23 : Nama di batu nisan

Ali merenung di kamar Pita. Bayang-bayang tentang hantu perempuan yang ia temukan di rumah Narlena kembali memporak poranda rasa penasarannya. Ditambah memori aneh yang tiba-tiba muncul perlahan demi perlahan. Ali sangat yakin kalau dirinya memang tertabrak mobil. Hanya saja, hal itu sengaja dilakukan oleh seseorang. Pelaku masih menjadi tanda tanya tersendiri.

Suara pintu terbuka. Ali masih enggan untuk menatap sumber suara. Hanya derap langkah yang kian mendekat ke arahnya lah yang ia nikmati.

Pita berkacak pinggang. Napasnya terembus pelan menatap Ali yang tak mau meliriknya sedikitpun.

"Lo kenapa, sih?" tanya Pita, sewot. Sikap Ali yang terlampau mengabaikannya tentu saja menarik emosi.

"Gue laper. Mau makan. Puas lo?" balas Ali lalu melangkah melewati Pita.

"Gue tahu lo kenapa!" Seruan Pita berhasil menghentikan langkah Ali yang akan mencapai ambang pintu. Ali mematung menunggu kelanjutan dari gadis itu.

"Lo cemburu karena gue deket-deket sama Evan, kan?"

Ali spontan berbalik dan menatap Pita seperti salah tingkah. Matanya berkali-kali mengerjap cemas. Telapak tangannya pun tak mau berhenti untuk saling meremas.

"Gi-gila, ya, lo! Ya kali gue cemburu," elak Ali. Ia berusaha mengedarkan tatapannya agar tidak lama-lama beradu tatap dengan Pita. "Lagian cewek ada banyak. Dan lo cuma segelintir dari mereka," lanjutnya dengan cepat.

Pita mengendurkan senyum mengejeknya. Tatapannya kali ini sulit diartikan.

Pita melempar tas sekolahnya ke ranjang dan beranjak menuju kamar mandi tanpa membalas perkataan Ali atau mengatakan sesuatu terlebih dahulu.

"Btw ... selamat," celetuk Ali ketika Pita sudah berada di dalam kamar mandi. Pita memasang telinganya lebih lebar lagi, "selamat karena lo udah jadian sama Evan," lanjutnya.

Pita hanya membeku di dalam sana. Meresapi perkataan Ali sebelum akhirnya mengulas senyum sinis.

"Setan tolol," umpatnya.

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

Juliet melirik pocong di sampingnya. Juliet berjalan, pocong melompat. Juliet bergaya seperti ini seperti itu, pocong tetap melompat. Tetapi jika Juliet lari, sudah dipastikan jika hantu satu itu akan terjatuh dan menggelindingkan diri untuk bisa menyamakan langkahnya dengan Juliet.

Mulanya Juliet memang sangat berharap agar mendapat kencan manis kali ini. Tetapi kenyatannya mah apa atuh.

Mau gandeng aja susahnya minta ampun.

"Bu, mau makan apa lo?" tanyanya.

Juliet melirik tajam. "Lo manggil gue ibu, atau babu?"

"Bubu, yang, astagfirullah. Jadi setan nggak usah banyak suudzon! Dosa lo yang dulu-dulu udah karatan, noh!"

"Serah lo, dah!" Juliet mengibaskan tangan. Tidak mau melebih lanjutkan obrolan unfaedah seperti ini.

Pocong itu menyengir lebar. Juliet hanya mendekus. Pocong itu memang bukan pocong Ahmad. Tetapi sikap konyolnya lebih dari pocong KW tersebut.

Mereka baru saja keluar dari Hantu Mall Story. Seperti dugaan, mereka sama sekali tidak membawa belanjaan apa pun ketika keluar dari sana. Lebih tepatnya, mereka hanya mencuci mata dan menumpang AC saja. Walau sesekali uang di dompet Juliet yang buluk mulai meronta-ronta ingin dibelanjakan saat melihat barang bagus.

"Mau beli apa, hm?"

Yaampun gayanya.

Sudahlah! Pocong, mah, pocong aja! Mau bagaimanapun, mustahil jika ingin menyikapi dirinya seperti anak remaja jaman sekarang. Katanya, sih ... badboy. Tapi nggak lucu kalau pocong yang diberi gelar semacam itu. Yang ada bukannya badboy malah jadi badcong, teh pocong, bakso pocong dan lebih parahnya lagi risol. Mengadi-ngadi.

"Gue mau roti," kata Juliet.

"Roti apa?"

"Roti yang nggak pernah ada."

"Ya nggak ada, dong, Bu."

"Ada, dong!"

"Nggak ada! Udah jelas namanya 'roti yang nggak pernah ada'!"

"Ya tapi ada. Lo mau gue gibeng?!"

"Yaudin! Oke." Akhirnya pocong memilih mengalah dari Juliet. "Belinya di mana?" tanyanya kemudian.

"Mana gue tahu."

Sabar, cong ... sabar....

Mereka memutuskan untuk jalan-jalan terlebih dahulu, melihat-lihat beberapa jajanan yang berada di samping kanan kiri jalan tanpa berniat membeli.

"Gue mau susu." Juliet berhenti dan memandang penjual kaki lima. Pocong menghela napas saat tahu bahwa penjualnya adalah manusia.

"Gimana belinya, Bu? Dia nggak bisa lihat kita."

"Bodo amat! Gimana pun caranya gue harus bisa dapetin itu. Buruan lo beli! Buat gue."

"Kenapa mesti beli? Lo, kan, punya sendiri? Tinggal rem—anjay!" Pocong mengumpat ketika Juliet langsung menarik buntelan kavan di kepalanya. Bahaya jika ucapan pocong tetap diteruskan. Yang ada otaknya akan terkontaminasi dan ikut-ikutan tidak beres seperti Ali yang mengaku polos namun sama saja seperti yang lainnya.

Mata Juliet memicing mengikuti pengendara motor yang baru saja melintas melewatinya. Selang beberapa menit Juliet sadar lelaki itu siapa.

"Buruan, buruan!" Juliet sontak menepuk lengan si pocong berkali-kali yang terbalut oleh kain kavan.

"Buruan ke mana?" Pocong itu mengikuti arah pandang Juliet. Tidak ada yang aneh menurutnya.

Pocong itu sibuk memperhatikan jalanan. Mencari sesuatu yang sekiranya membuat Juliet jadi bersikap terburu-buru. Namun saat ia menoleh. Juliet justru sudah menghilang dan tahu-tahu saja sudah berlari jauh sambil menjinjing gaunnya yang merepotkan.

Juliet terengah. Dadanya naik turun akibat napasnya terasa sesak. Tetapi usahanya tidak gagal kali ini. Ia berhasil mengikuti lelaki itu yang bernamaka; Evan.

Juliet bersikap seperti ini karena pernah mendapat laporan dari salah satu hantu yang sempat memantau gerak-gerik Evan sewaktu di kamar mandi. Juga Ali yang katanya mempunyai insting buruk mengenai lelaki itu sejak pertama kali bertemu.

Evan berhenti di salah satu penjual bunga. Saat berpikir jika Evan akan membeli bunga untuk kekasihnya atau siapa pun itu. Sebuah kenyataan justru membawa Juliet tahu bahwa yang Evan beli adalah bunga mawar. Juliet yakin jika bunga itu sering dipergunakan seseorang untuk berziarah.

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

Ali berdiri di samping pohon. Matanya menatap lurus pada lelaki yang baru saja masuk ke kawasan pemakaman.

Beberapa menit yang lalu, Juliet menghubunginya dan memberi kabar bahwa Evan kembali mencurigakan. Juliet juga memberitahu jika Evan sepertinya akan berziarah. Maka dari itu Ali ke kemari karena menurutnya, ini adalah pemakaman yang lumayan dekat dari rumah lelaki itu.

Evan berjongkok di salah satu makam. Kepalanya merunduk dalam.

"Maafin gue...," lirih Evan. Sepertinya terbesit kesedihan yang mendalam. "Maafin gue karena gue nggak bisa jagain lo dengan baik." Evan menangis pilu setelahnya. Bahunya terguncang. Tubuhnya bergetar.

Evan menghapus air matanya lalu beralih mengusap batu nisan tersebut dengan lembut.

"Jaga diri lo baik-baik di sana," pesannya. Evan mulai menaburkan beberapa bunga yang baru saja dibelinya ke makam tersebut.

Ali masih memperhatikannya tanpa melepaskan sedikitpun netranya ke arah lain. Evan bangkit dari jongkoknya dengan lunglai. Sebelum akhirnya melangkah meninggalkan pemakaman yang langsung membuat tubuh Ali menegak.

Ali memicingkan matanya. Menatap saksama nama batu nisan dari makam yang baru saja dikunjungi Evan.

"Belinda Bawenda," gumam Ali sambil mengernyit.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top