21 | Issue
Ray mengetuk pintu kamar Dy, tiga kali ketukan sampai terdengar suara kunci diputar.
"Ray, janji ya, kalau aku buka pintunya, enggak akan bahas soal yang tadi?" suara Dy terdengar lirih, seolah butuh keberanian untuk melakukan itu.
"Soal yang apa? Ular modern?"
"Ray!"
Ray tertawa, "Oke."
"Oke, apa?"
"Oke, aku janji enggak akan bahas soal yang tadi."
Dy membuka pintu kamarnya dan segera mundur karena mendapati Ray membawakan laptop sekaligus ponselnya. Ray memasuki kamar Dy, meletakkan laptop dan ponsel ke meja rias. Sekarang Ray baru melihat ada wadah khusus, berwarna merah muda dan berisi produk perawatan wajah.
"Ah, ini yang dibicarakan teman-temanmu tadi?" tanya Ray.
"Yaa..." Dy segera meraih dan menutup ristleting pouch-nya.
"Aku pikir enggak pakai make up, kelihatan selalu natural."
"Make up dan skincare beda, Ray." Dy akhirnya membuka lagi pouch-nya, membagi isinya dalam dua bagian. "Wadah-wadah kaca ini, krim malam, krim pagi, eye cream, terus ini serum, toner, cleanser, sunscreen dan sleeping mask... itu sebutnya skincare, nah yang ini, lipstick, bedak, eyeshadow, eyeliner, mascara, concealer, ini disebut make-up."
Ray mengamati dan mengangguk, ia kemudian menyentuh satu benda yang tidak ikut dikeluarkan, "Ini lipstick juga?"
"Oh, itu vitamin bibir."
"Vitamin bibir?"
"Iya, bibirku kan kering."
"Waktu itu enggak, lembut kok."
"Hah?"
"Eh." Ray kelepasan dan segera meletakkan vitamin bibir milik Dy kembali ke dalam wadah. Dy yang salah tingkah ikut membereskan skincare dan make up yang semula dikeluarkannya. Karena terburu-buru salah satu lipstick Dy terjatuh, menggelinding di lantai.
"Aduh," ucap Dy dan Ray ketika sama-sama membungkukkan badan lalu berakhir saling membenturkan kening.
"Sakit ya ampun, kepalamu keras banget."
Ray menegakkan tubuh sembari tertawa, "Masa sih?"
"Benjol enggak?" tanya Dy setelah meletakkan lipsticknya langsung menghadap Ray.
Ray menyeka anakan rambut Dy untuk memperhatikan lebih jelas dan hal itu justru semakin mengingatkan saat Dy menciumnya dulu. Mereka berpandangan dengan tatapan bingung, juga pipi yang mulai merona.
"Ng, kayaknya... enggak pa-pa," kata Dy sebelum makin salah tingkah.
"Dy, aku juga mau diingat, sampai nanti-nanti..." kata Ray sembari memindahkan tangannya dan menangkup wajah Dy.
Dy tahu maksud kalimat tersebut, ia memejamkan mata saat Ray menundukkan kepala lalu menciumnya. Ketika menulis adegan ciuman dalam cerita, Dy selalu membuat narasi bagai merasakan kupu-kupu bertebangan di perut atau jantung terasa kebas karena begitu gugup dan intensnya. Tapi ketika mengalaminya sendiri, Dy merasa bahwa situasinya adalah kombinasi dari semua hal itu. Ia gugup, bingung, pusing dan lemas, tapi semua itu sebanding dengan debaran menyenangkan ketika merasakan keberadaan Ray.
Bibir Ray lembut menyapu, mengecup dan lebih dulu menikmati tekstur bibir bawah Dy sebelum lidahnya yang berkelana ketika Dy membuka mulut. Dy hampir tidak menyadari bahwa ia butuh bernapas sampai ketika Ray menjauhkan kepala. Hanya satu tarikan napas yang didapatnya sebelum kembali dicium dengan antusiasme yang lebih dari sebelumnya. Tangan Ray tidak lagi menangkup pipi Dy, namun mendekap, menghilangkan setiap jarak dan menempelkan tubuh mereka. Dibanding apa yang dulu Dy lakukan, apa yang Ray berikan ini jelas jauh berbeda dan tanpa dekapan lelaki itu, Dy pasti sudah jatuh terduduk di lantai saking lemasnya.
Suara barang jatuh yang mengagetkan mereka, Ray langsung menjauhkan wajah, memutar tubuhnya membelakangi pintu kamar yang memang terbuka. Dy menenangkan diri dengan meyandarkan kepala di dada Ray, berjuang bernapas dan menormalkan debaran jantungnya yang menggila.
Bagas melongo dengan sekotak martabak manis jatuh di lantai, "A...aku udah ngetuk, memanggil-manggil..."
Ray dan Dy tidak mendengar apapun. Mereka terdiam, tidak bisa menanggapi, apalagi memikirkan suatu alasan. Bagas geleng kepala, memungut kotak martabak manisnya.
"Sesok meneh, ditutup ngono loh lawange." [Besok lagi, ditutup gitu loh pintunya.]
Terdengar suara kekehan tawa mengiringi langkah Bagas beranjak pergi. Dy pikir seumur hidup ia belum pernah semalu ini. Namun, karena mengalaminya bersama Ray, entah kenapa ia merasa baik-baik saja.
***
Wening yang sedang menghidangkan teh untuk adik ipar dan suaminya mengerutkan kening, mendapati Bagas kembali ke rumah utama membawa kotak martabak manis. Sepulang dari acara sarapan ia sengaja mampir membelikan martabak itu untuk Ray.
"Loh, piye toh, Gas... kok digawa bali meneh?" [Loh, bagaimana sih, Gas... kok dibawa pulang lagi?]
Bagas meletakkan kotak itu di meja, "Mereka lagi sibuk."
"Loh iya, makane iki martabak nggo ngancani, mengko Mbok Yuni ngeterne teh." [Loh iya, makanya ini martabak untuk menemani, nanti Mbok Yuni yang mengantar teh.]
"Rasah! Uwong sibuk nganu kok diganggu." [Enggak usah, orang sibuk anu kok diganggu.] Bagas menggerakkan kedua tangan untuk menunjukkan maksudnya.
Wening langsung mencubit lengan anak bungsunya itu, "Hush!"
"Eh, beneran, jago banget loh, Bu! Kepalanya sampai—"
"Bagas!" tegur Wening.
"Mbak Lia sama Mas Riz kalah, Mas Ray sama Mbak Dy, HOT!" Bagas mengacungkan kedua jempolnya bersamaan.
"Bagaskara Respati Sutedjo!" tegur Wening dengan tambahan pelototan mata.
Ario geleng-geleng kepala ketika anak bungsunya berlalu pergi sambil tertawa-tawa, "Wes, wes, wes, bocah saiki, jan!" [Anak zaman sekarang, benar-benar!]
"Tapi memang mencurigakan kok pacarnya si Ray itu, Kakang sama Mbakyu jangan asal senang aja loh sama orang!" kata Rima sembari mengangkat cangkir tehnya.
"Kok gitu ngomongnya, Rim..." tanya Ario.
"Kemarin aku ke belakang, itu anak berdua sama-sama rambut basah coba, ora genah tenan! Iseh sore-sore banyangno!" [enggak patut sekali, masih sore-sore bayangkan.]
Wening tenang menanggapi, "Mandinya di kamar masing-masing, Rim."
Rima mengibaskan tangannya, "Mbakyu jangan terlalu polos lah, Ray itu sudah sepuluh tahun di Amerika, entah kayak apa pergaulannya... yang perempuan, orang Jakarta, semuda itu mau-maunya sama duda, beda usia jauh gitu, dibawa-bawa ke sini, nginep bareng di rumah belakang... walah-walah, kelihatan banget jualannya."
"Rima," tegur Wening.
Ario menghela napas, "Mereka datang baik-baik, Rim... di sini juga mereka baik-baik sama semuanya, Dy itu bahkan ikut bantu persiapan acara, Ray apalagi."
"Ya sudah sewajarnya kalau Ray bantu-bantu Kakang sama Mbakyu." Rima menyesap isi cangkirnya perlahan. "Bukan apa-apa loh, memangnya sudah ditanyai itu Ray sejauh apa sama pacarnya sampai bawa-bawa nginep sini? Itu orang tua pacarnya Ray sudah tahu? Kakang sama Mbakyu dikasih tahu enggak soal begitu?"
Wening dan Ario saling pandang, mereka memang belum bicara banyak.
"Nah kan, belum! Ck! Kebiasaan kok, Kakang sama Mbakyu ini selalu terima-terima aja kalau soal Ray... kalau ternyata itu pacarnya, perempuan enggak benar kan memalukan! Enggak susah sekarang cari perempuan cantik, ramah, kenes, manja-manja... canggih sekarang itu, kenalan lewat internet, biro jodoh yang berbalut prostitusi terselubung—"
"Rima, itu kelewatan," kata Wening.
"Loh, Mbakyu ini sudah bukan issue lagi, nyata terjadi! Makanya toh, kalau diajak plesiran, jalan-jalan keluar Yogyakarta itu ikut."
"Ray bukan orang yang mau bermain-main kalau menjalin hubungan, Dy juga bukan perempuan yang seperti kamu omongkan itu... mereka orang baik-baik, kelihatan dari caranya saling memperlakukan, dari kepeduliannya, Amelia saja senang loh lihat mereka berdua," kata Wening dan diikuti anggukan suaminya.
"Iya, Rim... kamu itu jangan cepat panasan atau curigaan sama Ray, anak itu baik, enggak pernah neko-neko dari dulu, waktu sama Amelia memang enggak jodoh saja dan sekarang mereka sama-sama bahagia," kata Ario lalu mengambil cangkir tehnya dan minum.
"Ya, pokoknya, apapun itu aku sudah peringatkan Kakang sama Mbakyu, ya..."
Wening menghela napas dan memilih berlalu ke dalam rumah, mengambil piring untuk memindahkan potongan martabak manis.
***
"Jangan minta maaf," kata Dy setelah beberapa saat dan Ray melepas pelukannya.
"Tapi—"
"Jangan!" larang Dy lalu mundur, duduk di pinggiran tempat tidurnya. "Bagas mengadu enggak ya, dia ke depan kan?"
"Mengadu, dia senang kalau laporan soal begitu."
"Duh, malu banget kalau ketemu ibu."
Ray duduk di samping Dy, "Nanti aku aja yang ambilkan makan siang."
"Ya tapi enggak sampai segitunya terus menghindar."
"Soalnya, kelihatan Dy."
Dy mengerutkan kening sembari menoleh, "Maksudnya?"
Ray mengalihkan pandangannya ke pintu yang terbuka, "B... bengkak, bibirmu."
"Hah? Kok bisa?" Dy kembali ke depan meja rias untuk berkaca, "Astaga, jadi seksi bibirku, kok bisa sih, Ray? Ih, baru sadar, kebas juga..."
Kalimat-kalimat spontan dan polos itu membuat Ray tidak kuasa menahan diri, ia begitu saja tertawa sampai sudut matanya nyaris berair. Dy menyadari tindakannya, ketika kembali duduk di samping Ray langsung memukul tidak serius ke lengan.
"Jahatnya ngetawain!"
"Katanya penulis romance, masa—"
"Ini praktik pertamaku ya, Ray... terus ini gimana bibirku?"
"Enggak gimana-gimana, ditunggu sampai balik lagi seperti semula."
"Aku enak dicium ya soalnya? Makanya tadi lama."
Ray tertawa lagi, "Itu pertanyaan macam apa sih, Dy?"
"Tapi sampai cium aja ya, Ray."
Tawa Ray berhenti dan kembali serius menatap Dy, "Ya?"
Dy tersenyum, menangkup wajah Ray sembari mengelus pipinya lembut, "Thank you, for giving me the best second kiss, ever."
Saat Dy kemudian sudah bersikap biasa, beralih mengambil ponsel dan membalas pesan. Ray mendapati dirinya menatap gadis itu dengan memikirkan bahwa setelah ciuman pertama dan kedua yang mereka bagi, ia menginginkan semua hitungan ciuman Dy adalah miliknya.
***
Dy menyelesaikan dua setengah bab tulisan ketika akhirnya meregangkan tubuh dan menutup laptopnya. Jam di ponselnya menunjukkan pukul setengah delapan malam, sepanjang siang dan sore, Dy memang sibuk mengetik. Ray memenuhi janjinya untuk membawakan makan siang, tapi setelah beberapa sendok, Dy kembali fokus mengetik.
"Dy..." panggil Ray.
"Ya?" sahut Dy dan handel pintu kamar bergerak.
"Mau jagung bakar enggak?" tanya Ray.
"Mau, beli di mana?" tanya balik Dy sembari beranjak ke pintu yang terbuka.
"Rizuki ajak barbeque, Bapak tadi sore beli jagung."
"Oh, ayo! Aku suka bakar-bakar... ada daging enggak? Beef cubes?"
Ray tertawa, "Aku kayaknya tahu maksudnya peringatan Rian, waktu aku bilang ke teman-temanmu kalau mau mentraktir grill set di café Choky."
"Ih, ngapain traktir-traktir segala?"
"Ya aku mau, mereka jelas teman yang menyenangkan buatmu," kata Ray lalu menahan saat Dy sudah melangkah ke pintu. "Sebentar, Dy."
Ray masuk ke dalam kamarnya dan keluar membawa jaket yang langsung dilingkupkan ke punggung Dy. Mendapati perlakuan manis itu Dy tersenyum, memeluk lengan Ray ketika berjalan keluar rumah.
"Walah iya loh, seng arep dadi manten malah kalah lengket!" [Walah, iya loh, yang mau jadi pengantin justru kalah mesra.]
"Ngerti ora, jare Bagas ngonangi mau isuk lagi ngono kuwi! Wes jan, wingi Amelia, saiki Bagas!" [Tahu tidak, katanya Bagas memergoki tadi pagi baru begituan! Benar-benar, kemarin Amelia, sekarang Bagas.]
"Isuk-isuk? Ora umum tenan polahe!" [Pagi-pagi? Enggak patut sekali sikapnya.]
"Eh, eh, ngerti ora, jare seng wedok kui, wedokan ora bener! Dodolan!" [Eh, eh, tahu tidak, katanya yang perempuan itu perempuan enggak benar! Jualan!]
"Jare sopo? Tenane?" [Kata siapa? Yang benar?]
"Mau aku krungu dewe, diomongke karo Ndarane, seng wedok ora jelas asale, gaweane nemplok wae!" [Tadi aku dengar sendiri, dibicarakan sama tuan rumah, yang perempuan tidak jelas asalnya, kerjaannya menempel saja!]
"Lah, uwong baguse ngono kuwi, sopo seng ora nemplok!" [Lah, orang tampan begitu, siapa yang enggak nempel.]
"Loh yo bedo! Iki jelas geleman." [Loh ya berbeda! Ini jelas murahan.]
Dy mengerjapkan mata ketika telinganya menangkap obrolan-obrolan itu, ia memandang Ray penuh tanya. "Itu mereka ngomongin aku maksudnya?"
"Siapa?" tanya Ray, ia sedang membalas chat dari Jae-in.
Dy menoleh menatap kerumunan pegawai yang langsung berlalu ke area sumur. Ray mengikuti arah pandang Dy, keningnya ikut mengerut bingung.
"Gosipnya berubah, Ray... udah bukan tentangmu."
"Aku udah enggak peduli."
Dy tahu itu, bahkan Ray bisa benar-benar tidak berekspresi ketika beberapa orang jelas membicarakannya. "Bagas ngomong apa sih ke bapak sama ibu, soal yang tadi pagi?"
"Enggak ngomong, pakai gerakan tangan." Ray geleng kepala mengingat ledekan itu diarahkan padanya sepanjang acara makan siang. "Aku juga kena tegur ibu, seharusnya memastikan pintu beneran ditutup."
"Heh... ibu kok malah ngomong begitu?"
"Ibu kan pernah muda juga, Dy."
"Ya ampun malu-maluin banget kita."
"Bapak sama ibu itu tipe yang santai tapi harus tahu aturan... makanya mau sibuk ngapain aja, tapi kalau saatnya makan ya makan, istirahat ya istirahat. Kalau kerja ya yang benar, kalau belajar ya yang tekun, kalau berduaan ya jangan kebablasan sebelum menikah."
"Pantesan Kak Riz kalau berduaan sama Mbak Lia juga dibiarkan."
"Soalnya yakin enggak bakal kebablasan, tahu aturan itu tadi."
Amelia yang menyadari kedatangan mereka dan langsung melambaikan tangan pada Dy, "Sini, Dy... bikin saus dulu buat bumbuin dagingnya."
Dy langsung melepaskan Ray, "Aku ke Mbak Lia ya."
"Iya." Ray berlalu dan duduk di samping Bagas yang sedang menusuk jagung dengan potongan bambu. Ray memperhatikan para orang tua duduk di gazebo sembari menikmati teh. Rizuki dan Kang Man menyiapkan api sekaligus alat pemanggang.
"Nyari siapa, Mas? Tuh, Mbak Dy sama Mbak Lia," kata Bagas.
"Tadi pagi waktu mengadu ke ibu soal aku sama Dy, terus jadi bahan obrolan ya?"
"Aku dimarahi ibu gara-gara lihat, padahal bukan salahku, orang Mas—" Bagas berhenti bicara saat sadar Ray memandangnya serius, Ray ingin jawaban yang lugas tanpa ditambahi detail tidak perlu. "Aku langsung masuk kamar, teruskan edit foto tapi Tante Rima kayaknya curiga sama Mbak Dy. Habis makan siang tadi nanya-nanya aku tahu enggak Mbak Dy kuliah di mana, kerjanya apa, Mas Ray kenalnya gimana, heboh waktu tahu dari aplikasi kencan."
"Kenapa memangnya?"
"Tante Rima curiga soal Open BO gitu, tapi sudah ditegur ibu kok, Mas."
"Apa itu Open BO?"
"Booking Online, Mas."
Ray mengerutkan kening,"Booking apa memangnya, Gas?"
Bagas melongo, "Mas Ray jauh-jauh ke Amerika, Open BO enggak ngerti."
Ray tidak mengubah air mukanya dengan suatu pengertian.
"Oalah!" Bagas lebih dulu meletakkan jagung dan bambu ke wadah, baru berbicara lirih untuk memberi tahu,"Open BO itu istilah booking online untuk perempuan panggilan, bisa main virtual, bisa diajak ngamar beneran."
"Hah, jadi maksudnya? Tante Rima curiga kalau Dy..." Ray sampai tidak bisa meneruskan kalimatnya. Itu seburuk-buruknya dugaan dan ia tak bisa menerimanya.
"Tapi sama Ibu dibelain kok Mas, enggak mungkin Mbak Dy begitu, terlalu smart."
"Ya memang enggak! Astaga!" Ray benar-benar terkejut.
"Soalnya Mbak Dy walau ramah-ramah gitu juga enggak banyak ngomongin diri sendiri gitu loh, Mas... enggak ngomongin keluarganya juga, waktu ibu nanya orang tuanya kerja apa di luar negeri, Mbak Dy jawabnya pekerjaan perfilman, ditanya film apa, sama Mbak Dy dijawab film biasa, terus alihkan pembicaraan."
Dengan Ray juga, Dy tidak bicara banyak tentang orang tua dan bahkan masih menolak mengenalkan.
"Tapi yang penting Mas Ray tahu kan soal keluarganya Mbak Dy?" tanya Bagas.
"Hah, oh, iya... aku jemput Dy di rumahnya langsung, aku tahu beberapa cerita tentang keluarganya juga," jawab Ray dengan ringisan, ia baru menyadari bahwa sama sepertinya, Dy juga membangun pertahanan atas hal-hal yang belum bisa dia bagi.
***
"Tuh, lihat, beda banget kelakuannya," kata Rima pada Ario dan Wening yang duduk bersamanya menikmati teh di gazebo.
Para anak juga beberapa pegawai yang belum pulang tampak seru barbeque, membakar jagung, ubi sampai irisan daging. Dy tampak cekatan memanggang daging, memotong-motongnya, menunjukkan cara makan dengan dibungkus selada dan membuat orang-orang mengikutinya. Dy tidak terlihat canggung saat menyuapi Ray, membersihkan noda saus dari dagu atau bibir Ray. Pasangan itu terlihat berbeda dengan Amelia dan Riz yang makan sambil mengobrolkan sesuatu di komputer tablet dengan serius.
"Ray kelihatan nyaman saja kok," kata Wening, suka melihat Ray banyak tertawa.
"Walah, Mbakyu, memangnya Lia sama Riz kelihatan enggak nyaman? Mereka nyaman, tapi bisa menempatkan diri, enggak norak! Sithik-sithik nemplok, ndulang, ngelapi, koyo ora nduwe tangan dewe wae." [Sedikit-sedikit menempel, menyuapi, mengelap, kayak enggak punya tangan sendiri saja.]
Ario coba menenangkan adiknya,"Lha uwong kuwi senengane dewe-dewe kok, Rim." [Lha orang itu kesenangannya masing-masing kok, Rim.]
"Oh lha iyo, dadi lanangan aku yo seneng ditemploki wedokan ayu!" [Oh lha iya, sebagai lelaki aku juga senang ditempeli perempuan cantik.] Rima melirik sinis ke arah Ray yang sedang merapikan jaket di punggung Dy. "Tur yo delok-delok kahanan, iki neng ngendi, ono sopo wae, kuwi durung bebojoan loh, Kang." [Tapi ya lihat-lihat keadaan, ini di mana, ada siapa saja, itu belum suami-istri loh, Mas.]
"Biarkan saja, Rim... orang kelihatan rukun, cocok, saling sayang gitu," kata Wening.
Rima geleng-geleng kepala, "Bedo tenan loh, Mbakyu! Ndisek karo Lia neng-nengan koyo wong bingung, saiki... delokno galo, wes do dekepan." [Beda sekali loh, Mbak! Dulu sama Lia diam-diaman seperti orang bingung, sekarang... lihat itu, sudah saling mendekap.]
Ario menatap adiknya serius, "Rim, kowe kok ngono banget? Ray duwe salah opo karo kowe? Kok lehmu sengit koyo temenanan? Ndisek yo ora iso dibandingke karo saiki, ndisek iseh bingung, iseh isin-isin, iseh durung toto pikire... saiki luwih kendel, luwih ngerti, luwih cedak karo karepe piye! Bocahe seneng, ora ganggu liyane, mbok yo dinengno wae!" [Rim, kamu kok segitunya sekali? Ray punya salah apa sama kamu? Kok kamu kayak benci segitunya? Dulu enggak bisa dibandingkan dengan sekarang, dulu masih bingung, masih malu-malu, belum menata pikirannya... sekarang lebih berani, lebih mengerti, lebih dekat sama kemauannya seperti apa! Anaknya senang, enggak mengganggu lainnya, sudah dibiarkan saja.]
"Loh aku ngene mikirke keluargamu loh, Kang! Nek jebule wedokane kae tenan ora bener, mengko sek isin sopo? Yo, Kakang!" [Loh, aku begini karena memikirkan keluargamu loh, Mas! Kalau ternyata itu perempuan enggak benar, nanti yang malu siapa? Ya, Mas.]
"Rim, memangnya tahu dari mana sih? Kalau Dy perempuan enggak benar? Ada buktinya? Jangan sembarangan ngomong, nanti kalau dia tersinggung, terus marah, minta pulang, bikin Ray ikut pulang, kamu loh yang tak suruh tanggung jawab," kata Wening lalu bersedekap. "Aku juga tahu kalau sikapnya Ray beda waktu sama Dy, jauh bedanya kalau dibanding dulu waktu sama Lia, tapi yang sekarang ini lebih sesuai! Ray banyak ketawa, kelihatan tenang, bisa ngobrol banyak! Seperti Lia ke Riz, seperti pasangan yang sebenarnya."
"Dua-duanya sudah bahagia sekarang, Ray sama Dy, Lia sama Riz, yang dulu-dulu sudahlah enggak usah diungkit terus!" pungkas Wening dengan wajah serius.
Ario segera merangkul istrinya, mengelus-elus pundak dengan lembut. Rima mendengkus, kemudian memilih bergeser untuk turun, ia kaget mendapati Ray berdiri tak jauh dari gazebo, membawa piring berisi ubi bakar yang masih mengepulkan asap.
"Besok pagi kalau masih ada yang ngomongin Dy sebagai perempuan panggilan, perempuan enggak benar, perempuan enggak jelas, apalagi menyindir-nyindir enggak sesuai faktanya, aku enggak akan membiarkan," kata Ray lalu menatap bapak dan ibu yang menunjukkan raut dukungan.
Rima menatap sebal, "Ya makanya kalian itu kalau enggak mau diomongin, enggak mau jadi bahan gosip, bertingkahnya yang benar!"
"Mau bertingkah benar kayak apa kalau pikiran udah jelek, udah kotor, enggak ada gunanya! Kalau Tante khawatir aku sama Dy kebablasan, silahkan ikut tidur di rumah belakang."
"Halah, males!" gerutu Rima dan memilih berlalu pergi memasuki rumah.
Ray membiarkan sebelum menghela napas untuk duduk di pinggir gazebo, mendekatkan piring yang dibawanya, "Maaf ya, Pak, Bu... soalnya enggak bisa dibiarkan kalau Dy disebut macam-macam, Dy sungguh perempuan baik-baik."
Wening mengelus lengan Ray, "Enggak apa-apa, Le, memang perlu diingatkan itu! Tenang ya, Ibu percaya kok sama pilihanmu, enggak mungkin aneh-aneh."
Ario mengangguk setuju dan menatap Ray, "Kalau sudah cocok, jangan ragu-ragu ya, biar Bapak sama Ibu nembung langsung ke orang tuanya Dy."
"Eh, Bapak sama Ibu?" tanya Ray, tidak menyangka mendengar itu.
"Loh ya memang mau siapa? Kamu itu punya keluarga ini, Ray... punya Bapak sama Ibu. Ojo kok nembung, ngangkatke omah-omah sisan, iseh tekan Bapak." [Jangankan melamar, membuatkan acara pernikahan sekalian, masih sanggup Bapak.]
Ray tersenyum, "Terima kasih, Pak... tapi karena Dy masih muda, hubungan kami juga masih baru, enggak mau buru-buru."
"Iya, pokoknya begitu sudah yakin, langsung ngomong ya," pinta Wening.
"Fokus sama Amelia dulu, Bu," kata Ray karena sadar diri bahwa ia belum bisa menjanjikan apapun kepada orang tua asuhnya ini terkait Dy.
"Oh, kalau itu fokus terus, tinggal hitung hari ini..." kata Wening, ia menambahkan senyum saat memperhatikan Dy terlelap di samping Amelia. Rizuki menyelimuti keduanya.
Ray mengikuti arah pandang Wening, "Oh, tidur, tadi masih ngobrol sama Lia."
"Ya sudah, sana, dipindah... kasihan kalau nanti masuk angin," kata Ario.
"Iya." Ray segera pamit dan membangunkan Dy.
"Kenyang banget aku, Ray... merem sebentar aja," kata Dy tanpa membuka mata.
"Enggak ada merem sebentar, nanti makin lelap enggak jadi bangun."
"Aku enggak papa tidur sini," kata Dy semakin mendekat pada Amelia yang terlelap.
"Perasaan tadi ditinggal masih ngobrol," kata Ray, mengambil tissue untuk membersihkan noda kecap di dagu Dy.
"Lia yang rebahan duluan, terus Dy ikutan, eh bablas dua-duanya," kata Rizuki sembari menghabiskan jagung bakarnya. "Ngomong-omong Dy udah dua kali bersin tadi."
Ray memperhatikan hidung Dy yang terlihat memerah, "Dy... bangun."
"Engg..." Dy menanggapi dengan merapatkan selimut.
"Mau hujan," kata Bagas saat angin yang bertiup membawa hawa dingin yang lembab.
Rizuki yang langsung bergegas menggendong Amelia kembali ke rumah. Ray lebih dulu memastikan jaketnya terpakai dengan benar, baru menggendong Dy. Di tengah perjalanan Ray merasakan kepala Dy bergerak, menghela napas di dadanya.
"Bau favoritku yang baru... baunya Ray," gumam Dy dengan wajah tersenyum.
Ray membalas dengan menundukkan kepala, mencium puncak kepala Dy, ikut menghirup bau favoritnya yang baru.[]
--
Vitamin bibir, udah
Jadi bau favorit, udah
Rencana pelaminan, belum
ckckckckckk gimana sih Ray, sama aku aja apa? YUK!
#AshaFabianWedantaHaris
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top