22 | Amelia's wedding
"Enggak terasa ya, tinggal acara midodareni nanti malam, terus besok udah pernikahan," kata Dy saat membantu Ray memindahkan kursi-kursi yang baru digunakan untuk acara siraman.
"Iya, kata ibu bajunya sudah jadi, disuruh coba terus kalau sudah pas bisa langsung dry cleaning," kata Ray.
"Oh ya? Di rumah depan apa belakang?"
"Di rumah depan, nanti barengan ambilnya."
"Oke," kata Dy lalu beralih untuk membantu Mbak Sri mengambil taplak-taplak batik, sekalian membereskan sisa dekor karena pendopo akan digunakan untuk acara wawancara dengan media. Hal itu karena Rizuki dan Amelia termasuk pasangan yang cukup populer, sehingga rangkaian acara pernikahannya mendapatkan peliputan.
"Mbak Dy, dipanggil ibu, katanya suruh coba baju," kata Bagas saat mendekat.
"Oh iya, Ray mana?" tanya Dy.
"Sudah sama ibu, tuh di dalam."
Dy lebih dulu memindahkan taplak-taplak batiknya ke sumur agar dicuci, baru menemui ibu di ruang tamu. Amelia baru selesai berdandan, siap untuk wawancara.
"Wih, cantik banget Mbak Lia," puji Dy.
"Terima kasih, itu gaunmu udah jadi, coba di kamarku ya, langsung masuk aja, enggak dikunci." Amelia menunjuk gaunnya juga pintu-pintu kamar di dekat ruang makan.
"Kalau sudah dicoba kasih Mbok Yuni ya? Sekarang baru ngambil jarik, tapi nanti pasti kembali, ibu tinggal nemenin Amelia dulu," pamit Wening.
"Iya, Bu." Dy memperhatikan Wening menggandeng Amelia keluar rumah.
Setelah mengambil gaunnya Dy menatap pintu-pintu kamar dengan bingung. Selama ini, ia makan bersama tanpa pernah memperhatikan yang mana kamar Amelia, yang mana kamar bapak dan ibu, yang mana kamar Bagas atau kamar tamu yang ditempati Tante Rima. Karena takut salah, Dy mengetuk pintu pertama, ternyata kosong tapi jelas menandakan milik bapak dan ibu. Menuju pintu berikutnya Dy mendapati pintu tersebut diganjal dengan kotak sepatu.
"Oh, yang ini, yang enggak dikunci." Dy langsung masuk dan menutup pintunya.
"Gas?" terdengar suara Ray memanggil.
Dy menoleh, pintu kamar mandi terbuka dan Ray keluar dari sana bertelanjang dada.
"Katamu pintunya rusak kok ditu— Dy!"
"Ray?" tanya Dy, langsung kembali memunggungi. "Pakai baju dulu!"
"Oh iya, sebentar," kata Ray, memakai kembali kemeja batiknya.
Dy mencoba membuka pintu dan dari ekspresi bingung gadis itu, jelas sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. "Kok enggak bisa dibuka pintunya?"
"Kata Bagas memang rusak, makanya diganjal kotak sepatu."
"Ini tapi kamar Mbak..." Dy terdiam mendapati banyak poster-poster film Angelina Jolie di dinding samping tempat tidur. Juga lemari kaca berisi koleksi kamera dan action figure yang jelas menandakan ini bukan kamar Amelia. "Aku salah masuk kamar."
"Untung aku yang di dalam," kata Ray.
"Ish, terus ini gimana?" tanya Dy, bergeser agar Ray memeriksa pintu.
Ray mengeluarkan ponselnya, "Aku akan chat Bagas."
"Oke, aku coba gaun dulu sambil nunggu."
"Enggak, jangan di sini."
"Iya, enggak di sini, di kamar mandi."
Ray menggeleng, "Enggak boleh buka baju di kamar lelaki."
"Hah?" Dy bengong dengan larangan itu, "Kamar mandi bisa dikunci, kan?
"Enggak boleh," kata Ray, memegangi Dy agar tidak beranjak sampai Bagas membukakan pintu.
Bagas memberi tatapan penuh selidik ketika Ray dan Dy keluar dari kamar. Ia berlagak masuk, memeriksa ruangan dan mengelus pinggiran kasurnya "Bagus, kalau habis ngapa-ngapain tuh emang harus dirapikan lagi."
"Ngapa-ngapain apa? Enggak ya!" omel Dy.
"Kalau enggak, ngapain coba nyusul masuk kamarku? Ada Mas Ray di dalam."
"Aku enggak tahu ini kamarmu, apalagi ada Ray di dalam, aku salah kamar!"
"Iki silih kimir," ledek Bagas dengan mimik tidak percaya.
"Beneran ya ampun, emangnya aku gila apa kalau mau ma—"
"Sayang..." panggil Ray dan membuat Dy menoleh. "Katanya mau coba gaun."
"Oh iya, kamar Mbak Lia yang mana?" tanya Dy.
Ray ganti menoleh Bagas, "Yang mana, Gas?"
"Kok yang mana toh? Lha dulu pakai kamar yang mana?" tanya Bagas.
"Dulu di sini cuma ada tiga kamar, belum jadi enam seperti sekarang," kata Ray membuat Bagas tertawa-tawa dan segera berlalu membuka pintu kamar paling ujung.
"Makanya pulang tuh jangan nunggu sepuluh tahun, ketinggalan banyak update."
Dy tertawa lalu sebelum memasuki kamar Amelia, dia berujar, "Begitu tuh lelaki kalau ngomong kangen, enggak bisa to the point."
"Ssstt..." kata Bagas tapi setelah Dy menutup pintu akhirnya menjelaskan pada Ray. "Enggak loh, Mas, enggak bermaksud maksa-maksa pulang."
"Iya, enggak apa-apa," kata Ray mengerti.
Dulu Bagas masih belum terlalu memahami situasi Ray dan Amelia, hanya tahu bahwa Ray pergi ke Amerika untuk bekerja. Sekian tahun tidak pulang barulah Bagas sadar kalau keadaan memang berbeda dan hanya bisa menerima, ikut menunggu bersama keluarga lainnya.
Bagas melirik ke pintu kamar Amelia yang tertutup, "Tapi aku enggak salah kan ya, kalau ikut-ikut ibu doain Mas Ray sama Mbak Dy langgeng... biar menetap lagi di Indonesia."
"Siapa bilang menetap di Indonesia, kalau Dy mau kubawa keliling dunia gimana?"
"Walah!" gerutu Bagas.
Ray terseyum, "Tapi itu doa baik, Gas, terima kasih."
"Kalau aku wisuda, jangan kirim hadiah ya, Mas... pulang lagi."
"Masih dua tahun lagi, kan?" canda Ray, ia tahu Bagas sudah hampir selesai kuliah.
"Sembarangan! Aku cumlaude ini! Tapi beasiswa lanjutanku ke Jepang, Mas, bukan ke Amerika..." wajah Bagas agak murung saat memberitahukan itu.
"Enggak apa-apa, siapa tahu proyekku tahun depan juga di Jepang, motret Alpaka di Nasu, atau Kapibara di Nagano... sambil nyobain onsen, Kapibara suka berendam air panas."
Mendengar itu Bagas tertawa, "Mas... Mas... jauh-jauh ke Jepang, berendam di onsen kok bareng Kapibara, enggak seru."
"Oh, monyet salju juga sering berendam di onsen, aku pernah lihat dari potretnya Joel, wajahnya merah banget gitu, kontras sama bulu dan uap di sekitarnya."
"Walah, kok malah monyet salju segala sih? Maksudku itu ya—"
"Gas! Awas ya kalau ngajarin yang enggak-enggak! Jeepmu bisa mati total itu kusabotase." suara Dy terdengar bersamaan dengan pintu terbuka dan dia melongokkan kepala, memberi tatapan penuh ancaman.
"Awas berani sabotase jeepku, itu kesayanganku!" kata Bagas sambil berkacak pinggang.
"Itu juga kesayanganku, jangan disabotase pikirannya," kata Dy lalu tersenyum, mengedipkan mata ke arah Ray yang terlihat bingung. My innocent man, gumam Dy.
"Apa sih?" tanya Ray.
Bagas menghela napas, "Udahlah, enggak seru! Malah Mbak Dy yang nyambung!"
Setelah mengatakan itu Bagas berlalu pergi. Dy tertawa, melangkah sepenuhnya keluar dari kamar Amelia, menunjukkan bagaimana penampilannya dengan gaun yang dicobanya. Ray berjalan mendekat sembari tersenyum.
"Bagus gaunnya, sesuai," kata Ray saat Dy berputar menunjukkan aksen pita di punggungnya.
"Aku juga suka gaunnya, terus ternyata dibuatin korsase juga buat hair do, besok harus bangun pagi-pagi nih buat bikin gelung." Dy menunjukkan pita dengan hiasan bunga-bunga.
Ray menggeleng, "Enggak usah, digerai aja rambutnya."
"Masa digerai rambutnya? Bagus tahu, kalau off shoulder begini, terus rambut digelung pakai hiasan korsase ini di bagian samping." Dy menunjukkan maksudnya dengan mengumpulkan rambut, mengangkatnya dan hal itu menunjukkan dengan jelas area leher hingga pundak Dy yang terbuka. Kulit halus yang terlihat sehat, cerah dan entah bagaimana, berkilau.
Ray mengalihkan tatapan, "Kalau mau rambut begitu, harusnya gaunnya pakai kerah yang menutup leher," katanya lalu menurunkan tangan Dy, membuat rambut panjang gadis itu tergerai lagi. "Begini aja, terus hiasannya ditahan pakai jepit atau apa di samping kepala."
Dy mengamati Ray, tersenyum-senyum menyadari maksud larangan itu dan sengaja mengabaikannya. "Enggak ah, pakai gelung bagus, udah ya, aku mau ganti lagi."
"Dy..."
Dy berpura-pura tidak mendengar, kembali memasuki kamar Amelia untuk berganti baju. Ketika keluar, Ray menunggu dan mereka menyerahkan seragam tersebut untuk dry cleaning. Sampai ketika kembali ke rumah belakang untuk beristirahat, Dy masih mengabaikan usaha Ray membujuknya agar besok menggerai rambut.
***
GHOST TEAM
Febrian Gautama: Gokil! Amelia Sutedjo trending topic
Yumna Talitha: Hah? Kenapa, Yan?
Febrian Gautama: Gara-gara rumahnya sih, hidden palace kata netizen
Ayaka Rashi: Iya, gila deh, gue nonton liputan acara interviu juga salah fokus sama rumahnya, luas banget astaga! Ada pendopo joglonya, Jawa banget.
Yumna Talitha: Apakah sahabat kita tampak dalam liputan?
Febrian Gautama: Enggak, Dy lo hati-hati deh, jangan asal nongol
Pacifico Kitaro: Bayangin Dy nongol digandeng Ray, terus kebetulan Pak Jati nonton chanel berita Indonesia! Dhuuaarrrr... anakku sama siapa?
Ayaka Rashi: Film yang lagi digarap langsung kalah horor sama kenyataan!
Febrian Gautama: Langsung terbang, mendarat di Yogyakarta
Dy baru siap tidur saat memeriksa ponsel dan membaca chat dari teman-temannya. Ia segera membalas.
Dy Madia: Jangan gitu dong! Gue sama Ray kayak kucing-kucingan seharian ini. Kamera dimana-mana, udah gitu segala orang lewat diwawancara. Benar-benar deh pemburu berita zaman sekarang, siapa yang punya hajatan, siapa yang diwawancara.
Yumna Talitha: Terus besok gimana tuh? Kan mejeng lo sama Ray.
Dy Madia: Ya enggak gimana-gimana, ini tadi sepupu-sepupunya Mbak Lia sama Kak Riz udah pada datang, bisalah berkamuflase.
Ayaka Rashi: Lo gimana caranya halangi Ray dari kamera, netizen kan suka salah fokus, apalagi kalau soal cowok ganteng... adiknya Amelia tuh media sosialnya udah nambah hampir seribu followers, nongol sebentar doang padahal
Dy Madia: Hah? Masa' sih? Gue enggak bertukar kontak atau medsos sama mereka
Pacifico Kitaro: Kenapa dah?
Dy Madia: Gue enggak mau mereka tahu kalau gue anaknya Jati Madia
Febrian Gautama: HAH?
Ayaka Rashi: Serius lo, Dy? Mereka enggak tahu lo anaknya Jati Madia?
Yumna Talitha: Yang penting Ray tahu kan?
Dy Madia: Ray tahu sih nama Papa, tapi kayaknya enggak sadar siapa Papa
Pacifico Kitaro: Astaga, Dy...
Ayaka Rashi: Akun media sosial lo udah private kan, Dy?
Dy Madia: Ka, jangan nakut-nakutin gue deh, malah parno nih gue
Ayaka Rashi: Gue enggak nakutin, situasi zaman sekarang enggak bisa ditebak
Febrian Gautama: Hahaha kalaupun semisal ikut keliput terus bikin salah fokus, kan enggak kenal siapa Ray, Dy juga cuma circlenya doang yang kenal sebagai anaknya Jati Madia. Santai, pasti aman, Dy... Swedia juga masih waktunya orang tidur tuh
Dy Madia: Tumben lo baik sama gue, Yan.
Ayaka Rashi: Curiga gue dia ada maunya
Febrian Gautama: Kalian tuh negative mulu sama gue
Yumna Talitha: Kami emang enggak sudi positive sama lo
Dy tertawa-tawa dan karena sudah mengantuk, segera berbaring untuk tidur, ia tidak sabar untuk menghadapi hari esok.
***
Jae-in, Hwang: Bos, kapan kembali?
Ray Haris: Hari Selasa, apa ada masalah?
Jae-in, Hwang: Perwakilan dari taman satwa di Sulawesi meminta kita melengkapi dokumen, all in Bahasa, I'm afraid I can't fill it correctly.
Ray Haris: Oh, it's okay, scan dan kirimkan padaku
Jae-in, Hwang: Harus dikirimkan hari ini jika kita akan berangkat tanggal 6
Jae-in, Hwang: Karena hari ini kau sibuk, bagaimana jika kukirimkan pada Ara?
Ray Haris: Ponselnya tidak aktif sejak semalam dan Helga belum menjawab teleponku
Jae-in, Hwang: Ara membalas emailku barusan
Ray Haris: Benarkah? Oke.
Jae-in, Hwang: Oke.
Ray segera beralih mencari kontak Ara dan membuat panggilan telepon, tersambung tapi tidak segera diangkat. Ray mencoba sekali lagi menelepon Ara.
"Hmm..." gumaman terdengar menjawab telepon Ray.
"Ara?" panggil Ray.
"Apa? Aku masih mengantuk, jangan bertanya apa yang aku lakukan hari ini, karena aku hanya akan tidur, bye."
"Jae-in akan mengirimkan dokumen, tolong dilengkapi."
"Dokumen apa? Hak asuh? Aku menolaknya."
"Enggak ada yang bersedia mengajukan dokumen hak asuh kepadamu selain aku," kata Ray dan Ara membalas dengan dengusan sebal. "Ini adalah dokumen untuk proyek Yaki itu, tanggal enam aku dan Jae-in akan berangkat ke Sulawesi... Jadi, dokumen itu harus dikirimkan hari ini juga untuk mendapatkan izin."
"Dan kenapa bukan kau saja yang melengkapinya?"
"Ini hari pernikahan Amelia, aku akan sibuk hari ini."
"Kirimkan saja besok pagi."
"Hari Sabtu instansi pemerintah tutup."
"Ck! Merepotkan!"
"Ibu membuatkanmu racikan teh mint spesial, ada enam kotak."
Lama kalimat Ray hanya ditanggapi dengan keheningan, lalu ada helaan napas panjang.
"Bagaimana situasi di situ? Apa mereka masih cerewet?"
"Semuanya baik, Dy membantuku dan mereka enggak cerewet, mereka perhatian."
"Bawakan aku gula batu dan gula aren, yang banyak."
Ray tertawa, "Ibu sudah menyiapkan itu, ada sambal pecel juga."
"Sial, cepatlah kembali."
"Jika aku mendapatkan foto yang bagus sebelum tanggal sepuluh, Jae-in akan langsung pulang duluan, paketnya akan kutitipkan padanya."
"Lalu kapan kau kembali?"
"Akhir bulan."
"Akhir bulan? Bulan depan kita ada proyek ke Andapa, Ray."
"Apa?" tanya Ray, ia segera menarik ponselnya dan memeriksa kalender.
"Damn! Aku enggak percaya kau lupa, kau benar-benar harus mulai minum vitamin penambah daya ingat," kata Ara membuat Ray segera kembali mendekatkan ponsel ke telinga.
"Aku akan kembali tanggal dua puluh lima."
"Dua puluh lima?" tanya Ara dengan nada tak percaya dan tidak lama menambahkan, "Ah, kau enggak lupa, kau memang ingin tinggal lebih lama... ini berarti kau serius dengan perempuan itu? Siapa tadi namanya? Dy?"
Ray menatap jam dan ia hampir tidak punya waktu lagi, "Ara, aku sudah harus bersiap-siap, akan kutelepon lagi nanti, oke?"
"Kau bisa tetap tinggal di sana selamanya, Ray... enggak perlu kem—"
"Ara, akan kutelepon lagi nanti, oke?"
"Bye." Ara langsung mematikan telepon.
Ray meletakkan ponselnya di meja, lalu memakai setelan yang merupakan seragam keluarga pengantin. Kemeja putih dipadu jas, manset dan celana biru navy. Dasinya berwarna senada dengan ornamen garis-garis keperakan.
Amelia dan Rizuki sebenarnya mengenakan baju adat untuk prosesi akad nikah, kebaya dan beskap. Akan tetapi untuk acara resepsi mereka memilih mengenakan gaun dan jas, karena itu semua seragam juga diikutkan tema gaun dan jas. Ray memastikan penampilannya sekali lagi di kaca sebelum keluar kamar, mengetuk ke kamar Dy.
"Masuk aja, masih dandan..." sahut Dy.
Ray membuka pintu kamar Dy dan masuk, memperhatikan Dy masih berkutat dengan sikat kecil, merapikan alisnya.
"Tinggal lipstick terus gelung rambutku, pakai korsase, selesai," kata Dy.
Ray memperhatikan rambut Dy yang masih diikat cepol, "Enggak usah digelung."
"Jangan mulai deh, tolong keluarkan kadoku dari koper, supaya enggak lupa."
Ray melihat koper yang dibaringkan di lantai dekat tempat tidur, ia segera membungkuk dan membukanya. Menemukan sebuah paper bag dengan merk jam tangan terkenal tercetak di bagian depannya.
"Ini?" tanya Ray.
Dy menoleh, "Iya, Papa kasih kado couple watch."
Ray mengangguk dan meletakkan paper bag tersebut di tempat tidur, ia lebih dulu menutup koper Dy sebelum berdiri.
"Ray, bagus yang mana?" tanya Dy saat menunjukkan isi kotak beludru di meja rias, dua buah kalung emas putih, yang satu berbandul huruf 'Dy' dan yang satu lagi berbandul batu mulia dengan potongan serupa tetesan air.
"Dy," jawab Ray lalu mendekat, "Sini aku pakaikan."
"Oke, aku juga tinggal pakai lipstick, terus urus rambut." Dy menyerahkan kalungnya lalu memilih warna lipstick.
Ray membungkuk, untuk memakaikan kalung tersebut, lalu ketika hendak menegakkan diri, ia memandang Dy melalui kaca meja rias. "Dy..."
"Ya?" tanya Dy, balas memandang melalui kaca.
"Aku benar-benar enggak mau rambutmu digelung," kata Ray, menyentuh pundak Dy lembut, menahan posisinya. "Jadi, kalau masih bersikeras, aku terpaksa juga akan begitu."
Dy benar-benar tidak menyangka saat kemudian merasakan napas hangat dan bibir Ray menempel di pundaknya. Rasanya napas Dy terenggut ketika lelaki itu mengisap kulitnya dan tidak cukup di pundak, Ray bergeser ke lekukan leher Dy, memberi perlakuan yang sama.
Sebelum Dy sempat mengeluh karena rasa nyeri, Ray sudah menegakkan diri. Dy hampir tidak percaya ketika langsung tampak warna merah tercetak di pundak dan lekukan lehernya. Ray beralih melepaskan ikatan yang menahan rambut Dy, membuatnya tergerai menutupi.
"Kalau nanti keluar kamar masih nekat rambut digelung, aku kiss mark seleher sekalian," kata Ray dan berdeham untuk menghalau sikap salah tingkah. "Eng, aku... tunggu di luar."
Begitu pintu tertutup, Dy sebisa mungkin menahan pekikan. Ia berhati-hati menyibakkan rambut, menyentuh ke tanda kemerahan di pundak dan lekukan lehernya. Padahal Dy hanya ingin menjahili Ray, ia sudah berencana memberinya kejutan dengan penampilan rambut tergerai ketika keluar kamar. Dy benar-benar tidak menyangka atas apa yang baru terjadi.
"He's not innocent man, for God sake!" ucap Dy pada dirinya di pantulan kaca.
***
Ray menunggu sambil duduk di kursi depan. Suara ketukan yang membuatnya bangkit dan membuka pintu, ternyata Bagas.
"Mas, udah? Mau diajak foto dulu, mumpung Mbak Lia udah selesai," kata Bagas.
"Oh, iya sebentar, aku panggil Dy," kata Ray beralih ke pintu kamar Dy dan memanggil, "Dy... masih lama dandannya? Udah hampir setengah jam ini."
Handel pintu bergerak dan Dy membukanya, "Ini tuh termasuk cepat tahu, apalagi aku harus pakai concealer lagi buat yang di leher, nutupin..." suara Dy menghilang saat melihat Bagas ada di pintu depan, memandang mereka dengan wajah penuh pengertian.
"Enggak usah komentar," kata Ray saat Bagas hendak membuka mulut.
"Maksudnya, aku nutupin bekas luka, punya koreng gara-gara digigit nyamuk," kata Dy, mencoba menunjukkan raut serius meski rasanya amat malu.
Bagas mengangguk-angguk, "Iya, emang ganas nyamuk di rumah belakang, ckckckk... padakne aku cah cilik loh, jan! Tak kandakne ibu tenan kok, ben sisan le rabi bar Mbak Lia karo Mas Riz." [Dikira aku anak kecil loh, benar-benar! Aku bilang ibu beneran kok, biar sekalian menikah setelah Mbak Lia dan Mas Riz.]
"Mampus!" gumam Dy ketika melihat Bagas langsung berlari pergi.
Ray menghela napas dan saat akan bicara justru teralihkan karena penampilan Dy. Rambut panjangnya dibuat bergelombang, hiasan kepalanya ditempatkan di sisi sebelah kanan dekat dengan telinga. Dy membawa tas kecil berwarna perak yang tergantung hingga pinggang, sepasang high heels yang juga berwarna perak melengkapi penampilan tersebut.
Dy sadar dirinya diperhatikan, "Awas kalau enggak bilang cantik."
Ray tertawa, "Oke, Cantik, terima kasih karena enggak menggelung rambut."
"Jalannya jangan cepat-cepat ya, aku pakai high heels itu hitungan jari di satu tangan dalam setahun, payah pokoknya," kata Dy sembari memeluk lengan Ray dan mereka melangkah keluar rumah, menuju tempat Amelia bersiap-siap.
Sejujurnya ketika membaca e-mail Amelia hampir dua bulan yang lalu, Ray sempat merasa khawatir bagaimana ia akan melihat mantan istrinya itu berpenampilan sebagai pengantin lagi dan bersanding dengan pria lain. Ray takut hal itu akan mengingatkannya pada harapan yang menjadi luka masa lalunya. Tapi sekarang, ketika benar-benar menjalaninya, Ray merasa bahagia bisa menyaksikan Amelia mengenakan kebaya pengantin sungguhan, berwarna putih, lengkap dengan seluruh hiasan kepala, untaian bunga dan corak-corak yang khas sebagai pengantin Jawa.
Pernikahan Amelia dan Rizuki juga berjalan dengan lancar dan khidmat. Dua keluarga tampak jelas begitu berbahagia, apalagi sepasang pengantin yang kini bertukar cincin dengan wajah penuh senyum.
"Cantiknya, auranya itu loh," puji Dy dengan tulus.
Ray menatap wajah menawan yang kini tersenyum di sisinya. Ray menyadari bahwa pemilik wajah inilah yang membuatnya bisa menghadapi hari ini dengan perasaan begitu ringan, bahkan ikut bersuka cita. Dy Madia, Ray menyebut nama itu dalam hatinya dan Dy mendongak, menatap Ray dengan senyum yang lebih lembut.
"Aura kita juga enggak boleh kalah, harus sama bahagianya seperti Mbak Lia, Kak Riz dan semua keluarga," ucap Dy sembari menggeser lengan untuk menggenggam tangan Ray.
Ray mengangguk, ia begitu saja menunduk, menyentuhkan keningnya pada kepala Dy. "Thank you for being there with me..." ucapnya lembut.
Klik-klik...
Fotografer yang melintas mengabadikan momen tersebut tanpa sepengetahuan Ray dan Dy.[]
--
Udah part 22 belum nongol konfliknya, padahal kudu selesai di part 28, ckckck kelakuanku~ Ya abis gimana dong, kayak gemes melulu aku sama Mas Ray Haris ini, menyesal aku nolak dia, pengin kutikung aja rasanya! Eh, enggak apa-apa kali ya, bikin twist ending, Ray enggak sama Dy, enggak sama Ara, tapi sama Asha... hohohoho
#AshaFabianWedantaHaris #Fixed #NoDebat #100%MATCH
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top