III. Pria Asing
Masih draf, jangan dibaca dulu. Di posting hanya untuk setoran event.
***
Dalam setapak demi setapak langkah ketiganya, embusan napas terengah menyertai di tengah lika-liku dengan wajah jalan yang lubang dan berkerikil. Sinar rembulan hanya dapat menembus sedikit dari balik celah dedaunan pohon. Untunglah León berpikir tenang, dan membawa obor dari tempat kejadian.
Pada kondisi ini, León sudah cukup membaik. Sesekali ia melantunkan nyanyian untuk menghibur teman-teman, karena hanya itu dukungan yang bisa diberikan setelah mendapat pertolongan. "Rasanya kita seolah melakukan perjalanan sakral, bukan?" Ia mencoba mencairkan suasana, dengan wajah hangat saat tersapu nyala api.
Gonzague baru akan menyangkal bahwa situasi mereka cukup serius. Akan tetapi, ketika mendengar gerincing lonceng dari kejauhan yang entah dari mana, nostalgia kembali datang. Bunyi itu menjadi bagian dari peristiwa indahnya di masa kanak-kanak. Ia pun menyetujui argumen León. "Entah bagaimana, kali ini aku setuju."
Sementara Kristen hanya menjadi nyamuk di sini. Bahkan, mereka belum berkenalan dengan baik, tetapi ia hanya perlu fokus pada tujuan. "Berhentilah berbasa-basi, itu tidak ada efeknya untukku. Lebih baik segera ikuti arah suara tersebut."
"Santai saja, Kris. Kau harus sedikit bercanda," sahut Gonzague sembari memperlambat langkah, sebab kali ini gantian ia yang memegang obor.
Kristen hanya berdecak seraya berjalan mendahului. Semakin dalam penjelajahan, adrenalin ketiganya juga semakin kuat. Pohon-pohon di sekitar tampak seperti penjaga menakutkan, rerantingnya bagai tangan yang siap menangkap. Suara burung dan serangga malam pun terdengar, sehingga gerincing lonceng tidak lagi alami.
Dengan rasa ketakutan ketiganya berlari menjauhi suara itu. Kemudian, pada setapak perjalanan tampaklah sebuah jejak kaki buram di. Ketiganya mengikuti meski merasa takut, hingga jejak itu tersamar tepat di dekat pohon rowan dengan pola unik bergaris melintang di sepanjang batangnya.
Tiba-tiba angin berembus kencang. Pohon rowan bergoyang, dan sebuah benda terlempar ke arah mereka dengan melesat cepat. Reflek, Kristen mengkapannya begitu sampai lebih awal. Satu langkah lagi tepi jurang nyaris membuat ia tergelincir, tetapi sekaligus menyadari di seberang sanalah sumber suara itu---pada bangunan megah dan curam.
Tidak lama, tepukan tangan terdengar bersamaan dengan nada tenor seorang pria, "Setiap tahun selalu ada murid baru yang menarik." Ia memperlihatkan seringai ganjil. "Aku jadi merasa terhibur."
Ketiganya berpaling untuk mencari sumber suara. Seseorang yang tadi melempar sebuah gulungan itu tengah duduk di atas dahan pohon. Menyadari persembunyiannya sudah ketahuan, ia turun seraya mendarat tepat di hadapan ketiganya. Ia mengenakan topi sulap, lengkap dengan jubah hitam yang membaluti. Dari balik setelannya yang formal, terkesan begitu elegan.
Berbanding terbalik degan pandangannya yang menyelisik, ketiganya tak menyahuti pria itu. Penilaian mereka tampak skeptis. Bahkan, Kristen kembali meninggalkan percakapan, sedangkan León tidak mau berpikir lagi, semua yang ada di sini sudah terlalu membuatnya pusing.
Karena tidak mendapat sahutan, pria itu lantas memberi arahan, "Pergilah ke Barat Daya kalau kalian sudah cukup percaya diri."
"Sama sekali tidak ...," desus León, meski ungkapan tak sampai kepada sang pria.
Tanpa banyak bertanya, yang lain segera mengikuti ajuan itu, karena lonceng juga sudah bergerincing beberapa menit lalu. Walau ini hari pertama mereka akan sekolah, keduanya lebih memahami batas-batasan di sini dibandingkan Deva yang baru saja siuman. Alhasil, Deva hanya mengekori keduanya.
Akan tetapi, sebelum sepenuhnya beranjak pergi, suara pria itu kembali menghentikan langkah mereka. "Tunggu!" sergahnya dari arah belakang. Sambil berjalan cepat-cepat dan berdiri di belakangnya.
Sontak, ketiganya berpaling ke hadapan pria itu. Tentu saja sang lelaki Asia kini mulai jenuh dan kehilangan kesabaran. Ia lantas mendengus. "Apa lagi, sih?"
Pria itu menanggapi kekesalan dengan lagi-lagi tersenyum sungging, sebagai catatan ekspresi paling menyebalkan selama belum beberapa lama mereka mengenalnya. Lebih lagi, terdapat jeda panjang sebelum ia berkata, "Akan kuberi tahu kalian satu petunjuk." Pandangan pria itu yang tampak jenaka kini berubah serius. "Akademi sulap ini dikendalikan dengan aturan yang sama sekali tidak rasional, tapi bagi mereka yang berkuasa aturan bisa dilanggar."
Tanpa diduga, ia tiba-tiba menyela, "Bagaimana cara untuk menjadi penguasa?" Ucapannya penuh dengan selisik. Sebab yang bisa ia tangkap dari penjelasan pria itu adalah, 'aturan di akademi ini sengaja dibuat tidak rasional'. Hal itu agar para murid berlomba-lomba menjadi penguasa, bahkan jika dilakukan dengan cara yang licik dan sadis. Mengkhianati yang lain pun tak masalah selama mereka berada di puncak yang tertinggi.
Pria itu semakin menyunggingkan senyumnya, hingga terlihat begitu lebar dan dalam. "Suatu saat nanti, kalian akan tahu jawabannya sendiri ...." Ia membungkuk untuk memberi sambutan kepada murid baru, "Silakan bersenang-senang sepuasnya di kelas sulap nanti, dan selamat datang di Académie de Magie Zorvath."
Meski suara Jun berupa desusan, ia masih dapat mendengar ucapan sahabatnya itu. Sayangnya, ketika hendak kembali angkat suara, gerincing lonceng menukas ucapannya. Bunyi yang selalu menjadi bayangan dari akhir peristiwa indahnya di masa kanak-kanak.
Bersamaan dengan dentingan itu pula aksi tarik-menarik mereka terhenti, kemudian menuntun Deva keluar dari UKS. Bidang pengelihatannya langsung dihadapkan dengan hamparan lapangan nan luas. Bangunan tampak bernuansa gotik dengan kubah-kubah yang dipoles terjal dan menjulang. Pepohonan juga seolah bersanding dengan tingginya bangunan itu.
Sesuatu begitu mengusik benak Deva. Nuansa di sini seperti tempat yang sudah mati, dan terlihat begitu semu. Ia pun bertanya dengan kernyitan yang dalam, "Di mana orang-orang? Kenapa tempat ini sangat sepi?"
"Tempat ini ramai, Dev. Hanya saja, kau belum menyadarinya," sahut sang sahabat dengan tatapan lurus ke depan. Nada suaranya terdengar rendah, tetapi memiliki unsur keyakinan yang dalam hingga tidak bisa disanggah begitu saja.
Deva menyelisik lebih dalam lagi. Kali ini, terlihat samar-samar beberapa orang berkeliaran di lapangan. Seragam warna senada dengan bangunan membuat pandangan Deva terkecoh. Hanya ketiganya yang memiliki baju berwarna-warni, membuatnya terlihat kontras di antara yang lain.
Embusan angin yang menerpa ketiganya seolah mewakili tatapan penghakiman dari orang-orang, terasa begitu dingin dan mencekam. Pun setiap mata punya cara memandang berbeda; ada sendu, berbinar, juga nyalang. Seolah ketiganya perlu dikasihani, menjadi tumpuan harapan baru, atau saingan yang harus segera disingkirkan.
Menyadari raut terusik sang sahabat, ia mencoba menenangkan. "Jangan pedulikan tatapan mereka."
Atensi Deva terbuyar. Ia meneguk saliva dengan susah payah. "Tempat apa ini? Dan siapa mereka?"
Lelaki Asia menutup mulut yang menguap, dengan nada khas kantuknya yang berat ia berkata, "Akademi sulap, dan mereka adalah para pesulapnya."
Deva terbelalak. "Apa?!" Ia beralih memijat kepala. Rasanya kembali terserang vertigo. "To-tolong yakinkan aku. Setelah lulus SMP, kita tidak pernah mendaftar di Akademi Sulap, kan?" Namun, hanya hening merajai, lantai pertanyaan itu kembali dilontarkan. Kali ini dengan nada menekan. "Iya, kan?"
Ia mengembuskan napas kasar. Beralih menaruh kedua tangan di pundak Deva untuk mengambil alih seluruh perhatian sang sahabat. "Dev, tenangkan dirimu."
Deva tak menggubris dan semakin menjadi, "A-atau kita salah mengisi formulir SMK?" Ia lantas menggeleng. "Tidak, tidak mungkin," elaknya seraya mengacak rambut frustasi. "Aku tidak bisa berpikir!"
Rasa kantuk sang lelaki Asia seketika lenyap mendengar celotehan itu. Ia berdecak, "Kau bisa tenang sedikit? Caramu yang seperti ini membuat kita semakin pusing. Beruntung kau datang ke sini berdua dengan sahabatmu. Sementara aku? Sendirian," lelaki itu sadar hanya seorang asing di antara sepasang sahabat, tidak lebih.
Deva mengabaikan adu nasib itu. Dengan pundak yang merosot, ia berbicara begitu lemah, "Aku cuma orang yang tersesat."
Lelaki Asia lantas memicing. "Maksudmu?"
Deva menatap keduanya bergantian. "Aku datang ke pertunjukan sulap karena mengikuti ajuanmu, Sobat, dan aku sampai di sini karena mengikuti ajuanmu," tunjuknya kepada pria Asia yang sedari tadi sudah siap untuk dikritik.
"Tidak usah merasa hanya dirimu yang menjadi korban. Pada akhirnya, itu keputusanmu sendiri untuk percaya dengan kita." Lelaki Asia beralih menatap ia yang sedari tadi tidak kunjung bersuara. "Dan itu juga berlaku untukmu." Ia mengumpat dalam hati bahwa sepasang sahabat ini terus saling melempar kesalahan, lebih parah lagi semua itu tertumpah kepadanya.
Ia tak menyahut, merenungkan perkataan lelaki asing yang sekiranya benar juga. Padahal, baru saja lulus SMP, dan mendapatkan hadiah tiket pertunjukan sulap. Baru saja merasa terhibur dengan pertunjukan sulap, tetapi malah dihadapkan dengan kegagalan saat atraksi itu berlangsung, dan baru saja berpikir sudah meninggal karena kegagalan, tetapi ternyata masih hidup, kemudian berada di sebuah tempat anomali. Entah ini harapan baru, atau petaka baru bagi hidupnya.
Dalam perdebatan, suara tepuk tangan tiba-tiba terdengar bersamaan dengan sebuah nada tenor seorang pria, "Setiap tahun, selalu ada murid baru yang menarik." Ia memperlihatkan seringai ganjil. "Aku jadi merasa terhibur."
Ketiganya berpaling untuk mencari sumber suara. Seseorang yang tengah duduk di dahan pohon, dan mendengar perdebatan mereka pun turun, kemudian mendarat tepat di hadapannya. Pria itu mengenakan topi sulap, lengkap dengan jubah hitam yang membaluti tubuhnya. Dari balik setelan itu, terlihat seragamnya yang formal. Terkesan begitu elegan, dan berwibawa.
Berbanding terbalik degan pandangan yang menyelisik, ketiganya tak menyahuti pria itu. Namun, penilaian ia tampak skeptis. Satu sisi, sang lelaki asia kembali meninggalkan percakapan ketika mendengar omong kosong. Sedangkan Deva tidak mau berpikir lagi, semua yang ada di sini sudah terlalu membuatnya pusing.
Karena tidak mendapat sahutan, pria itu lantas memberi arahan, "Pergilah ke Barat Daya kalau kalian sudah cukup percaya diri."
"Sama sekali tidak ...," desus Deva, meski ungkapan itu tak sampai kepada sang pria.
Tanpa banyak bertanya, yang lain segera mengikuti ajuan itu, karena lonceng juga sudah bergerincing beberapa menit lalu. Walau ini hari pertama mereka akan sekolah, keduanya lebih memahami batas-batasan di sini dibandingkan Deva yang baru saja siuman. Alhasil, Deva hanya mengekori keduanya.
Akan tetapi, sebelum sepenuhnya beranjak pergi, suara pria itu kembali menghentikan langkah mereka. "Tunggu!" sergahnya dari arah belakang. Sambil berjalan cepat-cepat dan berdiri di belakangnya.
Sontak, ketiganya berpaling ke hadapan pria itu. Tentu saja sang lelaki Asia kini mulai jenuh dan kehilangan kesabaran. Ia lantas mendengus. "Apa lagi, sih?"
Pria itu menanggapi kekesalan dengan lagi-lagi tersenyum sungging, sebagai catatan ekspresi paling menyebalkan selama belum beberapa lama mereka mengenalnya. Lebih lagi, terdapat jeda panjang sebelum ia berkata, "Akan kuberi tahu kalian satu petunjuk." Pandangan pria itu yang tampak jenaka kini berubah serius. "Akademi sulap ini dikendalikan dengan aturan yang sama sekali tidak rasional, tapi bagi mereka yang berkuasa aturan bisa dilanggar."
Tanpa diduga, ia tiba-tiba menyela, "Bagaimana cara untuk menjadi penguasa?" Ucapannya penuh dengan selisik. Sebab yang bisa ia tangkap dari penjelasan pria itu adalah, 'aturan di akademi ini sengaja dibuat tidak rasional'. Hal itu agar para murid berlomba-lomba menjadi penguasa, bahkan jika dilakukan dengan cara yang licik dan sadis. Mengkhianati yang lain pun tak masalah selama mereka berada di puncak yang tertinggi.
Pria itu semakin menyunggingkan senyumnya, hingga terlihat begitu lebar dan dalam. "Suatu saat nanti, kalian akan tahu jawabannya sendiri ...." Ia membungkuk untuk memberi sambutan kepada murid baru, "Silakan bersenang-senang sepuasnya di kelas sulap nanti, dan selamat datang di Académie de Magie Zorvath."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top