.
"Enggak mau punya adik, Dy aja yang buatin cucu buat Papa dan Mama."
Giliran Jati yang menggeleng, "Enak aja, enggak, masih lama kamu menikahnya."
Dy meringis, ia tidak bisa membayangkan, jika orang tuanya tahu tentang Ray, juga rencana Dy menjadi pasangannya selama berada di Yogyakarta, tentu orang tuanya ini akan melupakan rencana ke Swedia. Karena itu, Dy harus sehati-hati mungkin memanfaatkan kesempatan sekaligus kebetulan langka ini. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top