19 | Resolutely

"Astaga, astaga... ibu baru dengar ceritanya dari Lia, Dy enggak apa-apa kan?" tanya Wening saat Dy dan Ray kembali ke rumah utama, mereka ditunggu untuk makan siang bersama. Wening langsung meraih tangan Dy, menggenggamnya lembut.

"Iya, Bu... maaf ya, Bagas jadi kena marah juga," kata Dy.

"Oalah, bocah kae— eh, anak itu, memang pantas dimarahi!" Wening beralih menatap Ray, "Maaf ya, Le... pasti kaget banget tadi."

"Iya, yang penting Dy sudah ngerti sekarang, enggak akan mengulanginya juga," kata Ray dan menatap Dy sambil tersenyum, "Iya, kan?"

Dy segera mengangguk, "Iya... ehm, kecuali kalau darurat aja, mungkin." Senyum Ray menghilang dan Dy tertawa, "Kalau darurat memang apa boleh buat, udah jangan marah-marah lagi, yuk makan..."

Ketika memasuki ruang makan, Bagas langsung beringsut bergeser ke kursi di samping Amelia. Dy tertawa menyadari bungsu keluarga itu memandang Ray dengan khawatir.

"Mbak Sri udah dijemput tadi?" tanya Dy pada Bagas.

"Udah, Kang Man yang jemput," jawab Bagas.

Ray duduk di samping Dy, berseberangan dengan posisi duduk Bagas, "Telingamu kenapa?" tanya Ray mendapati telinga Bagas agak memerah.

"Dijewer ibu, Mas..." kata Bagas dengan mimik wajah sedih.

"Ohh, bapak udah tahu?" tanya Ray pada Amelia yang langsung tertawa.

"Belum, bapak tadi pesta durian di belakang, belum sempat masuk rumah dapat telepon terus pergi sama Riz." Amelia memandang Bagas yang semakin melas di sampingnya. "Sementara masih selamat, coba kalau tadi langsung tahu, putus telingamu."

Bagas melirik Dy, "Iki urik tenan loh, njajal Mbak Dy diapakne? Balapane bareng, gur aku sek keno jewer, ora cukup diseneni." [Ini curang sekali, coba Mbak Dy diapain? Balapannya bareng, cuma aku yang kena jewer, enggak cukup dimarahi.]

"Enggak pakai dijewer bukan berarti enggak dimarahi habis-habisan." Dy membela diri.

"Padahal Mbak Dy mau sek ngejak balapan, pengin numpak jeep-ku dolan-dolan— aduh! Kok aku ditendang loh!" [Padahal Mbak Dy yang tadi mengajak balapan, mau naik jeepku jalan-jalan—]

Dy memang menendang Bagas, sekalian memberi pelototan mata. Bagas langsung mengadukan. "Mas, delokno kuwi, bar-bar banget pacarmu." [Mas, lihat tuh...]

Ray geleng kepala dan bangkit berdiri untuk menggeserkan kursi agar Wening duduk di sampingnya. Dy dan Bagas masih saling berdebat dengan bahasa pelototan mata.

Amelia tertawa melihatnya, "Kalau begini, baru kelihatan umurnya Dy ya."

Wening juga ikut tertawa, "Biar awet muda ya, Le, ya..."

"Apanya awet muda, yang ada Mas Ray malah botak, mikirin cewek bar-bar begini," kata Bagas sembari mencibirkan mulut ke arah Dy.

Dy mengangguk-angguk, membalas dengan gaya kenes, "Sebagai jomblo, memandang kemesraan kami memang terlalu menyilaukan, aku ngerti kok, pasti iri kan? Biasalah."

"Siapa yang jomblo? Dih! Aku tuh single, sengaja enggak pacaran."

"Halah, alasan, padahal—"

"Sayang..." panggil Ray menyela Dy yang langsung terdiam. "Udah ya? Bagas juga."

Keduanya langsung sama-sama diam, bergantian mengambil makanan dan menikmati makan siang dalam ketenangan yang sesekali disela obrolan tentang persiapan pernikahan.

***

Seusai makan siang, Dy menemani Amelia mengurus souvenir pernikahan. Ada dua jenis souvenir, yang diberikan untuk para pengirim kado dari luar kota atau luar negeri karena tidak bisa menghadiri acara pernikahan dan yang diberikan langsung kepada para tamu undangan yang datang.

"Jadi ini nanti dikirim ya, Mbak?" tanya Dy, menatap tea set porselen yang cantik.

"Iya, udah ada beberapa kado yang datang sejak kemarin, sedih sebenarnya karena mereka enggak bisa datang... tapi sadar juga rumahku jauh dari kota," ucap Amelia sembari memeriksa tea set, memastikan setiap cangkir dan tatakannya tidak retak.

"Terus yang untuk tamu-tamu undangan yang datang?" tanya Dy.

"Teh tiga rasa, jasmine, rosella, sama krisan... produk sendiri, baru besok diantar dari pabrik, hiasannya pakai furing aja, yang simple."

Dy mengangguk-angguk dan membantu memeriksa tea set lain, kemudian memotong kertas alamat dan membungkusnya sehingga bisa segera dikirimkan. Dy mengamati Amelia yang kerap tersenyum di sela kegiatan, juga setiap kali memandangi cincin pertunangannya.

"Pasti rasanya beda ya? Dibanding dulu?" tanya Dy begitu saja.

Amelia mengangguk, "Kalau dulu bahagianya itu kayak awang-awang doang, aku sendiri yang merasa begitu... kalau sekarang bahagianya berbalas, Riz walau kadang suka bercanda, berlagak cemburu enggak jelas, tapi aku tahu dia sayang banget."

Dy tersenyum, ia segera menyelesaikan pekerjaannya membantu Amelia dan baru beranjak ke rumah belakang karena hari sudah menjelang sore.

Keluar dari rumah utama, Dy mendapati Bagas dan Ray di pendopo, sedang memotret beberapa produk teh dengan kain jarik sebagai latarnya. Karena tertarik, Dy melangkahkan kakinya ke sana, sengaja mengambil jarak, mengamati Ray mengajari bagas cara men-setting kamera atau menentukan sudut pengambilan gambar yang bagus. Setiap kali Bagas selesai mengambil gambar, ia menunjukkannya pada Ray. Dy melihat Bagas kesenangan setiap kali hasil fotonya dipuji Ray, pun ketika hasil fotonya mendapatkan koreksi, Bagas dengan antusias kembali mencoba dengan arahan yang Ray tunjukkan.

Karena sadar diamati, Ray menoleh dan langsung memeriksa jam tangan.

"Udah mau jam setengah lima sore," kata Ray mendekati Dy, membiarkan Bagas memotret sendiri.

"Iya, aku juga disuruh ibu balik ke belakang, katanya enggak baik mandi lebih dari jam lima sore," kata Dy lalu tersenyum. "tapi aku teralihkan, seru banget sama Bagas."

"Buat website official-nya Tedjo's Tea Herb, sebentar lagi aku selesai, nanti habis mandi aku kasih lihat hasil olah digital foto-foto kemarin."

"Hah? Serius, udah diproses? Bagus enggak hasilnya?"

"Nanti lihat sendiri, mandi dulu sana."

Dy baru akan beranjak saat Bagas mendekat, menunjukkan hasil foto terbarunya.

"Bagus, tapi kayaknya cahaya mulai enggak optimal, dilanjut besok aja, Gas," kata Ray.

"Oke, aku coba edit yang tiga terakhir aja ya, Mas," kata Bagas lalu menoleh karena mendengar suara mobil memasuki halaman.

Ray dan Dy juga memperhatikan itu. Ario lebih dulu keluar dari mobil lalu diikuti Rizuki dan dari pintu penumpang belakang keluar seorang wanita dengan dandanan yang cukup heboh, setelan trendi berwarna fuschia dipadu high heels putih, berkacamata hitam, sapuan make-up di wajahnya cukup rapi meski warna bibirnya yang merah cabai itu membuat Dy bergidig.

"Tante Rima, Mas..." kata Bagas.

"Siapa?" tanya Dy.

"Adiknya bapak, kita harus kasih salam," kata Ray dan meraih lengan Dy, mengarahkan untuk berdiri di sampingnya.

"Riz langsung ke Amelia ya, Pak," kata Riz saat melangkah ke rumah utama.

Ario mengangguk dan beranjak ke pendopo, "Sudah mulai foto-foto?"

"Udah, Bapak ke mana saja? Kok lama?" tanya Bagas.

"Ajak Riz, cek rumah Sleman, terus pas mau pulang ternyata bulekmu sudah di stasiun, kami jemput sekalian... nanti keluarkan kopernya bulek ya, Gas."

Bagas mengangguk dan membiarkan ayahnya berlalu, ganti menyapa pada sosok yang melangkah mendekat. "Sore, Bulek Rima..." sapa Bagas.

"Bulek, Bulek... Tante! Orang sudah gaya banget begini."

Teguran itu hampir membuat Dy tertawa, pasalnya suara pemiliknya terdengar medok. Bagas juga langsung tertawa-tawa.

"Iya deh, Tante..." ralat Bagas lalu menyalaminya.

Rima membalas jabatan tangan itu dan menatap Dy, "Oh, siapa ini? Pacarmu, Gas?"

"Bukan!" seru Bagas dan Dy bersamaan.

Ray kembali memegang lengan Dy, "Sore, Tante... ini Kadian, pacar saya."

Dy mengangguk dan tersenyum ketika ikut menyapa, "Sore, Tante."

Rima menurunkan kacamatanya lalu mengamati Dy dengan seksama, dari ujung kepala hingga berlama-lama menatap wajah. "Pacarmu? Umur berapa? Seleramu itu enggak berubah ya? Senangnya sama yang muda-muda, ingusan."

Rentetan pertanyaan dan tuduhan sepihak itu membuat Dy terkejut, selain diucapkan dengan gamblang juga seolah tidak mempedulikan situasi. Bagas juga melongo mendengarnya.

"Dua puluh tiga, Tante." Ray tetap menjawab dengan tenang.

"Walah! Limolas taun bedone? Ck! Ora genah tenan," gerutu Rima sembari memakai kembali kacamatanya dan pergi. [Hah! Lima belas tahun bedanya? Ck! Tidak patut sekali.]

"Tante Rima tuh kenapa sih? Sensi banget sama Mas Ray," kata Bagas.

Ray tersenyum, "Biarkan aja, jangan lupa tadi disuruh bapak apa, Gas."

"Oh iya, keluarkan koper, mesti minta kunci ke Mas Riz."

"Sini, biar aku bereskan kameranya."

Bagas menyerahkan kamera dan Ray segera mematikannya, kembali ke tempat pengambilan gambar untuk memasukkan kamera itu ke dalam tas. Dy menunggu sampai Ray selesai membereskan dan mereka kembali ke rumah belakang.

"Ray, yang tadi itu..." Dy mulai mengajak bicara.

"Iya, Tante Rima memang enggak suka padaku dan enggak menutupi itu."

"Kenapa enggak suka?"

"Aku memang enggak bisa disukai semua orang, Dy."

Dy merengut mendengar jawaban itu, "Apa karena bercerai dari Mbak Lia?"

"Enggak, sejak dulu memang beliau enggak suka padaku... Jadi, kalau seandainya kalian papasan dan dia berbicara keterlaluan tolong langsung ditinggalkan aja."

"Bapak sama ibu tahu enggak sih?"

"Tahu, tapi demi kebaikan semua, jangan pernah mengadukannya, biarkan aja."

"Emm... begitu..." Dy mengangguk-angguk saja.

Ray mengelus kepala Dy lembut, "Mandi sana, sebelum makin sore... aku juga akan mandi sebelum nanti kita lihat foto-fotonya."

Mendengar itu Dy langsung tersenyum, "Oke."

***

Dy baru selesai mandi ketika mendengar suara ketukan di pintu depan, ia bergegas memakai pakaian dan beranjak untuk membukanya.

"Kenapa, Mbak?" tanya Dy pada sosok yang dikenalnya sebagai pelayan di rumah utama.

"Anu, Mas Ray dipanggil ke depan sama Tante Rima."

Dy mengerutkan kening dengan bingung, "Kenapa memangnya?"

"Kurang tahu, tapi harus sekarang gitu katanya."

"Ray baru mandi, nanti aku bilang Ray kalau dia udah keluar kamar."

Wajah pelayan di hadapan Dy langsung kebingungan, "Anu, ini masalahnya Tante Rima itu kalau menyuruh, ya harus segera gitu, jadi—"

"Aku enggak berani sembarangan masuk kamar Ray, kalau Mbak berani, silakan." Dy langsung bergeser memberi jalan masuk.

"Enggak, saya juga enggak berani, saya bilang ke Tante Rima saja." Pelayan mengangguk dan segera pergi.

Dy kembali menutup pintu, ia juga memutuskan kembali ke kamar untuk mengeringkan rambut. Baru setengah mengeringkan rambut, Dy terkejut karena mendengar suara gedoran di pintu depan. "Astaga, itu siapa sih..."

Belum pernah rasanya ada seseorang yang mengetuk dengan begitu kasar. Dy membuka pintu kamar bersamaan dengan Ray, mereka saling pandang dan bertanya dalam diam.

"Heh! Anak kurang ajar! Buka pintunya!" suara Tante Rima.

Ray yang langsung melangkah ke pintu, membukanya.

"Baru datang aku sudah mendengar kekonyolan! Pacarmu itu mengajak Bagas balapan dan kau marah-marah sampai Mbakyu menjewer Bagas? Tahu diri sedikit jadi orang!" Tante Rima langsung memarahi Ray.

"Kami menyelesaikan masalah itu saat makan siang tadi dan—"

"Dan karena Kakang baru pulang, dia baru memarahi Bagas... sementara kau di sini, enak-enak mandi berdua sama pacarmu!"

Tuduhan itu membuat Dy melongo, benar-benar tidak menyangka.

"Ray akan ke depan untuk bicara sama bapak."

"Halah! Telat! Bagas sudah kena omel! Kalau pacarmu yang enggak bisa diatur jangan marah-marah ke Bagas, dia itu yang bakal pewaris di sini, orang yang paling berhak dibela di tempat ini, jangan sok merasa masih jadi bagian dari keluarga ini!" sembur Rima sebelum kemudian beranjak pergi.

Dy memperhatikan Ray hanya membiarkan dan dia tidak tahan, langsung beranjak untuk menyusul. Ray yang sadar segera meraih lengan Dy, menghentikannya.

"Dia keterlaluan, Ray," kata Dy.

"Sudahlah, memang salahku enggak bicara dulu sama bapak tadi," kata Ray.

"Tapi Ray..." rasanya Dy masih tidak terima.

Ray menggeleng dan menarik Dy kembali ke dalam rumah, sekalian menutup pintunya.

"Enggak apa-apa, aku yang akan ke depan sebentar untuk bicara sama bapak."

"Aku juga ikut, mau lihat itu tante-tante kalau sama—"

"Jangan ikut, aku sebenarnya malu dengan situasi seperti tadi... disindir atau dimaki oleh seseorang di hadapanmu, karena itu biar aku sendiri yang hadapi ya, Dy."

Dy merengut, "Jangan dibiarkan kalau tuduhannya enggak benar, keterlaluan itu."

"Iya, aku akan bicara lebih tegas kalau keterlaluan, ya."

"Cepetan kalau gitu, aku mau lihat foto-fotonya."

"Oke," kata Ray dan lebih dulu merapikan diri sebelum pergi ke rumah utama, melihat Bagas masih merengut sementara sang ayah duduk di sampingnya dengan wajah muram.

"Oh, Le..." panggil Wening melihat kedatangan Ray.

Ray tersenyum, "Dengar-dengar ada yang dapat jeweran tahap dua."

"Apanya jeweran, aku dibawain gagang sapu, Mas!" Bagas mengadu.

"Biar kapok," kata Ario lalu menepuk tempat di sampingnya, "Sini, Ray."

Ray mendekat dan duduk, "Siang tadi sudah baikan, kok Bapak bisa tahu?"

"Gara-gara Mbak Lia, ember sama Mas Riz pas bapak masuk rumah!" omel Bagas.

"Biarin, biar kapok!" seru Amelia dari dalam, suaranya agak teredam.

Wening tersenyum, menyusul duduk di samping Bagas, mengelus lengan anak bungsunya itu, "Makanya enggak usah nantangin segala, sama perempuan lagi nantanginnya."

"Mbak Dy juga enggak nolak, langsung tancap gas dia," kata Bagas dan menatap Ray, "Serius deh, Mas, emang jago balap dia kayaknya."

"Dy bukan tipe orang yang menghindari tantangan, Gas... apalagi diledek gadis kota, bukan tipeku segala macam."

Bagas langsung meringis, "Ya, habis lemah banget, jalan di kebun aja minta gendong."

"Aku yang menawarkan diri buat gendong, Dy enggak minta."

"Eh," ucap Bagas dan langsung menyeringai, menaik-turunkan alisnya. "Wah, emang ya, dapat aja kesempata— Aduh! Ibu!"

Wening mencubit lengan Bagas dan melirik serius, "Njaluk sabet gagang sapu tenan, piye?" [Minta sabetan gagang sapu beneran, apa?]

Ario tertawa saat anaknya langsung diam, "Bapak kaget dengar Lia cerita, apalagi katanya Dy anak tunggal, mana orang tuanya sedang di luar negeri." Ario menghela napas lalu menepuk pundak Ray. "Tapi tenang ya, Bapak sudah minta pick up buat dibawa ke rumahnya Kang Man, besok Xpander yang di pabrik biar ditinggal rumah, sekalian supir—"

"Enggak usah, Pak... Dy sudah kapok, janji enggak mengulangi," sela Ray.

"Beneran kapok? Berarti enggak jadi nyoba jeep-ku?" tanya Bagas.

"Iya, jangan coba-coba kasih kunci ke dia." Ray mengingatkan.

"Siap, bos! Laksanakan!" kata Bagas menambahi dengan gaya hormat.

"Dy beneran enggak apa-apa? Kamu jangan galak, itu anak walau kelihatan riang, ramah, banyak bercanda, tapi sebenarnya lembut, halus hatinya."

Ray mengangguk, "Iya, Pak, Ray bilang baik-baik dan Dy ngerti."

"Tapi Mbak Dy kayak kaget gitu tadi pas Mas Ray marah." Bagas mengingat-ingat.

"Aku baru tadi juga marah ke dia."

"Walah, calon bucin! Budak cinta," tuduh Bagas membuat Wening terkekeh.

"Ya, biarin toh, Masmu bucin, orang yang dibucin juga sepadan."

"Tuh, dengar kata Ibu," ucap Ray, senang karena dibela.

Mereka mengobrolkan beberapa hal sampai Ray kemudian pamit, teringat punya janji untuk memperlihatkan hasil foto-foto kemarin bersama Dy. Ray baru berbelok menuju rumah belakang saat tahu Tante Rima menunggu.

"Langsung show off ya? Mau menunjukkan kalau masih diterima di keluarga Sutedjo?"

"Tante, pernikahan Amelia itu acara yang sudah lama diharapkan sama semuanya dan aku datang untuk memenuhi permintaannya... aku enggak masalah kalau Tante enggak suka sama keberadaanku, tapi tolong sama-sama menahan diri." Ray melangkah dan berdiri tepat di hadapan Rima. "Dan tolong hati-hati kalau bicara di depan pacarku, kalau aku lihat dia terluka karena Tante ngomong hal yang enggak benar... aku juga enggak akan membiarkan."

"Jangan pikir aku—"

"Jangan pikir aku selama ini memilih diam atau terus membiarkan, itu berarti aku enggak bisa atau enggak berani melawan... kalau aku mau, aku bisa buat Tante dipulangkan sama bapak ke Solo lagi!"

Setelah mengatakan itu Ray beranjak pergi, tidak peduli dengan omelan serta gerutuan yang terdengar di belakangnya. Memang sudah saatnya ia mengambil sikap.[]

--
Jadi pas masih awal-awal cerita aku lihat ada yang komentar kalau Bagas bakal jadi saingannya Ray, wakakaka bukan yha... mereka ini justru sama-sama suka sama Ray. Kalau Dy suka Ray sebagai lelaki, kalau Bagas sebagai kakak atau saudara. Tenang yha, Dy itu saingannya sama kepercayaan dirinya Ray sendiri, pffttt~ 

Oh, iya, karena ini sering ditanyakan... ada berapa bab rencananya? Nah jawabannya: 0.99% Match ini rencananya akan tamat versi wattpad di Bab 28, terus karena akan diterbitkan, untuk bonus di buku rencananya ada 2 extra part: 1 part POV Dy & 1 part POV Ray. Oh iya, buat yang belum ngerti, POV itu point of view, jadi nanti rencananya pakai sudut pandang orang pertama versi Dy dan versi Ray. Apa yang Dy rasakan atau Ray rasakan, lebih bisa dipahami.

Oke, ketemu lagi hari Rabu ya :D
Selamat berakhir pekan. 사랑해

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top