🥀 - Nuraga sang Tuan Biru 02
Magenta menyipit, sinar matahari terasa begitu terik hingga ia harus bersandar pada bayangan pohon tinggi. Peluh pada pelipis dan pipi ia hapus dengan sapu tangan pemberian Louis untuk Ulang Tahunnya.
Cuaca hari itu terik, membara, dan suara para serangga musim panas bersahutan seolah memberi tahu bahwa musim panas memanglah sudah tiba. Mereka bersahutan, mungkin bernyanyi atau berkawin, siapa pula yang penasaran soal serangga musiman itu?
Ia sempatkan diri untuk melihat suhu pada Smartwatch di lengan kirinya. Angka 20 terpampang dengan jelas di sebelah gambar matahari menyengat. Ia menarik nafas dalam-dalam, kembali mengelap peluh pada wajah rupawannya.
Entah memang hari itu ia merasa lemah, atau karena ia terkena gelombang udara panas, kakinya kehilangan pijakan. Sebelum ia jatuh terjembab mencium tanah, tangan kekar menahannya. Magenta bertemu emas serupa mentari, namun berbeda dengan sang arunika menyengat, emas yang ia lihat sangatlah teduh dan nyaman.
Si penyelamat berucap dengan nada sedikit panik, "Kau tidak apa-apa?" seraya membantunya berdiri berpijak. Setelah itu dunianya berputar, sebelum ia kembali menatap gulitanya bentala.
— 🥀 —
Louis mengangkat hidungnya dari novel di hadapan begitu ia mendengar decitan pintu flat tempat ia dan kasihnya tinggal. Buru-buru Louis berjalan ke arah pintu utama, menyambut kekasihnya yang baru saja kembali dari pekerjaan. Walau malam sudah tiba, peluh di setiap sudut sang lelaki adalah bukti bahwa udara di masih saja panas menyengat.
Sang kekasih menyibak rambutnya sambil mengerang kecil, "Panas sekali! Bisa-bisa aku terpanggang hidup-hidup!" keluhnya seraya melepas sepatu asal-asalan.
Louis merengut, "Itu bukti kalau Global Warming memang sudah mencapai batasnya. Kau ingat tidak beberapa tahun lalu Panasnya hanya mencapai angka 20? Aku sempatkan melihat suhu tadi, suhu tertinggi tahun ini 25, apa kau bisa percaya itu?"
Moran — sang kekasih, tertawa kecil mendengar ucapan dari Louis. Ia mengangguk menanggapi ocehan surai kuning kecilnya sembari melucuti beberapa pakaian formalnya hingga hanya tersisa kemeja dengan lengan tertekuk dan dasi longgar di lehernya. Moran tahu kalau Louis sangatlah terobsesi dengan alam dan segala-galanya mengingat kalau si gremlin kuning ini adalah seorang Cum Laude dari jurusan Meteorologi terapan di Universitas mapan. Walau kini Louis menetap sebagai seorang pemerhati cuaca, ia tetap melakukan observasi kecil-kecilannya terhadap dampak Global Warming, tak jarang mengajarkannya kepada anak-anak kecil di komplek flat tempat mereka tinggal.
Alasan lainnya adalah karena Louis sangat amat ingin memperlihatkan meteor shower kepada kakak kembarnya — William, yang kini sedang berada dalam masa terapi. Berkali-kali Moran melihat lingkaran tanggal pada kalender mereka setiap tahun, sayangnya lingkaran itu selalu tercoret dengan tanda silang merah besar tanda bahwa Louis gagal lagi. Mengingat bagaimana parahnya kondisi William, Louis selalu memaklumi dan berkata, "Masih ada tahun depan." Setiap kali Moran menanyakannya.
Kadang Moran menawarkan dirinya untuk menonton bersama Louis, menggantikan kehadiran Kakak tersayang sang kasih. Ujungnya mereka berdua selalu berakhir dengan melakukan observasi kecil untuk mengadopsi bintang. Moran tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, yang menjadi kekhawatirannya adalah redupnya mata Louis setiap kali menatap tanda silang merah pada kalender mereka.
"Makanya aku 'kan sudah bilang berkali-kali, justru dengan memasang pendingin ruangan justru kita akan mendapat panas yang berkali lipat di tahun berikutnya! Aah! Sungguh aku tidak paham." Louis bergumam
Moran menjawab ocehan sang kasih dengan senyum kecilnya. Si lelaki bersurai hitam mengecup bibir Louis sekilas, "Aku paham sayang, tapi sebaiknya kau jangan terlalu berapi-api atau energimu akan habis nant," candanya.
Pukulan pelan dilayangkan ke arahnya. Moran tertawa, membuka kancing terakhir kemejanya sebelum mengganti bajunya menjadi kaus nyaman berwarna putih. Ia dan Louis duduk di sofa mini flat mereka sambil menikmati dokumenter sejarah yang diputar di televisi. Angin sepoi pembawa harum musim panas masuk melalui sela-sela ventilasi kecil flat mereka.
Louis menatap dokumenter sejarah tentang Revolusi Prancis dengan bosan. Ia menempelkan kepala di pundak lebar Moran guna mempersiapkan diri jika ia benar akan tertidur saat menonton dokumenter kali ini. Dokumenter sejarah bukanlah salah satu genre kesukaan Louis. Ketimbang menonton dokumenter, ia lebih senang membaca buku atau artikel terkait karena matanya akan terasa lebih ringan membaca tulisan-tulisan di layar atau kertas daripada menonton gerakan pada layar kusam. Karena itulah, bukan hal langka kalau ia tertidur ketika sedang menonton bersama Moran. Moran pun tak keberatan. Pria berumur 32 tahun itu biasanya membopong Louis ke kamar tidur mereka jika ia tidak sengaja tertidur di tengah film.
Sayangnya malam itu, Louis tidak bisa mendapatkan jatah tidurnya, tidak setelah ia mendapatkan telepon dari Caretaker sang kakak yang mengatakan kalau William baru saja dilarikan ke Ruang Gawat Darurat setelah ditemukan mengambang tak sadarkan diri, dengan satu luka sayat pada pergelangan tangannya.
Louis mengerti, Kakaknya lagi-lagi mencoba untuk membunuh dirinya sendiri. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi lagi. Namun tetap saja, ia masih meneteskan air mata mendengarnya.
Ah, ia berpikir, mungkin aku gagal lagi kali ini.
— 🥀 —
Moran tak banyak bicara selama mengendarai mobilnya menuju rumah sakit yang ditunjuk oleh caretaker baru William. Louis di sebelahnya pun tak banyak mengoceh. Ia hanya diam, memandang ke luar jendela mobil sambil mendengarkan lagu heather yang di putar di radio. Moran hanya bisa menunjukkan perhatiannya dengan mengenggam tangan Louis menggunakan tangan satunya —yang tentunya tak sedang memegang kemudi mobil atau mereka berdua akan kecelakaan— seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja, walau mungkin itu nantinya akan sia-sia.
Mereka sampai di rumah sakit tak lebih dari 20 menit perjalanan. Rumah sakit dengan warna putih mentereng berdiri, seolah menyapa mereka yang baru saja masuk ke area parkir. Perjalanan dari area parkir ke Ruang Gawat Darurat pun tak membutuhkan waktu lama. Tahu-tahu saja Moran dan Louis sudah tiba di depan pintu kaca dengan tulisan merah menyala di atasnya. Ruang Gawat Darurat tak seramai biasanya, tapi rasa mencekam akan selalu hadir bagi seseorang yang masuk ke dalam. Louis pun begitu, ketika ia bertanya ke resepsionis di bagian gawat darurat tentang keberadaan Kakaknya, wanita berambut bob dengan kacamata tebalnya menunjuk salah satu tirai di ujung sembari memberi Louis kertas berisi keterangan keadaan Kakaknya.
Moran menepuk-nepuk pundak Louis sebagai upayanya menenangkan, atau setidaknya berusaha menenangkan Louis yang kalang kabut. Ia menarik lembaran kertas dari tangan kecil si surai emas sebelum menggandengnya menuju tirai yang dimaksud. Tirai di ujung ruangan, bilik ketiga dari kiri dan pertama dari kanan. Di balik tirai itu, William sedang tertidur dengan nyamannya walau infus berisi cairan tak dikenal diberikan kepadanya. Di sebelah William, seorang lelaki berambut biru tengah duduk dengan kepala mengadah ke atap.
"Sherlock," panggil Louis dengan suara paraunya.
Si surai biru menoleh ke arah mereka. Dia tak banyak bicara selain memberikan Louis satu amplop tebal. Sebenarnya Moran merasa kalau isinya mungkin adalah uang, walau Moran tak begitu yakin, tapi ia adalah seorang yang berurusan dengan uang setiap harinya sampai ia hafal bagaimana bau uang, jadi meski ia tak begitu yakin, ia juga sangat yakin kalau isi di dalam amplop itu adalah uang. Pertanyaannya, mengapa Sherlock memberikan Louis uang? Moran tak begitu yakin kalau mereka pernah merasa dihutangi seseorang atas nama Sherlock atau pun meminta uang kepadanya. Walau ia dan Louis tinggal di flat yang tak begitu mahal, mereka juga tak sangat amat miskin hingga harus berhutang kepada orang lain.
Seolah bisa merasakan kebingungan Moran, Sherlock membuka suaranya. Ia berdeham sekali, "Maaf, ini uang yang sudah kalian bayar untuk jasaku, aku kembalikan karena sepertinya aku sudah jadi seorang Caretaker yang buruk," jelas Sherlock.
Louis menggeleng cepat, "Bukan, bukan begitu, aku yang tidak memberitahukan keadaan Kakak kepadamu." Sanggahnya. Ia kini merasa sangat bersalah karena kesalahannya tidak memberitahukan bagaimana kondisi William yang sebenarnya. Louis menatap Sherlock takut-takut, sebelum memutuskan untuk mengajaknya berbincang di lobi Ruang Gawat Darurat dan meminta Moran untuk mengawasi William.
Moran mengawasi keduanya pergi sampai hilang dari pandangan. Ia menghela nafas, melipat tangan di dada, menatap wajah pucat William di atas kasur rumah sakit yang nampaknya, bagi Moran, terlalu tenang bagi seseorang yang telah mengakibatkan kekacauan.
— 🥀 —
Lobi Ruang Gawat Darurat tak seramai kelihatannya walau banyak Ambulance berlalu-lalang di depan rumah sakit. Isi dari lobi tak lebih dari staff rumah sakit atau dokter pengganti yang dipanggil untuk melihat keadaan ruang gawat darurat. Ada beberapa pengunjung, namun tak lebih dari sepuluh orang termasuk Sherlock, Louis dan kekasih dari Louis tadi.
Karena lobi sangatlah sepi, Sherlock memutuskan untuk membeli Kopi di salah satu mesin penjual otomatis di lobi Ruang Gawat Darurat. Walau kopi instan rasanya sangat buruk dibanding kopi hasil gilingannya sendiri di pojok counter dapur, setidaknya dia bisa menghilangkan beban pikirannya tentang seorang William James Moriarty dan segala-gala misteri yang menghantui pria berambut emas ringkih itu.
Selesai membuang cup kertas Kopi, Sherlock duduk di sebelah Louis. Mereka diam, tak banyak bicara sebelum akhirnya Louis mengusap wajahnya dengan begitu kasar. Ia sempat mendengar Louis mengerang kecil sebelum menghela nafas dengan kasarnya.
"Mau aku ceritakan dari mana?" Tanya Louis pada akhirnya.
Sherlock mengedikkan bahu, "Mungkin dari awal masalah?"
Louis bergumam dengan inkoherennya. Lagi-lagi si surai emas menghela nafas panjang hingga Sherlock seolah-olah bisa melihat tulisan 'Hai, aku adalah seorang lelaki yang sedang stress dan kesusahan' menempel di setiap bagian tubuhnya. Lelaki berkacamata bulat itu menyenderkan dirinya pada bangku lobi ruang gawat darurat, seolah ingin menyublim, menguap menjadi udara.
"Masalah ya," Beonya.
"Kakakku, William. Entahlah, mungkin kami memang sudah rusak dari sana." Gumamnya sambil mengusap wajah.
Tiba-tiba saja ia membenarkan posisi duduknya. Louis menunduk, menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia pun mulai bercerita.
— 🥀 —
Aku dan Kakakku, kami berdua di adopsi dari Panti Asuhan tak jauh dari London. Keadaan orangtua kandung kami tak ada yang tahu, pun, kami tak tertarik untuk mencari tahu. Kami di adopsi oleh keluarga Kakak tertua kami, Albert, saat kami berdua menginjak 9 tahun, aku rasa, aku tak begitu ingat.
Kami di adopsi dan ikut pergi ke London. Awalnya semua itu baik-baik saja. Kami mendapat rumah yang hangat, keluarga yang penyayang, orangtua yang baik, juga kakak yang bisa kami andalkan. Tapi, saat itu Ayah, ah, bukan, si Pak Tua pulang dengan seorang Prostitusi, jujur, aku pun tak tahu itu benar prostitusi atau hanya rekan kerjanya, intinya Ibu—bukan, bukan Ibu, si nenek tua itu marah, sangat amat marah hingga membangunkan satu rumah.
Mungkin kau tahu, sampai sekarang ada streotip dimana mereka berkata orang berambut pirang adalah orang yang pintar menggoda. Warna rambut si prostitusi waktu itu adalah pirang, hampir sepertiku dan Kakak. Sejak saat itu, si nenek tua selalu melukai kami berdua. Mungkin itu ketakutannya sendiri, tapi ia melampiaskannya kepada kami. Tak jarang kami dikurung atau dipukul, sampai akhirnya si Pak tua menceraikannya dan membawa kami serta Kak Albert ke Durham.
Mungkin memang sudah terlalu membekas, dari sana Kak William sudah memiliki tanda-tanda trauma yang parah. Butuh waktu lama untuk sembuh sampai akhirnya Kakak mau bersekolah dan kembali beraktivitas. Si Pak tua, mungkin itu caranya meminta maaf, entahlah, dia selalu pergi dari satu tempat ke tempat lain semenjak Kak William sembuh.
Kakak berhasil sembuh total, bahkan mendapat kekasih, namanya, namanya Milverton. August Milverton. Jujur saja, dia pria mapan, sangat amat mapan, juga pintar. Kami menyukainya, kakak pun begitu. Tapi Milverton juga yang membawa malapetaka.
Sherlock, mungkin kamu pernah dengar ini, Life is temporary, but Love is eternal. Itu adalah penggambaran Milverton dan Kakak. Milverton, Milverton meninggal karena kecelakaan. Aku tak tahu lengkapnya bagaimana, tapi dari yang aku dengar, dia meninggal tepat di hadapan Kakak. Hidupnya memang sebentar, tapi cintanya untuk kakak sangat besar dan kekal. Kakak pun merasa begitu, dia, dia sangat amat mencintai Milverton. Dia juga kerap menyalahkan dirinya, dia terus menyalahkan dirinya, berkata kalau kematian Milverton adalah salahnya dan ia lebih baik pergi untuk menyusulnya.
Kakak kembali ke titik kosong lagi. Dia selalu takut bertemu orang-orang, dia takut disalahkan, takut dicaci dan dibenci, tapi aku tahu, aku tahu Kakak membutuhkan seseorang saat ini. Aku takut Sherlock, aku takut.
Aku takut kakak akan benar pergi dan meninggalkan kami. Aku memang telat menyadarinya, tapi beberapa hari ini, di buku harian Kakak, aku selalu menemukan tulisan itu, Life is temporary, but Love is eternal. Seolah kakak memang ingin pergi, untuk menemui cinta abadinya. Dan, dan, dan meninggalkan kami.
— 🥀 —
❝Owe no one anything, except to love each other, for the one who loves another has fulfilled the law. ❞
— Romans 13:8
— 🥀 —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top