Trapped
Multimedia: Lily
==========
Selena, Audrey, dan Lily tengah berjalan ke arah perpustakaan yang terletak di ujung lantai dua. Lantai di mana mereka berpijak ini dikhususkan untuk murid-murid kelas sebelas—angkatan Rieki, Kei, Satoki, dan Claudia—serta ruang laboratorium. Lantai teratas, ditempati oleh kelas sepuluh, ruangan para guru, dan ruang kepala sekolah. Lantai terbawah, dihuni oleh kelas dua belas.
"Heh mau denger cerita serem gak?"
Lily melompat tepat di hadapan Selena dan Audrey. Selena yang sebenarnya takut dengan cerita menyeramkan seperti itu mengkerut di belakang Audrey yang terlihat sangat antusias.
"Apaan? Cerita cepetan!" sahut Audrey berapi-api.
"Tiga minggu yang lalu," Lily merendahkan suaranya agar terdengar menyeramkan. "Ada guru yang baru saja sembuh dari sakitnya. Saat masuk kelas, ternyata dia hanya memberikan tugas," jeda Lily dengan mata menyempit. "Lalu ketika murid terakhir mengumpulkan tugas, ia melihat mata guru itu memerah seperti darah. Lalu dari hidung, mulut, serta telinganya keluar cairan kuning kecoklatan, entah apa itu —"
"Udah!! Udah!!" suara Selena yang melengking menutup kelanjutan cerita Lily.
Dengan mata tertutup, Selena berlari menjauhi sahabat-sahabatnya yang tertawa terpingkal. Mereka benar-benar tidak menyangka jika Selena akan setakut itu. Padahal kan, itu hanya kebohongan belaka. Iseng. Audrey juga tahu itu.
"Astaga si Selly bener-bener deh," Audrey menggeleng geli.
"Tau tuh. Kayak gitu aja takut. Malem-malem keluar sendirian ke halaman belakang penginapan aja berani."
Audrey tertawa ngakak mendengarnya.
"Itu kan karena ada Rieki di situ. Gimana sih."
Keduanya cekikan bersama, masih memperhatikan Selena yang semakin mengecil karena jarak mereka semakin melebar. Tak jauh dari Selena, ada Kei yang tengah berjalan dengan tumpukan buku yang tangannya. Sepertinya dia hendak menuju perpustakaan.
Brukk.
Tabrakan itu tak terelakkan. Selena yang tidak bisa mengendalikan kecepatan larinya bertabrakan dengan Kei sampai buku-bukunya jatuh berserakan.
"Eh—ah, aduh, maaf. Aku gak sengaja."
Selena terkesiap sedetik sebelum membantu mengambilkan buku-buku. Kei hanya bisa tersenyum melihat Selena yang tampak sangat tidak enak. Ketika gadis itu mendongak, wajahnya terlihat kaget karena yang orang yang ditabraknya adalah Kei.
"Oh, Kei! Maaf!"
Selena membungkuk sopan seraya mengembalikan buku-buku Kei yang sudah ia kumpulkan. Mendapati tumpukan bukunya sudah berada kembali dalam pelukannya, Kei tersenyum. Tak jauh dari tempat bertabrakan Kei dan Selena, Audrey beserta Lily berlari kecil mendekati keduanya.
"Selly! Gak apa-apa, kan?"
Audrey menatap Selena cemas lalu berbalik arah menghadap Kei.
"Maaf Kei, Selena emang ceroboh," tambah Audrey.
Dikatakan ceroboh oleh Audrey membuat Selena menggembungkan pipinya dengan sebal. Sebagai bentuk pembalasan dendam karena telah mengejek, Selly menarik Lily mendekat.
"Ly! Kayaknya kakiku agak terkilir deh," gumam Selena seraya memutar pergelangan kakinya sebelum memandang Lily. "Anterin ke UKS, ya?"
Lily yang sama jahilnya dengan Selena lantas mengerti maksud pembicaraan itu setelah mendapatkan kerlingan. Kepalanya mengangguk tanpa ragu, dan baru saja Kei menawarkan diri untuk membantu Selena ke UKS, gadis itu menggeleng cepat.
"Mendingan temenin Audrey ke perpustakaan saja, Kei," Selena menatap Audrey yang sudah merona. "Kamu juga pengen balikin buku-buku itu, kan?"
"Iya sih ... Tapi, lo benar-benar gak butuh bantuan?"
"Ada Lily, Kei! Meski cewek, tenaga dia gak kalah sama kebo."
"Heh! Sembarangan," cibir Lily sebal ke arah Selena.
Kei tertawa kecil melihat Selena dan Lily yang beradu pandang seakan mereka berkelahi. Tetapi hanya sesaat, karena setelahnya Kei sudah menyenggol Audrey untuk segera ke perpustakaan. Beberapa buku yang sebelumnya dipelukan Audrey sudah diambil alih oleh Kei, membuat gadis itu tersenyum kecil.
Selena dan Lily yang masih memperhatikan kepergian mereka berdua hanya mampu menyemangati Audrey dari belakang. Karena saat dansa api unggun Audrey tidak berhasil mengajak Kei, kali ini gadis itu harus memaksimalkan kesempatan yang ada untuk mengambil hati Kei.
"Semangat, Rey!" bisik Selena dan Lily secara bersamaan, dengan tangan terkepal di udara dan cengiran lebar.
Sampai keduanya menghilang di balik pintu perpustakaan, Lily dan Selena baru beranjak dari tempatnya berdiri. Tetapi baru beberapa langkah mereka ingin menuju tangga, bisikan-bisikan samar terdengar di telinga keduanya. Meski pelan, tetapi terdengar jelas karena mereka mengucapkannya tepat saat Selena dan Lily lewat. Seperti disengaja.
"Itu yang ngerebut pacarnya Claudia?"
"Siapa namanya? Selena?"
"Yang mana orangnya?"
"Cih. Cantik aja enggak. Gatel banget sih jadi cewek."
"Gak sadar diri."
"Junior aja belagu."
"Anak beasiswa kan dia?"
"Iya! Gak tau diri banget. Kalau gak dibiayain sama keluarga Claudia juga, dia gak akan ada di sini. Ada aja ya orang yang gak berterima kasih macem dia."
Selena terdiam mendengar ucapan-ucapan menusuk dari kakak kelasnya itu. Memang sih, sekarang waktunya istirahat. Dan bukan ide bagus jika terus berjalan diantara para senior yang sedang berkumpul tanpa menyapa. Tetapi kan, dia tidak mengenal mereka. Yang dikenal gadis itu hanya beberapa.
Dan kalimat terakhir tentang beasiswa itu ... benar. Selena sudah yatim piatu sejak kecil. Setelah kematian orangtuanya itu, Selena tinggal bersama neneknya. Tetapi sayang, neneknya kini telah tiada. Kehidupannya sekarang bergantung pada harta warisan milik kedua orangtua serta neneknya. Ah, dia benar-benar sendirian bukan, di dunia ini? Menyadari kenyataan itu membuat matanya memanas.
"Udah, gak usah dimasukin ke hati," Lily menggenggam erat tangan Selena. "Mereka cuma iri sama prestasi yang lo dapet."
Ucapan Lily membuat gadis itu menoleh, menatap Lily yang tidak memandangnya balik. Gadis dengan gigi kelinci itu tersenyum kecil. Selena mengangguk mengiyakan, melangkah menaiki tangga dengan tangan bergandengan bersama Lily. Dia punya sahabat yang sangat baik.
"Ngomong-ngomong, lo sama Rieki gimana?"
"Gimana apanya?"
"Pacaran? Bener?"
Selena menghela napas. "Enggak, kita gak pacaran. Cuma deket aja."
"Jujur aja sih," Lily menyenggol lengan Selena. "Sama gue aja malu."
Selena hanya tertawa sambil menggelengkan kepala. Dia benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa Lily berpikiran kalau Rieki dan dia berpacaran? Mereka kan dekat hanya karena kemampuan aneh itu.
"Eh-eh ada apaan sih?"
Pertanyaan Lily yang bernada kaget lantas membuat Selena mendongak. Saat memasuki kelas, hampir setengah dari teman-teman satu kelasnya mengerubungi tempat duduknya. Ada apa? Kening Selena mengernyit dalam. Beberapa diantara mereka menatap Selena dengan sorot kasihan. Selena menghela napas. Lagi-lagi?
"Lo harus lapor sama guru!" pekik Lily sebal.
Tuh kan, benar tebakannya. Tepat di atas meja Selena, ada bangkai burung merpati yang baunya sudah menguar ke mana-mana. Dengan helaan napas, Selena mendekat dan mengambil kaki burung itu dengan santai lalu membuangnya di tong sampah. Teman-teman yang melihatnya hanya bisa berbisik-bisik, sambil menutup hidung karena bau busuk yang teramat.
"Pasti kerjaannya Maya sama Sissy nih!"
"Gak boleh berburuk sangka, Ly."
Lily menoleh dengan wajah menahan amarah. Berburuk sangka bagaimana? Siapa lagi sih yang berbuat seperti ini? Saat study tour itu saja, Sissy dan Maya terang-terangan mengguyur Selena dengan jus alpukat. Kemarin, loker Selena penuh dengan cat merah. Sampai buku-buku pun tak luput dari cairan kental itu. Dan bodohnya, Selena hanya berdiam diri.
"Gue gak berburuk sangka," bisik Lily lalu memandang satu per satu teman sekelasnya. "Kalian pasti liat kan dua senior centil itu yang naro bangkai ini?"
Tunggu. Kalau dipikir-pikir, cewek centil seperti mereka tidak mungkin sudi menyentuh benda seperti ini. Ketika mata Lily menyisir sekitar, ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban. Beberapa anak terlihat saling bersitatap tanpa mengeluarkan kata-kata. Pandangan mereka seperti ragu tak ingin memberitahu. Jadi, siapa yang melakukannya.
"Gue mau ke ruang guru," Lily hendak keluar kelas, namun ditahan Selena. Entah untuk alasan apa, Selena menggeleng dengan wajah memohon, membuat Lily menghela napas. Pikiran Lily benar-benar tidak bisa mengerti dengan pola pikir Selena. Kenapa Selena begitu baik terhadap orang yang sudah berbuat jahat kepadanya?
"Sekali lagi mereka ngerjain lo, gue akan lapor guru."
Mendengus pelan—lebih tepatnya pasrah, Selena mengangguk lemah.
。 ღ 。 ღ 。 ღ 。
Pulang sekolah, giliran Selena dan Lily yang mengembalikan buku ke perpustakaan. Sewaktu Audrey diajak untuk ikut ke perpustakaan, gadis itu menolak mentah-mentah. Dia berkata, "kan gue yang minjem. Jadi kalian yang balikin."
"Cih." Begitulah Lily menyambut ucapan menyebalkan Audrey.
Setelah para siswa bubar, Lily dan Selena menuruni tangga. Kembali melewati lantai kelas sebelas. Lily yang sebenarnya masih marah lantas menatap tajam satu persatu seniornya yang lewat. Tetapi anehnya, mereka sama sekali tidak menemukan Maya atau pun Sissy. Kalau bertemu, Lily pasti sudah menempeleng mereka. Membalaskan dendam.
'Elle! Mau ke mana?'
Mata Selena mengerjap sekali. 'Elle? Siapa itu?'
Ah, kemampuan Selena dan Rieki sudah berkembang. Tidak harus saling menatap atau tak terhalang apa pun mereka baru bisa komunikasi. Tetapi jika melihat sedikit saja, maka mereka bisa memanggil dan berkomunikasi meskipun banyak orang menghalangi mereka.
"Kamu lah, siapa lagi coba?"
Rieki sudah berdiri di depan Selena. Gadis itu sudah tidak kaget lagi akan kehadiran Rieki yang suka tiba-tiba muncul seperti hantu. Lily yang menyadari akan menjadi 'obat nyamuk' diantara mereka segera mengambil buku di pelukan Selena.
"Eh? Lho?" Selena terkesiap ketika Lily sudah memeluk dua buku yang tadi dibawanya sudah berpindah tangan.
"Biar gue aja yang balikin," ujar Lily singkat sebelum melenggang pergi. Meninggalkan Selena dan Rieki berduaan.
"Tuh kan, kamu sih, Lily jadi pergi kan," gerutu Selena.
Rieki yang merasa tidak bersalah lantas mengerutkan kening dengan samar. "Kenapa jadi salah aku? Emangnya kalian mau ke mana sih?"
"Perpustakaan. Ngembaliin buku."
"Ya udah biarin Lily aja yang ngembaliin," Rieki nyengir lebar. "Kamu sama aku aja di sini."
Selena memberengut sebal, tapi tak bisa berkata apa pun karena sekarang tangannya sudah digenggam erat oleh Rieki. Pemuda itu sendiri sudah berbincang dengan Harry, teman satu kelasnya yang kebetulan Selena tahu namanya. Beberapa saat mereka saling berbincang, Satoki lewat dengan tatapan sebal ketika melihat tautan tangan Rieki dan Selena.
"Harr, lo ganggu mereka, tahu," Satoki dengan santainya memukul kepala Harry yang masih berbicara dengan Rieki.
"Ganggu mereka? Siapa?" Harry bertanya seperti orang bodoh.
"Rieki," sahut Satoki sambil mengalungkan tangannya di lengan Harry. "Sama gebetan barunya."
"Lho. Bukannya Rieki itu pacar —"
"Berisik. Udah, balik ke asrama bareng gue," potong Satoki seraya menarik paksa Harry.
Selena hanya bisa memiringkan wajah melihat tingkah Satoki yang menurutnya aneh. Dia mengedikkan bahu lalu berniat beranjak dari tempatnya berdiri untuk menyusul Lily ke perpustakaan. Namun nyatanya genggaman tangan Rieki semakin mengerat dan semakin ... panas?
"Rie? Kamu sakit?" Selena spontan bertanya sambil memperhatikan kaitan tangan mereka.
Rieki mengabaikan ucapan Selena. Cowok itu justru menarik Selena, turun ke lantai bawah karena Maya dan Sissy semakin memperhatikan Selena. Bukan tanpa alasan Selena digandeng seerat itu, Rieki hanya merasa takut jika tiba-tiba kedua teman Claudia berbuat buruk terhadapnya. Yah, meski Rieki tau mereka takkan berbuat macam-macam kalau ada Rieki. Tetapi tetap saja, ia khawatir.
"Rieki! Denger aku gak sih?" Selena menghempaskan tangan Reiki dengan agak kasar hingga tautan mereka terlepas.
"Iya-iya aku denger." Rieki menghela napas, berhenti tepat di depan loker.
Selena melangkah mendekati Rieki, sedikit berjinjit agar bisa mencapai kening Rieki. Panas. Tak salah lagi, Rieki demam. Tapi tak sampai tiga detik, Rieki menurunkan tangan Selena dengan perlahan.
"Kamu sakit," Selena menatap dengan sorot khawatir.
"Cuma demam ringan," sambut Rieki.
"Tapi harus cepat ditangani."
Tanpa bisa dibantah, Selena menarik Rieki menuju ruang kesehatan. Sesampainya di sana, suster yang menjaga segera menyuruh Rieki untuk berbaring dan mengecek suhu tubuh pemuda itu dengan termometer. Selena sendiri hanya duduk memperhatikan sampai suster itu selesai memeriksa keadaan Rieki.
'Elle, jangan jauh-jauh dari aku.'
Mata Selena menyipit. 'Elle itu siapa? Pacar barumu ya?'
'Iya. Pacar baruku namanya Selena Lovelia alias Elle.'
Wajah Selena merona. 'Nama panggilannya jelek. Aku lebih suka dipanggil Selly.'
'Bagaimana kalau Anna?'
Jantung Selena seperti berhenti berdetak. Kenapa dari semua nama panggilan, harus Anna? Nama itu mengingatkannya akan masa lalu. Akan keluarga kecilnya yang bahagia. Tapi untuk Rieki sendiri, nama Anna mengingatkan akan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya. Baru saja Selena akan menyambut ucapan Rieki, suara suster memutus komunikasi mereka.
"37.7 derajat. Untung cuma demam ringan," ucap suster itu menatap Rieki dan Selena bergantian.
Rieki merasa puas atas jawaban suster dan menatap Selena dengan senyum kemenangan.
"Tuh kan, bener yang kubilang. Cuma demam ringan." Lalu Reiki menatap suster. "Kalo gitu, saya gak perlu istirahat total kan?"
Suster itu mengangguk lalu memberikan satu strip obat demam pada Rieki. "Tapi kamu gak boleh ke mana-mana ya, langsung tidur di asrama. Jangan lupa minum obat demammu."
Selena terkikik geli mendengarnya. Selena tahu sekali rencana Rieki sepulang sekolah ini, dia ingin menyelesaikan games yang sejak malam sudah ditekuni. Harusnya sih ia belajar, mengingat sebentar lagi akan ujian akhir semester. Ah, tapi Rieki sepertinya tak peduli. Beberapa saat setelah suster itu pergi, Rieki terduduk dan membereskan kemejanya yang sempat berantakan.
'Sini. Mana ponsel kamu.'
Rieki menatap tangan Selena yang sudah terjulur ke arahnya. 'Ponsel kan gak boleh dibawa pas sekolah. Ya aku pasti gak bawa, dong.'
'Gak usah bohong sama aku,' mata Selena menyipit. 'Aku tahu kamu sama Kei bawa ponsel ke sekolah.'
Rieki cemberut mendengarnya. "Buat apa sih emang?"
"Mau kasihtau Kei atau Satoki. Kamu perlu bantuan biar selamat sampai di asrama putra."
"Gak perlu," Rieki mencibir. "Aku bisa sendiri."
"Ck," Selena berdecak sebal. "Mana sini. Nurut dong."
Dengan setengah hati, akhirnya pemuda itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan memberikannya pada Selena. Tak sampai lima menit, Selena berhasil membujuk Kei untuk membantu Rieki. Ah, Kei memang baik sekali. Selena tersenyum dan mengembalikan ponselnya pada Reiki.
"Selly! Lupa ya hari ini piket?"
Suara cempreng milik Audrey terdengar setelah pintu ruangan terbuka lebar. Di sana, Audrey terlihat berjalan di depan Kei. Kalau mereka datang berbarengan seperti ini, artinya sejak Selena menghubungi Kei tadi mereka sudah bersama.
"Astaga," Selena menepuk dahinya singkat. "Lupa."
Selena segera bangkit. Beranjak dari tempatnya duduk sejak tadi. Namun ketika dia sampai di pintu ruangan, langkahnya terhenti karena mendengar suara Rieki di benaknya.
'Hati-hati, ya.'
Selena menatap Rieki dengan kening berkerut. 'Apa sih? Aku kan di lingkungan sekolah. Gak akan kenapa-kenapa juga.'
Rieki tersenyum tipis sembari menatap kepergian Selena. Sampai akhirnya si gadis menghilang di balik pintu, Rieki bangkit dan berdiri. Bersiap untuk kembali ke asrama, namun tanpa disadarinya tatapan menggoda terlihat dari manik mata Kei.
"Ah, cinta memang indah ..." ujar Kei iseng sambil membawa tas ransel Rieki.
"Lebay lo."
Kei dan Audrey hanya terkikik geli mendengar gerutuannya sebelum memutuskan untuk berjalan di belakang Rieki. Sudah jam empat sore, dan suasana sekolah yang sepi entah kenapa membuat Rieki khawatir dengan Selena. Apalagi gadis itu kan sedang menjadi target Claudia. Ah, dia bisa apa? Mengikuti Selena? Bisa-bisa gadis itu marah karena Rieki tidak beristirahat.
"Rey, nanti kabarin gue ya Selena balik jam berapa."
"Ah?" Audrey mendongak dengan kening berkerut. "Iya, nanti gue kabarin deh."
。 ღ 。 ღ 。 ღ 。
Rieki: Selena belum sampe kamar?
Audrey: Belum. Ke mana ya dia?
Rieki menghela napas dengan gusar. Sudah jam tujuh malam dan Selena belum kembali ke kamar? Gerbang sekolah bahkan sudah ditutup. Ah, gadis itu ke mana sebenarnya? Benar-benar, dia sangat khawatir. Suhu tubuh Rieki yang masih agak tinggi tidak dipedulikan oleh pemuda itu. Tanpa basa-basi, tangan Rieki menyambar jaket dan langsung dikenakannya.
Audrey: Jujur aja Rie, udah beberapa minggu ini dia dikerjain sama seseorang. Bodohnya, dia gak kashitau guru. Gue khawatir banget. Lo bisa cari dia gak?
Lihat? Sahabatnya saja sampai khawatir begitu. Ini artinya, Selena saat ini mungkin dalam keadaan genting. Ah, benar-benar. Dia tidak mau memikirkan hal buruk akan terjadi pada Selena. Yang penting saat ini, dia harus menemukan gadis itu.
"Rie? Mau ke mana eh?" Kei terkesiap saat melihat Rieki berlari di lorong asrama. "Demam lo belum turun!"
Rieki tak peduli. Ia terus saja berlari. Beberapa anak yang sedang berjalan menuju kamar bahkan ditabrak oleh Rieki. Rasa pusing yang menggelayuti menyebabkan keseimbangannya sedikit menurun. Sesampainya di pintu asrama, ia melirik kanan kiri. Tak ada satpam. Kemudian ia keluar gedung asrama dan berjalan mengendap-endap menuju gedung sekolah yang terletak di tengah-tengah asrama putra dan putri.
"Dikunci," Rieki menggoyangkan rantai yang membelenggu pintu gerbang.
Dia harus bisa masuk. Memanjat? Sepertinya itu adalah satu-satunya ide yang bisa dilakukannya. Tak mungkin kan tangan Rieki bisa menghancurkan gembok atau rantai? Tak ingin membuang waktu, Rieki mengeratkan pegangannya pada gerbang. Mulai naik, namun terjatuh dengan napas terengah. Tubuhnya masih lemah, keringat bahkan sudah mengucur deras.
Matanya yang berkunang-kunang tidak mengurangi semangatnya. Ia kembali memanjat dan akhirnya berhasil. Tetapi sayang, pendaratannya kurang mulus. Bokongnya mendarat keras di tanah. Setelah berhasil mengembalikan keseimbangan, dengan agak terhuyung Rieki berjalan memasuki gedung sekolah. Kelas Selena adalah tempat pertama yang terlintas di benaknya.
'Anna? Bisa denger aku?'
Tak ada jawaban apapun dari Selena. Dia benar-benar panik sekarang. Ah, percuma juga memanggilnya tanpa bertemu wujud Selena. Lagipula kan mereka bisa bertelepati saat bersama atau melihat lawan telepatinya.
'Selena Lovelia! Jawab panggilan aku!'
Hening menyapa. Rieki mengatur napasnya yang tersengal sebelum mengintip ke dalam kelas Selena. Tak ada. Kosong. Tumitnya berputar. Kakinya berjalan ke kelas yang lain, berhadap menemukan keberadaan Selena. Nihil. Tak ada siapa pun di dalam kelas.
'Rie?'
Rieki berhenti bergerak. Kini ia yakin sekali, mendengar suara Selena.
'Kamu di mana?'
'Kamu bisa denger aku?'
'Iya! Aku bisa denger. Kamu di mana sekarang?'
Rieki mati-matian berkonsentrasi agar komunikasi mereka tak terputus. Diantara pusingnya kepala Rieki, ia berharap tidak ambruk sebelum menemukan Selena. Pemuda itu bahkan sudah kembali turun ke lantai dasar, menunggu respon dari Selena.
'A-aku di gudang belakang ...'
Gudang belakang? Maksud Selena dekat pohon rindang tempat di mana mereka bertemu pertama kali dan menyadari kemampuan ini?
'Tunggu. Aku akan datang.'
Rieki menghirup napas dalam sebelum kembali berlari memutari gedung sekolah. Tidak sampai sepuluh menit, Rieki sudah berada di depan gudang.
'Anna? Bisa denger aku? Kamu di dalem, kan?'
Hening. Tak ada jawaban apapun dari Selena hingga akhirnya Rieki memutuskan untuk menggedor pintu gudang dan berteriak memanggil Selena berulang kali. Tidak mungkin juga ia langsung membuka pintu gudang. Jelas, pintunya digembok dan ia tak memiliki kuncinya.
"Rie? Aku di dalem!" balas Selena, tak kalah keras dari suara Rieki.
Rieki mengangguk. Pemuda itu berputar, mencari celah yang mungkin saja bisa dilewati Selena. Beberapa saat ia mencari, matanya mendapatkan ada jendela di bagian atas ruangan. Tapi, apa Selena bisa mencapainya?
"Kamu bisa naik ke atas? Aku liat ada jendela di sana!" teriak Rieki. "Semoga jendelanya gak kekunci," bisiknya.
"Bisa! Aku bisa naik ke atas!"
Namun beberapa saat setelah Selena menjawab ucapan Rieki, terdengar suara benda terjatuh. Rieki terkesiap, penasaran dengan apa yang terjadi di dalam. Apa Selena tak apa? Jangan-jangan dia tertimpa barang berat? Astaga. Dia tak mau membayangkannya.
"Kamu gak apa-apa? Kalo gak bisa naik ke atas, aku bisa cari jalan lain —"
Kreekk.
Deritan kasar jendela yang sudah lama tak dibuka terdengar jelas di telinga Rieki. Pemuda itu mendongak, memperhatikan jendela yang sudah terlihat wajah Selena. Dari jarak sejauh ini, Rieki tidak bisa melihat jelas ekspresi lega dari wajah Selena. Yang pasti, senyuman lebar tercetak jelas di sana.
"Aku sampe!" ujar Selena senang.
Rieki mengangguk puas. Tetapi tanpa disangka, Selena bersiap melompat tanpa aba-aba dari Rieki. Pemuda itu bahkan belum memberitahukan Selena untuk melompat. Astaga. Kenapa seorang Selena bisa melompat tanpa keraguan sedikitpun?
Brukk.
"Aduh," ringis Rieki.
Pemuda itu terjatuh lemas karena Selena 'menabraknya' dari atas. Bulan purnama yang indah terlihat jelas di pandangan Rieki. Napasnya terbuang lega ketika sadar Selena sudah berada di pelukannya.
"Untung aku bisa nangkep kamu," bisik Rieki seraya mengalungkan tangannya di pinggang Selena.
Yang dipeluk hanya bisa mengangguk samar, wajahnya ia sembunyikan di pundak Rieki. Hal itu dilakukan secara sengaja oleh Selena karena ia tidak mau Rieki melihatnya sedang menangis. Selena sangat takut. Di dalam begitu gelap, dan dia tidak bisa melakukan apapun selain menangis. Rieki pun hanya diam, mengusap punggung Selena dengan lembut.
"Rie, makasih," bisik Selena setelah ia berhasil menormallan suaranya yang serak.
Rieki hanya mengangguk lemah. Tangannya masih saja memeluk Selena dengan erat, namun lama kelamaan kekuatan rengkuhannya mengendur. Membuat Selena mengerutkan kening saat sadar napas pemuda itu semakin berat.
Selena bergerak dalam pelukan Rieki, mencari celah untuk menatap wajah pemuda itu. "Rie?" Panggilnya, tepat sesaat setelah melihat kelopak mata Rieki tertutup rapat.
Wajah Rieki terlihat kepayahan. Bulir keringat yang sejak tadi mengalir lambat kini sudah sebesar biji jagung. Dengan gerakan cepat, Selena menggulingkan tubuhnya hingga terlepas dari rengkuhan Rieki.
Gadis itu terduduk tepat di samping Rieki. Menyentuh keningnya dengan perlahan dan sadar kalau suhu tubuhnya semakin meningkat. "Astaga." Punggung tangan Selena terasa seperti terbakar.
"Aku gak apa-apa," Rieki menangkis tangan Selena dan mencoba duduk namun gagal.
Selena mendengus kesal. "Kamu lagi sakit, gak seharusnya ke sini!" pekiknya, ia marah. Marah pada diri sendiri karena tak bisa keluar dari gudang dengan usaha sendiri. Mengakibatkan Rieki mengabaikan kondisi tubuh demi menyelamatkan dia.
"Maaf." Selena menyambung ucapannya setelah menghela napas dengan berat. Sadar kalau ia membentak orang sakit. Ia menunduk dalam, merasa sangat bersalah.
Rieki melirik, meski kepalanya terasa semakin pening namun ia masih bisa melihat jelas setetes air mata terjatuh ke punggung tangan Selena yang terkepal. Rieki mendekat dan membawa tangannya ke belakang punggung Selena untuk memeluknya.
"Aku gak apa-apa, Anna."
"Masih aja ngomong gitu!" Selena membentak dan menjauhkan tubuh Rieki.
Dirogohnya saku jaket Rieki, mencari ponsel tanpa meminta izin pemuda itu. Rieki tidak bisa berkutik saat Selena mulai mencari kontak Kei, berniat meminta bantuannya lagi—untuk menolong Rieki membawa ke asrama. Tepat sebelum ia men-dial nomer Kei, telpon Rieki berbunyi. Kei. Dengan segera, ia mengangkatnya.
"Kita ada di gudang belakang, cepet dateng ya Kei," nafas Rieki semakin memburu. "Demam Rieki meningkat dan aku gak kuat bawa dia sendirian."
"Apa yang gue takutin kejadian, kan," Kei menggeleng di ujung sana. "Tunggu. Gue bakal ke sana."
"Makasih."
Setelahnya, Selena memutus sambungan. Ia meletakkan kembali ponsel itu dalam saku Rieki. Perasaan panik segera menguap, berganti dengan lega yang teramat karena ia tak harus membawa Rieki sendirian ke asrama.
Matanya melirik Rieki yang sudah menyandarkan kepalanya pada bahu Selena. Dia terlihat benar-benar sakit. Dan jika hal buruk terjadi pada Rieki, Selena takkan memaafkan dirinya sendiri.
"Tangan ..." bisik Rieki tiba-tiba.
Selena menoleh lalu menunduk saat mata sayu Rieki mengarah pada rerumputan diantara mereka. Lantas ketika Selena sudah menyesuaikan pandangannya pada arah pandang Rieki, telapak tangan pemuda itu menyapanya. Terbuka lebar seakan menunggu sambutan tangan Selena.
"Aku mau tangan kamu." Rieki meminta Selena untuk menggenggamnya.
Gadis itu terkesiap dan menoleh bingung akan permintaan Rieki. Awalnya, Selena ragu. Namun ketika kedua alis Rieki semakin berkerut dengan mata tertutup, tangan Selena turun dan memenuhi ruas jemari Rieki. Detik itu juga, senyuman hadir di wajah Rieki.
Genggaman mereka semakin menguat, dan tak ada salah satu diantara mereka yang berniat memecah kesunyian. Selena memandang langit malam, sedangkan Rieki bersandar nyaman di sisi Selena. Posisi mereka sama sekali tidak berubah hingga Kei datang dan membawa Rieki dalam gendongannya.
==========
TBC. Minggu, 19 Oktober 2014.
A/N : beberapa part ke depan kejadiannya msh mirip sama BILY yg versi jadul, tp setelahnya ... beda ... beda ... hehe :3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top