The First, It's Flawless
Hai readers yang baik hati dan tidak sombong. Aku mau mengabarkan kalau cerita ini pindah ke dreame.com dan akan di update secara bertahap. Kalau kalian penasaran, link ceritanya ada di bio, ya! ^^
Multimedia: Kei
=============
Setelah kejadian penguncian gudang itu, Rieki sama sekali tidak bisa memalingkan pandangan dari Selena. Bahkan ia meminta Selena membawa ponsel ke sekolah. Yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Selena. Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan setiap hari juga dia selalu mendatangi kelas Selena.
Tidak peduli dengan tatapan penasaran teman-teman sekelas Selena, Rieki tetap saja mengekori gadis itu. Bahkan saat ia dan Selena bertemu dengan Claudia beserta dua temannya itu, dengan sengaja Rieki menggenggam erat tangan Selena. Memberi isyarat bahwa Claudia tak berhak melakukan apa pun pada Selena.
"Kamu gak bosen ya, main ke kelasku mulu?"
Selena berhenti melangkah ketika pandangannya beradu dengan Rieki tepat saat dia ingin keluar kelas. Rieki hanya tertawa kecil mendengar gerutuan Selena. Dengan santai, ia berjalan di belakang Selena. Diikuti oleh Kei dan Audrey yang sudah berbicara sangat seru.
"Kenapa kamu gak pernah bilang sama aku tentang pem-bully-an itu?"
Selena menengok sekilas, tapi tidak benar-benar menjawab pertanyaan Rieki.
"Oh, ayolah. Ribuan kali aku nanya, dan kamu gak pernah mau jawab?"
Selena menghela napas. "Buat apa dijawab? Gak penting juga."
'Tapi buat aku penting."
"Buat aku enggak. Yang lalu biarlah berlalu."
Rieki agak geram dengan ucapan Selena. Tanpa sadar, tangannya mencengkram erat pergelangan Selena. Aura tenang yang sebelumnya menyelimuti mereka mendadak menjadi panas. Audrey dan Kei pun sudah menyingkir dari keduanya yang saling pandang dengan tatapan membunuh. Ternyata, mereka sama-sama keras kepala.
'Aku bakal kasihtau pihak sekolah.'
"Kalo kamu nekat, aku gak akan mau lihat muka kamu lagi."
Diam. Hening. Selena mengancam Rieki? Tapi, apa yang dikatakan Rieki hingga membuat Selena marah seperti itu? Orang-orang di sekitarnya hanya bisa memandang dengan sorot bingung. Mereka sama sekali tidak tahu kalau keduanya bisa bertelepati.
'Kamu ngancem aku?'
"Enggak. Aku cuma pengen kamu gak ikut campur masalah aku."
Cengkraman Rieki semakin mengerat. 'Aku khawatir sama kamu. Audrey, Lily, bahkan Kei pun khawatir sama keadaan kamu. Kenapa kamu gak izinin kita buat bantu?'
'Kalo aku ngelawan Claudia, kemungkinan besar aku gak akan bisa sekolah di sini lagi,' sahut Selena akhirnya.
'Aku gak akan biarin itu terjadi.'
Selena melepas cengkraman tangan Rieki dengan perlahan. Rieki akan membantunya? Tidak, dia tidak mau menyeret orang lain ke dalam masalah pribadinya.
"Kamu gak perlu melakukan apa-apa, Rie," Selena berbalik menggenggam tangan Rieki.
Rieki menghela napas, menyentuh punggung tangan Selena dan mengusapnya pelan. Audrey yang melihatnya hanya bisa tersenyum tipis. Dia mengira, tatapan tajam keduanya akan berakhir dengan pertengkaran hebat. Orang keras kepala pun, jika berhadapan dengan seseorang yang istimewa untuknya pasti akan luluh.
。 ღ 。 ღ 。 ღ 。
"Kalian udah pacaran? Serius?!" Selena memekik tepat setelah Audrey selesai bercerita.
Audrey hanya menunduk malu-malu sambil memainkan jemarinya. Wajahnya merona merah, kakinya yang berbalut flat shoes hanya berputar-putar membentuk pola yang tak jelas.
"Ah, enaknya ... kapan aku punya pacar, ya?" gumam Selena.
Audrey menurunkan tangannya dan memandang Selena. "Lo sama Rieki udah kayak orang pacaran tau gak. Rieki juga udah ngomong 'aku-kamu' kan sama lo?"
"Yah ..." Selena mengedikkan bahu. "Tapi kan dia udah punya Claudia."
"Gak mungkin mereka pacaran. Rieki aja selama ini sama lo mulu. Gak pernah kan lo liat dia gandeng Claudia atau semacamnya? Cewek itu ngaku-ngaku doang kali. Dia tuh yang cocok disebut kecentilan."
Hipotesis panjang lebar Audrey tidak berhenti sampai di sana. Gadis penyuka novel itu sepertinya bisa menulis buku sendiri. Dilihat dari caranya menceritakan suatu hal, sangat detail dan membuat orang tertarik. Selena sendiri tidak suka membaca. Biasa saja sih kalau boleh bilang. Tidak se-maniak Audrey.
"Nunggu lama?"
Suara Kei membuat dua gadis yang tengah berdiri di depan gerbang sekolah itu terkesiap. Mereka berlima-Selena, Audrey, Lily, Kei, dan Rieki-berencana untuk mengunjungi festival tahunan yang diadakan di salah satu taman kota.
"Lily mana? Belum siap?" Rieki bertanya dengan kening berkerut.
"Katanya mau ngajak seseorang. Makanya agak telat," sambut Selena.
"Maksud lo, Lily ngajak Satoki?"
Pertanyaan Kei membuat ketiga kepala itu berputar ke arah tunjuknya. Dari kejauhan, mereka bisa melihat dengan jelas ada Lily dan Satoki yang berjalan ke arah mereka dengan lambaian tangan dan cengiran lebar. Sejak kapan Lily dekat dengan Satoki?
"Lo ngapain di sini?" selidik Rieki.
"Weh galak banget bos!" Satoki mendelik pada Rieki. "Gue kan pacarnya Lily."
"BOHONG!" teriak Audrey dan Selena berbarengan.
Lily berdecak sebal pada kedua sahabatnya. Dia mengalungkan tangannya di lengan Satoki dan bersandar di pundak cowok itu. Bertingkah seperti sepasang kekasih yang tengah kasmaran. Eugh, entah kenapa perilaku Lily yang biasanya agak tomboy itu terlihat menyeramkan karena mendadak feminim.
"Gue gak bohong. Kita emang pacaran, kok," sambut Lily.
"Iya deh iya," Kei menghela napas pasrah seraya melirik jam tangannya. "Udah yuk berangkat. Nanti kemaleman."
。 ღ 。 ღ 。 ღ 。
Rieki berdecak kagum saat melihat jajaran warung kecil yang terlihat rapi di depannya. Mereka berenam sudah sampai di tempat tujuan, dan empat orang lainnya sudah menghilang entah ke mana. Mereka bilang ingin berpacaran dan tak ingin diganggu. Sungguh menyebalkan, mengingat yang mengajak mereka pergi adalah Rieki.
Selena terlihat sangat terpesona dengan lampu-lampu yang mulai dinyalakan karena hari sudah mulai gelap. Matahari memang belum tenggelam karena jam masih menunjukkan pukul setengah enam, namun keadaan cukup gelap karena pepohonan lebat yang menaungi mereka.
"Mau ke mana dulu nih, Ann?"
"Ke ... ah! Ya ampun Rie!"
Selena tiba-tiba saja berlari menghampiri salah satu stand dengan deretan boneka yang terderet rapi. Ada beberapa senjata yang Rieki perkirakan itu digunakan untuk menembak salah satu boneka untuk mendapatkannya.
'Astaga itu boneka pandanya lucu banget!' Selena berteriak semangat dalam pikirannya. 'Mau-mau-mau! Eh tapi nanti bawanya gimana, yah?'
Spontan, mata Rieki mengarah pada pandangan Selena. Di bagian agak pojok dan yang paling tinggi dari deretan boneka-boneka lainnya, Rieki bisa melihat boneka panda yang lebih besar dari tubuh mungil Selena. Dan Rieki yakin sekali, kalau Selena mendapatkannya, ia akan memeluk boneka itu setiap hari. Sepertinya hampir semua gadis seperti itu jika memiliki boneka besar. Mungkin jika mereka memeluknya, mereka membayangkan boneka itu adalah gebetan atau pacarnya? Bisa jadi.
'Besarnyaaa.'
Selena menoleh kaget. Sadar bahwa Rieki tahu apa yang diinginkannya. Melihat dia yang berjalan mendekati Selena, ia langsung merogoh sakunya buru-buru, mencari uang recehan. Menyadari Selena akan menembak boneka itu tanpa meminta bantuan, Rieki mempercepat langkahnya dan berhasil menghentikan pergerakannya.
"Biar aku yang ambilin buat kamu," bisik Rieki.
"Eh? Ta-tapi kan ..."
"Gampang ini sih. Udah kamu nontonin aksi keren aku aja ya," ujar Rieki dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
Selena hanya tertawa kecil mendengar ucapan Rieki yang seperti itu. Dia mengambil pistol dan mulai membidiknya. Mencari posisi terbaik untuk menjatuhkan boneka tersebut. Baru beberapa saat posisi tubuh Rieki yang agak membungkuk, Selena menyadari sesuatu. Rieki ... memakai kalung?
'Liat akunya biasa aja,' suara Rieki membuat Selena tersentak.
'Apaan sih, biasa aja kok akunya.'
Selena menggerutu, merasa malu karena ketahuan telah memandangi Rieki tanpa berkedip. Sambil menunggu Rieki mendapatkan boneka super besar itu, mata Selena memperhatikan sekeliling. Benar-benar ramai. Selena tidak mau membayangkan jika tersesat di tempat seperti ini. Seram. Dia pasti takkan bisa bertemu dengan teman-temannya.
"Halo, aku adalah boneka yang telah didapatkan oleh seorang pemuda untuk menarik perhatian seorang gadis."
Suara Rieki yang dibuat-buat membuat Selena menoleh. Tepat di depan wajahnya ada boneka panda besar dengan tangan yang bergoyang ke atas dan ke bawah, terlihat digerakkan oleh seseorang. Selena tersenyum kecil menyadari tangan yang menggerakkan boneka itu adalah milik Rieki.
"Selamat sore Tuan Panda," Selena membungkuk sopan. "Kamu bisa titipkan salamku padanya? Bilang pada pemuda itu bahwa aku berterima kasih karena sudah susah payah mendapatkannya untukku."
Wajah Rieki tiba-tiba muncul dari balik boneka. "Aku dapetinnya gampang banget, gak susah sama sekali." Keningnya berlipat-lipat dan bibirnya mengerucut sebal. Agak kesal karena ucapan Selena seperti menganggapnya kepayahan dalam mengambil benda berbulu itu.
Selena tertawa mendengar pikiran Rieki. Dengan cepat ia mengambil boneka itu sebelum menghadapkannya pada Rieki. Memainkan tangannya seperti yang dilakukan pemuda itu sebelumnya.
"Kalau begitu, terima kasih telah mengambilkanku untuk gadis cantik ini, pemuda baik hati yang hebat."
Mendengar pujian yang terkandung dalam ucapan Selena membuat senyuman lebar tersungging di wajah Rieki. Lebih pada perasaan geli, sejujurnya. Ada saja ucapan Selena yang membuatnya tertawa. Dia tersenyum melihat wajah berseri Selena saat memeluk boneka panda itu. Dia mungkin tak tahu, tetapi Selena sangat menyukai panda. Warna putih dan hitam di tubuh panda terlihat sangat menggemaskan.
"Mau apa lagi?" gumam Rieki sembari menatap sekeliling.
"Permen kapas ..." jawab Selena sembari menunjuk warung kecil yang menjual permen kapas berbagai warna.
"Ya udah, tunggu aku di sana," Rieki menunjuk salah satu sudut yang tak terlalu ramai. "Jangan ke mana-mana sampe aku dateng, oke?"
Selena mengangguk mengerti dan segera berlari kecil menuju tempat yang ditunjuk Rieki tadi. Dengan tangan memeluk boneka besar, Selena duduk dengan nyaman. Sesekali membenamkan wajahnya diantara bulu-bulu halus boneka panda. Merasakan kelembutan yang membuat bibirnya tidak lepas dari senyuman. Matanya memperhatikan sekitar. Ternyata setelah matahari tenggelam tadi, para pengunjung semakin ramai mendatangi tempat ini.
"Hei," suara asing terdengar di telinga Selena.
Gadis itu menoleh, mendapati seorang laki-laki yang berdiri dengan senyuman tipis di wajahnya. Entah kenapa sepertinya Selena mengenal dia? Tapi, siapa ya? Dan ketika ia mencoba mengingatnya, kepala Selena terasa sakit.
"Selena Lovelia kan?" tanyanya.
Selena mengangguk. "Kamu siapa?"
Pemuda itu menaikkan sebelah alis. "Lo gak kenal gue?" ia menunjuk diri sendiri. "Gue Justin. Kita tetanggaan dulu pas masih kecil," jedanya sambil mengambil tempat di samping Selena. "Kita sering main bareng lho. Masa gak inget sih?"
Tetangga saat di mana, lebih tepatnya? Karena dia sudah tinggal dengan nenek semenjak umurnya enam tahun. Tidak mungkin kan dia tetangga di rumah neneknya? Karena seingat Selena, anak kecil di rumah neneknya dulu sangat sedikit. Lalu, apa tetangganya di rumah sebelumnya?
"Aku gak inget," Selena terkekeh sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
"Oh .. begitu?" Justin mengusap tenguk dengan gugup. "Wajar aja sih kalau gak inget. Udah lama banget." Dan hebatnya, Justin masih ingat dengn jelas wajah kecil Selena. Awalnya ia tak yakin kalau gadis ini adalah Selena. Tetapi, dia memberanikan diri untuk bertanya.
Selena mengangguk canggung. Meski Selena tidak ingat dengan pemuda ini, namun keberadaannya seperti tak asing lagi untuknya. Gadis itu berulang kali melirik, memastikan bahwa ingatannya kembali. Dia benar-benar tidak enak jika ada orang yang mengenalnya sedangkan ia sendiri tidak.
"Lo ke sini sendirian?"
"Ah?" Selena tergagap. "Oh, enggak. Aku sama -"
"Dia sama gue."
Justin menoleh dengan kening berkerut. Tak hanya pemuda itu yang menoleh, Selena pun menengok. Tampang Rieki benar-benar tak enak ketika melihat keduanya duduk dengan jarak yang cukup dekat. Beberapa saat ditatap tajam oleh Rieki, membuat Justin tertawa kecil dan bangkit dari duduk.
"Ah, ternyata lagi sama pacar," ujarnya singkat lalu memandang Rieki. "Sorry, gue gak bermaksud deketin atau godain dia."
Setelah berpamitan pada Selena, Justin segera undur diri dan menghilang di kerumunan orang. Sebenarnya, dia itu siapa, ya? Benar deh, Selena seperti pernah mengenalnya dengan baik. Ah, mungkin memang benar apa yang dikatakan pemuda tadi. Mereka bertetangga sejak kecil. Dan satu pertanyaan lagi. Kenapa Rieki bersikap seolah-olah Selena adalah pacarnya?
'Memangnya kamu gak mau pacaran sama aku?'
Mata Selena membelo. 'Pertanyaan macam apa itu?!'
'Pertanyaan menjebak,' Rieki terkekeh lalu segera melahap permen kapas yang sebenarnya milik Selena. Ingat? Gadis itu meminta Rieki untuk membelikannya. Ah, tapi kenapa sekarang ia malah memakannya? Bukannya memberikan pada Selena.
"Rie! Kok permen kapas aku dimakan kamu?"
"Permen kapas kamu?" Rieke berucap setelah menelan permen kapasnya. "Kan yang beli aku. Pake uang aku. Berarti ini punyaku, bukan punyamu."
'Kan aku yang minta tadi!'
'Salah sendiri gak ikut.'
'Tapi kan kamu yang nyuruh aku duduk di sini.'
'Iya, tapi kan tetep aja aku yang beli.'
"Rie, kamu nyebelin," Selena berbalik arah. Memikirkan betapa menyebalkannya Rieki. Apa sih dia? Kenapa tiba-tiba bersikap menyebalkan begitu?
Selena mulai melangkah, menjauhi tempatnya duduk tadi. Tanpa tahu arah, Selena tetap berjalan ke depan. Mencari tempat sepi lebih tepatnya. Rieki yang awalnya merasa kesal karena ada seorang pemuda yang tak dikenalnya mengajak ngobrol Selena mulai mengikuti langkah gadis itu diam-diam.
Tidak mungkin kan Rieki meninggalkan atau membiarkan Selena sendirian? Nanti kalau dia digoda oleh lelaki lain bagaimana?
Rieki mengikuti Selena dari belakang, tidak menimbulkan suara apapun. Tapi kenapa kepalanya berisik sekali? Banyak pikiran-pikiran yang berseliweran di dalam benaknya. Ingin mengungkapkan pada Selena tetapi tak bisa.
Beberapa langkah mereka berjalan melewati pepohonan lebat, Selena terlihat berhenti di tepi danau. Suasana sangat tenang, tidak seramai di tempat stand tadi. Dari belakang, Rieki bisa melihat Selena berjongkok dan memperhatikan kumpulan bunga liar cantik yang tumbuh mengelilingi danau tersebut.
Saat Selena terduduk di rerumputan, Rieki akhirnya memberanikan diri untuk menampakkan wajahnya. Ia berjalan mendekati Selena, berharap gadis itu menoleh dan menyadari keberadaannya.
"Anna ..." panggil Rieki pelan.
Namun tak ada sambutan berarti dari Selena. Melihat sikap dingin Selena yang tiba-tiba membuat Rieki langsung duduk di samping gadis itu. Apa dia marah soal permen kapas tadi? Benarkah? Gadis ini, seperti anak kecil yang diambil mainannya saja.
"Iya, aku emang kayak anak kecil," gerutu Selena.
Ah, Rieki lupa kalau mereka bisa mendengar pikiran masing-masing.
"Maaf, kamu pasti kesel banget ya, karena aku makan permen kapasnya?"
"Menurut kamu?"
Selena mendelik dan dihadiahi tawaan khas Rieki. Gadis itu merasa kesal tentu saja, tapi Rieki malah mengacak rambut Selena. Membuat Selena semakin berang dan menenggelamkan wajahnya diantara kedua lutut. Beberapa saat mereka dalam keheningan, hanya ada suara jangkrik dan terkadang suara burung hantu yang bersahut-sahutan.
"Cowok tadi, namanya Justin," ucap Selena tiba-tiba. "Dia bilang sama aku kalau dia tetangga aku pas masih kecil."
Rieki tidak bereaksi apa-apa, tetapi ia berbalik menghadap Selena. Menyilangkan kaki seakan seorang anak TK yang siap mendengarkan dongeng dari gurunya. Selena terkekeh melihat tingkah Rieki. Setelah menegakkan punggung, Selena menatap air danau yang sesekali beriak karena tiupan angin atau ikan yang hidup di dalamnya.
"Dulu pas umurku enam tahun, aku mengalami kecelakaan. Pulang bertamasya dengan kedua orangtuaku, mobil kami menabrak pembatas jalan dan terjatuh ke jurang. Hari itu berhujan dan banyak petir. Itulah alasan kenapa aku takut sama hujan dan petir."
"Berkat kecelakaan itu, aku mendapatkan benturan keras di kepala," Selena menunjukkan bekas jahitan yang bersembunyi di balik rambut lebatnya. "Aku sempat koma selama berminggu-minggu. Ketika bangun, aku sama sekali gak ingat akan masa kecilku bersama orangtua maupun teman-teman. Hanya ingat ... kecelakaan itu."
Setitik air bening terjatuh dari mata Selena. Saat Rieki berniat menghapusnya, Selena dengan cepat mengusapnya terlebih dahulu. Bibir Selena bergetar, entah menahan tangis atau mencoba untuk tersenyum tegar. Rieki tak yakin dengan tebakannya. Namun yang pasti, ia sangat tidak suka dengan wajah sendu itu.
"Kamu kuat, aku tau itu," ucap Rieki seraya mengusap puncak kepala Selena.
Selena kini sudah tidak bisa menahan tangisnya. Air mata itu mengalir deras melewati pipi putihnya. Hidung Selena juga ikut memerah. Bibirnya bergetar hebat, mengeluarkan isakan-isakan kecil yang memaksa Rieki untuk memeluknya erat. Rieki bisa mendengar segala pikiran Selena yang berkecamuk.
Mengasihani dirinya yang harus berjuang sendirian saat anak-anak lainnya bersenang-senang dengan orangtua mereka. Kenapa hanya dirinya yang tidak punya orangtua? Hanya neneknya lah yang selalu menemaninya semenjak kematian mereka. Selena kecil hanya bisa belajar giat demi membahagiakan orangtuanya yang telah tiada. Kalau ia berprestasi, neneknya juga pasti akan bahagia.
"Kamu gak sendiri, Ann ... ada aku," bisik Rieki di sela isakan Selena.
Selena mengeratkan cengkramannya di kemeja Rieki, membuat pemuda itu menghela napas berulang kali. Dirinya seperti merasakan kesakitan Selena. Rasanya, dia ingin mengenalkan orangtuanya pada Selena. Rasanya Rieki ingin Selena merasakan hangatnya cinta orangtua.
"Kapan-kapan, ketemu sama orangtua aku, ya?"
Rieki mengusap air mata Selena yang masih mengalir. Duh, kapan gadis ini berhenti menangis? Selena terlihat ingin menjawab pertanyaan Rieki, tetapi karena ia masih belum menemukan suaranya yang hilang akibat tangisan, ia memilih untuk mengangguk.
Tiba-tiba, terdengar suara kembang api yang meledak di angkasa. Menimbulkan pantulan cantik di air danau. Selena berhenti menangis, menoleh memandangi kembang api itu. Wajah Selena terlihat sangat cantik meskipun masih ada jejak air mata yang memaksa Rieki untuk menghapusnya dengan lembut. Pundak Selena sempat menegang karena sentuhan Rieki.
Bukannya menepis, ia lebih memilih untuk menoleh dan membiarkan Rieki membersihkan jejak air matanya. Saat jemari Rieki menyentuh pipi bagian bawah, pandangannya tertumbuk pada bibir ranum Selena. Bibir Selena yang tipis dan agak terbuka sedikit membuat Rieki membasahi bibirnya sekilas dan meneguk ludah dengan gugup. Beberapa saat kemudian, tangan Rieki menjauh dari wajah Selena.
Mereka saling bertukar pandang selama beberapa detik. Ada sparkle di mata Rieki yang membuat Selena terpesona. Ketika wajah Rieki berjarak beberapa centi darinya pun, tubuhnya membeku. Matanya menutup saat napas Rieki terasa menyapu permukaan kulit wajahnya. Perlahan-lahan, Selena merasakan sesuatu yang lembab dan lembut menyentuh bibirnya. Jantungnya berdetak tak karuan. Bersamaan dengan itu, Rieki melingkarkan tangannya di pinggang Selena. Menariknya mendekat untuk menghilangkan jarak diantara mereka sampai berdekapan erat.
Entah berapa lama bibir mereka saling berpangutan hingga Rieki berinisiatif untuk membuka mata dan memperhatikan wajah merona Selena. Dia tersenyum. Memikirkan betapa manisnya Selena. Merasa ada yang memandangnya lekat membuat Selena membuka mata dan terkesiap. Dia mendorong Rieki menjauh, namun punggungnya ditekan paksa hingga kening mereka menyatu.
'Mau tau kenapa rasanya manis?' Rieki berbisik ketika ingat pikiran Selena yang sempat terdengar sedetik sebelum tautan bibir mereka terlepas. 'Jelas manis, aku kan abis makan permen kapas.'
Selena memalingkan wajah. Pipinya terasa sangat panas. Dan dia sudah menyangka Rieki akan tersenyum geli karena wajah gadis itu yang sudah semerah tomat. Harusnya ia bisa lebih menjaga pikirannya tadi! Ah, memalukan! Kedua telapak tangan Selena terangkat untuk menutup mata dengan erat. Tetapi tanpa disangka, Rieki menariknya ke dalam rengkuhan.
"Itu gak malu-maluin sama sekali, Anna," Rieki berucap dengan hidung yang menghirup wangi rambut Selena.
Beberapa orang, tentunya, tidak bisa mengontrol ekspresi wajah meski ucapan mereka terkesan tenang dan datar. Seperti Rieki. Berusaha tenang namun jantungnya sudah meloncat-loncat di dalam sana. Selena bisa merasakannya, namun ia berpikir bahwa itu adalah detakan miliknya. Mereka berdua sama-sama gugup.
Kalau memang waktu bisa terhenti, mungkin sekarang adalah saatnya. Ketika Rieki berusaha menahan ekspresi wajahnya yang kelewat senang dengan wajah merona parah, dan Selena yang berusaha menyembunyikan wajah merahnya di dada Rieki. Keduanya sama-sama tersipu malu. Sungguh manis.
==========
TBC. Kamis, 23 Oktober 2014.
MALEM JUM'AT. SAATNYA NTN FILM SEREM HWHW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top