8 : Gagal
Ali keluar dari kamar mandi tempat Brandon berada sambil mengebas tangan di depan wajahnya. Brandon tidak jauh berbeda dengan manusia sialan! Bahkan menurut Ali, Brandon ini terlampau kurang ajar karena berani membuang gas-nya pada hantu sekali pun. Jika bukan karena muak melihat interaksi antara Pita dengan lelaki asing yang dilihatnya, tidak mungkin Ali memilih pergi dan segabut ini sampai menganggu seseorang yang tengah membuang hajat.
Salah Ali sendiri memang. Sudah tahu bau, masih saja diintip. Unfaedah sekali hantu satu ini.
"Sompret amat tuh, anak! Udah baik-baik gue temenin malah diberi gas jengkol dari bokongnya," umpat Ali. Hantu itu bergidik jijik mengingat bau-nya lalu berlagak muntah.
Dari kejauhan, atensi hantu itu bergerak mendapati secercah sinar permai yang berasal dari kedua gadis cantik tengah berjalan beriringan sambil sesekali melempar bual. Pemandangan tersebut tak lepas dari terpaan angin. Hingga membuat rambut keduanya terbuai dan menambah keterpakuan Ali.
Ali melesat. Berpindah ke belakang dinding agar mereka berdua tidak sadar sedang diperhatikan olehnya.
"Anjim! Kenapa gue malah ngumpet?! Lagian mereka nggak bisa lihat gue, kan?" Ali mengemplang jidatnya, "goblok lo!" Syukurlah jika dirimu sadar.
"Gue bisa lihat lo kali." Ali menoleh secepat kilat mendengar celetukan tersebut. Sementara Juliet masih asyik memakan sebuah ciki dan menengkurapkan diri di kursi koridor.
"Baru aja liat yang bening kenapa sekarang disuguhi yang buluk lagi?" Ali bergumam.
Kakinya mengambil langkah satu persatu untuk bisa melarikan diri secara aman. Tetapi sepertinya Juliet menangkap basah pergerakan Ali sehingga ia langsung membunyikan peluit yang entah dari mana dapatnya.
"Nama lo siapa?" tanya Juliet masih dengan posisi tengkurap.
"Nggak punya nama," balas Ali. Hantu itu akan mengambil langkah lagi sebelum terhenti akibat seruan Juliet kembali menginterupsi.
"Tempat tanggal lahir?" tanya Juliet.
"Emang gue pernah lahir?" Ali balik bertanya sambil memandang atap-atap sekolah ini.
"Jadi lo nggak inget apa-apa?"
"Jelas semuanya gue inget, lah!" sahut Ali, "tapi kayaknya ingatan gue dipotong pajak untuk operasi setan."
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
Setelah lamanya berdebat dengan Juliet lalu ujung-ujungnya nyerempet ke tanya jawab dan kuis, akhirnya Ali kini bisa selamat dan menjumpai Pita yang memilih mengurung diri di dalam kelas. Ini sudah jam-nya istirahat. Pita sama sekali tidak berniat untuk pergi ke kantin barang sejenak. Sambil menatap lurus, telinganya gadis itu disumbat eaerphone yang mengalunkan lagu Halu cover Feby Putri. Lagu merdu yang cocok sebagai pengantar tidur.
Pita masih sibuk menatap datar pada papan tulis seraya menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Sementara Ali duduk di samping Pita sambil menopang dagu menahan kantuk. Pita yang mendengarkan, Ali yang terkena efeknya.
Suara ketukan pintu membuat Ali langsung menegapkan tubuh bersamaan atensi hantu itu yang kembali terbuka lebar dibuatnya. Ia memandang lelaki jangkung yang sekarang tengah tersenyum ke arah Pita. Diliriknya Pita sekilas, Ali tak tahan untuk tidak menahan tawa sebab Pita masih bersikap datar meski tahu ada orang lain di antara mereka.
Memangnya Ali orang?
"Nggak ngantin?" tanya Evan lalu duduk di bangku depan Pita dengan menghadap ke arah gadis itu.
"Lo mau nawarin gue kan, pasti?" tebak Pita.
"Cenayang ya, lo?" celetuk Ali dan lagi-lagi tergelak.
"Diem lo!" sentak Pita memperingati Ali. Tetapi justru sentakkan itu berhasil menumpahkan kesalah pahaman. Terlebih, saat kalimat itu diucap ketika Evan akan membuka bicara.
Pita menghela napas. "Sori," ucap Pita.
"Gue nggak mau maafin lo." Bagus sekali momen seperti ini. Di mana Pita merasa bersalah sehingga Evan berkemungkinan besar akan berhasil mengajak gadis itu ke kantin. "Sebelum lo mau ke kantin bareng gue."
Ali mendelik tak terima. Lelaki payah itu malah mengambil kesempatan saat Pita merasa tak enak hati.
"Ciri-ciri nggak bisa modus dengan cara yang baik dan benar," kata Ali.
Decitan kursi terdengar. Evan tersenyum. Ali menoleh. Dilihatnya Pita sudah bangkit dari duduknya dan melepaskan earphone yang semula tersemat di telinga. Pergerakan gadis itu sudah cukup membuktikan bentuk dari persetujuan.
"Woy, Pita?! Jangan mau-mau aja lo jadi cewek!" peringat Ali sambil menggertakkan gigi-gigi putihnya.
Pita tidak mengindahkan Ali. Ia berjalan mendahului Evan membuat lelaki itu berjingkrak senang. Ali yang emosinya sudah sampai di ubun-ubun pun reflek menyundul punggung Evan—berharap lelaki itu jatuh dan dipermalukan banyak orang. Tetapi ekspektasi tak selamanya berjalan mulus.
Bayangkan kalau ternyata Evan tidak terjatuh dan malah memeluk Pita dari belakang akibat dorongan Ali.
Merasakan kekurang ajaran Evan padanya, gadis itu langsung menendang selangkangan milik lelaki itu dan merapalkan sumpah serapah di sepanjang jalan. Beranjak dari duduk dan tiba-tiba melangkah lebih dulu bukan berarti pertanda Pita setuju atas ajakan Evan. Ia hanya kebetulan ingin ke toilet tetapi malas mengeluarkan suaranya untuk dapat berpamit.
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
"Hey, cewek!"
Lagi, suara Evan terdengar nyaring di pendengarannya. Pita sesungguhnya merasa muak dan ingin sekali memberi peringatan kasar agar ia tidak perlu mengganggu lagi. Tetapi melihat kekeras kepalaan lelaki itu membuat Pita memilih tidak bertindak dan mengabaikannya.
Sekarang sudah jam pulang sekolah. Pita segera dari kawasan sekolah dan ingin segera pulang ke rumah tanpa gangguan hantu seperti biasanya. Namun, suara motor yang mirip seperti pembalap Rosi terdengar jelas dan kini berhenti di samping Pita. Gadis itu lantas berhenti dan menatap sewot pada si pengendara.
Evan lagi.
"Pulang bareng, yuk!" ajaknya.
"Gue nggak mau. Jadi stop gangguin gue!" kata Pita.
Sementara itu tak jauh dari mereka, Juliet menatap kasihan pada Ali yang tidak ada gunanya sama sekali dan terkesan tak dibutuhkan oleh Pita.
"Jangan mau kalah, dong, jadi cowok!" kata Juliet. Ali menoleh dan mendengkus.
"Gue nggak lagi berjuang!"
"Oh gitu. Oke, gue ganti," Juliet berdeham, "jangan mau kalah, dong, jadi babu!" ujarnya lagi dengan semangat menggebu. Terdengar jangkrik di sekitar. Ali hanya ternganga datar.
Juliet mengerang tertahan dan menggeplak kepala Ali dengan sendal bolongnya.
"Tunjukkin kalau setan juga bisa romantis, dong!" omel Juliet.
"Gitu?" tanya Ali, kali ini tampak tertarik.
Juliet mengangguk.
"Caranya?" tanya Ali.
"Lo ajak Pita pulang bareng naik motor. Beres!"
"Setan punya motor?"
"Ketinggalan jaman amat sih, lo! Jelas punya, lah!"
"Lo bawa?" Sedetik kemudian Juliet langsung melempar sebuah kunci pada Ali yang dipastikan sebagai kunci motornya.
Ali tersenyum merekah dan tanpa berterima kasih lagi langsung melesat membawa motor Juliet yang sedari tadi terparkir di atas pohon.
Suara klakson 'tetot-tetot' menyeruak obrolan Evan dan Pita dengan sekonyong-konyong. Ali mengumpat menyadari suara klakson motor Juliet karena terdengar mirip seperti mainan anak bayi pada umumnya. Evan tampak tidak terganggu, berbeda dengan Pita yang kini ternganga lebar menatap Ali muncul sambil nangkring kece di motor butut ala komplotan setan pada umumnya.
Pita jelas tahu, karena sudah beberapa kali ini ia melihat pocong selalu berbonceng mesra dengan sundel blo'on. Bayangkan saja jika pocong tersebut menyetir menggunakan kepalanya.
"Jadi gimana? Pulang bareng nggak?"
Pita tersadar dan mengalihkan perhatiannya pada Evan kembali. Sial. Pita gagal menyimak obrolan. Padahal ia yakin sekali bahwasannya lelaki itu baru saja melontarkan penjelasan panjang kali lebar kali tinggi dan kali sisi.
"Nggak usah maksa bisa?! GUE BILANG NGGAK MAU YA NGGAK MAU!" Pita mengamuk. Ali mengacungkan jempolnya di depan wajah gadis itu.
Evan menghela napas kemudian mengangguk pasrah. "Oke nggak papa. Lain kali gue bakal usaha lagi," ujarnya. Dan Pita sama sekali tidak peduli.
Lalu Evan beranjak meninggalkan Pita dan Ali yang tak kasat mata.
"Ma—"
"Enggak, ya! Motor lo ini nggak kasat mata! Kalau semisal gue bonceng, berasa ikut-ikutan setan gue dilihatnya! Duduk ngambang tapi tetep ngelajur kek orang naik motor pada umumnya. Gue bakal dikira tai yang terus mengalir di jalanan dan statusnya bukan lagi di air!" potong Pita dengan emosi. Pita sekarang jadi bahan tontonan. Tetapi sikapnya yang terlampau masa bodo membuatnya tetap memaki Ali.
Pita cukup merasa iba dengan masyarakat Indonesia jika seandainya mereka menunggangi motor para hantu yang jelas-jelas tak tampak sedikitpun.
Maka dari itu, Pita lebih baik menolak untuk menyelamatkan diri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top