20 | Dy's friend

Dy Madia updated new profil picture...

Ayaka Rashi: Uwooo... tsakep banget Dyyy

Yumna Talitha: Aaww, jadi ini hasil menyatu bersama alam kemarin?

MAMA: cantik anak Mama, jadi makin kangen.

Dy tersenyum ketika esok hari mengubah foto profil chat-nya dan langsung mendapatkan tanggapan dari orang-orang terdekatnya. Semalam ia melihat hasil olah digital dari Ray dan langsung menyukai semuanya. Bukan hanya karena dirinya terlihat bagus di foto, namun juga komposisi warna disekitarnya yang menakjubkan.

Febrian Gautama: Apaan nih? Lagi di mana lo?

Dy Madia: Hahaha lagi liburan, Yan.

Febrian Gautama: Serius? Wah kacau, gue tinggal sibuk sebentar aja udah pada cabut enggak ajak-ajak!

Dy Madia: gue sendirian kok, Yan, sekalian riset buat proyek tulisan

Febrian Gautama: Sendirian? Jangan bercanda deh, Dy

Dy Madia: Iya, beneran, sendirian... Selasa, gue balik.

Febrian Gautama: Di mana sih, lo?

Dy Madia: Rahasia, gue enggak mau disusulin ya, mau fokus

Febrian Gautama: Ortu lo? Yumna sama Ayaka tahu kan lo pergi ke mana?

Dy Madia: Papa sama Mama lagi di Swedia, Yan

Dy Madia: Yumna sama Ayaka tahu kok, gue chat sama mereka terus

Febrian Gautama: Ohh ya udah, enjoy your holiday deh

Febrian Gautama: kalau kangen, bilang ya, My baby Dy ;)

Dy Madia: I'm an adult, not a baby or even your baby.

Febrian Gautama: wkwkwk eh, berarti lo enggak kencan lanjutan dong sama si fotografer itu?

Membaca chat terbaru itu Dy memutuskan untuk tidak membalasnya, ia langsung keluar aplikasi agar seolah sudah terlanjur offline dan tidak sempat membalas. Dy juga memilih mode diam ketika membawa ponselnya keluar kamar.

"Loh, kok sarapannya diantar ke sini?" tanya Dy saat mendapati Ray membawa nampan dengan sepiring nasi goreng dan teh hangat.

"Iya, Tante Rima ajak orang rumah nyari sarapan diluar, terus aku sama Bagas mau lanjutkan foto-foto kemarin," Ray meletakkan nampan itu di meja. "Maaf ya, aku secara sepihak bilang kalau kau sibuk mengerjakan tulisan."

"Oh, memang iya sih, aku dapat beberapa revisi dari Lissa..."

"Beneran? Soalnya aku enggak tenang, memikirkanmu keluar sama Tante Rima, meski yang lain pasti akan menjaga tapi—"

"It's okay..." sela Dy dengan penuh pengertian dan membuka kembali ponselnya, menunjukkan email dari Lissa Young. "Nih, aku dapat revisi, rencanaku juga setelah sarapan mau pamit juga buat mengerjakan ini."

Ray memperhatikan dan tersenyum, "Oke, sarapan aja dulu."

Dy segera duduk, lebih dulu meminum tehnya sebelum menyendok nasi goreng. Sembari mengunyah, Dy baru tersadar. "Loh, kalau orang rumah sarapan di luar, terus ini sarapan siapa yang urus?"

"Aku yang buat, Bagas kangen, pengin nasi goreng buatanku."

"Serius, ini buatanmu?" Dy tidak menyangka, rasanya enak.

"Iya, ada simbok sih, tapi karena Bagas pengin ya aku buatkan."

"Enak loh, beneran deh."

"Dimakan kalau gitu, aku mau ambil kamera sama laptop buat kirim gambar."

"Pakai laptopku aja, nanti sekalian buat aku kerja," pinta Dy dan Ray mengangguk, mengambil laptop dari kamar Dy. "Eh, kenapa gambarnya enggak dikirim lewat chat?" tanya Dy saat Ray melangkah ke kamarnya sendiri, mengambil kamera.

"Ada penurunan resolusi, jadi lebih aman pakai email," jawab Ray dari dalam kamar.

Dy makan sembari mengamati Ray menyambungkan kabel ke kamera dan kemudian tampak kebingungan memeriksa ke sekeliling laptop Dy.

"Kenapa?" tanya Dy.

"Ini buat sambungan kabel data," jawab Ray tidak menemukan lubang yang sesuai.

"Oh, dilepas aja memory card-nya, selotnya ada di bawah," jawab Dy dan ketika Ray memandangnya dengan bingung, ia bergeser untuk menunjukkan. Laptop Dy memang bukan keluaran terbaru, beberapa lubang untuk sambungan kabel juga sengaja tidak diaktifkan.

"Silahkan, Pak Ray... bisa dipilih gambarnya," canda Dy dan Ray terkekeh.

"Aku enggak familiar sama laptopnya." Ray beralasan saat menggeser kembali laptop tersebut ke hadapannya. Memilih beberapa gambar lalu membuka halaman internet.

Lagi-lagi Dy memperhatikan Ray tampak kebingungan, beberapa kali memeriksa ke ponselnya sendiri.

"Kenapa lagi?" tanya Dy.

"Kenapa enggak nyambung internetnya? Wifinya aktif," tanya Ray.

"Oh iya, laptopku sambungan internetnya limited access melalui ponselku, aktifkan lagi aja tethering-nya." Dy menyodorkan ponselnya.

Ray menatap ponsel Dy, "Apa itu tethering?"

Pertanyaan itu membuat Dy urung menyuap nasi goreng, "Ya?"

"Aku enggak ngerti, Dy."

"Itu menyambungkan koneksi internet dari ponsel ke laptop," kata Dy dan mendapati wajah Ray tidak menunjukkan pengertian sama sekali. Ia mengambil kembali ponselnya dan menggeser laptop , memastikan koneksi internet tersambung sebelum mengembalikan laptop ke hadapan Ray.

Ray geleng kepala saat menyadari Dy menahan tawa, "Selama ini aku memang selalu terima beres, Dy... dan aku benar-benar enggak familiar sama laptopmu."

"Pakai laptopmu sendiri pun enggak bakal ngerti cara tethering," kata Dy, yakin.

Kali ini Ray tertawa, ia memang tidak mengerti. "Aku ngerti kalau sambungan wifi tinggal masukkan password, atau pakai LAN cable tinggal disambungkan ke lubangnya."

Dy berlagak bertepuk tangan, "Ya ampun, keren banget."

"Ssttt... habiskan makanannya," kata Ray lalu fokus mengetikkan alamat situs.

"Perlu didikte enggak alamat emailnya, Pak Ray?" Dy meledek lagi.

Ray mengingatkan lirih, "Sekali lagi meledek, beneran ya, Dy... awas aja."

Dy tertawa dan memutuskan menyelesaikan sarapan. Begitu email terkirim, Ray melepas memory card dari laptop Dy. "Itu tethering-nya harus dimatikan enggak?"

"Coba bisa enggak." Dy membuka kunci ponsel dan menyodorkannya pada Ray.

Ray menerima ponsel itu dan menggesernya untuk mencari tulisan tethering. Tapi belum sempat menekan ikon apapun, ada rentetan chat masuk yang langsung terbaca olehnya.

Febrian Gautama: DY! UDAH GILA LO YA?

Febrian Gautama: Ayaka barusan gue cecar dan dia akhirnya cerita.

Febrian Gautama: Crazy! Gue susulin lo sekarang juga.

Febrian Gautama: Lo harus kasih alamat dalam sejam, atau gue telp Bu Lina

Ayaka Rashi: Dyy, maafin gue, kelepasan bilang ke Rian soal lo sama bapak duda

Ayaka Rashi: Gue bakal usahain biar Rian enggak gila telepon ortu lo, so sorry...

Dy memperhatikan Ray terpaku menatap ponselnya. "Kan bingung kan..." ia tertawa.

Ray menyodorkan ponsel dan begitu Dy melihat rentetan chat yang terpampang di layar segera merebutnya. Astaga! Apa yang terjadi di Jakarta.

"Ini... aku, Ra—"

Ray segera menyela, "Orang tuamu sama sekali enggak tahu tentang apa yang terjadi? Enggak tahu tentangku sama sekali?"

Dy menelan ludah, "Enggak masalah... orang tuaku di luar negeri."

"Aku pikir, karena orang tuamu di luar negeri, kau sendiri yang meyakinkan mereka untuk mengizinkanmu berangkat ke Yogyakarta bersamaku."

"Santai saja, enggak masa—"

"Itu masalah, Dy! Temanmu saja panik, bagaimana dengan orang tuamu?" sela Ray dan menggelengkan kepalanya. "Aku akan bicara sebentar sama Bagas, tapi saat kembali aku mau disambungkan untuk bicara pada orang tuamu."

"Hah?"

Ray beranjak, sekalian membawa nampan berisi piring dan gelas bekas sarapan Dy.

***

Mampus! Gerutu Dy dan segera memikirkan cara untuk bisa mengatasi situasi. Ia tidak mungkin menyambungkan Ray kepada orang tuanya. Apalagi membiarkan lelaki itu mengaku bahwa dia mengajak Dy pergi ke Yogyakarta dan selama ini mereka tinggal bersama. Jati Madia benar-benar akan terbang kembali ke Indonesia dan mungkin besok sore sudah sampai di rumah ini untuk menuntut penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dy berpikir-pikir sejenak dan ketika menemukan satu solusi yang lebih memungkinkan, ia segera mengetik ke grup chat teman-temannya.

GHOST TEAM

Dy Madia: Guys, gue akan kenalkan kalian ke Ray

Dy Madia: Gue akan buktikan bahwa gue enggak gila dan Ray bisa dipercaya

Dy Madia: Sejam lagi, kita video call ya.

Dy Madia: Please jangan bawa-bawa soal orang tua

Dy Madia: Situasinya bukan Ray ngelariin gue atau gimana, gue yang memutuskan ikut dia, secara sadar, tanpa paksaan dan gue juga perempuan dewasa, gue bisa jaga diri

Pacifico Kitaro: Ok.

Yumna Talitha: Gue sama Ayaka udah di jalan, mau ke apartemen Rian

Yumna Talitha: Tenang, Dy, enggak akan kita biarkan si Rian bertingkah

Dy menghela napas lega, setidaknya dua teman perempuannya bisa memahami situasi dan mau memihaknya. Sepuluh menit kemudian, Ray kembali ke rumah belakang. Dy segera bergeser, memberi tempat untuk Ray duduk di sampingnya. Mendapati layar laptop Dy belum tersambung dengan panggilan apapun, membuat Ray langsung bertanya.

"Kenapa belum disambungkan?" tanya Ray.

"Dua temanku masih perjalanan ke rumah temanku yang chat tadi," jawab Dy.

"Teman? Aku mau bicara ke orang tuamu, Dy."

Dy menggeleng, "Enggak, mereka belum perlu tahu soal kita."

"Temanmu sampai menyebutmu gila, Dy."

"Hanya karena mereka belum mengenalmu, karena itu kita akan bicara sama-sama."

"Aku lebih suka bicara pada orang tuamu langsung."

Dy menatap Ray, "Papaku bukan tipe santai kayak bapak, Ray... aku akui, aku dapat izin pergi ke Yogyakarta karena beralasan bahwa aku akan menggantikannya untuk hadir di pernikahan Mbak Lia, aku enggak bilang pergi bersamamu, apalagi sebagai pasanganmu."

"Dan selama menginap di sini, apa yang kau katakan pada mereka?"

"Aku memang bilang mau liburan sambil mengerjakan tulisanku, aku bilang dapat penginapan rumahan, di air bnb banyak dan mereka enggak curiga." Dy mendapati raut wajah Ray masih murung. "Aku yakin kita bisa buat teman-temanku mengerti, mereka pasti akan segera sadar kalau kau bisa dipercaya dan aku pun enggak gila karena melakukan ini."

"Kekhawatiran mereka masuk akal, Dy."

"Mereka berlebihan, situasi ini terjadi bukan karena kau melarikan aku atau bagaimana."

"Kalau aku orang tuamu, aku akan merasa terluka dengan situasi ini, Dy."

Dy tahu itu, tapi bicara jujur pada orang tuanya juga bukan hal tepat dilakukan sekarang. Saat membuat kesepakatan, Dy membutuhkan bahan untuk tulisannya, ia diambang putus asa karena belum juga mendapatkan ide. Bersama Ray semua itu teratasi bahkan Dy sudah mulai mengerjakan bab-bab krusial di ceritanya.

"Aku bermaksud menjalani kesepakatan ini dengan tenang, Ray... orang tuaku pasti kecewa kalau tahu, karena aku senekat ini demi tulisan, but it's really important to me. Aku suka pekerjaanku dan aku ingin menyelesaikan ceritaku." Dy mengembuskan napas perlahan, mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya. "Suatu saat nanti aku yang akan mengakui semua ini pada mereka, tapi enggak sekarang, apalagi dalam waktu dekat ini."

"Itu akan membuatku menjadi lelaki yang enggak punya etika."

"Enggak, situasi ini terjadi karena kesepakatan yang aku—"

"Situasi ini terjadi karena kita membuat kesepakatan, karena aku butuh pasangan dan aku memilihmu untuk melakukan ini, aku yang membawamu ke sini, Dy." Ray menatap Dy dengan serius. "Aku membawamu, saat orang tuamu enggak di rumah, tanpa sepengetahuan mereka... situasi itu saja sudah cukup sebagai alasan kenapa aku harus bicara pada orang tuamu, terlebih lagi dengan tambahan situasi bahwa aku ini duda, lima belas tahun lebih tua darimu dan—"

"Dan kalau orang tuaku nanya apa alasanmu menjelaskan? Mau jawab apa? Ini bukan hubungan yang mendapatkan jaminan masa depan, remember?" sela Dy mengingatkan Ray dan memperhatikan chat masuk dari Yumna bahwa mereka sudah siap. "Kau sendiri yang bilang bahwa enggak bisa memberiku harapan lebih, seharusnya kau juga enggak mengatakan apa-apa yang bisa memunculkan harapan pada orang tuaku... dan enggak perlu serius-serius, anggap saja aku ini kayak gadis muda biasa, aku bisa sedikit nekat, atau nakal juga."

"Kadian!" tegur Ray.

"Aku serius, Ray... aku enggak pengin memperumitnya, aku juga enggak suka hubungan yang jadi beban. Sudah cukup memusingkan mengatasi rasa sukaku sendiri, iya kan? Kalau masih ditambah dengan harus mengatasi pikiran apalagi desakan orang tuaku juga, aku enggak bisa." Dy meraih tangan Ray dan menggenggamnya. "Please, aku benar-benar ingin menjalani semua ini dengan tenang, antara kita saja, ya? Enggak akan ada masalah, Ray."

Ray menghela napas, menatap panggilan masuk yang muncul di layar laptop.

"Kapan orang tuamu kembali ke Indonesia?" tanya Ray.

"Eh, kalau enggak dipercepat masih sekitar sepuluh hari lagi sih."

Ray mengangguk, "Saat mereka pulang, aku akan menemui mereka."

"What! Ray, astaga, panjang lebar aku ngomong apa enggak—"

"Terima itu," sela Ray dan mengubah arah duduknya menatap laptop.

"Kita akan bicara lagi soal itu nanti," kata Dy lalu menggeser cursor dan mengklik tautan sambungan, dalam hitungan detik layar menampilkan wajah-wajah teman Dy.

"Aaaaakkkkk..." Ayaka langsung berteriak heboh.

Tentu saja itu membuat semua orang terkejut, sampai Ray dan Dy reflek memundurkan diri. Febrian langsung menegur dengan menoyor bagian belakang kepala Ayaka.

"Kaget gue, Ka!" omel Febrian.

"Gue juga kaget, astaga, ganteng banget! Gila, lo lihat dong!" Ayaka menunjuk-nunjuk ke arah Ray dengan penuh semangat.

Dy mencoba tidak malu dan segera bergumam, "Ray... maaf ya."

"It's okay," balas Ray lirih.

Yumna tertawa-tawa, "Hahaha, dasar gila... enggak bisa pencitraan sedikit, by the way halo... em, panggilnya apa nih enaknya?" 

"Apa aja, asal jangan sayang, udah jatah gue soalnya," jawab Dy.

"Panggil Ray saja," sahut Ray langsung.

"Oke, Ray, eh sebentar itu Choky kayaknya, bukain sana, Ka."

Dy baru menyadari ternyata teman-temannya berkumpul di apartemen Febrian dan Choky yang terakhir datang.

"Hai, Dy, lo sehat?" tanya Choky saat ikut duduk di samping Yumna.

"Sehat, lo makin subur di layar sini deh."

Choky nyengir dan gantian menatap Ray, "Oh, hai, Pak—"

"Pak Pak, emang Bapak lo! Panggilnya Ray, dodol!" sela Ayaka cepat.

Choky tertawa, "Oh, oke... eh, kita harus kenalan juga enggak sih?"

Dy menepuk kening dan segera menunjuk satu per satu temannya di layar, "Febrian, panggil Rian aja, terus Ayaka, terus Yumna, Choky."

"Hai, salam kenal," kata Ray.

Febrian dan Choky mengangguk sementara Yumna dan Ayaka tersenyum-senyum sendiri memandangi Ray. Menyadari itu Dy geleng kepala, beruntung Ray sepertinya tidak peduli.

"Yan, lo beneran belum aneh-aneh, 'kan? Telepon Mama?" Dy langsung bertanya.

"Belum, tapi bukan berarti gue enggak memikirkan opsi itu, ya, Dy... lo juga tetap harus ngasih tahu dimana lo tinggal sekarang, jadi—"

"Griya Nglinggo Regency, sisi barat kawasan perkebunan Tedjo's Tea Herb, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta... begitu sampai di bandara, bisa langsung naik taksi, mereka pasti tahu tempat ini," jawab Ray tanpa ragu.

"Kalau takut naik taksi, dijemput Ray aja bisa enggak?" tanya Ayaka.

"Tolong ya, Ka, lo bahkan berani nyamperin ojek pangkalan di Jakarta," omel Dy lalu kembali menatap Rian, "Dan gue di sini tinggal sama keluarganya Ray, jadi enggak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali."

"Tinggal sama keluarganya apaan, kata Yumna lo dapat rumah berduaan doang."

"Pavilion dua kamar, gue udah menegaskan itu tadi ya, Yan," kata Yumna.

Choky menatap Ray, "Ray, tahu enggak merk krim malamnya Dy?"

Ray mengerutkan kening sembari menggeleng, "Kenapa aku harus tahu?"

"Pertanyaan lo aneh deh, Ky," omel Dy, kenapa pula itu ditanyakan.

Choky hanya mengangguk, "Enggak sekamar mereka, Yan."

"Sialan!" sebut Dy karena sadar Choky menanyakan itu hanya untuk menguji.

"Dy pakai La Prairie, Ray... sepaket yang Platinum Rare," kata Yumna.

"Itu harganya saingan harga dp mobil, jadi jangan langsung terpesona kalau pagi-pagi mukanya Dy udah glowing gitu, it's all about skincare routine." Ayaka mengimbuhi.

Ray tertawa mendengar itu, selama ini ia pikir Dy bukan gadis yang repot melakukan perawatan. Wajah Dy terlihat selalu cantik dalam situasi apapun, bahkan bangun tidur.

"Woy, apaan sih." Dy malu juga dengan acara too much information ini.

"Tapi siapa tahu, selama di sana Dy enggak pakai night cream, makanya Ray enggak tahu," kata Febrian dan menatap dengan selidik.

"Yan, tolong ya, gue bahkan enggak penasaran sama urusan kamar lo dan cewek-cewek yang lo bawa ke sana, jadi jangan penasaran sama urusan gue dan Ray." Dy menegaskan.

"Gue bukannya penasaran, gue cuma khawatir, sebagai sesama lelaki, gue tahu susahnya menghadapi amatir apalagi peraw—"

"Rian! Sumpah ya! Na, ini saatnya lo keluarkan koleksi paling istimewa, kuliti tuh."

Yumna tertawa dan mengacungkan dua jempolnya, "Asyik, ada kerjaan seru, sisain onderdil utamanya kali ya, buat lelang, siapa tahu groupiesnya mau beli."

"Itu ngeri, Na! Gila lo!" omel Febrian, langsung mundur, menjauhkan diri.

Choky dan Ayaka tertawa-tawa melihat Yumna kemudian membuka tas untuk mengeluarkan kotak berisi pisau-pisau yang berkilau. Febrian bergegas pergi dari ruangan.

Ray mengerjapkan mata, "Tell me, it's not real, iya 'kan?"

"No, it's real, sharp weapons... setara ketajaman pisau bedah."

"What?" Ray ngeri melihat teman Dy santai bermain-main dengan pisau tersebut.

"Oh iya, Ray, gue belum kasih tahu kayaknya ya... jadi kami satu geng penulis gitu dan gue spesialis genre gore, criminal case, thriller, otak gue bisa memproses ratusan cara pembunuhan paling rapi sampai paling sadis." Yumna tersenyum lembut ke ujung pisau di tangannya. "I love sharp things, dan biasanya sisi terkelam gue muncul kalau sahabat gue kenapa-kenapa... jadi tolong baik-baik jagain Dy di situ ya?"

"Oh, sure, don't worry about it." Ray mengangguk.

Dy tertawa, "Yumna bercanda kok, sikapnya semanis wajahnya itu."

"Iya, Ray, tenang aja, Yumna under control kok... yang sebenarnya akan kami lakukan kalau Dy kenapa-kenapa cuma persoalan viral di media sosial aja sih... jadi sekalinya profil lo muncul di media sosial, langsung trending topic, keren kan?" kata Choky.

Ray menggeleng, "Dy kayaknya aku akan memulangkanmu segera aja, ya."

"Enak aja," kata Dy lalu dengan santai bersandar di lengan dan bahu Ray, "Mereka tuh bercanda, aku juga enggak mau lah trending topic."

"Ya ampun, dilihat aja nyaman banget ya, Dy... gue jadi pengin," kata Ayaka.

"Sini, Ka... gue jelas lebih empuk," kata Choky, menyodorkan bahunya.

"Males," tolak Ayaka dan kembali tersenyum-senyum pada Ray.

Ray menyipitkan mata, "Eh, enggak mau ikutan kasih ancaman tertentu?"

"Enggak dong, aku masuk RayDy's team pokoknya, tenang aja..."

"Ohh, thank you, emm... Ayaka ya tadi namanya?" Ray memastikan.

"Boleh kalau mau panggil baby." Ayaka mengedipkan mata.

"Ka, sumpah ya, punya gue!" protes Dy membuat Ray berpaling untuk tertawa.

"Posesif amat," ledek Yumna sembari memasukkan kotak koleksi pisaunya ke dalam tas. "Sabar ya, Ray... soalnya, belum pernah pacaran sama sekali, jadi gitu deh."

"Itu beneran? Belum pernah pacaran sama sekali?" tanya Ray kembali menatap laptop.

"Pernah nembak gue, terus gue tolak sih," kata Choky.

"Ih! Ngigo deh!" protes Dy dan mendapati Febrian kembali mendekat.

"Belum pernah pacaran aja, Dy risetnya udah macem-macem," kata Febrian sambil duduk di tempatnya semula. "Demi riset juga kan, dia mau ikut ke situ?"

"Ohh, iya, soal pekerjaanku."

"Tolong dibantu ya, Ray, soalnya kita bingung tentang jenis riset begitu... terutama yang sebangsa ular," kata Febrian dan yang lain tertawa-tawa.

Seharusnya Dy menyadari bahwa Febrian menggiring topik obrolan ke arah yang salah. Tapi Ray dengan tenangnya tetap menanggapi.

"Sebangsa ular? Ada jenis ular yang secara khusus pengin diketahui?"

Dy menggeleng, dia lebih tertarik dengan primata untuk bahan ceritanya.

Febrian berdecak, "Dih lupa dia soal ular modern."

"Hah?" Dy bengong mendengarnya, rasanya situasi ini tidak asing.

Ray mengerutkan kening, "Ular modern?"

"Iya, yang katanya Dy cuma bisa memanjang atau membesar."

Dy teringat dan langsung menjangkau layar untuk menurunkannya, masih terdengar suara tawa tergelak teman-temannya. Karena memalingkan wajah tidak cukup untuk menyembunyikan rasa malu, Dy beranjak memasuki kamar, membanting pintu.

Ray butuh waktu sampai tersadar kenapa Dy melakukan itu. Ia meneggakkan layar dengan gelengan kepala, "It's really embarrassing joke, guys..."

"Hahaha, sorry... mana si Dy?" tanya Febrian.

"Masuk ke kamarnya," jawab Ray dan kemudian menatap empat wajah yang sejak tadi jelas menunjukkan kepedulian pada Dy. "Jadi, karena sudah berkenalan, aku harap aku sekarang bukan sosok yang terlalu asing... dan tentu saja, soal ancaman tadi serius atau tidak, aku mengerti tanggung jawabku soal Dy... I liked her, I know how precious she is, as your friend, as a daughter for her parents and sure, I'd like to see you guys when we came back to Jakarta."

Choky tersenyum lalu mengeluarkan sesuatu dari kantung kemejanya, sebuah kartu nama yang kemudian didekatkan ke web cam, "Gue punya café di daerah Kemang, Grill and Chill café, kami biasanya nongkrong di sana."

"Oh, apartemen sewaanku enggak jauh dari situ, aku tahu café itu juga, aku pernah makan di sana saat..." Ray mengerjapkan mata ketika menyadari satu hal, terutama ketika memperhatikan Yumna yang sedang memainkan ponsel. "Oh, God! What a destiny."

"Ya?" tanya Ayaka dan Febrian bersamaan.

Ray segera menggeleng, "Bukan apa-apa, tentu... kami akan kembali tiga atau empat hari lagi, kita bisa makan sama-sama."

"Sekadar memastikan, siapa yang akan mentraktir?" tanya Choky.

"Aku, tentu saja, grill set menu?" tawar Ray.

Yumna, Ayaka dan Choky meneriakkan yes bersamaan, sementara Febrian geleng kepala. "Dengar, itu emang menyenangkan, tapi seriously... itu menu termahal di sana."

"It's okay." Ray mengangguk dengan yakin.

Febrian menghela napas, "Well, yah, setidaknya aku sudah mencoba mengingatkan."

"Tenang, Ray, gue kasih bonus extra sauce nanti," janji Choky.

"Enggak usah lo bonusin, kalau saus emang free refill, setan!" omel Febrian.

Ray tertawa, "Oke, sampai ketemu saat itu."

Ayaka melambaikan tangan, "Nice to meet you, Ray... salam buat Dy, ya."

Yumna juga melambaikan tangan, "Selamat lanjut liburan lagi, kalian berdua."

"Bilang Dy, kalau gue minta maaf ya," kata Febrian.

"Bilang Dy juga soal kita janjian makan grill set, itu menu favoritnya." imbuh Choky

Ray tersenyum, "Oke, thank you and nice to meet you, too..." []


--
Ray dan teman teman Dy [done]
Ray dan orang tua Dy [ . . . ]
Wakakaka kira-kira dalam situasi apa gregetnya untuk mempertemukan Ray dan orang tuanya Dy. Mendadak trending topic terus ketahuan? Atau mendadak disusul ke acara nikahan dan jeng... jeng...  lihat Dy mejeng jadi pager ayu dan pager bagus bareng Ray. WAKAKAKA EPIC!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top