He's Still Waiting
Multimedia: Audrey
----------
"Jadi, sebenarnya ...," ucapan Audrey tertahan karena melihat Selena yang sibuk memikirkan sesuatu. "Apa yang terjadi?"
Percikan cahaya dari perapian besar di tengah-tengah halaman penginapan yang sudah disulap sedemikian rupa untuk memulai acara api unggun malam ini membuat Selena sama sekali tidak bisa berpaling darinya. Sangat cantik.
"Selena!" pekik Audrey akhirnya karena merasa diabaikan.
"Iya?"
"Cerita! Tadi kenapa? Kok lo tiba-tiba ilang dan barengan sama Rieki?"
"Ya gitu aja," ujar Selena acuh tak acuh.
Audrey yang tingkat keinginantahuannya tinggi itu menggoyangkan tubuh Selena berulang kali. Seperti tidak bisa mendengar, Selena hanya menatap kosong perapian sebelum akhirnya ia tertawa karena tingkah sahabatnya yang seperti anak kecil.
"Lo udah jadian sama dia, ya? Ngaku!" tebak Audrey seraya memutar tubuh Selena menghadapnya.
Selena tertawa kecil. "Kamu ngaco ...," gadis itu menahan ucapannya seraya mencubit hidung Audrey. "Kesimpulan dari mana itu?"
Gadis dengan manik hitam pekat itu mengerang kesal.
"Tadi gue liat lo gandengan sama dia pas di museum. Kayak orang pacaran tau gak?"
Melihat sahabatnya seperti ingin menguliti Selena saking penasarannya, akhirnya ia menceritakan dari awal. Saat Audrey dan Lily pergi duluan karena Selena yang tertinggal di dalam bus hingga Rieki menolongnya mengambil jaket.
"Claudia itu yang mana deh? Kok gue gak ta-"
Ucapan Audrey terpotong karena tiba-tiba ada cairan hijau kental yang melumuri tubuh Selena dari kepala. Selena yang basah dan lengket hanya bisa bengong dengan mulut terbuka setengah. Audrey tak kalah kaget, gadis itu meoleh ke belakang Selena dan mendapati dua orang gadis berdiri sembari berkacak pinggang. Beberapa sat kemudian, mereka saling pandang dengan tampang polos.
"Aduh, tangan gue licin, May."
"Iya nih, gue juga."
Tangan kedua gadis itu masing-masing menggenggam gelas kosong. Saat Audrey menyadari warna hijau di gelas dan cairan di tubuh Selena serupa, ia bangkit seraya menatap tajam keduanya.
"Kalian ngapain?!"
"Tangan kita licin, sorry."
Audrey menggeram, ingin rasanya menonjok mereka. Tetapi tentu saja, itu takkan dilakukannya. Berbeda kalau Audrey adalah Lily. Gadis tomboy itu pasti langsung mengamuk, mungkin. Baru saja Selena akan beranjak dari tempatnya, suara Maya-salah satu gadis yang tadi menyiram Selena dengan jus alpukat itu membuat Selena berhenti di tempat.
"Heh, jadi adik kelas gak usah sok-sok-an cantik, deh. Udah tau Rieki punya pacar, tetep aja dideketin. Jangan kecentilan."
"Gak tau diri banget, sih," tambah Sissy, teman Maya yang sejak tadi hanya diam dengan wajah dingin menusuk, menatap punggung Selena. Karena Selena tidak berucap apapun, Sissy kembali melanjutkan ucapannya.
"Ah, apa jangan-jangan lo itu gak tau ya kalo Claudia itu pacarnya Rieki?"
Pacar? Jadi, kalau mereka berpacaran Selena harus apa? Sedih? Sepertinya tidak. Lagipula, Rieki bukan siapa-siapa Selena. Dan Selena sendiri tidak memiliki perasaan lebih pada cowok itu. Sepertinya.
"Emangnya kalau Rieki punya pacar, hubungannya sama aku apa?"
Maya menggeram, ia hendak menarik rambut Selena namun ditahan oleh Sissy.
"Jangan! Lo mau tangan lo kotor lengket kayak dia? Gak, kan?" bentak Sissy, dihadiahi dengusan kasar oleh Maya. Setelah beberapa saat saling pandang, kedua gadis yang sangat menyebalkan itu akhirnya pergi, meninggalkan Audrey dan Selena.
"Lo mau ke mana?" Audrey bertanya saat melihat Selena ingin melangkah.
"Aku basah, Rey, mau ganti baju."
"Mau gue temenin?"
"Gak usah," Selena menggeleng lalu tersenyum setelah mengusap cairan kehijauan dari pipinya. "Kamu mau dansa sama Kei kan di acara puncak api unggun nanti? Bentar lagi lho."
Audrey terlihat ragu-ragu. Ia ingin sekali menemani gadis itu ke kamar, namun dirinya juga enggan untuk meninggalkan tempatnya berpijak ini. Setelah beberapa saat dalam keheningan, Selena menepuk pelan pundak gadis itu.
"Kamu harus berhasil ajak dia, ya," kerling Selena.
Audrey mengucapkan maaf berkali-kali karena tidak bisa menemani Selena sebelum akhirnya mengangguk mengerti. Selena berbalik arah, berjalan pelan memasuki penginapan sambil sesekali mengusap cairan yang kini benar-benar terasa lengketnya. Gadis itu sesekali menggerutu sebal. Kenapa nasibnya bisa semengenaskan ini? Padahal kan, dia tidak punya hubungan apa-apa dengan Rieki.
Beberapa langkah memasuki ruangan, ia menoleh ke kanan-kiri. Sepi. Tanpa ragu, kakinya melangkah masuk.
"Ayo ke halaman belakang, bentar lagi dansanya dimulai."
Sontak, Selena berhenti melangkah. Ia menajamkan pendengaran, berharap tidak sedang mendengar pembicaraan seseorang yang agak pribadi. Awalnya Selena ingin langsung masuk ke dalam kamar, namun saat ia melihat bayangan seorang gadis membuatnya mengendap-endap. Penasaran.
"Hatchii!" bersin yang tidak diundang membuat Selena terkesiap.
"Siapa di situ?"
Tubuh gadis itu menegang. Membeku, bingung harus melakukan apa karena langkah kaki gadis yang tengah mengajak berdansa seseorang itu kian mendekat.
"Lo nguping pembicaraan kita?" ucapan tajam yang dilontarkan oleh gadis itu semakin membuat Selena ingin cepat-cepat kabur. Dia bangkit, namun saat kakinya siap untuk berlari suara seseorang membuatnya kembali terdiam.
"Udahlah, Clau," suara yang sangat dikenal Selena. "Biarin aja dia mau nguping juga. Lagian gue gak ada niatan mau dansa."
Claudia, gadis yang tadi siang sempat mengerjai Selena itu tampak kesal karena dilarang oleh Rieki. Kakinya yang jenjang melangkah mendekati Rieki hingga mata mereka saling bersitatap.
"Kamu nolak ajakan aku, Rie?" Claudia bertanya lembut.
"Yeah," Rieki mengedikkan bahu. "Lo gak denger gue mengucapkan kata iya, kan?"
Claudia memutar bola matanya dengan malas. Setelah mendengus kesal, gadis itu berlalu melewati Rieki. Ada rasa kesal menjalar karena Rieki lagi-lagi menolaknya. Tangannya terkepal kuat, memikirkan bagaimana caranya agar Rieki menatapnya, memandangnya. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba ia ingin sekali menoleh ke belakang. Dan saat itulah, hatinya benar-benar terasa panas.
Gadis yang menguping pembicaraan tadi, adalah Selena. Claudia tak habis pikir, kenapa tiba-tiba Rieki dekat dengan gadis itu? Apa yang kurang darinya? Apa yang dilihat Rieki dari Selena? Saat tangan Rieki mengusap wajah Selena yang lengket dan basah, Claudia berdecih dan berlalu pergi dari hadapan mereka.
。 ღ 。 ღ 。 ღ 。
"Ini kenapa lagi, coba? Hm?" Rieki bertanya seraya menghapus alpukat kental di wajah Selena. "Lo abis jatoh di danau berlendir?"
"Enggak lah."
Selena mencibir, mundur beberapa langkah hingga tangan Rieki terlepas dari pipinya. Melihat Selena yang seperti itu membuat Rieki menaikkan sebelah alis. Menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi, dan kenapa Selena tiba-tiba menjauh seperti itu?
'Siapa yang melakukan ini?'
'Hm? Aku gak ngerti sama ucapan kamu.'
Selena mengalihkan pandangan dan berusaha untuk tidak bersitatap dengan Rieki. Dia hanya tidak ingin pikirannya dibaca oleh Rieki. Dia tahu betul, cowok satu ini memiliki rasa keingintahuan yang besar seperti Audrey. Dan sekarang ia harus cepat-cepat kembali ke kamar kalau tidak ingin menjawab rentetan pertanyaan dari Rieki.
"Mau ke mana?"
Rieki bertanya setelah Selena berbalik arah hendak kembali ke kamar.
"Kamar."
"Ikut."
"Hah?" Mata Selena membesar. "Ikut? Gak boleh!"
"Kenapa? Gue kan khawatir nanti lo diapa-apain sama temen-temennya Claudia."
Mata Selena menyipit. "Kamu jangan sok tahu. Lagian mereka gak ngapa-ngapain aku."
"Gue tahu. Mereka memang selalu melakukan hal kayak ini." Rieki memperhatikan tubuh Selena yang lengket dari atas sampai kaki lalu kembali menatap Selena tepat di manik.
Selena menghela napas sebelum memutar tubuh ke arah Rieki. Ditatap tajam oleh Selena bukannya membuat Rieki risih atau takut. Cowok itu justru meniru gerakan Selena yang menyilangkan tangan di depan dada. Saat Selena menghentakkan kaki, Rieki mengikutinya. Ketika kaki Selena melangkah ke depan, Rieki juga melakukannya.
"Jangan ikutin aku!" pekik Selena sebal.
"Hah? Gue gak ikutin elo, kok. Kepedean banget, ya."
Mata Selena menyipit. Rieki tersenyum kecil menanggapinya.
"Ya udah, kalo gitu kamu tetep diam di sini, jangan ke mana-mana."
Rieki tertawa kecil sebelum menggeleng dengan wajah yang sangat menyebalkan. Membuat Selena menghentakkan kaki dan berbalik arah menuju kamar. Namun Rieki pantang menyerah, dengan santainya ia mengekor Selena. Saat mereka sampai di batas lorong penginapan untuk para gadis, Selena berbalik arah sembari merentangkan tangan.
"Cowok gak boleh masuk sini."
Rieki menaikkan sebelah alis. "Kata siapa?" kakinya sengaja melangkah mendekati Selena, menantang gadis itu. Ah, sebenarnya Rieki hanya ingin iseng kok, dia ingin melihat wajah Selana yang lucu saat marah. "Nih, gue bisa masuk kan?"
"Terserah deh."
Selena bersungut-sungut dengan pipi mengembung, meninggalkan Rieki yang hanya bersandar pada tembok lorong. Menatap Selena yang kini sudah berjarak beberapa kamar darinya. Sesaat sebelum Selena masuk kamar, Rieki berteriak.
"Gue tunggu di halaman belakang, ya."
Kening Selena berkerut dalam. Maksudnya di halaman belakang apa? Baru saja ia akan bertanya, suara pemberitahuan tentang dansa api unggun terdengar. Dansa? Selena meneguk ludah dengan gugup saat berpikiran bahwa Rieki akan mengajaknya berdansa. Tapi, apa mungkin Rieki mengajaknya? Kalau iya, kenapa Rieki mengajaknya? Jelas-jelas dia menolak ajakan Claudia.
。 ღ 。 ღ 。 ღ 。
Sudah empat jam berlalu dan Selena masih belum bisa menutup kelopak matanya. Anehnya, meski jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam ia masih saja belum merasakan kantuk. Matanya bahkan bergerak ke sana ke mari, memikirkan beberapa kejadian yang dialaminya satu hari ini.
Claudia. Kakak kelas yang jarang terlihat di sekolah itu tiba-tiba ikut study tour. Menurut humor yang beredar-Selena mengetahuinya dari Audrey-di kalangan para siswi, Claudia akan melakukan apa pun untuk menjauhkan gadis yang mendekati pacarnya. Katanya, sudah ada empat anak yang menjadi korban bully Claudia. Ah, apa saat ini Selena sedang dibully?
Selena tidak takut dan tidak peduli jika dirinya sedang dibully. Ia justru khawatir akan hal lain. Seperti, tanpa sadar telah menghancurkan hubungan orang lain. Lebih tepatnya Claudia dan Rieki. Ah, Rieki. Apa saat ini pemuda itu sudah terlelap?
Selena terduduk, memperhatikan Audrey yang tidur lelap di sisinya. Setelah berbagai pertimbangan, gadis itu akhirnya beranjak dari kasur dan mengambil sweater. Memakainya dengan asal sebelum keluar kamar secara sembunyi-sembunyi.
Lorong penginapan yang sebelumnya ramai akan para siswa dan siswi yang hilir mudik kini sepi, hanya suara langkah Selena yang terdengar. Gadis itu mengeratkan sweater, berjalan perlahan keluar penginapan menuju halaman belakang.
Jalan setapak ke arah halaman belakang agak gelap, hanya ada beberapa lampu taman yang tampak dinyalakan. Selena ingat betul, Rieki memintanya untuk menemuinya di halaman belakang. Tapi, untuk apa? Gadis itu tidak mau berharap pada seseorang yang sudah memiliki hubungan dengan orang lain. Dan .... Selena pun, tidak mengerti kenapa kakinya melangkah ke tempat ini.
'Akhirnya dateng juga ...'
Selena mengerjap sekali. Suara Rieki terdengar jelas di pikirannya.
'Kenapa lama banget, sih? Apa cewek tuh kalo mandi dan ganti baju selalu berjam-jam kayak elo?'
Selena tak bisa berbicara apapun. Dengan mata kepalanya sendiri, ia bisa melihat sosok Rieki duduk membelakanginya di depan api unggun yang telah dimatikan. Kedua lututnya ia tekuk, menatap Selena dengan senyuman lelah. Apa dia menunggu Selena sejak tadi?
'Kenapa? Kaget karena gue masih di sini?'
Selena mengangguk ragu. "Ini kan udah jam sebelas ... kamu kok masih di sini?"
"Gue udah bilang kan mau nunggu lo di sini?"
Rieki tersenyum hangat. Selena tahu senyuman itu dimaksudkan untuk membuatnya tenang dan tak perlu merasa bersalah karena telah membuat seseorang menunggu selama berjam-jam. Namun hatinya berkata lain. Bibirnya mengerucut sebal. Dengan gerakan cepat Selena duduk di samping Rieki.
"Harusnya kamu pergi setelah aku gak dateng setengah jam, atau satu jam."
"Gue ini tipe yang setia, lho," ujar Rieki seraya mengerling jahil.
Selena menghela napas dengan gusar. Ia menekuk lutut, memeluknya dengan erat sebelum menumpukan dagu di atasnya. Bibirnya yang masih mengerucut itu membuat berbagai pertanyaan tercokol di kepala Rieki.
"Kenapa? Ada yang sakit?"
Selena menggeleng.
"Terus kenapa? Lo ngantuk? Balik ke kamar aja. Gue masih mau di sini soalnya."
Selena akhirnya menoleh, menatap balik mata Rieki yang nyatanya sejak tadi tidak lepas dari gadis itu. Selena tak habis pikir, untuk apa Rieki menunggunya selama berjam-jam? Memangnya dia seseorang yang layak untuk ditunggu?
"Lo emang seseorang yang layak untuk gue tunggu."
Mendengar kalimat itu terucap dari bibir Rieki membuat Selena memalingkan wajah. Tidak senang jika ditatap sedalam itu dan diberikan ucapan semanis itu. Benar-benar, ini pertama kalinya ia merasakan yang seperti ini. Selena sama sekali tidak berniat membalas ucapan Rieki. Gadis itu hanya menunduk, bingung akan apa yang dirasakannya kali ini. Sedangkan Rieki, dia hanya tersenyum manis karena mendengar suara-suara pikiran Selena.
"Jangan gombal ya, aku gak akan ketipu!"
Rieki tersenyum. "Ya, ya, ya. Gue tau kok ini bukan pertama kalinya lo digombalin." Pemuda itu bangkit, diikuti tatapan bertanya oleh Selena. Ketika tangan Rieki terjulur, Selena menaikkan sebelah alis.
'Bolehkah Sang Pangeran ini berdansa dengan Sang Puteri yang telah ditunggunya?'
Selena mendengus geli. Dia membuang pandangan, menutupi bibirnya yang sudah menyunggingkan senyum. Merasa perilaku Rieki benar-benar konyol. 'Apaan coba, Sang Puteri dan Sang Pangeran? Kamu pikir ini di negeri dongeng?'
'Kalo hal itu bisa bikin lo menyambut uluran tangan gue, gue gak keberatan.' Rieki mengedipkan sebelah matanya.
Selena kini benar-benar tertawa. Tanpa pikir panjang, dia menganggukkan kepala, menerima uluran tangan Rieki sebelum benar-benar bangkit dan berdiri di hadapan pemuda itu. Awalnya mata mereka saling mengunci, tetapi saat tangan Rieki melingkar di pinggang Selena, gadis itu menunduk. Tersipu malu.
'Coba kalo terang,' suara Rieki membuat Selena mendongak. 'Gue bisa liat muka Selena yang berubah menjadi tomat merah.'
'Ish. Apaan sih.'
Selena kembali membuang muka. Tak mau memandang Rieki yang tak lepas memandangnya. Tangan kanan Selena yang digenggam Rieki semakin mengerat bersamaan dengan gerakan mereka diantara gelapnya malam. Keduanya bergerak ke kanan dan kiri, tanpa arah dan terkadang Rieki mengajak Selena berputar tiba-tiba. Mengakibatkan Selena menginjak kaki Rieki beberapa kali.
'Maaf,' bisik Selena, merutuki kecerobohannya.
Rieki tersenyum. 'Gak masalah.' Lalu matanya menyisir sekitar. "Kalo ada musik dan suasananya lebih terang, mungkin lo gak akan salah langkah."
"Hasilnya tetep sama aja kayaknya," Selena berucap diikuti kekehan kecil.
Sebelah alis Rieki terangkat begitu menyadari maksud ucapan Selena. "Gue bisa bikin lo jago dansa."
Wajah Selena terangkat, kebingungan. "Ha? Gimana cara-whoa! Rie-Rieki!"
Dalam sepersekian detik, pijakan kaki Selena sudah berada di atas kaki Rieki. Tubuhnya merapat pada cowok itu. Kedua tangannya menncengkram erat pundak Rieki, meminta keseimbangan padanya. Beberapa saat mereka saling terdiam sebelum benar-benar saling bersitatap.
Meski ditatap sebal oleh Selena, Rieki membalas dengan senyum manisnya. "Kalo gini gak akan bikin lo salah langkah lagi, kan? Kaki gue selamat, dan lo gak akan merasa bersalah lagi."
Mendengar ucapan itu membuat pipi Selena terasa panas, seperti terbakar. Merambat menuju telinga, dan bahkan hatinya pun ikut bereaksi. Berdetak tak karuan. Tetapi bukan hanya Selena yang merasakan detakan jantungnya memompa tak karuan. Rieki pun, seperti itu. Semburat merah muncul di pipinya karena baru pertama kali memperlakukan gadis semanis ini.
Dagu pemuda itu menyentuh pundak kiri Selena, bersamaan dengan kening Selena yang tertumbuk pada pundak Rieki. Mereka saling menunduk, merasakan malu yang teramat meski sampai sepuluh menit berikutnya mereka tak saling melepaskan satu sama lain. Dalam posisi berpelukan dan bergerak sesuai keinginan Rieki. Mereka tidak menyangkal kalau rasa nyaman itu benar-benar hadir.
==========
TBC. Kamis, 16 Oktober 2014
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top