13 | Let's just do it

"Oalah, yo iseh bagus tenan yo." [Oalah, masih tampan sekali ya.]

"Bagus nek gaweane sobo alas podo wae." [Tampan kalau pekerjaannya menjelajah hutan ya sama saja.]

"Ming mota-moto kewan, duit e sepiro, jal? Adoh-adoh nang Amerika." [Hanya memotret hewan, uangnya seberapa itu, coba? Jauh-jauh ke Amerika.]

Tadinya Dy ingin kembali tidur, tapi kelompok perempuan ini seru sekali bergosipnya, mereka membicarakan itu sembari mengamati Ray berlalu. Diantara mereka ada satu wanita tua yang hanya diam saja, rambut wanita itu telah sepenuhnya memutih dan dibanding menanggapi obrolan, fokus merajang kentang.

"Wedokane ora dijak mau, yo? Iseh turu opo piye?" [Perempuannya enggak diajak tadi ya? Masih tidur apa ya?]

"Angler paling, sakdurunge ditinggal lungo, ngeloni sek." [Nyenyak mungkin, sebelum ditinggal pergi, tidur memeluk dulu]

Kali ini Dy tidak tahan dan terkekeh-kekeh sendiri. Para perempuan itu pasti penasaran sekali dengan kehidupan pribadinya dan Ray. Dy memutuskan untuk mandi saja, berdandan sedikit, lalu keluar dari rumah. Para perempuan langsung saling membisu melihatnya mendekat.

"Hallo, boleh bantu-bantu?" tanya Dy langsung.

"Oh, ini, anu... enggak usah, kan Mbak tamu, nanti didukani— eh, dimarahi Ibu."

Dy menggeleng, "Enggak akan dimarahi, kan aku yang mau bantu." Dy langsung menatap pada wanita tua yang kini memperhatikannya. "Mbah, boleh ya, bantuin?"

Wanita tua itu menatap pada perempuan yang sedang menimba air di sumur tak jauh dari belakang rumah. "Sri, jukukno baskom kanggo ngumbah kentang." [Sri, ambilkan baskom untuk mencuci kentang.]

Yang bernama Sri langsung beranjak dan mengambilkan wadah yang dimaksud. Dy menerimanya dan langsung memindahkan rajangan kentang ke wadah, membawanya ke sumur untuk mencuci.

"Mbak namanya siapa? Pacarnya Mas Ray ya?" tanya Sri saat menuangkan air sumur.

"Panggil saja Dy."

"Oh, Mbak Dy, orang Jakarta ya? Bisa bahasa Jawa enggak?"

"Tahu sedikit-sedikit." Dy sengaja mengatakan itu agar tidak memunculkan situasi canggung jika mereka bergosip lagi.

"Kenal Mas Ray sudah lama?"

Dy menggeleng sembari mencuci kentangnya, "Belum lama kok."

"Tahu enggak kalau Mas Ray tinggalnya di Amerika?"

"Tahu, di Indonesia juga enggak lama."

"Ohh, terus nanti Mbak Dy bagaimana? Ditinggal sini apa ikut?"

"Belum tahu, belum ngobrol sampai situ-situ." Dy sengaja beralasan dan segera mencari bahan obrolan lain. "Ini kentangnya banyak banget, buat acara Mbak Amelia?"

"Bukan, ini masak untuk orang kebun, kebun teh di area sini punya keluarga Sutedjo semua... setiap hari siapkan sarapan sama makan siang."

"Oh, begitu... jadi memang makanan sudah disediakan ya."

"Sudah, sarapan sudah diantar tadi jam tujuh."

"Jadi sekarang ini persiapan untuk makan siang ya?"

"Iya, mau masak sambal kentang telur sama oseng bakmi, oh, Mas Ray."

Dy menoleh dan mendapati Ray melangkah mendekat, "Hai."

"Katanya masih mau tidur?"

"Enggak bisa, terus karena belum lapar, aku jadinya ikut bantu-bantu aja."

Dy segera menyelesaikan cucian kentangnya, meletakkannya ke tempat kering yang ditunjuk oleh Sri. Ia baru akan bertanya kenapa Ray kembali ke rumah belakang saat lelaki itu sudah menggandengnya. Mereka otomatis menjadi pusat perhatian semua orang.

"Sayang, tolong aku bawain oleh-oleh ya, sekarang."

Dy langsung bisa mendengar suara kusak-kusuk di belakangnya, ia berusaha menahan tawa, tampaknya sikap manis Ray ini semacam keajaiban. "Oh, iya, yuk."

***

"Banyak banget oleh-olehnya," kata Dy saat mengamati Ray membongkar koper.

Beberapa kaos, kemeja, sweter, bahkan tas. Dalam sekali lihat Dy bisa menebak untuk siapa saja oleh-oleh itu, kaosnya jelas untuk Bagas, kemejanya untuk Bapak, sweter untuk Ibu dan tasnya untuk Amelia.

"Tapi warna tasnya apa enggak terlalu gelap?" tanya Dy, ia merasa Amelia lebih cocok mengenakan warna-warna pastel yang lembut.

"Eh, cocok enggak sih buat Ibu?" tanya balik Ray.

"Oh, buat ibu? Kirain buat Mbak Lia."

"Buat Amelia, ini, kata Ara sih bagus." Ray menunjukkan sebuah gelang bangle dari emas putih, di tengahnya terdapat sebuah bandul huruf A.

"Oh, bagus, sederhana tapi cantik."

Ray tersenyum dan mengembalikan gelang tersebut di kotaknya, mereka memasukkan oleh-oleh itu ke dalam tas kemasan yang disiapkan dan baru membawanya ke rumah utama. Kebetulan semua orang berkumpul di ruang depan, Ray langsung membagikannya.

"Waa... ini asli nih, Mas? Tanda tangannya?" tanya Bagas ketika memeriksa kaosnya.

Dy baru menyadari bagian depan kaos tersebut ada tanda tangan, "Iya, kebetulan dia ada humanity project di Afrika waktu kami ketemu, itu satu-satunya kausku yang bersih, ingat kamu langsung aku mintakan tanda tangan."

"Gila sih, My Angelina," kata Bagas mengecup tanda tangan di kaosnya.

"Janda Brad Pitt?" tanya Dy dan Ray mengangguk.

"Bagas suka banget sama dia, sejak film Wanted."

Dy meringis, "Satu-satunya film dia yang kusuka cuma Kung Fu Panda."

Bagas mengerutkan kening, "Dia cuma mengisi suara di sana."

"That's it." Dy tersenyum lalu duduk di samping Ray.

"Bagus banget ini tasnya, Le..." suara Wening mengalihkan perhatian mereka, nyonya rumah mengelus bahan kulit halus di tas barunya.

Dy meringis, tentu saja itu tas yang bagus, GG Marmont shoulder bag setidaknya dibandrol harga dua ribu dollar. Sweternya juga, Isabel Marant Flover cable-knit wool berwarna beige, cocok dikenakan Wening yang memang berkulit putih.

"Mas, ini kan mahal banget," kata Amelia saat membuka oleh-olehnya.

"Tapi bagus, 'kan?" tanya Ray.

Amelia mengangguk dan langsung mencoba gelangnya, "Ya ampun, pamer ah ke Riz," katanya sembari menjauh untuk mengambil ponsel.

Bagas geleng kepala sembari menggerutu lirih, "Bisa-bisanya pamer kado dari mantan suami ke calon suami."

Dy yang mendengar itu hanya menoleh sembari tertawa kecil, ia tidak merasa terganggu sama sekali dengan status Ray dan Amelia. Ray jelas menjaga jarak dan sekalipun Amelia bersikap hangat, tatapan matanya terhadap Ray tidak menunjukkan ketertarikan khusus. Apapun itu yang dulu ada diantara mereka jelas telah selesai dan hanya berusaha bersikap baik satu sama lain.

***

"Pasang tratak apa maksudnya?" tanya Dy saat selesai membagikan oleh-oleh dan Ray diminta membantu pasang tratak untuk bagian belakang rumah.

"Memasang tambahan atap di belakang, nanti untuk orang-orang yang bantuin memasak, kalau di sini namanya rewang," jawab Ray lalu memperhatikan Amelia menggeser kursi untuk menurunkan kotak berisi susunan gelas. "Li, biar aku aja yang turunkan kotak gelasnya."

"Oke, dua kotak ya, Mas," pinta Amelia.

Ray beranjak untuk menurunkan kotak-kotak gelas itu, berpikir apa yang bisa Dy lakukan sementara ia harus membantu keluarga Sutedjo.

"Ini nanti dicuci dulu atau cuma dilap aja, Mbak?" tanya Dy setelah Ray menurunkan kotak pertama dan diterima Amelia.

"Oh, dicuci dulu, biar Bibi nanti yang cuci," kata Amelia.

"Yang satu biar aku bawakan, aku ikut bantu-bantu, ya? Aku bisa lap-lap nanti kalau udah selesai dicuci," kata Dy dengan suara antusias.

"Oke, langsung ke dalam aja nanti ya," kata Amelia lalu beranjak.

Ray menyerahkan kotak gelas kedua pada Dy, "Padahal aku baru berpikir, apa yang bisa kau lakukan sementara kutinggal bantu-bantu di belakang."

"Santai aja, aku 'kan pacar idaman," kata Dy sembari mengedipkan mata.

Ray mengulurkan tangan, hendak mengacak rambut Dy sebelum kemudian tiba-tiba menghentikannya, rasanya terlalu cepat untuk merasa nyaman melakukan tindakan semacam itu. Dy yang menyadari keraguan Ray, menahan tangan lelaki itu, meletakkan di kepalanya lalu tertawa menatap Ray. "Jangan terlalu banyak berpikir, Sayang... just do it."

Ray tersenyum, mengacak pelan rambut Dy, "Aku tinggal sebentar ya."

"Kalau keringatan jangan sembarangan angkat kaus ya, aku enggak mau mbak-mbak di belakang nanti histeris melihatmu angkat kaus buat seka keringat di dahi atau pipi." Dy memperingatkan dan Ray tertawa sembari menjauhkan tangannya.

"Biasanya aku malah telanjang dada kalau keringatan," canda Ray.

"Astaga, aku harusnya belajar pertukangan," balas Dy.

"Mau aku ajari enggak, Mbak Dy?" suara Bagas membuat mereka berdua teralihkan. "Yuk, Mbak, aku ajari sampai mahir dari cabut paku sampai potong kawat."

Ario yang justru menanggapi, sembari membawa dua kotak perkakas keluar dari sebuah ruangan, "Wani-wanine loh! Neng ngarepe kakangne dewe, njaluk dipacul." [Berani-beraninya loh! Di depan kakaknya sendiri, minta dipacul.]

Ray tertawa sembari membantu membawakan salah satu kotak perkakas, "Sambil aku hitung ini, Pak, nanti kalau sudah genap hitungannya, baru kasih pelajaran."

Dy beranjak menyusul Amelia ke dapur, ia menahan tawa mendengar Bagas memprotes bahwa setiap kali Ray pulang statusnya di rumah langsung berubah layaknya anak tiri, bercanda sedikit langsung kena pukul.

Amelia yang sedang mengeluarkan gelas-gelas dari kotak juga tertawa mendengar protes adiknya. "Maaf ya, Bagas emang suka berlebihan kalau bercanda."

"Enggak papa kok, Mbak... dia pasti juga kangen, makanya goda-godain gitu," kata Dy sembari ikut mengeluarkan gelas-gelas.

"Sebelum sekarang, Mas Ray cuma pernah mampir beberapa kali, waktu ada pameran di Singapura, pulang memotret dari New Zealand, sebentar banget, enggak sampai sejam." Amelia bercerita sembari meringis, ekspresi wajahnya diliputi sedikit kesedihan. "Aku sendiri, baru tadi ketemu, biasanya cuma skype atau video call."

"Oh, waktu mampir itu, enggak ketemu Mbak Lia?"

"Enggak, aku pas di Jakarta, ada jadwal promo buku."

Dy mengangguk-angguk dan memperhatikan pergelangan tangan Amelia, "Loh, gelangnya yang dari Ray tadi dilepas?"

"Riz cemburu masa? Benar-benar deh, katanya sebal keduluan Mas Ray, dia mau kasih hadiah gelang juga ternyata," cerita Amelia sembari terkekeh-kekeh.

"Ya ampun, serius tuh?"

"Iya, hahaha... padahal kalau udah ketemu juga bakal tahu, enggak ada hal yang harus dicemburui sama sekali, iya kan, Dy?"

Dy kembali mengangguk, "Tapi terkadang itu memang enggak bisa dihindari sih, rasa cemburu... bukan masalah ada atau enggak ada hal yang harus dicemburui, tapi karena sadar aja bahwa ada hal yang ternyata lebih dipahami orang lain tentang pasangan kita."

"Uuuww..." ucap Amelia takjub, "Enggak nyangka loh, seumurmu bisa ngomong sedewasa itu."

"Hahaha... penting sih ini buat mengimbangi, Ray."

"Mas Ray itu orangnya baik banget, Dy... beneran deh dan aku akan sangat bersyukur kalau kalian langgeng, terus bisa sama-sama menetap di Indonesia."

"Tapi pekerjaan Ray memang mengharuskan dia ke luar negeri sih, enggak adil juga kalau karena menikah terus dia harus menetap... Ray did amazing works out there."

Amelia mengerjapkan mata, "Oh, memangnya enggak apa-apa ditinggal gitu?"

"Sekarang sih belum kepikiran, tapi enggak tahu deh nanti-nanti... cuma, aku selalu merasa bahwa impian itu layak diperjuangkan atau setiap orang berhak menjalani impian hidupnya." Dy mengeluarkan gelas terakhir dan tersenyum, "Memotret kayaknya memang impian Ray, dan setelah kenal, lihat karya-karyanya, dengar cerita setiap penjelajahannya... itu keren banget sih."

"Itu memang keren, tapi itu juga membuat dia mengorbankan banyak hal... dan jujur saja, enggak mudah jadi bagian yang dikorbankan demi semua itu."

"Aku yakin itu enggak mudah," kata Dy, ia harus mengakui itu karena melihat Amelia yang menatapnya serius. Dalam hal yang berhubungan dengan Ray, Amelia jelas lebih mengetahui pahit-manisnya. "Mungkin pikiranku yang naif ya, Mbak... karena buatku kalau pasanganku bahagia, aku juga pasti bahagia, begitu aja."

Amelia meringis, "Percaya deh, dulu aku sempat berpikir dan merasa begitu, tapi enggak lama... karena ketika berpasangan ya apapun itu dilalui bersama, mau bahagia, mau sedih, kalau cuma sepihak aja berarti ada yang salah dalam hubungannya."

"Semoga aku sama Ray menemukan cara mengatasi semua itu ya," kata Dy, ia merasa perlu mengatakan itu agar sikapnya sebagai pasangan Ray semakin meyakinkan.

"Mengatasi semua itu dan mengatasi Ara juga," kata Amelia lalu beralih memanggil bibi untuk membantu mencuci gelas-gelas.

Dy bisa merasakan ekspresi wajah Amelia mendingin saat menyebut nama Ara, ia sebenarnya penasaran dengan apa yang terjadi dengan mereka bertiga dulu. Tapi mengingat hubungannya dengan Ray juga hanya untuk sementara, Dy pikir tidak bijak jika mengorek-orek masa lalu apalagi jika sampai membuat Ray merasa tidak nyaman dengan sikap ingin tahunya.

***

Dy membantu bibi membawakan gelas dan pitcher besar berisi es teh ke area belakang rumah, ternyata tambahan atap itu dipasang di sekitar sumur hingga mendekati teras rumah yang ditinggali Dy dan Ray. Menurut cerita bibi, acara rewang itu akan dimulai besok siang, untuk persiapan pengajian jelang pernikahan. Besoknya rewang untuk acara ater-ater selama dua hari, lalu setelah itu rewang untuk acara siraman dan midodareni. Dy hampir menanyakan mengapa tidak menggunakan jasa catering, tapi setelah mendengar banyak rencana persiapan pernikahan, ia merasa ini semacam tradisi masyarakat yang jelas masih dilestarikan.

Ray langsung mendekat dan mengambil alih nampan berisi gelas di tangan Dy, membawanya ke meja tempat pitcher besar diletakkan. Ray mengambil satu gelas dan mengisinya sebelum beralih duduk di pinggiran teras bersama Dy.

"Padahal pagi tadi dingin dan sejuk banget, kalau siang tetap panas ya," kata Dy mendapati keringat menetes-netes di wajah Ray.

"Iya, kayaknya aku harus mandi lagi, jam berapa sih ini?" tanya Ray.

"Jam setengah dua belas, masih ada waktu sih, kata Mbak Lia calon suaminya baru landing... perjalanan ke sini kalau siang katanya agak macet, bisa setengah jam lebih." Dy memperhatikan Ray mengangguk dan meminum es teh.

"Nanti makan siang biasa aja kan? Aku cuma bawa gaun dua, buat yang acara pernikahan sama gaun biasa buat jalan-jalan gitu," tanya Dy, ia ingin menyesuaikan penampilan.

"Iya, biasa saja kok, kayaknya Amelia cuma mau mengenalkan aku sama Riz, itu saja."

"Aku rasa itu akan berarti banyak sih... tadi aja katanya Mbak Lia, Riz cemburu karena tahu soal hadiah gelangmu, dia juga ternyata siapkan hadiah gelang dan merasa keduluan."

Ray mengerjapkan mata, "Masa? Wah..."

Dy terkekeh mendapati ekspresi wajah Ray yang agak bingung, "Santai aja, pasangan kadang gitu kok bercandanya, berlagak cemburu padahal ya biasa aja... nanti mereka pasti mesra-mesraan juga."

Ray mengangguk, menghabiskan es teh di gelasnya lalu mengulurkan gelas kosong itu pada Dy untuk dikembalikan, "Aku mandi dulu ya, gerah banget."

"Gerah karena cuaca kan? Bukan karena aku bilang Mbak Lia sama Riz pasti mesra-mesraan?" godanya dan membuat Ray tertawa.

"Anak kecil tahu apa soal mesra-mesraan," ledek Ray sebelum mengacak rambut Dy dan bergegas memasuki rumah sebelum Dy bisa memprotes karena rambutnya berantakan.

Dy mengembalikan gelas Ray lalu menyusul masuk rumah, ia mencuci wajah dan mengganti celananya dengan rok selutut. Dy berdandan lagi, kali ini memilih lipstick dengan warna satu tone lebih tajam dari warna bibirnya yang kemerahan. Dy juga menata rambutnya dengan model ikatan samping yang longgar di pundaknya.

Dy keluar dari kamar bersamaan dengan Ray juga membuka pintu kamarnya, posisi kamar mereka memang berhadapan.

"Wah, gantengnya." Dy langsung memuji.

Ray mengenakan kaus polo berwarna abu-abu bergaris hitam di bagian kerah dan lengan, celana jeans hitam, rambutnya yang masih setengah basah hanya disisir sekadarnya. Menurut Dy dengan penampilan itu Ray terlihat sepuluh tahun lebih muda.

"Aku enggak akan balas memuji," kata Ray meski rasanya ia betah menghabiskan beberapa jam hanya untuk memandangi Dy. Gadis yang sekarang terkekeh di hadapan Ray ini memang cantik, jenis kecantikan yang tidak membuat bosan, apalagi dengan sifat ramah dan pemikiran cerdas Dy, tidak sulit membuat seorang lelaki terpesona kepadanya.

"Kalau gitu balas gandeng aja," kata Dy sembari mengulurkan tangan.

Jika dengan perempuan lain, mungkin Ray akan berpikir ulang tapi karena Dy, ia bisa begitu saja meraih tangan tersebut dan menggenggamnya. Mereka berjalan bersama keluar rumah. "Biasanya kalau makan bareng, para perempuan menuangkan nasi atau mengambilkan lauk untuk pasangannya dulu."

"Oh ya? Terus tadi waktu sarapan?"

"Ibu yang ambilkan aku."

Dy mengangguk, "Apa kita buat pertunjukan sepiring berdua aja nanti?"

Ray tertawa lalu menggeleng, "Bisa habis diledek Bagas nanti."

"Tadi pagi waktu kenalan, dia kayak syok gitu, mendengarmu memanggilku sayang."

"Aku enggak pernah memanggil begitu soalnya."

"Bahkan waktu menikah sama Mbak Lia juga enggak?"

"Enggak."

Dy menghentikan langkahnya, "Kenapa?"

"Entahlah, rasanya aku memang enggak terlalu cocok dengan sesuatu yang seperti itu."

"Panggilan sayang tuh enggak mengenal umur sih."

"Bukan karena umur, Dy," protes Ray dan Dy tertawa-tawa lagi.

Dy sebenarnya mengerti dengan apa yang Ray ungkapkan, ia kembali melangkah untuk berdiri di samping Ray. "Aku rasa bukan karena kau enggak terlalu cocok dengan sesuatu yang seperti itu, tapi karena kau belum menemukan seseorang yang tepat untuk melakukan sesuatu yang seperti itu bersamamu."

Ray menarik sebelah alisnya.

"Karena kau selalu memikirkannya, apakah ini tepat atau enggak, apakah ini bisa dilakukan atau enggak... kau selalu merasa wajib untuk mengamankan situasinya dan mungkin mengamankan perasaanmu juga... true relationship is always want you to take a risk."

"True relationship doesn't need any risk to take."

"It does, karena itu baru terbukti berharga ketika kau mau menanggung semua risiko demi mempertahankannya, bahkan termasuk kehilangan semuanya, hanya untuk bisa bersamanya... orang yang tepat, orang yang membuatmu menyadari dunia enggak sama lagi sejak mengenalnya." Dy tertawa ketika mendapati Ray hanya terdiam memandangnya. "Tapi tentu saja, semua itu membutuhkan keyakinan yang enggak didapat dengan mudah... dan dalam persoalan kita, aku hanya berharap agar kau enggak terlalu menahan diri bersamaku, I'll always in your team, I'll always here by your side and follow your choice... so, let's just do it, whatever couple do for each other."

Ray tersenyum mendengar itu, bersama Dy ia selalu bisa membahas hal-hal yang sebelumnya hanya ada dalam pikirannya. Ray mengeratkan genggaman tangannya dan kembali melangkah, "Oke, let's just do it." []

--
*siraman danmidodareni: rangkaian acara sebelum pernikahan dalam adat Jawa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top