2 | Dy Madia


"Membosankan," gumam Dy sembari mengempaskan diri, berbaring di tempat tidurnya. Ia meraih ponsel, memeriksa di grup chat, tidak ada obrolan yang menarik. Keempat temannya masih sibuk membahas aplikasi kencan online, MadamRose. Choky yang pertama kali mengenalkan aplikasi tersebut, memberitahu bahwa ia mendapatkan teman kencan yang sangat menarik. Dy geleng kepala mengingatnya, apa menariknya berkencan online.

"Yang jomblo sejak lahir nggak akan mengerti sensasinya."

Dy langsung memejamkan mata, teringat ejekan itu diarahkan kepadanya semalam. Memangnya kenapa jika jomblo sejak lahir? Itu artinya kesuciannya terjaga, jiwa dan raga. Dy bukannya tidak tertarik berpacaran, tapi sebenarnya untuk apa orang-orang melakukan itu? Jika seseorang memberi jawaban; pacaran untuk merasakan debaran masa muda, memangnya selama ini jantung mereka tidak berdebar? Pacaran untuk pendekatan yang lebih serius, apanya pendekatan yang lebih serius jika enam bulan kemudian justru memilih berpisah. Dy tidak merasa pacaran ada untungnya, kecuali untuk playboy semacam Febrian Gautama, teman satu gengnya, yang menjadikan pacaran sebagai ajang riset.

"Riset, riset..." gumam Dy saat teringat ia punya pekerjaan.

Dua tahun menjadi ghost writer untuk Lissa Young membuatnya benar-benar sibuk. Lissa adalah manusia penuh ide dan rencana, tapi malas untuk menuangkannya dalam kalimat untuk membuat cerita tersebut utuh. Kali ini Lissa ingin membuat cerita perjalanan sepasang kekasih dan semalam memutuskan bahwa pekerjaan sepasang kekasih itu adalah fotografer alam liar. Dy tidak habis pikir kisah romantis macam apa yang bisa diolah dari pasangan yang mengendap-endap ke dalam lumpur untuk memotret reptil.

"Wildlife photography," kata Dy sembari mengetik ke kolom pencarian ponselnya.

Ada banyak gambar hewan yang kemudian menghiasi layar ponsel Dy, ia menggulirkannya hingga terhenti di sebuah foto, diberi judul 'winner' itu adalah foto yang diambil dari kompetisi merpati balap di Belgia. Sang fotografer berhasil mengabadikan burung pertama yang melalui garis finis. Kepakan sayapnya terlihat sangat kuat, ekspresi si burung pun terlihat tajam, terpotret lurus dengan garis finis di bawahnya. Harus Dy akui, itu memang foto yang sangat menawan. Ia membaca keterangan foto lebih lanjut, melongo saat mendapati foto tersebut terjual seharga seratus ribu euro, satu koma tujuh milyar rupiah.

Dy segera bangun dari tidurnya, manusia macam apa yang bisa menghasilkan uang sebanyak itu karena sebuah foto. Dy membaca artikel tersebut lebih teliti, menemukan nama sang fotografer, Ray Haris. Ketika mengetik nama tersebut di laman pencarian, ada lebih banyak lagi foto-foto hewan menakjubkan. Ular berwarna terang, kawanan gajah, kalajengking berwarna keemasan, rubah merah yang ia pikir sudah punah, berbagai burung yang tampak asing. Pria itu langganan mengisi sampul majalah satwa terkenal di seluruh dunia bahkan pernah diliput secara eksklusif oleh Geograpict.

Nama Ray Haris juga dikaitkan dengan fotografer alam liar terkenal dunia, Joel Rouse. Dy berdecak-decak, mencoba mencari tahu lebih banyak. Tapi sialnya selama satu jam kemudian yang terus Dy lihat hanyalah foto hewan, ia harus membayar jika ingin melihat liputan eksklusif di Geograpict, ia tak punya kartu kredit untuk mengurus hal itu. Dy mencoba-coba mencari di laman pencarian lain, tapi informasi pribadi tentang Ray Haris benar-benar nihil.

Tak ingin berputus asa terlalu cepat, Dy memilih mencari tahu tentang Joel Rouse, pria lima puluh delapan tahun itu sudah malang melintang di dunia fotografi alam liar, puluhan kali mengadakan pameran fotografi dan sebagian besar penghasilannya digunakan untuk konservasi. Joel Rouse termasuk sosok yang kerap terliput media, Dy membaca setiap berita tersebut dan terdiam membaca berita terbaru, Joel memiliki proyek fotografi wildlife Asia dan Indonesia adalah salah satu tujuan lokasi pengambilan gambar. Joel menyebutkan bahwa beberapa fotografer akan bergabung untuk proyek tersebut, salah satunya Ray Haris.

Dy berdecak kagum, sekian kali ia melakukan riset untuk sebuah cerita dan baru kali ini merasa benar-benar tertarik untuk mewawancarai narasumber secara langsung. Sial, ia tak punya modal kepercayaan diri yang cukup untuk mengirimkan surel pada Joel Rouse, apalagi kepada Ray Haris yang sosoknya amat misterius.

***

Grill and chill café, Kemang.

Dy memandang dua sosok perempuan yang terlihat begitu sibuk dengan komputer tablet masing-masing. Si gadis harajuku berambut biru elektrik namanya Ayaka Rashi, dulu dia juga seorang ghost writer sampai akhirnya menerima pekerjaan sebagai penerjemah novel berbahasa Jepang. Si gadis dengan rambut sebahu, berwajah imut, berbadan layaknya gadis SMP adalah Yumna Talitha, tidak akan ada yang menyangka bahwa gadis dengan wajah dan aura positif itu bisa menjabarkan adegan gore yang bergitu realistis.

"Hoi," sapa Dy sebelum mengempaskan diri ke kursi sofa tunggal di samping kanan Ayaka. Dy juga langsung mengeluarkan komputer tabletnya sendiri.

"Dy menurut lo kalau gue bikin narasi usus dua belas jari terburai, lambungnya ikut pecah nggak sih?" Yumna begitu saja bertanya.

Sebelum menjawab Dy mengingatkan diri sendiri untuk tidak memesan menu spaghetti, "Tergantung, terburainya karena apa, Na."

"Senjata pembunuhnya gunting rumput, mutilasi putus setengah badan gitu."

"Kalaupun nggak pecah, lambung bisa ikut robek sih dengan situasi begitu."

Yumna mengangguk-angguk, "Gemes banget gue nulis yang ini, detektifnya dibuat agak bego gitu, jadi ada kekacauan TKP segala macam."

"Dy, kapan bokap lo mau bikin TERROR versi bahasa Jepang?" Ayaka ganti bertanya.

"Dia penginnya versi bahasa Jawa," ucap Dy.

Ayaka mendengus dan kemudian menurunkan komputer tabletnya, "Habis cerita ini gue belum dapat naskah untuk diterjemahkan lagi, sedih deh."

"Bukannya draft cerita lo sendiri udah kelar, Ka? Dilanjut aja," kata Yumna.

"Gue khawatir kalau nggak dapat jatah terbit, susah genre science fiction tuh, mana pasti tebal banget, pusing ah." Ayaka ganti meraih gelas minum di meja, menyesap jus jeruknya.

Dy mendengarkan keluhan Ayaka sambil lalu, dia punya urusan sampai bersedia keluar dari kamar dan ikut acara nongkrong dadakan Sabtu sore begini. Dy kembali membuka beberapa gambar hewan eksotik yang sudah dia tandai, mulai membaca nama ilmiah dan keterangan mengapa hewan-hewan tersebut dinyatakan hampir punah.

"Proyek lo berikutnya novel apa sih, Dy? Kok foto ular gitu." Ayaka penasaran.

"Romance," jawab Dy.

"Romance apa yang melibatkan ular begitu?" tanya Ayaka.

Yumna menebak, "Romance mistis ya, Dy... sejenis Nagin atau White Snake Legend."

"Romance modern dan itu yang lagi gue pikirin, romance modern macam apa yang terbangun dari melototin ular begini, nggak habis pikir sama proyek terbaru gue."

"Kalau romance modern ularnya juga lebih modern, Dy," sahut suara lelaki dan sosok yang Dy tunggu langsung menempati sofa di hadapannya, masih dengan cengiran lebar Febrian Gautama sengaja menunduk ke area selangkangan, "Dikurungnya pakai Calvin Klein."

"Itu sebenarnya burung atau ular sih?" tanya Ayaka.

"Bukan dua-duanya, Ka... kalau disebut burung nggak bisa terbang, kalau ular nggak melata juga, memanjang atau membesar doang," jawab Dy santai.

"Atau stuck seukuran jari kayak punya Rian, iya kan, Yan..." imbuh Yumna.

Febrian berdecak-decak sebelum menjabarkan, "Disebut burung karena dia bisa buat lo terbang ke awang-awang, dan disebut ular karena dia pintar menjelajah gua yang basah, lembab, licin." memperhatikan wajah malas ketiga perempuan di hadapannya, Febrian menambahkan, "Kapan-kapan kalau butuh riset foursome, kita main bareng ya, girls..." ia mengedipkan mata sebelum serta merta melindungi diri dengan tas ranselnya. Ketiga perempuan di hadapannya kompak melemparinya dengan gumpalan tissue di tengah meja.

"Orangnya berempat, yang pesan minum cuma dua, yang nyangkut wifi enam perangkat, lama-lama bangkrut ini café kalau pelanggannya macam lo-lo pada." Choky Stefanus, pria terakhir di geng mereka akhirnya ikut bergabung. Ada apron hitam dengan tulisan nama café yang dikenakan pria itu. "Dilarang pesan es teh, dilarang pesan nasi goreng," lanjut Choky sembari meletakkan buku menu, siap mencatat.

"Gue kayak biasanya, Choky sayang," kata Febrian mengulas senyum lembut.

"Air cucian piring dikasih es?" Choky memastikan.

Senyum Febrian menghilang, "Caramel latte, cheesy chicken burrito."

Dy tertawa, "Hot choco sama apple pie aja, Ky."

"Ky bikin menu mendoan dong, apa bakwan jagung gitu," pinta Ayaka.

"Gue sih ogah ya jajan gorengan tiga biji lima belas ribu di sini," kata Yumna lalu ikut memesan, "Gue tambah tortilla chips aja, bonusin kayak biasanya ya, Ky."

"Ini lo pada nggak makan?" tanya Choky.

"Ini masih sore, Ky." Febrian mengingatkan.

"Udah buruan kelarin pesanan kita, terus gabung sini," saran Ayaka.

Choky menyelesaikan catatan pesanannya lalu mengambil buku menu dan beranjak. Sekitar lima belas menit kemudian, Choky membawakan pesanan makanan dan minuman tersebut, setelah mengembalikan nampan ikut duduk satu meja.

"Dy, sumpah ya gue geli sama ular warna-warni gitu, lo ngapain sih dari tadi melototin gambar begitu," kata Choky saat memperhatikan layar tablet Dy.

"Cari referensi." tapi memang Dy belum mendapatkan pencerahan apapun.

"Proyek lo sendiri apa ghost?" tanya Choky.

"Ghost, selama Jati Madia masih wara-wiri di layar televisi gue nggak mau nerbitin tulisan apapun atas nama sendiri," jawab Dy sembari meletakkan komputer tabletnya.

"Kan beda genre Dy, lo harusnya percaya diri aja," dukung Ayaka.

Yumna mengangguk, "Iya, lagian bisa dimanfaatkan tuh, popularitas bokap lo."

"Nggak, sebagai penulis gue nggak mau dikenal sebagai anaknya Jati Madia, apalagi aji mumpung, numpang tenar karena trilogy bukunya bokap difilmkan."

Febrian tampak memahami pilihan Dy, "Filmnya rilis kapan sih? Kita dapat premierenya dong, siapa tahu papasan sama Asmara Abigail dan dia ngajak kenalan."

Yumna yang sedang mengunyah tortilla buru-buru meraih gelas jusnya, hampir ia tersedak. "Tingkat kepercayaan diri lo itu makin mengerikan ya, Yan."

"Lo nggak tahu sih, date gue minggu ini siapa." Febrian mengeluarkan ponselnya lalu setelah beberapa saat mengutak-atiknya, menunjukkan layar chat.

Choky segera bersiul menatap layar chat tersebut, berbeda dengan ketiga perempuan yang mengerang, menyadari ada satu lagi Barbie bodoh yang terpikat pada Febrian. "Itu beneran Gabriella Liu, selebgram itu, Yan?"

"Beneran, udah sampai sharing kode apartemennya ini, Minggu gue bolos lari."

"Kayak bakal main sampai pagi aja lo," cibir Ayaka.

"Mainnya sampai tengah malam aja, paginya dilanjut lagi." Febrian menaik-turunkan alis sembari menyeringai penuh kepercayaan diri.

"Tampang lo makin menjijikan, Yan." Dy tidak tahan melihatnya.

"Caranya nemu barang bagus gitu gimana sih, Yan?" tanya Yumna sembari mengeluarkan ponselnya sendiri. "Gue juga pengin dapat match tampang artis gitu."

"Timing, terus lo jangan nyari sekitar sini mulu! Ganti location lo ke daerah yang biasanya disamperin target, sisanya biarkan keajaiban yang mengatur."

Dy menyesap coklat panas di cangkirnya, obrolan ini lagi. Keempat temannya langsung sibuk mengeluarkan ponsel, sama-sama membuka aplikasi online dating, MadamRose. Sudah hampir sebulan ini teman-temannya itu keranjingan bermain, kedua teman perempuan Dy jelas bermain hanya untuk iseng, bersenang-senang melayani godaan di chat. Choky kadang serius sampai bertemu dengan targetnya, nonton film atau makan bersama. Febrian jelas pengguna terbaik aplikasi ini, setiap minggu selalu sukses mendapatkan kencan baru. Tapi tentu saja, kebanyakan perempuan itu berakhir sebagai sejarah partner one night stand. Febrian sudah tiga tahun menulis genre erotic romance, menggunakan nama pena Misterian, Barbitch seriesnya selalu viral. Dy kadang tak percaya ketika melihat tiga karya tulis Febrian menjadi top selling di berbagai platform kepenulisan. Febrian juga punya akun fanbase yang sangat aktif.

"Yan, gue pinjem kartu kredit lo dong," kata Dy, mengungkapkan tujuannya bersedia ikut nongkrong sore ini.

"Mau beli apa?" tanya Febrian, meski segera mengeluarkan kartu keemasan dari dompetnya, mengulurkannya pada Dy.

"Ada tayangan yang pengin gue tonton di Geograpict, berbayar... nanti gue ganti transfer ya, Yan." Dy segera meraih kembali komputer tabletnya, mengakses situs wawancara eksklusif Ray Haris dan melakukan transaksi.

"Proyek lo berikutnya apaan sih, Dy? Kok sampai riset ke Geograpict?" tanya Choky.

"Romance, lo kan tahu gue nggak bisa banyak-banyak spoiler." Dy memang terikat kontrak yang sangat serius ketika memutuskan menjadi ghost writer untuk Lissa Young, ia tidak bisa mengungkapkan siapa pemilik karyanya, apa judul bukunya, atau bagaimana plotnya. Selama ini Dy hanya berbagi bahan-bahan riset mentah seperti saat ini.

"Lo nggak akan bisa saingan sama Barbitch series gue, Dy..." Febrian percaya diri.

"Gue memang nggak berminat nulis cerita yang satu bab isinya lendir semua."

"Barbitch lo mulai kalah sama Beautiful Bastard-nya Lissa Young, Yan." Ayaka memberitahu dan Febrian menghela napas.

"Itu heboh karena selama ini Lissa dikenal sebagai penulis teenlit, begitu bikin romance dewasa ya wajar terus heboh penggemarnya."

Choky memandang Febrian, "Lo nggak ada niat gitu, Yan? Ganti genre?"

"Ini genre favorit semua kalangan, Ky... gue juga enjoy riset sama nulisnya."

Yumna mengabaikan wajah mesum Febrian, "Kali ini gue pasti bisa nebak, Dy nulis buat siapa, tinggal nyari romance yang berhubungan sama ini ular-ular."

Ayaka melirik Dy yang mengembalikan kartu kredit pada Febrian, "Ini pasti twist kalau ternyata Dy adalah ghostnya Rian."

Dy geleng kepala, "Rian nggak butuh hantu semacam gue untuk tetap misterius."

Febrian tertawa, "Dy nggak akan ngerti kelanjutan narasi menyelipkan diri ke dalam pelukan yang penuh dengan kelembutan, saat kulit kami menyatu membagi kehanga—"

"Yan, tolong ya, menggelikan!" gerutu Dy.

"Menggelikan karena lo belum nyoba, Dy... aslinya seru," kata Choky.

"Penuh sensasi," imbuh Ayaka.

"Debaran maksimal." Yumna ikut-ikutan.

Dy mengangguk-angguk, menatap Yumna yang menjilati jari-jari karena tertempeli bumbu tortilla. "Lebih maksimal mana dari perpaduan benda tajam dan daging, Na?"

Yumna mendesah, "Kalau itu bikin konslet sih, I love sharp things."

"Na, lo harus rehat dari riset psikopat itu, gue nggak sanggup kalau kita tidur bareng dan gue justru khawatir lo yang bakal nusuk gue." Febrian menggeleng-gelengkan kepala.

"Gue heran kenapa lo harus khawatir, karena kita nggak akan tidur bareng."

Ayaka tertawa lalu memperhatikan ponselnya, "Eh, ada nyangkut match satu."

"Gue baiknya hang out kemana ya, supaya dapat match yang cakep." Yumna pikir-pikir sembari memeriksa ponselnya. "Yan, lo mau nongkrong di mana?"

"Hari ini gue ngamar, Yumna Sayang." Febrian mengingatkan.

"Lo mau cabut kemana, Ky, habis shift di sini?" tanya Yumna.

"Kos, ngejar dua bab terakhir."

Yumna menatap Dy, yang ditatap langsung menunjuk komputer tablet, "Mau fokus riset supaya cepetan nulis, cepetan kelar, cepetan dapat bagian royalti, terus keliling dunia."

"Hidup butuh greget dan getaran juga, Dy..." Yumna memulai sesi mempengaruhi Dy.

"Nyatanya hidup gue baik-baik saja tanpa greget dan getaran apapun itu."

"Hidup lo kurang baik-baik saja kalau seumur ini nggak tertarik sama lawan jenis," kata Febrian lalu menegakkan tubuhnya, "Kalau lo butuh uji coba, gue bersedi—"

"Lo tuh cocoknya uji coba sharp objects koleksi Yumna," sela Dy cepat.

Yumna menjilat bibir bawahnya menatap lengan Febrian, "Yummy..."

"Sialan, merinding gue, Na!" Febrian geleng kepala dengan mimik ngeri.

Choky tertawa melihatnya, "Mainan online dating nggak ada ruginya, Dy... nggak harus ketemuan, atau serius-seriusan, just for fun."

"Iya, Dy... bisa buat riset sifat cowok juga, biar nggak monoton tokoh, segala bad boy, jerks, bastard, charming, gentle, duda keren bahkan brondong... ada nih di aplikasi ini," kata Ayaka.

Dy menghela napas, memandang teman-temannya dan menanggapi dengan satu kata yang cukup jelas, "Nggak."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top