23 | Shock news


"Amelia Resti Sutedjo atau yang lebih kita kenal dengan nama pena KAmelia, hari ini melangsungkan pernikahan dengan presenter berita Rizuki Abdi Jayantaka, keduanya berkenalan dua tahun yang lalu ketika Amelia promo buku seri kelima 'Petualangan Kejora' dan perkenalan itu berkembang menjadi hubungan spesial yang hari ini diresmikan,"

Pembawa acara berita memulai liputan sembari bergerak ke samping, menunjukkan pintu masuk ke area yang digunakan untuk acara resepsi.

"Nah, tepat di belakang saya adalah area yang akan digunakan untuk acara resepsi, seperti kita lihat bersama... pesta resepsi memang diadakan secara outdoor dengan penempatan pelaminan di dalam pendopo. Untuk acara akad nikah, sudah dilaksanakan tadi pagi secara tertutup. Nah, sebentar lagi iring-iringan pengantin akan memasuki area resepsi."

Para tamu yang sebelumnya duduk kemudian terlihat berdiri, mengangkat kamera ponsel atau sekadar melambaikan tangan ketika Amelia dan Rizuki melangkah memasuki ruang resepsi, diikuti barisan orang tua, lalu barisan keluarga, terakhir Ray bersama Dy. Kamera menyorot sekilas sebelum bergerak mengikuti iring-iringan menempatkan diri dan pengantin duduk di pelaminan.

"Cantik dan tampan sekali ya pemirsa, Amelia tampak begitu anggun dan Rizuki begitu gagah mendampinginya. Acara resepsi ini juga telah dihadiri beberapa tokoh kenamaan, terlihat dari sini ada Bapak dan Ibu bupati Kulon Progo, Bapak dan Ibu wali kota Yogyakarta, kabarnya Bapak Gubernur juga merupakan tamu kehormatan yang akan hadir."

Kamera menyorot tamu-tamu yang disebutkan presenter, juga tamu-tamu lain yang merupakan teman sesama pembawa acara berita di stasiun tv tempat Rizuki bekerja.

"Untuk tamu yang sesama penulis, terlihat di buku tamu ada nama Dianjati Madia, namun sejauh ini belum terlihat sosoknya. Jati Madia sendiri adalah penulis cerita horor terkenal dan bernaung di penerbit yang sama dengan KAmelia."

Kamera menyorot buku tamu yang terbuka dan nama 'Dianjati Madia' tertulis dengan rapi di nomor satu.

***

Empat jam kemudian...
Kungstradgarden, Stockholm, Swedia

"Maa..." panggil Jati Madia begitu memasuki flat sewaan.

"Di dapur," sahutan terdengar dan Jati melangkah ke dalam, mengikuti wangi mentega sekaligus kayu manis.

Lina sedang menaburkan gula halus di atas kuenya, ia tersenyum melihat kemunculan sang suami. "Akhirnya pulang juga," katanya.

"Bisa pas ya," kata Jati lalu mengeluarkan dua tumbler berisi kopi susu panas dari dalam mantelnya.

Lina tertawa, "Kalau ada Kadian, dia pasti bilang..."

"Jodoh amat!" Jati segera menirukan suara sang putri berikut ekspresinya.

"Aduh, jadi kangen lagi, padahal sudah video call..."

Jati lebih dulu melepas mantelnya sebelum duduk, "Acaranya Amelia sudah selesai?"

"Sudah, cantik banget, Dy juga cantik... tadi kirim foto, ada di ponselku," kata Lina, mengendikkan dagu ke ponselnya di pinggir meja.

Jati segera memeriksa, seketika tersenyum melihat foto putri semata wayangnya. Jati juga membaca chat-chat terbaru yang dikirimkan sang putri. Selama tiga hari terakhir memang Dy lebih sering berkomunikasi dengan sang ibu.

"Dy kok senang-senang saja sih, apa enggak kesepian liburan sendiri," kata Jati setelah membaca semua chat terbaru dari sang putri. Ia mulai menikmati kopi dan potongan kuenya.

Lina tersenyum, "Kesepian apa, katanya ide tuh mengalir lancar."

"Tadi kata Bram, scene krusial sudah diamankan, bisa kayaknya ditinggal."

"Benar, mau ditinggal?"

Jati menatap istrinya dengan tatapan tidak yakin, "Dy sudah bilang kangen hari ini?"

"Sudah, tadi pagi." Lina duduk di kursi yang berseberangan dengan suaminya, mengulurkan tangan untuk menggenggam. "Mau telepon Dy sekarang?"

"Lagi apa dia?" tanya Jati.

"Paling istirahat, habis dari acara," jawab Lina.

Jati menekan ikon pemanggil di kontak sang putri, sampai tiga kali panggilan dan tidak terjawab. "Enggak dijawab tuh, Ma?"

"Tidur mungkin, capek, dia dandan habis-habisan." Lina kembali menyentuh foto terbaru kiriman Dy, "Gaunnya baru nih, jangan marah sama angka tagihannya, Dy lama enggak beli gaun dan ini cocok banget buat dia."

"Enggak ada tagihan," kata Jati dan mengeluarkan ponselnya sendiri.

"Iya? Apa dia beli sendiri?" Lina bertanya-tanya.

"Bulan ini kasih Dy berapa?" tanya Jati karena Lina yang selama ini mentransfer uang bulanan sang putri.

"Tujuh setengah, mungkin memang dia beli sendiri."

"Tapi Dy kalau dikasih kartu biasanya langsung memanfaatkan sebaik mungkin." Jati geleng kepala saat menambahi, "Sekali-kalinya kartu capai limit, cuma buat beli krim wajah."

Lina tertawa, "Efeknya kelihatan kok, cantik terus anak kita."

"Makin cantik anaknya, makin stress aku jagainnya," kata Jati lalu memeriksa beberapa chat masuk yang tidak dibukanya karena fokus pada pekerjaan. Jati membuka chat terbaru dari editornya, sudah hampir tiga jam berlalu sejak chat tersebut dikirimkan.

Editor – Herliana: Halo, Pak... saya lagi di acara KAmelia

Editor – Herliana: Salamnya sudah saya sampaikan ya...

Editor – Herliana sent you a video

Jati Madia: Halo, wah, sampai lupa kalau saya menitip salam

Jati Madia: Anak saya sebenarnya datang juga ke acara KAmelia

Jati Madia: Tapi terima kasih ya, Herli.

Setelah membalas, Jati membuka video kiriman editornya itu, tampak Herliana melangkah ke pelaminan menyalami Amelia dan Rizuki, mereka berbasa-basi sebentar lalu Herliana menyampaikan salam dari Jati. Amelia menatap kamera, mengucapkan terima kasih dan mendoakan agar proses pembuatan film berjalan dengan lancar.

Jati tersenyum melihatnya, ia baru akan meletakkan posel ketika kamera beralih pada orang tua Amelia. Tampak setelah Herliana menyalaminya, sang ibu menyebut kalimat, "Ray, bantu Dy turunnya..."

Jati mengerutkan kening saat kamera bergerak menyorot seorang gadis yang hendak menuruni tangga pelaminan, seorang gadis yang amat dikenal Jati. Ada seorang lelaki mengulurkan tangan kepada gadis itu, "Sayang, pegangan..." ucap lelaki itu dan video berhenti.

"Kalina," panggil Jati dengan nada tidak percaya.

Lina yang sedang menyesap kopi, menoleh, "Ya?"

"Lihat ini, ini, Kadian, kan?"

"Hah? Mana?" Lina mencondongkan tubuh, memperhatikan video yang diputar ulang oleh suaminya.

"Ini..." Jati mempercepat videonya sampai saat adegan terakhir.

"Dy," kata Lina dan langsung menekan pause saat terlihat wajah lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya. "Siapa dia?"

"Apa maksudnya siapa? Dy enggak cerita?"

"Enggak... coba dikeraskan lagi volumenya, dia bilang 'saya' atau 'sayang'."

"Iya benar, kita sudah tua, bisa salah dengar." Jati mengeraskan volume.

"Ray bantu Dy turunnya." kalimat itu terekam jelas, sejelas kalimat yang terdengar berikutnya, "Sayang, pengangan."

Lina menggeleng, "Dy enggak mungkin punya pacar dan enggak bilang padaku."

"Terus ini?" Jati menunjuk ke layar ponselnya.

"Kita telepon saja anaknya," kata Lina, meraih ponselnya sendiri dan menelepon, hingga tiga kali panggilan tidak juga dijawab. "Astaga, kemana anak ini."

Jati mengerutkan keningnya, "Tapi kenapa orang tuanya Amelia kenal mereka."

"Bagaimana?" tanya Lina, ikut mengerutkan kening.

"Si ibu bilang, Ray bantu Dy turunnya..."

"Dy nama anak kita, terus lelaki itu berarti... Ray?"

Jati geleng kepala, "Sebentar, aku punya enggak nomor ponsel Amelia."

Setelah memeriksa daftar kontak dan tidak menemukannya, Jati bermaksud memintanya ke pimpinan penerbit. Belum sempat menelepon, ada chat yang masuk, dari nomor baru yang tidak tersimpan di ponsel Jati.

+62 878900xxxx: Halo, Om Jati... ini Amelia

+62 878900xxxx: Tadi dapat nomor Om dari Mbak Herli, terima kasih untuk kadonya, surprise banget waktu buka kado pertama kali, dapatnya dari Om Jati

+62 878900xxxx: Semoga proses syuting TERROR berjalan lancar, segera kembali ke Indonesia dan bisa promo buku bareng lagi

+62 878900xxxx: Salam juga untuk Tante Lina, terima kasih.

Jati langsung membuka videonya tadi, mengirimkannya ke nomor Amelia.

Jati Madia: Halo, Amelia, sebelumnya selamat ya... semoga berbahagia selalu.

Jati Madia: Dan terkait video yang saya kirimkan itu, di bagian akhir ada pasangan yang mau turun dari pelaminan, apakah Amelia kenal?

Lama sampai akhirnya chat itu dibalas.

+62 878900xxxx: Ah, iya, tentu... itu foto mantan suami saya dengan pasangannya.

+62 878900xxxx: Ray Haris dan Kadian, Om Jati kenal juga?

Jati Madia tidak bisa membalas chat tersebut karena ponselnya jatuh terbanting ke lantai. Lina terkesiap melihat raut syok suaminya.

"Papa..." kata Lina dan segera beralih mendekat.

"Tiket... pulang sekarang!" kata Jati.

Setelah mengatakan itu langsung beranjak memasuki kamar. Lina mengambil ponsel suaminya, layar depannya retak tapi chat yang terbuka itu masih terbaca. Ia menatapnya dengan mata berkaca-kaca, sedih sekaligus amat kebingungan.

Butuh waktu sampai Lina bisa menenangkan diri dan menyusul suaminya ke kamar. Jati sembarang memasukkan barang-barang ke dalam koper. Tatapan matanya tidak fokus.

"Pa... kita tunggu Dy angkat telepon dulu."

"Sudah bisa dihubungi?"

Lina menggeleng dan meraih tangan suaminya, menghentikan gerakan memasukkan setiap barang yang terlihat ke koper.

"Dy enggak mungkin aneh-aneh, dia pasti punya penjelasan untuk ini," kata Lina.

"Karena itu kita harus pulang, mendengar langsung penjelasan itu," kata Jati meski kemudian memilih duduk di samping sang istri, memeluknya untuk menenangkan diri.

Ponsel di tangan Lina berdering, Dy menelepon.

"Tolak, ubah ke video call," kata Jati sembari menegakkan tubuh.

Lina melakukannya, menolak panggilan Dy dan menelepon dengan mode video call, nada sambung hampir berakhir barulah Dy mengangkatnya.

"Hai... Mama kenapa telepon?" tanya Dy, jelas sedang berjalan menjauh dan dari latar di belakangnya adalah pantai.

"Dy, kamu lagi di mana?" tanya Lina.

"Pantai, Ma... tadi ketiduran di mobil, enggak tahu Mama telepon." Dy menatap Jati dengan senyum lebar, "Eh, akhirnya Papa pulang, lancar kan syutingnya, Pa?"

Jati berdeham sebelum menjawab, "Lancar, lagi apa kamu?"

"Dy liburan juga dong, enggak mau kalah."

"Dy... tadi katanya ketiduran di mobil, emang pergi sama siapa? Enggak sewa mobil sendiri?" tanya Lina dengan jantung berdegub kencang.

"Hah? Oh... supir, haha... kan enggak ngerti jalan, Ma."

Jati segera menyadari bahwa itu kebohongan, "Dy, tadi di acara Amelia ketemu siapa aja? Orang penerbitan ketemu kamu enggak?"

"Enggak ketemu siapa-siapa, Pa... Lissa enggak bisa datang, terus orang penerbit kayaknya datang yang jam siang deh. Dy datang yang jam pagi, cepetan aja terus langsung pulang penginapan dan jalan-jalan."

Jati menyipitkan mata, itu juga kebohongan. "Sendirian aja jalan-jalannya?"

"Enggak bakal hilang, Pa... tenang aja, mau lihat sunset ini nanti."

"Dy, itu pantai mana sih? Coba kasih lihat Mama..."

"Glagah, Ma... dekat airport... sebentar Dy kasih lihat." Dy mengubah tampilan ke kamera belakang, menampakkan pemandangan pantai dengan begitu banyak pemecah ombak.

Jati dan Lina saling menggenggam tangan saat kamera Dy menangkap sosok lelaki yang sedang memotret tidak jauh dari tempat Dy menerima telepon. Dari postur tubuh hingga seraut wajah yang tampak, lelaki itu adalah orang yang tadi terekam bersama Dy, Ray.

"Pemecah ombaknya ini loh, Ma... yang bikin unik." suara Dy terdengar dan tampilan langsung berubah ke pemandangan ratusan pemecah ombak hingga air laut yang bergelombang. Dy juga berjalan menjauh.

"Jangan dekat-dekat ke ujung, Dy," pinta Jati, nyaris panik.

"Enggak, Papa..." kata Dy lalu kembali mengubah ke kamera depan.

Lina mengulas senyum. "Dy, kapan kamu pulang ke Jakarta?"

"Senin malam pulang, sampai Selasa pagi."

"Naik kereta lagi?"

"Iya, Ma... ternyata seru."

"Dy, kamu mau oleh-oleh apa? Baju, tas, sepatu?"

"Ng... kalau ada coklat kemasan yang khas situ boleh deh, Ma... beli kiloan aja biar bisa bagi-bagi, aku bawain teh dari Tedjo's Tea Herb."

Jati menyadari sesuatu, "Itu usaha keluarganya Amelia ya?"

"Iya, ada yang buat insomnia, Dy bawain buat Papa... dari chamomile."

"Beli, Dy, jangan bawa-bawa aja," kata Lina dan membuat ekspresi putrinya berubah, seperti tersadar kesalahan pemilihan katanya.

"Hah, oh, iya, beli... hahaha, ng... Mama masih ada yang mau diomongin?"

Lina dan Jati saling pandang, keduanya memilih sama-sama menggeleng. "Dy sendiri, ada yang masih mau diomongin?" tanya Lina

"Eng... ah, duh, battery low, teleponnya nanti lagi ya?"

"Dy, sebelum teleponnya mati, boleh enggak Mama bicara sama supir yang antar kamu?"

"Hah? Eh... eng... enggak usah, dia enggak ngebut kok, terus orangnya baik."

"Dia jagain kamu selama di Jogja?" tanya Lina lagi, memastikan.

"I... iyalah, eng... nanti telepon lagi ya... love you, Mama, love you, Papa."

Begitu telepon sepenuhnya terputus, Jati langsung kembali berdiri, kali ini mengeluarkan isi lemari pakaian. Lina berusaha sebisa mungkin tetap tenang, ia keluar kamar untuk mengambil air minum. Setelah cukup tenang barulah mengurus kepulangan ke Indonesia dan langsung mengurus penerbangan lanjutan ke Yogyakarta.

Sekitar dua jam kemudian, jemputan mereka siap mengantar ke bandara.

"Pa... kita enggak akan terbang, pulang ketemu Dy dengan bawa hawa kemarahan begini," kata Lina saat suaminya keluar dari kamar membawa dua koper mereka. Raut wajah Jati masih diliputi ekspresi muram.

"Kita harus pulang," kata Jati lalu mengangkat tas tangan Lina ke atas koper.

Lina menahan tangan suaminya, mendekat untuk memberi pelukan, "Aku setuju kita harus pulang, kita harus mendengar langsung penjelasan dari Dy... juga dari lelaki itu."

Jati menghela napas berat mendengar itu, "Mantan suaminya Amelia."

"Ah, ya, namanya Ray... Dy pasti punya penjelasan dan apapun itu, kita harus bisa menghargainya, apalagi jika dia memang memutuskan sesuatu yang serius bersama Ray."

"Dy seharusnya memutuskan sesuatu yang serius bersama kita."

"Dy pasti akan melibatkan kita juga, makanya kita harus tenang... aku takut kalau Dy lihat Papa emosi terus justru enggak mau ngomong yang sebenarnya."

"Aku benar-benar enggak habis pikir, Kalina..." ucap Jati dengan nada lemah.

Lina mengangguk, "Aku juga, tapi... selama ini, kita beruntung punya anak yang bersedia lebih banyak tinggal di rumah, anak yang memilih jenis petualangannya sepertimu, melalui bacaan demi bacaan."

Dengan helaan napas pelan, Lina meletakkan pipinya ke dada sang suami. "Sama sepertimu, dia juga akhirnya menuliskan cerita... yang kali ini, mungkin memang sudah saatnya dia menuliskan cerita dari apa yang dialaminya sendiri, dari petualangan nyata."

Lina menyadari tubuh suaminya seolah kaku mendengar itu, tidak mudah untuk mereka berdua sampai akhirnya bisa mendapatkan Dy. "Kita bisa menghadapinya, bersama-sama, sebagai orang tua yang harus memastikan anaknya bahagia... anak kita satu-satunya."

Jati menanggapi dengan mengeratkan pelukannya.

***

Pantai Glagah, Temon, Kulon Progo

Ray menunggu Dy selesai bertelepon dengan memandangi pesawat yang bergerak untuk mendarat di Yogyakarta International Airport. Pendaratan pesawat selalu menjadi hal yang membuat Ray terpaku, itu selalu menjadi hal yang paling mendebarkan dibanding ketika pesawat tinggal landas. Dari lima penyebab kecelakaan pesawat terbang, kegagalan pendaratan memiliki faktor yang paling kompleks, kesalahan pilot, kerusakan mesin, cuaca, hingga sabotase. Faktor yang paling tidak terduga adalah cuaca, karena itu Ray benci penerbangan ketika cuaca buruk.

"Ray..." panggil Dy dan Ray menoleh.

"Sudah selesai teleponnya?" tanya Ray, ia berjalan mendekati Dy.

Dy menunjukkan layar ponselnya yang redup, "Low battery."

"Mau kembali ke mobil buat charger ponsel?"

"Ng... nanti aja deh, aku telepon lagi kalau sudah pulang." Dy menyimpan ponselnya lalu berjalan diantara batu-batu pemecah ombak. Ketika sampai ke area yang cukup aman untuk menikmati pemandangan, Dy duduk, disusul Ray yang memilih tempat di sampingnya.

Ray tidak bicara atau mulai bertanya, padahal Dy sadar ia bersikap panik dan pergi begitu saja ketika menyadari sang ibu menolak panggilan teleponnya untuk video call.

"Ray... em, apa kau marah?" tanya Dy setelah mereka hanya berbagi keheningan.

"Kenapa marah?" tanya balik Ray sambil mengangkat kamera dan memotret.

"Karena aku pergi tadi, jauh-jauh waktu angkat telepon?"

Ray menggeleng. Ia menurunkan kamera dan memeriksa hasil bidikan lensanya, baru kemudian menjawab, "Aku ngerti... karena aku siap, bukan berarti kau juga siap."

Jawaban itu membuat rasa bersalah mulai tumbuh, Dy menatap Ray yang fokus dengan pengaturan kamera. "Karena aku anak tunggal, aku selalu takut kalau enggak bisa membahagiakan Papa dan Mama... karena itu aku enggak bisa cerita tentang rencana kita, Ray."

Ray mematikan kamera lalu mengambil penutup lensa. "Tapi aku juga enggak bisa bersikap seperti lelaki pengecut, siapa yang bisa menjamin bahwa semua ini tidak akan diketahui orang tuamu suatu saat nanti?"

"Y... ya... enggak ada, tapi setidaknya saat itu terjadi, semuanya udah lewat."

"Terus kalau sudah lewat artinya akan baik-baik saja?"

Dy diam, ia tak tahu bagaimana situasinya jika orang tuanya tahu tentang hal ini, sekarang atau nanti... tapi semua itu seolah tidak akan ada bedanya, mereka pasti kecewa.

"Sekarang, besok, atau nanti akan sama saja, Dy," ucap Ray lalu meletakkan kameranya di bidang datar terdekat.

Dy menghela napas, bergeser hingga bisa menyandarkan kepalanya di pundak Ray. "Sunset masih berapa jam lagi sih?"

"Setengah jam lebih." Ray memeriksa jam tangannya.

"Sunrise, sunset... ada banyak banget cerita tentang pasangan menikmati momen itu."

"Mungkin karena itu memang romantis."

"Mungkin karena sebagian hubungan memang berjalan seperti itu, singkat, namun begitu indah... awal dan akhirnya."

Ray memikirkan kata-kata Dy dan mengangguk, "Untuk obrolan yang dibuat demi mengalihkan pembicaraan, ini agak berat."

Seketika Dy tertawa, Ray menyadarinya. "Habis aku masih mau senang-senang aja, menikmati momen ini seperti yang seharusnya."

"Seperti apa seharusnya pasangan menikmati momen ini?" tanya Ray.

Dy langsung menegakkan punggung, meraih lengan Ray, mengangkatnya dan ia menelusupkan kepala, membuat Ray merangkulnya. Ray menoleh, menatap wajah Dy yang kini begitu dekat dengannya. Gadis itu memberi senyum lembut dan memejamkan mata.

"Kenapa tutup mata? Enggak jadi lihat sunset?" tanya Ray, hanya menggoda.

"You know why..." ucap Dy lirih, ia tersenyum saat sedetik kemudian merasakan napas lembut menerpa wajahnya dan Ray menciumnya.

Ada banyak hal yang menunggu untuk dibicarakan, tapi Ray setuju, mereka berhak atas momen ini, sebagai pasangan.[]


--
Bisa-bisanya yha, Papa dan Mama siap terbang, menyusul ke Yogyakarta, anaknya masih kentjan, berduaan, tium-tiuman sama duda, ckckckck lanjutkan Kadian, wakakaa~

By the way apakah hawanya sudah gloomy? Sudah terbayang-bayang perpisahan di depan mata? Emosi dan permulaan konflik yang mendebarkan? Wakakakaka #Alay ... tapi tenangs, semua ceritaku happy ending yha kan, dan kalaupun enggak sama Dy, Ray pasti happy ending sama aku, #Eh

Oh iya, stay safe ya semuanya...
Semoga Indonesia kembali aman, nyaman dan tentram.
Semoga Tuhan juga melindungi kita, Aamiin.
With love, #AshaFabianWedantaHaris

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top