16 | First kiss

Dy terbangun karena mendengar suara obrolan di luar kamar. Suara Bagas dan Ray membahas tentang editing foto, Dy menuruni tempat tidur lalu berjingkat-jingkat mengintip dari celah pintu kamar. Bagas dan Ray duduk di depan laptop, keduanya mengedit sebuah foto, tepatnya Bagas yang mengedit dan Ray menunjukkan beberapa pengaturan hingga tampilan gambar di layar menjadi lebih jernih.

Karena tertarik dengan apa yang dilihatnya, Dy buru-buru ke kamar mandi. Ia mandi cepat, berpakaian dan hanya menyisir rambut sekenanya sebelum keluar dari kamar membawa ponselnya.

"Loh, kok tinggal sendirian? Tadi kan ada Bagas?" tanya Dy saat menghampiri Ray.

"Dia harus siap-siap jadi kru antar jemput, orang tua dan keluarganya Rizuki datang buat acara pengajian nanti," jawab Ray lalu menutup laptop.

"Eh, aku mau nanya-nanya soal edit foto..."

"Mau nanya apa?"

Dy mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan recorder, Ray tersenyum menyadari itu.

"Foto-fotomu yang jadi cover majalah itu melalui proses editing atau enggak?" tanya Dy.

"Emm... menurutmu olah digital dan editing itu sama enggak?"

"Maksudnya? Olah digital ya editing kan?"

"Kalau aku, olah digital enggak sama dengan editing, olah digital itu sebatas perbaikan kualitas foto, tonal dan warna tanpa mengubah keaslian objek foto... sementara editing, itu memasukkan unsur perubahan, penghilangan sampai penambahan pada objek foto."

Penjelasan itu membuat Dy paham, "Oh, berarti foto-fotomu yang di cover majalah itu melalui proses olah digital?"

"Ya, selalu, tapi untuk editing yang mengubah warna hewan, menghilangkan atau menambah sesuatu itu enggak pernah... Joel amat kritis juga tentang hal ini, dia hanya melayani majalah-majalah yang menghargai karya foto mendekati original seperti yang kami buat."

"Oh, oke, ngerti... tapi kalau yang bukan produk majalah, apakah melakukan editing?"

"Kalau klien menginginkannya, maka ya... aku pernah diminta memotret putra pengusaha Dubai bersama harimau peliharaannya, ketika kutunjukkan hasilnya dia ingin warna bulu keemasan harimaunya lebih dipertajam, dan kulakukan editing untuk itu."

"Kau melayani pemotretan personal semacam itu juga?"

"Hanya jika ada hubungannya dengan Joel, aku sering disebut sebagai Joel Agent's... dia mengajariku lebih banyak tentang fotografi alam liar, dia memberiku pekerjaan dan dia juga yang mengenalkan aku dengan klien-klien semacam itu."

"Joel Rouse, dia amat terkenal."

"Terkenal, gigih dan baik... dia menyerahkan hampir semua keuntungan pameran untuk konservasi."

"Apa kau berencana melakukan itu juga?"

Ray berpikir sejenak dan menggeleng, "Aku berusaha sebijak mungkin menggunakan plastik, memilih kendaraan umum dan menghemat air... tapi untuk beramal di tingkat yang Joel lakukan itu belum sanggup, aku harus memastikan Ara sejahtera, bisa melanjutkan hidup, baru setelah itu aku bisa lebih egois memikirkan kepentinganku."

Dy memilih mematikan recordernya, "Kalian hidup bersama selama ini, kenapa enggak melanjutkan hubungan ke arah... you know?"

"Hubunganku dengannya bukan semacam itu, bersama Ara itu seperti mengurus diriku sendiri tapi versi perempuan, tiga belas tahun lebih muda, dan lumayan pemberontak."

"Chaos," komentar Dy singkat.

Ray mengangguk, "Exactly, dan bagi Ara, aku enggak lebih dari sekadar mesin uang."

"Biasanya orang keberatan jika diibaratkan dengan hal semacam itu, tapi kau enggak."

"Sedikit banyak aku tahu bahwa Ara peduli padaku, atau bahwa apa yang terjadi dengan orang tua kami adalah garis nasib yang enggak bisa dihindari... tapi tetap aja ada lubang juga dalam dirinya yang enggak bisa ditutup atau diisi dan dibanding dibenci karena menyebabkan hal itu, aku lebih senang dianggap mesin uang saja."

Dy mengerutkan kening saat mendengar bagian akhir cerita Ray, "Itu bukannya kecelakaan? Kenapa kau merasa jadi penyebab?"

"Oh... ng, maksudku itu proyek orang tuaku dan karena mereka enggak bisa disalahkan, aku pihak tersisa yang menanggung hal tersebut, semacam itu," jawab Ray sembari bergegas merapikan kabel charger, memasukkannya ke dalam tas.

Itu jelas jawaban yang dibuat-buat, tapi Dy membiarkan, ia tidak berhak memaksa Ray untuk menceritakan kebenaran masa lalunya. Beruntung kedatangan pengurus rumah mengalihkan mereka, mengantarkan makanan karena Dy melewatkan dua acara makan untuk tidur. Dy baru sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul dua siang.

"Astaga, parah banget, kok aku enggak dibangunin sih," kata Dy setelah pengurus rumah kembali meninggalkannya hanya berdua dengan Ray.

"Aku coba bangunkan, bahkan ibu, ponselmu juga bunyi terus, enggak mempan."

"Masa? Astaga, parah banget, malu aku."

Ray geleng kepala, "Apanya malu, orang makin pulas kayaknya tadi."

"Ya habis gimana dong, kan kecapekan disasarin sepagian di kebun teh."

"Hampir encok loh aku, Dy," ucap Ray mengingatkan gadis itu akan usahanya meminta maaf karena tidak sengaja membuat mereka tersasar.

Dy tertawa, ia memang langsung pulas begitu Ray menggendongnya tadi. "Aku berat banget ya, Ray?"

"Aku enggak akan menawarkan hal itu lagi, bahaya buat tulang punggungku."

Dy terbahak-bahak seketika, saking mengantuk dan lelahnya, ia juga tidak memikirkan keadaan Ray. "Ya ampun, maaf ya, Ray... nanti aku pijat deh, ya."

"Hah..."

"Pijatanku enak kok, aku juga bawa minyak kayu putih, tunggu aku selesai makan ya, habis itu aku pijat, dijamin mantap, jangankan encok, tulang bengkok aja lurus lagi," kata Dy lalu meraih piring dan mulai membuat suapan pertama.

Ray menggeleng, "Eng... enggak usah, maksudku... aku bercanda tadi soal encok, aku enggak apa-apa, udah biasa, kayak bawa carrier kalau kerja." Ray juga langsung beranjak membawa tas laptop ke pintu. "Aku kembalikan ini ke Bagas dulu, ya..."

Memperhatikan Ray begitu tergesa meninggalkan rumah, juga ekspresi wajah lelaki itu yang lumayan salah tingkah, seketika membuat Dy menyadari kekonyolan apa yang baru dilakukannya. Ia baru saja menawarkan akan memijat seorang lelaki! Bahkan berkelakar bisa meluruskan tulang bengkok segala, astaga!

Mencoba mengatasi rasa malu yang kemudian muncul, Dy menelan makanannya dan sebisa mungkin menahan agar tidak memukul diri sendiri.

"Kadian Madia mulai gila," keluhnya lirih.

***

Ayaka dan Yumna langsung tertawa terbahak-bahak ketika Dy akhirnya menelepon mereka untuk bercerita.

"Untung ya lo kelakarnya tulang bengkok bisa lurus lagi," kata Ayaka.

"Duh, gila deh, malu banget gue," kata Dy.

Yumna meredakan tawa dengan berdeham-deham kecil, "Benar sih kata Ayaka, untung lo kelakarnya bilang tulang bengkok bisa lurus lagi, coba bilang tulang lunak bisa tegak lagi, makin salah tingkah tuh."

Suara tawa Ayaka terdengar geli, "Emang itu tulang ya, Na?"

"Bukan, tapi bisa keras banget, heran gue."

"Woy, woy, kenapa ngomongnya jadi ke arah itu sih," omel Dy.

"Terus, si bapak duda habis kabur udah balik lagi belum?" tanya Ayaka.

"Belum, gue bingung juga kalau dia balik kudu gimana, salah tingkah banget."

"Lagian elo, Dy... emangnya pas digendong dia enggak kedengeran ada suara tulang keretek-keretek gitu?" tanya Yumna membuat suara tawa Ayaka kembali tak terkontrol.

Dy menjauhkan ponselnya untuk sementara, kedua temannya ini benar-benar.

"Salahnya si Ray juga sih, bisa-bisanya nyasarin Dy," kata Ayaka.

"Oh, jangan-jangan... itu Ray maksudnya ajak Dy menyatu bersama alam."

"Na, diem deh, lo makin ngawur aja, enggak ada ya arah yang begitu-begitu... kami penganut hubungan yang sehat dan sopan."

"Pijat adalah bagian dari hubungan yang sehat, oke deh!" canda Yumna.

"Sialan!" omel Dy, rasanya masih sangat memalukan mengingat hal itu.

"Tapi ajaib juga ya bapak duda, seumuran dia salah tingkah karena tawaran pijat doang." nada suara Ayaka terdengar begitu terheran-heran.

"Iya, Rian aja ngomongin pijat udah kayak nguap, biasa aja," timpal Yumna.

"Dia kayaknya bukan penganut jenis hubungan yang dangkal-dangkal gitu deh, dan seperti yang udah gue bilang, orangnya hati-hati... cerita tentang dirinya tapi sekadarnya, soal skinship, soal apa-apa yang harus dilakukan pasangan, gue mulu yang mulai loh."

"Kocak banget sih, kayak perawan ngajarin duda," kata Ayaka sembari tertawa.

"Kadang gue suka gemes, gue tahu nih dia pengin gandeng, pengin megang rambut gue atau rangkul gue, tapi dia selalu kayak ragu, mikir-mikir gitu... gregetan."

Yumna berdecak, "Pantesan ya, lo juga yang ngajak pijat-pijat."

"Sialan, kalau itu beneran kelepasan, astaga! Duh, awkward banget pasti nanti."

"Sia-sia banget sih kita khawatir soal lo, tahunya lo lebih ganas dari bapak duda."

Dy meringis juga mendengar kalimat Ayaka, pasalnya ia benar-benar tidak menduga bahwa Ray akan bersikap sesopan itu kepadanya. Ia terbiasa melihat atau mempelajari sikap-sikap romantis yang ditunjukkan secara nyata, dengan kecanggungan yang hampir tidak terasa antara satu sama lain.

"Keluarganya KAmelia di situ baik, Dy? Enggak anggap lo public enemy gitu?" pertanyaan Ayaka membuat Dy seketika teringat gosip-gosip pagi.

"Ray itu bahan gosip harian di sini, ada aja yang diomongin orang-orang tentang dia."

"Soal apa aja, Dy? Tapi lo enggak di-bully gitu kan?" tanya Yumna.

"Enggak, gue sama Ray sih ketawa-ketawa aja, cuma kadang gue merasa orang-orang keterlaluan juga... I mean, keluarganya Amelia bahkan welcome banget gitu loh sama Ray, kenapa coba mereka yang ribet, yang ngebahas mulu soal masa lalu."

"Loh kan emang gitu fenomena maha benar netizen dengan segala gosipnya... pihak-pihak terkait udah baik, justru netizen yang panas sendiri," kata Yumna.

"Mereka sekeluarga emang beneran baik banget gitu, Dy? Ke Ray, ke kalian? Maksud gue, pasti adalah situasi canggung juga, secara mantan suami anaknya."

"Baik banget, asli deh, kayak Ray tuh beneran anak yang lama enggak pulang... bapak, ibu sama adiknya Amelia tuh suka banget kegiatan sama Ray, soal situasi canggung kadang gue lihatnya justru ke Amelia sih, Ray jelas jaga jarak."

"Amelianya?" Ayaka dan Yumna kompak bertanya.

"Dia kelihatan peduli sama Ray, cuma ya sekadarnya juga, sama-sama berusaha bersikap baik aja sih." Dy segera menambahkan informasi, "Oh, iya, gue sama Ray akhirnya dibuatin seragam keluarga dong."

"Hah?" Ayaka dan Yumna masih kompak berseru.

"Iya, awalnya Ray nolak, tapi Amelia dan keluarganya kayak berharap gitu, jadi ya gue ikutan aja, seru kayaknya dan bagus juga nanti di fotonya."

"Kenapa kayak jadi lo yang antusias sih, Dy?" tanya Yumna.

"Udah kena pesona bapak duda, Na."

Dy terdiam dan rasa-rasanya apa yang Ayaka katakan itu tidak sepenuhnya salah. Ia bisa begitu saja menyadari apa yang mungkin Ray rasakan, atau apa yang lelaki itu pikirkan.

Terdengar bunyi chat masuk dan Dy segera melihatnya.

Ray Haris: mau es krim enggak? Ke pendopo ya.

"Eh, guys, udah dulu ya teleponnya," kata Dy.

"Udah balik tuh bapak duda?" tanya Ayaka.

"Belum, dia ajak makan es krim."

"Tahan diri lo sebaik mungkin kalau ada es krim yang netes di dagu bapak duda ya, Dy... apalagi kalau yang netes di dadanya, perutnya, terus—"

"Sssttt... bye!" Dy langsung memutus sambungan conference call sebelum Yumna menyelesaikan kalimatnya. Ia juga bergegas beranjak ke depan, sekalian mengembalikan peralatan makan siangnya tadi.

***

Dy lebih dulu mengembalikan peralatan makan siang, ia baru hendak mencucinya saat pengurus rumah sudah langsung mengambil alih, menyuruh Dy untuk langsung ke pendopo. Ternyata Ario Sutedjo menghentikan penjual es krim keliling dan mentraktir semua orang. Dy langsung tersenyum saat Ray melambaikan tangan.

"Bapak traktiran terus," kata Dy membuat tuan rumah tertawa.

"Harus sering syukuran, jangan malu-malu ya kalau mau lagi," kata Ario sebelum berlalu memanggil anak-anak yang hendak lewat, meminta mereka mampir untuk mendapatkan es krim.

"Mau coklat atau strawberry?" tanya Ray, di tangannya ada dua cup es krim, di tangan kanan berwarna merah muda, di tangan kiri berwarna coklat.

"Strawberry," jawab Dy, menerima uluran cup es krim dan duduk di samping Ray, mengamati anak-anak juga para pegawai yang mengantri. "Banyak juga ya orang di sekitar sini? Enggak sangka, padahal sehari-harinya tenang."

"Kalau keluarga ini ada acara pasti ramai sih, Bapak sama Ibu itu tokoh yang disegani, sudah gitu terkenal pemurah... bancakan enggak pernah cukup sekali."

"Bancakan?"

"Emm... nasi, pakai urap gitu, terus nanti dikasih potongan pisang raja, ada jajanan pasarnya juga." Ray menatap Dy yang mengangguk-angguk sembari menikmati es krim, "Jajanan pasar itu semacam—"

"Aku ngerti ya kalau itu, jajanan bocah yang dua ribuan itu kan?"

"Kalau zamanku dulu masih seribuan."

Dy tertawa, "Masa sih? Kirain zamanmu jajan masih pakai lima puluh perak."

"Zamanku lima puluh rupiah itu logam kuning, bukan perak, gambar komodo."

"Ini serius?" Dy tidak menyangka.

"Serius, uang logam lima puluh rupiah itu ada versi komodo, burung kepodang, sama satu lagi burung kasuari."

Dy menatap takjub, tapi memilih bertanya hal lain karena sudah penasaran, "Dulu, saat acaramu dan Amelia, seheboh ini juga?"

"Enggak, aku masih dalam suasana berkabung... belum ada empat puluh hari sejak orang tua pergi, jadi cuma acara sederhana aja."

Mereka berdua kemudian teralihkan suara Amelia berteriak dibarengi suara barang-barang terjatuh. Ray segera beranjak, Dy mengikutinya. Saat sampai di teras rumah utama, ternyata Amelia berteriak karena Rizuki bercanda mengejutkannya. Hal itu membuat Amelia menjatuhkan beberapa isi dalam kardus besar yang dibawanya.

"Kenapa, Li?" tanya Ario, yang ikut menyusul.

"Dikagetin Riz, astaga mau copot jantungku," kata Amelia meski tertawa-tawa juga dalam rangkulan calon suaminya itu.

"Orang tuaku mau datang, kamu bukannya tunggu di depan, malah sibuk sendiri," kata Rizuki sembari memperhatikan kardus besar yang diletakkan Amelia di lantai.

"Aku beres-beres kamar, mau buang barang yang udah enggak kepakai."

"Oh, itu kayaknya sudah datang," kata Ario mendengar suara orang mengatur agar mobil bisa parkir di halaman, "Panggilkan ibu dulu, terus bereskan itu baru ke depan."

"Biar aku aja, Mbak, yang bereskan, sedikit kok ini..." Dy langsung berlutut dan mulai mengambil barang-barang. Ray ikut berlutut, membantu.

"Makasih ya, Dy, nanti taruh belakang aja biar dibakar sama Kang Man." Amelia segera bergegas memanggil sang ibu, bersama-sama mereka beranjak ke pendopo.

Tidak sampai dua menit kemudian, sudah terdengar suara perbincangan akrab. Dy memperhatikan Ray yang fokus memunguti beberapa notes usang, pajangan boneka yang sudah lusuh dan beberapa aksesoris yang jelas terlalu girly untuk dikenakan Amelia yang sekarang.

"Penulis profesional memang beda ya," kata Dy lalu mengambil notes kulit dari dalam kardus, menyatukannya dengan notes-notes usang yang Ray kumpulkan.

Gerakan Ray membereskan barang terhenti, hal itu membuat Dy juga jadi ikut mengamati apa yang membuat Ray terpaku. Ada album bersampul keperakan di dasar kardus, tertutup kumpulan kliping koran yang membahas tentang karya-karya tulis Amelia.

"Ray..." panggil Dy.

Ray seperti tersadar dan segera memasukkan notes-notes juga sisa barang di luar kardus, "Biar aku yang bakar, ini sudah sore juga, mandilah... siap-siap buat acara pengajian."

Dy mengamati Ray kemudian membawa kardus tersebut pergi. Ia baru akan membuntuti saat melihat Amelia bergegas menemuinya.

"Kardusnya tadi?" tanya Amelia, ekspresi wajahnya cukup panik.

"Dibawa Ray, katanya mau dibakar kan?" tanya balik Dy.

Mendengar itu wajah Amelia semakin panik, "Duh..."

Dy langsung menahan lengan Amelia, "Kenapa, Mbak? Kasih tahu aku, biar aku yang susul Ray kalau ada sesuatu yang harus diambil."

"Ng... aku lupa, aku masukkan album foto pernikahan yang dulu di kardus, kalau Mas Ray lihat..." Amelia menggigit bibir bawahnya, "Aku enggak bermaksud untuk... you know."

"Aku akan susul Ray, tenang aja, aku yakin Ray mengerti Mbak Lia enggak sengaja."

"Lia..." terdengar suara Rizuki memanggil.

Amelia menoleh, "Tolong susul Mas Ray dulu ya, Dy... tolong ambil dan simpankan albumnya, nanti selesai acara, aku akan ngomong sama dia."

Dy mengangguk, setelah Amelia kembali bersama Rizuki, ia beranjak menyusul Ray.

Ternyata area pembakaran sampah terletak cukup jauh di belakang, setelah melewati sumur, masih harus melewati area pemotongan kayu bakar dan tidak jauh dari sana, berbatasan dengan pagar beton setinggi pinggang Ray ada area pembakaran sampah.

Dy langsung mendekat, memperhatikan Ray menyusun beberapa kayu tak terpakai ke liang pembakaran. Dy lega ketika melihat kardus yang masih utuh di dekat kaki Ray.

"Ray..." panggil Dy.

Ray yang baru akan menyalakan api langsung menoleh, "Dy? Ngapain, aku bilang—"

"Mbak Lia tadi balik, terus bilang ke aku..." Dy rasa ia tak perlu melanjutkan kalimatnya, karena sikap diam Ray sudah menunjukkan suatu pengertian.

Ray melirik ke kardus yang ada di samping kakinya, "It's okay, memang enggak sebaiknya dia menyimpan hal-hal yang enggak penting."

"Mbak Lia enggak sengaja memasukkan album itu ke sana, Ray... dia minta aku ambil dan simpankan dulu albumnya."

"Nanti bilang Lia, kalau sudah terlanjur aku bakar."

"Kok gitu?"

"Karena aku juga enggak mau, hal-hal semacam ini masih tersisa antara aku sama Lia."

"Ray..."

Ray kembali menyalakan koreknya, menyulut dengan daun kelapa kering di dekatnya dan membuat api. Ray mengatur kayu-kayunya hingga api cukup besar untuk membakar barang-barang di kardus.

Dy berjongkok di samping Ray, mencoba mengeluarkan album yang ada di dasar kardus.

"Dy," kata Ray sembari menahan tangan Dy.

"Mbak Lia bilang aku—"

"You'll always in my team and follow my choice, right?" tanya Ray menyela kalimat Dy.

Itu memang apa yang sebelumnya Dy janjikan, "Tapi ini tuh... Mbak Lia enggak bermaksud supaya jadi seperti ini."

"Aku tahu, aku kenal Lia, album itu ada di bagian paling dasar, ditutupi banyak kliping dan barang-barangnya... kalau Kang Man yang bakar, biasanya satu kardus ini langsung dimasukkan ke api, jadi enggak akan tahu apa-apa isinya."

"Mbak Lia kelihatan merasa enggak enak banget waktu sadar tadi."

"Dia seharusnya tahu bahwa aku mengerti keputusan ini, aku sendiri juga sudah enggak menyimpan apapun lagi dari masa lalu kami, it's okay."

Kalimat itu membuat Dy akhirnya menarik tangannya dari kardus, memperhatikan Ray membakar satu per satu barang di dalam kardus. Ketika sampai ke kliping terakhir dan Ray akan mengambil album, Dy menahan.

"Dy..." kata Ray.

"Boleh aku lihat?" tanya Dy.

Ray balas memandang bertanya, "Untuk apa?"

"Cuma mau lihat, kalau boleh." Dy melepaskan tangan dari album tersebut dan menunggu dalam diam.

Butuh beberapa detik sampai saat Ray kemudian membuka album tersebut, menunjukkan potret pernikahannya sepuluh tahun yang lalu. Dy mengulurkan tangan, mengelus wajah muda Amelia dalam balutan kebaya berwarna abu-abu. Ray tampak lebih kurus dari yang sekarang, namun masih tetap setampan yang Dy kenali. Mereka berdua duduk bersisihan, membagi senyum yang masih malu-malu. Melalui foto demi foto Dy bisa melihat betapa rangkaian acara pernikahan sederhana itu membawa keharuan dan makna tersendiri.

"It's really beautiful picture..." kata Dy, ia menatap Ray yang tampak biasa. Lelaki itu hanya memandang sekilas-sekilas sembari beralih halaman dan justru menatap lama ketika ada foto Ario dan Wening duduk mendampingi Ray.

"Aku akan ambil foto ini," kata Ray, melepas penahan mika dan mengeluarkan foto tersebut. Ada senyum lembut yang tercipta saat Ray memandangi foto tersebut, sesaat sebelum memasukkannya ke kantung kemeja.

"Foto yang ini enggak diambil?" tanya Dy, menunjuk foto Ray mengecup kening Amelia.

"Ini justru yang harus langsung dibakar," kata Ray dengan ekspresi serius yang membuat Dy tertawa.

"Kenapa sih? Maksudku, perpisahan kalian bukan jenis perpisahan yang buruk... kau bahkan sangat diharapkan untuk bisa memberikan restu secara langsung."

Ray terdiam sejenak sebelum mulai menutup album tersebut, "Karena itu bukan perpisahan yang buruk, maka kami berusaha sebaik mungkin melanjutkan hidup... aku tahu ada hal baik, ada hal indah yang layak dikenang, tapi bukan berarti bisa saling menyimpan memorabilia semacam ini, apalagi dalam kasus Amelia... dia sudah punya Rizuki." Ray menyodorkan album tersebut ke dalam api, "aku harap ketika dia bersama Rizuki... dia sudah membuang semua hal tentangku atau tentang kami berdua."

"Kau sendiri? Sudah membuangnya juga?" tanya Dy.

Ray mengangguk, mengambil kayu untuk mendorong album tersebut agar terlalap api.

"Saat kita berpisah nanti, apa kau akan membuang semua hal tentangku juga?"

"Apa?" tanya Ray, ia menoleh Dy untuk mendapat penjelasan lebih.

"Semua kenangan kita sama-sama? Pertemuan pertama kita yang lucu, enggak bisa bedain hijau pastel dan biru muda... terus nonton pameran, kuliah seni paling menyenangkan selama dua jam..."

Ray tertawa sembari berdiri, menepuk-nepukkan tangan ke belakang celananya. "Itu memang warna biru muda, seperti warna telur asin."

Dy ikut berdiri lalu mengikuti Ray beranjak, "Aku mau diingat ya, Ray."

"Ya?" Ray menoleh.

"Jangan buang semua kenangan tentangku..." Dy berjalan mendahului Ray, ia tersenyum. "Aku harap, saat kau membuka papan chat dan melihat setiap stiker yang ada di kotak koleksi atau memilih gambar bergerak... kau mengingatku."

Ray balas tersenyum, "Rasanya itu memang hal yang akan terjadi."

"Rasanya? Harus dipastikan dong."

"Dipastikan bagaimana?"

Dy sengaja berhenti melangkah, membuat Ray juga berhenti berjalan dan menatapnya dengan wajah bertanya. Dy memberi jawaban dengan menjinjitkan kaki, lalu sebelum Ray bisa menghindar, ia memiringkan wajah dan memberi kecupan, singkat, menempel sekilas sampai hampir terasa tidak nyata. Ray begitu terkejut hingga hanya mematung berdiri di tempatnya.

"Seseorang cenderung lebih mudah mengingat ketika dia diberi sesuatu yang berharga," kata Dy, saat menjauhkan wajah ia tersenyum memandang Ray yang terpana. "Itu tadi first kiss-ku, untukmu..." []

--
Etjia Dy first kiss sama Ray, wakaka #halah

eh, btw kalian enggak salah lihat, memang aku update lagi ini, soalnya Rabu enggak bisa update, ada jadwal luar kota sampai Jum'at, huhuw jadi aku update sekarang dan kita ketemu lagi Sabtu depan ya :') #RayDyLovers yang sabar, hitung hari demi hari sampai jumpa lagi, wakakaka

dan terima kasih banyak, aku kemarin dikasih lihat kalau 0.99% Match beberapa kali dimention sebagai rekomendasi cerita di twitter. Love it!

Selamat Nyepi untuk yang merayakan dan Semangat Senin buat besok, terutama yang enggak libur kerja :'D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top