Trois: Misgiving
Chapter 3
—Misgiving—
(n.) Kekhawatiran
Aroma khas obat-obatan menyeruak masuk dalam indra penciuman si lelaki yang sedang berlari tergopoh-gopoh. Langkah kakinya bagai irama perkusi yang beraturan. Suara roda brankar yang didorong petugas rumah sakit bagai allegro yang terdengar tidak nyaman.
Jantung lelaki itu memompa darah setidaknya tiga kali lebih cepat. Deruan napasnya dan detak jantungnya sendiri dapat ia dengar dalam keheningan yang runyam.
Brankar yang ditiduri seorang gadis dibawa masuk dalam sebuah ruangan. Lelaki itu hendak ikut masuk ke dalam, namun pintu ruangan terlebih dahulu ditutup oleh seorang wanita beratribut perawat rumah sakit.
Ia mengacak-acak rambutnya. Ia lalu membentuk sebuah tinjuan yang ia layangkan pada udara. Sedetik kemudian, ia menggigit ujung bibirnya dengan kuat, lalu pakaian yang ia kenakan itu ia tarik sekuat mungkin.
Matanya berkaca-kaca menatap figur seorang gadis umur kepala dua yang terbaring lemah di atas ranjang dikelilingi dokter dan paramedis. Ia ingin melampaui batas ini lalu memeluk gadis yang lemas itu.
Tak lama setelahnya, derap langkah kaki dua orang yang terdengar bergantian memenuhi koridor rumah sakit, memecah keheningan yang tiada tenang ini. Suaranya kian mendekat, hingga akhirnya berhenti dibarengi suara isakan yang terdengar jelas di telinga laki-laki itu.
Dua sosok berbeda jenis kelamin itu melakukan hal yang sama dengan si lelaki. Sang wanita menutup mulutnya tak percaya, sedang sang pria menepuk-nepuk punggung istrinya, mencoba menegarkan.
"Apa yang terjadi, Fushiguro?" tanya sang pria.
Fushiguro hanya terdiam, masih belum mampu mengucap sepatah kata pun. Dua orang yang menjadi orangtua sang gadis pun sebetulnya tak mampu berkomentar, namun sang ayah memaksakan diri.
"Kita bicarakan di Kantin."
☁
☁
☁
Sebetulnya, inilah yang terjadi 30 menit sebelum Eliane dilarikan ke Rumah Sakit.
Siang itu, matahari bersinar dengan terik tepat di atas kepala. Tepatnya saat jam istirahat, saat mahasiswa-mahasiswi dan juga Eliane menikmati waktu senggang mereka, Eliane pergi ke taman dekat danau sendirian.
Ia berjalan sedikit sempoyongan sambil memegang sebelah kepalanya. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk duduk di sebuah bangku taman dengan pohon rindang sebagai atap. Ia hanya diam, membiarkan silir angin dari pepohonan sedikit memberi kenyamanan baginya, ditemani danau luas dengan air tenang.
Namun rasa sakit yang menerjang kepalanya secara tiba-tiba tetap terasa, bahkan semakin parah. Pandangannya tiba-tiba menjadi buram, semuanya terasa berputar-putar. Ia juga mendengar sebuah suara yang memanggil-manggil namanya yang terdengar lain dari yang lain.
Ya, hanya dia yang memanggil Eliane 'Iris'.
Perlahan, kesadarannya hilang sepenuhnya. Hanya hitam yang terlihat.
☁
☁
☁
"Fushiguro, kurasa kau perlu tahu beberapa hal tentang Eliane," kata sang ayah.
Fushiguro terkejut mendengarnya. Sejujurnya, sejak peristiwa bintang jatuh itu, ia mulai menaruh curiga. "Ada apa? Apa ada yang dia sembunyikan dari orang-orang?"
"Sebenarnya, begini...." Sang pria hendak bercerita, namun mulutnya kembali terkatup. Tangannya juga mengepal kuat. Terlihat juga ia sedang menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diri.
"Anda tidak perlu memaksakannya. Saya juga tidak akan memaksa."
"Tidak, Putriku sudah terlalu banyak berbohong padamu. Jadi, biarkan aku, sebagai ayahnya yang akan menguak segala kebohongan yang telah ia lontarkan."
Helaan napas berat terdengar dari mulut pria itu sebelum ia mengatakan kata pertama. "Eliane sudah lama mengidap tumor otak."
Pupil biru tua itu membesar. "A-apa?!"
"Dia menyembunyikannya dari semua orang kecuali keluarganya. Termasuk ia menyembunyikannya darimu, orang yang paling ia sayangi selain keluarganya. Dia benar-benar tak ingin orang lain bersedih, jadi ia selalu hadir sebagai sosok penghibur bagi semua orang."
"Dia selalu menjadikan kebahagiaan orang lain sebagai prioritas, tapi ia justru melupakan kebahagiaannya sendiri," ucapan sang ibu disusul dengan tangisan pecah.
Sang suami lalu merangkul istrinya sambil beberapa kali menepuk pundak istrinya. "Eliane memang selalu berjuang sendiri. Dia bahkan sudah lama merasakan sakit kepala, dan semuanya baru diketahui penyebabnya saat ia berusia 15 tahun. Aku sangat bahagia saat tahu kalau Eliane punya seseorang yang penting baginya sepertimu. Tapi ternyata ia tetap saja keras kepala dan tidak pernah mau berterus terang."
"Tapi dia bisa selamat, kan?!"
"Itu...."
Pandangan mata ketiga orang yang berkumpul dalam satu meja mengarah pada salah seorang perawat yang berjalan mendekati mereka.
"Pasien sudah sadar."
☁
☁
☁
Tangisan pecah kembali memenuhi sebuah ruangan dengan warna putih yang dominan. Terutama dari sang ibu. Sedangkan dua laki-laki itu berusaha menahannya agar tak larut dalam kesedihan.
Entah perasaan seperti apa yang mereka rasakan. Ada rasa bahagia yang bercampur dengan sedih.
Bahagia, tentu saja karena Eliane akhirnya siuman. Sedih, bagi Fushiguro, karena Eliane menyembunyikan semua ini sebelumnya. Namun kesedihan yang Fushiguro rasakan dan yang dirasakan kedua orangtua Eliane berbeda alasannya.
Fushiguro tidak tahu, sedangkan dua paruh baya itu tahu. Itulah penyebabnya.
"Ma, Pa, bolehkah aku berbicara sebentar dengan Fushiguro?"
☁
☁
☁
Mereka--Fushiguro dan Eliane kini tengah menikmati embusan sepoi angin di taman rumah sakit. Tiba-tiba saja, terjadi hujan tadi. Namun kini air dari langit itu telah berhenti berjatuhan, dan menyisakan tujuh warna yang melintang di langit putih semi kelabu.
Tujuh warna itu dinamakan Iris, pelangi.
Tanah di sekitar taman pun masih nampak basah, begitu pula dedaunan tanaman yang masih berhias titik air bagai lampu chandelier.
Matahari masih malu-malu menampakkan cahayanya. Suasana saat ini jauh lebih menenangkan daripada tadi siang saat matahari tengah dalam semangat yang membara.
Dua sosok manusia itu hanya berdiri bersebelahan. Sang gadis yang tadinya mengajak pergi ke taman pun justru bungkam. Ada rasa tak enak di hatinya.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Akhirnya sang lelaki yang memulainya.
"Ah, anu ... sebelumnya aku ingin minta maaf. Kuharap kau mau memaafkanku," ada raut sedih yang tersurat dalam mimik wajah Eliane. Seperti biasa, sudah pasti jawaban inilah yang dilontarkan Fushiguro.
"Bukan kau yang salah. Seharusnya aku lebih peka, apalagi aku ini laki-laki. Seharusnya aku bisa menjagamu dan lebih memerhatikanmu. Maafkan aku, Iris."
"Fushiguro—" Eliane tiba-tiba membeku saat Fushiguro memegang erat sebelah tangannya. Ia mulai tak bisa mengendalikan ekspresinya.
"Mulai hari ini, kau mendapatkan satu lagi orang yang bisa mendengar ceritamu. Jadi katakan, apa yang ingin kau bicarakan?"
"Begini, aku ...
... aku akan mengambil tindakan operasi. Nanti, pada tanggal 26 Juli."
Faa,
17-06-2021
973 words.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top