[1]

"Aku ... dimana?" 

tubuhku melayang-layang di sebuah tempat yang tidak kuketahui namanya, tapi warnanya membuatku teringat akan warna galaksi. "Ini kesempatan terakhirmu." suara yang keras dan menggelegar terdengar dan tiba-tiba ada cahaya yang menyilaukan. "Apanya yang terakhir?" Aku berusaha menjawab meskipun melayang membuatku tidak nyaman. 

"Kesempatan untuk hidup lagi."  Jawabnya, dengan suara sekeras tadi. Apa maksudnya? Aku bahkan tidak bisa melihat lawan bicaraku karena cahaya ini, dan dia mengatakan bahwa ini kesempatan terakhir untuk aku hidup kembali? Siapa dia? 

"Siapa kamu?"

"Dewa."

"..." benar dewa?! Apa aku tidak dihukum dengan berbicara santai begini?! 

"Kujelaskan saja, jiwamu sudah tiga kali bereinkarnasi, yang berarti kamu sudah hidup empat kali di dunia. Namun, ada yang selalu gagal kamu dapatkan, dan jiwamu sangat menginginkannya. Kuberi kamu kesempatan terakhir sekarang, jangan sia-siakan kesempatanmu. Aku mengirimkan malaikat pelindung untukmu, berjuanglah mengubah nasib, semoga beruntung."

Dia bilang menjelaskan tapi tidak ada yang jelas dari apa yang dia katakan tadi, aku tidak paham sama sekali. Aku sudah berkali-kali reinkarnasi dan selalu gagal mencapai sesuatu? Sesuatu itu apa? Dan malaikat pelindung? Yang benar saja.

"Akan kukirim ingatan-ingatan hidupmu yang sudah lalu melalui mimpi, ini akan berguna, jadi ketika kamu bangun jangan lupa untuk mencatat mimpimu."

Sebelum aku sempat membalas, mataku terbuka. Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah langit-langit kamar tidurku. aku duduk dan mengerjapkan mata beberapa kali.

"Mimpi apa itu tadi?" 

...

"Sepertinya aku harus membersihkan kamarku ..." gadis itu memandangi kamarnya yang sangat berantakan, karena masih beradaptasi dengan lingkungan kuliah, kebersihan kamarnya jadi tidak terpikirkan. Dia meraih sebuah karet rambut dan mengikat rambutnya. "Oke, kali ini harus bersih-bersih!" Ucapnya pada diri sendiri. Setelah membuang semua sampah yang berserakan, gadis itu menyapu dan mengepel lantai. Ia sangat sibuk dengan kamarnya hingga tak sadar bahwa hari sudah sore, sinar jingga masuk melalui kaca jendela. "Astaga, aku belum menyiapkan makan malam ..." saat beres-beresnya benar-benar selesai, ia mencari bahan makanan di dapur. Namun, hanya ada sebungkus ramen instan. Sambil menghela napas, ia memasak ramen itu yang ditambah dengan sebutir telur dan sayur bayam. "Kalau begini sepertinya aku bisa kenyang." sambil menunggu ramennya hangat, ia memindahkan kardus-kardus ke gudang, tanpa sengaja sebuah pamflet terjatuh. Pamflet les memasak di dekat rumahnya yang waktu itu direkomendasikan temannya.

"Memasak ya ..." 

...


"Karen, kamu beneran mau les disitu?" Carol yang tengah mengetik makalah langsung menyeletuk.

"Iya, kenapa? Gak worth it kah?" tanyaku penasaran.

"Gak gitu, cuman ya, kebanyakan yang les disitu pada ngefangirl guru les mereka. Ada temenku yang les disana juga soalnya. Mayoritas nggak serius belajar."

Aku menghela napas lega, untung saja bukan seperti yang kubayangkan. "Kalau soal itu ya nggak apa-apa sih, lagipula niatku kesana kan beda sama mereka."

"Tapi kan bisa ganggu juga kalau lingkungannya kayak gitu." Shea yang sedari tadi diam saja akhirnya nimbrung juga.

"Yah, coba dulu saja, soalnya aku sudah terlanjur daftar ..." ucapku sambil mengusap tengkuk.

Carol dan Shea sama-sama menghela napas, "pantesan."

Mulai besok aku akan masuk les memasak, aku tidak peduli dengan masalah fangirl itu, tujuanku hanya belajar memasak.

"Aku pulang dulu, sudah sore, kalian belum ada yang mau pulang?" Tanyaku pada mereka berdua.

"Iya duluan saja, makalahku belum selesai, punya dia juga." Balas Carol sambil menunjuk Shea diikuti dengan anggukan setuju darinya.

...

"Padahal tadi hawanya biasa saja, kenapa sekarang anginnya jadi dingin begini?"

Jalanan ramai karena banyaknya orang yang pulang kerja, mereka terburu-buru untuk pulang ke rumah karena telah dinanti oleh keluarga mereka di sana. Aku juga tergesa-gesa, bukan karena dinanti keluarga di rumah, tapi karena cuaca yang tiba-tiba berubah ini.

Di sela-sela dinginnya udara, otakku me-recall mimpi tadi malam. Membuatku berpikir tentang apa yang dikatakan sosok dibalik cahaya terang itu. Tentang kehidupanku yang sebelumnya akan diungkapkan lewat mimpi dan tentang malaikat penjaga. Apa aku se-sial itu sampai membutuhkan malaikat penjaga di sampingku? Dan lagi apa mimpi itu bisa dipercaya?

Karena terbawa pikiran, aku hampir saja menabrak seseorang yang lewat.

Dan tepat setelah itu, tanpa sengaja aku menendang sebuah benda berbentuk persegi berwarna hitam. Aku langsung memungutnya.

"Eh apa ini? Dompet?"

Setelah aku tahu benda apa itu, langsung kubawa ke kantor polisi terdekat.

"Iya Pak, sekitar tiga puluh menit yang lalu, ini nomor telepon saya nanti bapak kabari saya saja kalau sudah ditemukan."

Setelah masuk aku mendapati seorang pria masih berbicara dengan polisi, jadi aku menunggu.

Setelah ia berbalik dan pergi, aku langsung menyerahkan benda itu pada polisi.

"Permisi Pak, ini tadi saya menemukan dompet jatuh di sekitar area depan butik xx, saya tidak membukanya dan langsung memberikan ini pada bapak."

"Itu dompet saya!" tiba-tiba saja pria yang tadi barusan berbicara dengan polisi di hadapanku ini kembali dan hampir menyambar dompet yang kutemukan.

"Sebentar, tolong beritahu ciri-ciri dompet anda yang hilang, kalau sesuai saya berikan ke bapak."

Polisi itu lebih tangkas daripada aku maupun pria di sebelahku ini, dompet yang tadinya masih ada di tanganku tiba-tiba sudah menghilang.

"Eh, sebentar saya ingat-ingat ... warnanya hitam, dompet kulit, jumlah uangnya kalau saya tidak salah ingat ada dua lembar 5000 coun*, apa benar? Sebenarnya anda bisa melihat kartu identitas saya saja."

"Ini untuk memastikan, kadang wajah di foto kartu identitas dengan orang aslinya beda jauh." Ucap polisi itu lalu memberikan dompet itu pada pria di sampingku.

"Terima kasih! Anda juga, saya sangat berterima kasih karena membawa dompet saya kesini dengan aman." Pria itu tiba-tiba berbicara padaku, setelah kupikir dia sama sekali tidak menyadari keberadaanku.

"Oh iya, sama-sama, kalau begitu saya permisi dulu." Ucapku sambil membungkuk dan bergegas pergi, sebelum ia sempat berbicara lagi. 

...

Rasanya seperti bioskop, aku menonton serangkaian peristiwa yang urut . Dimulai dari latar sebuah rumah yang jadi satu dengan toko buah. Dari dalam toko itu, muncul seorang gadis yang terlihat berumur remaja sekitar 16 sampai 18 tahun. Dia membawa sekeranjang buah pisang dan ditata di depan tokonya agar terlihat menarik. Selama beberapa menit aku hanya menonton dia menyambut pelanggan dan melayani mereka, setelah itu ada seseorang yang menyita perhatianku. Seorang pemuda bertubuh tinggi dan berambut hitam panjang sepunggung mendekati toko buah itu, sekilas memang terlihat seperti pelanggan biasa, namun hal selanjutnya yang dia lakukan sangat tidak disangka.

Dia memegang kedua tangan gadis penjual buah itu sambil memohon. Wajah gadis itu langsung berubah, dia terkejut. 

"Tolong dong, aku tidak punya sepeserpun uang, masa kamu tega membiarkan orang lain kelaparan?" 

"Tapi aku kan hanya menjual buah, memangnya kamu kenyang?" Dia menunjukkan tumpukan buah di tokonya. "Dan berhentilah berekspresi begitu, aku jadi merasa jahat."

Pemuda itu langsung membenahi ekspresi wajahnya dengan tersenyum. Padahal penampilannya terlihat keren, tapi kelakuannya sama sekali tidak. Gadis itu memberinya beberapa buah-buahan dalam satu keranjang. "waw, ini banyak sekali, terima kasih Nona." Gadis itu menjawabnya dengan anggukan.

"Kamu bukan orang dari kota ini ya? Kenapa tidak membawa uang sama sekali? Kamu kabur dari rumah?" Tanyanya, yang ditanya menunjukkan ekspresi geli, "kupikir kamu orang yang cuek, tapi ternyata perhatian juga ya." Dia terkikik. 

Gadis itu menatap tajam. 

"A-Aku memang bukan dari kota ini, dan aku bukan kabur dari rumah tapi meninggalkan rumah, tidak bisa dibilang kabur karena tidak ada yang tinggal di sana selain diriku." Jawabnya cepat. Gadis itu mendengarkan, meskipun terlihat sibuk membereskan buah. Dia mengambil sebuah pisang dan memakannya. "Oh, kalau begitu kenapa ke kota ini?"

Lagi-lagi pertanyaannya dijawab dengan senyuman jahil, "berhenti menggodaku! Aku bertanya hanya karena penasaran kok." Sang gadis berusaha tidak menatap lawan bicara. "Ya-ya, baiklah, sederhana saja alasanku, untuk mencari uang dan bekerja di kota ini, kotaku tidak memungkinkan seorang pelukis bekerja."

Setelah itu mereka sepertinya bernegosiasi karena gadis itu ingin diajari cara melukis, dan pemuda itu setuju dengan syarat dia boleh bekerja di toko buah ini. Setelah itu dia pergi entah kemana. 

Layarnya berubah, kali ini berlatarkan bagian dalam sebuah bangunan, sepertinya menara. Gelap, hanya diterangi dengan cahaya bulan. Tampak seseorang sedang mengerjakan sesuatu, posturnya tidak asing. Ketika menoleh, wajahnya yang pucat terkena cahaya bulan, dia adalah pemuda tadi yang meminta buah di toko seorang gadis kota. Dan sekaligus pelukis, yang entah mengapa sepertinya bukan pekerjaan aslinya.

Dia mengucapkan sesuatu yang tidak jelas, aku tidak paham. Dan tiba-tiba sebuah portal terbentuk, dia memasukinya. 

Dan layar berubah lagi, latarnya berada di toko buah gadis tadi, ada pemuda yang waktu itu juga. Sepertinya pemuda itu telah menjadi pegawai toko sekarang. Yang artinya dia juga menjadi guru lukis gadis ini.

"Hei, hari ini apa kamu akan mengajariku? tiga hari yang lalu kamu bilang tidak bisa."

"Bisa kok hari ini, kau mau belajar sekarang? Toh sudah waktunya toko tutup."

Gadis itu mengangguk dan mereka masuk ke dalam. Layar juga ikut menampilkan keadaan di dalam. Mereka berdua duduk mengitari meja bundar, setelah itu gadis tadi membawa beberapa lembar kertas dan juga kuas serta tinta. Dimulailah sesi belajar melukis.

"Hei, garisnya jangan kaku begitu dong, rilekskan tanganmu dan goreskan kuasnya, kalau kaku jadi jelek."

"Begini?"

Pemuda itu mengangguk, "nah, teruskan."

 Setelah jadi, gadis itu memperlihatkan hasil lukisannya pada gurunya. "Bagaimana?"

"Tidak buruk, skill mu berkembang sangat cepat, kau tahu itu? Baru saja kamu berguru padaku dan kamu sudah bisa melukis seperti ini."

"Begitukah? Terima kasih loh, jarang-jarang kamu memujiku." Ucap sang gadis sambil tertawa.

"Aku jarang memuji kah? Kalau begitu aku akan sering memujimu mulai sekarang, Nona Kate." Pemuda itu membalasnya sambil nyengir dan tertawa.

Tanpa dia sadari, rona merah telah menghiasi pipi gadis itu, yang baru saja aku tahu bernama Kate.

Tiba-tiba saja layarnya berubah lagi, ini yang ketiga kalinya. Latarnya menjadi di hutan, saat malam hari, kali ini ada Kate. Aku tidak paham kenapa dia ada di sini, di saat semua orang seharusnya sedang tidur. Dia terlihat gelisah, terlihat dari gerak-geriknya. Dia berjalan mondar-mandir, dan saat terdengar suara dari balik semak-semak, dia langsung menoleh, wajahnya terlihat waspada. Dia mengatakan sesuatu sambil berbisik, aku tidak tahu apa yang dia katakan karena tidak jelas dan suaranya sangat kecil, aku ingin menaikkan volume suara bioskop ini. Tepat setelah dia selesai berbicara, dia menghilang bagai angin. 

Lagi-lagi layarnya berubah, menampakkan pemandangan yang tidak mengenakkan. Seorang gadis dan seorang pemuda dikelilingi oleh banyak orang, orang-orang itu tampak tidak peduli bahkan terlihat puas melihat gadis yang mereka kelilingi itu menangis dan pemuda yang ditangisi gadis itu tampak sekarat. Bahkan bisa saja dia sudah meninggal. Aku tidak tahu pasti karena tubuhnya terhalang punggung gadis itu. 

Sambil terisak gadis itu bicara, "sebenarnya apa salah dia? Apa salah kami? Kenapa kalian mengejar dan menyiksa kami?!" Setelah sesenggukannya berhenti, dia mengangkat wajahnya. 

Rasanya jantungku berhenti sesaat, gadis yang sedang menangis itu adalah Kate, gadis penjual buah dan pemuda yang terbaring itu adalah pemuda berambut panjang yang bekerja di toko buah gadis itu dan guru melukisnya. 

"Dasar manusia tak tahu diuntung! Beraninya membunuh tunanganku! Kami sudah tidak mengganggu kalian dan kalian malah mengganggu kami! Tamat riwayat kalian." Kemudian Kate mengatakan sesuatu yang tidak jelas dan setelah itu dia menerjang orang-orang tadi, menghabisi mereka. Bulu kudukku meremang, ekspresi dan kilatan cahaya di matanya berubah drastis. Dia tidak seperti Kate yang kulihat sebelum-sebelumnya, dia seperti 'makhluk lain'. Dan memang, ucapannya yang tidak kumengerti, dia yang tiba-tiba bisa menghilang, dia yang bisa membantai banyak orang dalam sekejap, dia adalah penyihir. Dan sepertinya pemuda yang menjadi guru melukisnya itu juga bukan manusia, bisa jadi sama-sama penyihir. 

Setelah selesai membantai semua orang, Kate membersihkan cipratan darah yang ada di baju dan tubuhnya lalu mendekati tubuh pemuda yang terbaring tak bernyawa. Dia meraih tangannya dan menggenggamnya dengan erat. 

"Kalau sudah begini mantra penyembuhan akan sia-sia saja ... Lalu, aku harus apa sekarang, Jade?" 

Isakan tangis terdengar lagi, kali ini suasananya sunyi, alam seakan mendengarkan keluh kesah Kate melalui tangisannya.

Rasanya aku ingin masuk ke dalam layar dan memeluk Kate erat, entah kenapa. 

Mataku terbuka, aku masih berada di tempat yang sama dengan tadi, di atas tempat tidurku. Langit-langit kamarku juga masih sama, tidak ada yang berbeda. Hanya saja, air mataku mengalir tanpa bisa kuhentikan, dadaku juga sesak. Kuraih segeleas air di atas nakas sebelah tempat tidurku dan kuminum pelan-pelan, saat aku sudah merasa baikan, aku turun dari tempat tidur menuju ke arah meja belajar. Aku duduk dan kuraih sebuah buku tulis kosong dan pulpen, kunyalakan lampu belajar dan mulai menulis. Aku menulis mimpiku dengan lancar tanpa ada satupun yang terlewat, saat tiba waktunya menulis bagian akhir-akhir, dadaku kembali sesak dan air mataku mengalir deras. Padahal ini cuma mimpi, kalau aku bisa se-emosional ini, apa benar mimpiku tadi adalah kehidupanku yang dulu?

Aku meraih tisu dan mengisi ulang gelas airku, aku lanjut menulis sambil mengelap air mata dan sesekali minum air. 

.

.

.


*Coun: mata uang fiktif

A/N : gimana? :D aku langsung publish panjang karena khawatir lanjutannya bakal muncul beberapa bulan lagi hshsh. Btw kalo mau krisar bisa ketuk dm ya! See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top