๐Ÿ๐Ÿ” | ๐“๐š๐›๐ข๐š๐ญ ๐ƒ๐จ๐ง๐š ๐‡๐š๐ญ๐ญ๐š๐ฅ๐š

RESITAL memang menjadi sebuah alasan bagi Emir Soerjotomo untuk bisa berada di samping Lienna tanpa perlu mengenakan masker hitam dan topi yang menutupi identitasnya. Namun, dalam konteks pemujaan rahasia, Emir sungguh tidak memerlukan alasan apa pun. Murni datang dari hati. Kekaguman yang tulus tanpa ada sebuah intensi.

Tapi agaknya, tidak ada yang bisa memahami Emir Soerjotomo.

Ia hanya ingin mengagumi, memuja, dan mencintai gadis itu dalam rahasia.

Apa salahnya?

Mengapa Lienna mengira ia mengawasinya seolah-olah itu adalah sebuah tugas tercela yang hasilnya perlu Emir laporkan kepada seseorang?

Mengapa Andrea mengejeknya seolah mereka sedang dalam perlombaan tentang siapa yang lebih mengenal Lienna?

Mengapa Dion mengherankan perasaan Emir yang baginya tidak masuk akal?

Mengapa Dona ... mengapa ... Dona ....

Emir terhenti. Tidak mampu melanjutkan pertanyaaan-pertanyaan di kepalanya lagi. Seluruh tanda tanya itu berhenti di nama Dona. Dona Hattala. Seseorang yang belakangan ini Emir ketahui adalah pemuja gila yang lebih jauh kehilangan akal sehatnya.

Sosok perempuan, sosok teman, sosok sahabat yang tidak pernah sekali pun memprotes pemujaan rahasia Emir. Perempuan yang sempat mengasihaninya, itu pun karena Dion Danniswara yang memulai, tapi tidak pernah sekali pun melontarkan kata-kata dan pertanyaan menyakitkan kepada Emir tentang perasaannya kepada Lienna. Walau pada kenyataannya, bagi Emir, Donalah yang paling berhak mempertanyakan ini itu karena dialah yang mengetahui perasaannya kepada Lienna paling, paling, paling awal.

Tapi, Dona ... perempuan sekokoh gunung itu hanya mendengarkan Emir dengan tenang dan tegap ketika kali pertama Emir menggumamkan kata-kata pujian untuk seorang gadis berambut pirang yang bercahaya di bawah cahaya panggung orkestra.

Emir masih ingat, ketika ia bergumam pelan kala terpana akan keindahan seorang gadis dengan sebuah biola, tanpa sadar entah sejak kapan Dona sudah berdiri di sampingnya. Emir mungkin terlalu hanyut dalam pesona itu, hingga keberadaan Dona sama sekali tidak bisa ia rasakan. Hingga telinganya terlalu tuli untuk mendengar gumamannya sendiri yang terlalu mudah untuk didengar orang. Karena itulah, di hari itu, Dona mengetahui Emir tengah memuja seorang perempuan di bawah cahaya panggung orkestra. Gumaman Emir terlalu jelas untuk disebut sebagai gumam, Emir dengan mata berbinarnya praktis lantang menyatakan: cantiknya dia.

Dan Dona di malam itu hanya bisa mengunci mulut, mendengarkan dengan tenang alunan megah orkestra yang tengah melangsungkan rehearsal, sambil memasang telinga untuk mendengar setiap gumam-gumam pujian Emir akan seorang perempuan berambut pirang.

Di malam rehearsal tahun itu, mereka tidak datang ke aula teater sebagai tokoh utama yang akan tersorot lampu panggung. Mereka hanyalah tim di belakang layar, mereka hanyalah mahasiswa semester lima yang kebetulan menjadi panitia acara orkestra tahunan kampus, dan kebetulan mendapati seorang perempuan berambut pirang yang mencuri perhatian sebagai salah satu pemain biola di jajaran pemain biola lainnya.

Cantiknya .... Siapa dia? Rambutnya pirang? Di mana dia sebelumnya? Kenapa hari ini baru kelihatan? Dia bukan anggota komunitas kampus? Dia pemain cabutan? Atau apa? Kenapa dia baru terlihat sekarang?

Dona tidak tuli. Meski mungkin Emir merasa dirinya hanya bergumam asal di bawah kendali bibirnya sendiri, Dona yang bertubuh tinggi dan nyaris sejajar dengan Emir bisa mendengar setiap pujian dan pertanyaan menusuk telinga kanannya. Di tengah indah, megah, dan gema nada-nada dari sebuah grup orkestra, sebelah telinga Dona harus dinodai dengan pujian-pujian tak terkira.

Cantiknya ....

Bintang? Dia seperti bintang.ย 

Rambutnya cantik.ย 

Oh, biola itu juga cocok di bahunya.ย 

Perempuan berambut pirang ....

Siapa dia? Siapa ....

Kata-kata yang selalu diulang Emir itulah yang membuat Dona akhirnya mengerti siapa yang Emir puja puji di sini. Tidak lain tidak bukan, dialah yang tampil dengan begitu anggun, gadis di bawah sorot cahaya lampu panggung; Lienna Rosaline.

Siapa diaโ€”

Emir keluar dari lamunan, berhenti bergumam, begitu mendapati Dona telah berdiri di sebelahnya entah sejak kapan. Jantungnya terasa jatuh ke lantai paling dasar dari aula teater itu, hanya karena melihat perempuan bersurai hitam legam berdiri di sampingnya sambil bersedekap dan memandang lurus ke arah panggung orkestra.

Pikirannya pun berkecamuk dengan tiba-tiba. Apakah Dona mendengar semuanya? Dona mendengar seluruh gumamannya? Apakah dia baru saja ketahuan? Persis di hari pertama dia mengagumi perempuan berambut pirang itu? Dona ... apakah Dona mengetahuinya? Tidak, tidak. Ini gila. Mau ditaruh di mana muka Emir Soerjotomo yang selama ini tidak pernah menunjukkan gairah untuk memuja seorang perempuan? Lagipula, dari seluruh orang di aula, mengapa harus Dona?! Mengapa harus teman dekatnya sendiri? Oh, tidak. Ini kesialan. Ini kutukan. Dona pasti akan memberitahu Dion, dan mulai hari itu Emir tidak akan mengenal kata tenang menjalani hari-hari selanjutnya. Dion pasti akan meledeknya tanpa tahu kata berhenti. Dona pasti akan memberi tahu Dion soal dirinya yang memuja seorangโ€”

"Lienna."

H-huh?ย Dona menyebut sebuah nama. Tidak Emir ketahui milik siapa. Namun, Emir tiba-tiba berdebar tidak karuan, ketika dirinya sendiri tidak mengerti apa alasannya.

"Lienna Rosaline."

"S-siapa?" Emir masih tergugu lantaran menyembunyikan malu. Asumsinya mengatakan bahwa Dona sudah mengetahui dan mendengar seluruh gumaman bodohnya itu.

Tapi, Dona tidak langsung menjawab pertanyaannya. Perempuan tinggi bersurai hitam dengan tatapan gelap itu hanya diam sejenak sambil memandang ke arah yang sebelumnya Emir pandang-pandang. Ke arah seorang perempuan berambut pirang.

"Dia." Dona menjeda. "Dia ... Lienna Rosaline. That's her name, Em."

Baiklah, baiklah ... Emir harus menenangkan diri. Benar rupanya Dona telah mendengar seluruh kata yang Emir gumamkan. Namun ... apa ini? Dona mengenal gadis itu? Emir agak terperangah, tak ia ketahui Dona memiliki kenalan secantik gadis di bawah sana.

"Dona ... kenal dia?"

Dona diam, lagi-lagi memberikan jeda lama untuk menjawab. Seolah ada ribuan pertanyaan dari bibir Emir yang perlu ia rangkai jawabannya satu persatu. Meski pada kenyataannya, pertanyaan Emir praktis hanya tiga kata. Dona-kenal-dia?

Butuh hening selama satu menit sampai pada akhirnya Dona membuka suara, tapi tidak menjawab pertanyaannya.

"Dia pemain cabutan, bukan anggota kita."

Meski itu tidak menjawab pertanyaan Emir, Emir tetap mengangguk kecil. Ia membenarkan dugaan di kepalanya sendiri, dan tidak heran lagi mengapa ia tidak pernah melihat gadis pirang itu dalam komunitas orkestra kampus.ย 

Namun, masih tidak puas dengan jawaban Dona, Emir kembali bertanya.

"Tapi Dona kenal dia?"

Lagi-lagi Dona menjawabnya dengan hening di detik-detik pertama. Hingga ketika Dona akhirnya buka suara, hendak menjawab, "Dia ...."

Dion datang dengan seruan lantang.

"Hattala! Lo dicari bos besar!"

Maka, lenyap sudah jawaban Dona bersamaan dengan binar harapan Emir. Emir sedikit berharap Dona mengenal gadis yang baru saja membuatnya jatuh cinta, ingin sedikit bertanya-tanya tentang dirinya, sebelum ia jatuh dan tenggelam lebih dalam demi memuja gadis bernama Lienna Rosaline. Namun, apalah daya. Dona dipanggil oleh ketua pelaksana acara tahunan ini, dan dia tidak pernah kembali hanya untuk sekadar menjawab pertanyaan Emir.

Dan sejak hari itu, Dona tidak pernah sekali pun mengungkit tentang pengaguman Emir atas Lienna. Dion ... entah dari mana asalnya, dia tiba-tiba tahu begitu saja tentang Emir yang memuja Lienna diam-diam. Entahlah, mata dan telinga Dion sepertinya ada di mana-mana.

Demikian hari, minggu, bulan, dan tahun berlalu dengan Emir yang masih memuja Lienna dengan membisu.

Mengingat tentang hari itu, Emir yang malam ini tengah bergelut dengan proposal resital, mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu kedua tangannya menutupi wajah, kepalanya pusing, tidak sudah-sudah proposal resital ini berakhir. Ditambah lagi, alih-alih fokus terhadap proposal resital di hadapannya, pikiran Emir malah berkelana kepada Lienna. Bahkan sampai mengingat hari pertama ia mengetahui gadis itu ada di dunia, dan mengetahui namanya berkat Dona Hattala.

Berkat perempuan bersurai hitam yang tidak pernah mencemoohnya sebagai pengagum dalam diam.

Berkat Dona Hattala yang juga ternyata seorang pemuja rahasia.

Emir semakin sakit kepala. Cerita dari paman Dona pun masih belum bisa ia lupakan. Dona, Lienna, dan ... Kristian Luan?

Ah, kacau! Emir tidak bisa lagi melanjutkan proposal resital di hadapannya. Kusut kusut, Emir tutup saja laptop yang masih menyala itu. Ia keluar dari kamar dan dengan keajaiban alam semesta, Dona Hattala kebetulan sedang lewat di depan pintu kamarnya. Tidak heran, kamar Dona berada di sebelah. 'Berpapasan' itu sungguh tidak perlu diherankan. Hanya saja, Emir masih merasa ganjal. Ia belum berbaikan secara 'resmi' dengan Dona, dan masih berada di bawah bendera perang dingin yang berkibar.

Mata hitam itu bertukar tatap dengan milik Emir untuk sejenak sebelum berpaling dan kembali ke tujuannya sendiri.

Emir mulanya ingin mengabaikan Dona, tapi begitu matanya menangkap senyuman jail seseorang yang duduk di sofa tepat di seberang pintu kamarnya dan kamar Dona, Emir tidak bisa menahan diri lagi.

"Andrea?"

"Oh? Hai, hai, Mas Em!"

Oh?!

Hai, hai?!

Emir tertawa parau, tersenyum kecut. Sial ... sial .... Anak itu agaknya sudah lupa dengan rasa takutnya kepada Emir. Sifat jailnya sudah kembali, Andrea sudah menjadi Andrea titisan Dion Danniswara lagi. Bajingan kecil ini ....

Sungguh kalau saja tidak ada Dona, Emir akan menyentil anak itu.

"Aaaaah, Mas Em, long time no see. Apa kabar?"

Emir menghela napas, basa basi tidak berguna. "Long time no see apanya? Baru seminggu lalu ketemu di Rumah Eyang."

"Ooooooh, iya, ya! Waktu Mas Em meringkuk di pojokan kayak anak kucing itu, 'kan?"

"Ehโ€”" Sialan. Kata 'sialan' itu tidak terlontar. Sayang sekali hanya terdengar 'eh' yang diucapkan dengan kesal, tanpa pelengkapnya di belakang. Melirik Dona, Emir telan kata-kata mengutuk itu. "Heh, iya. Hari itu," sambung Emir.

"Hari itu ... hari itu ...." Andrea mengulangnya dengan nada menjengkelkan. "Hari itu ... Mas Em kenapa sih? Sini lah, duduk. Kita udah lama nggak ngobrol-ngobrol santai. Mas Em juga nggak ke Rumah Eyang lagi setelah hari itu. Padahal gue main terus di sana. Bang Dion juga. Kak Dona apalagi."

Mendengar nama itu disebut, Emir melirik kepada perempuan yang baru saja duduk. Perempuan itu, Dona, mengambil posisi duduk di sebelah adiknya. Dan pada saat itulah baru Emir sadari Dona sama sekali tidak menaruh atensi kepada Emir dan Andrea saat ini. Perempuan itu duduk dengan kepala menunduk, sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Entah dengan siapa dia sedang berbalas pesan, atau apa yang sedang dia lakukan, sesungguhnya Emir ingin bertanya dan mengobrol dengan Dona. Tapi rasa hati waktu masih belum tepat untuk saat ini.

Dan Andrea rupanya belum selesai bicara.

"Terus Mas Em sampai puasa ngomong gitu, sakit kah kemarin?"

"Nggak. Dingin aja, kehujanan. Habis lari dari Fatahillah sampai parkiran Kemukus." Emir melirik Dona lagi, perempuan itu masih tidak terdistraksi meski ia sudah menyinggung soal Kota Tua. Pikirnya, Dona mungkin akan berhenti menatap layar ponsel dan mengalihkan pandangan ke arahnya, mengingat Kota Tua juga memiliki tempat khusus bagi Dona. Tapi, tidak ada yang terjadi. Dona tetap fokus pada ponselnya sendiri.

Yah ... mau bagaimana lagi, Dona sulit dialihkan. Lagipula, mungkin paman Dona sudah memberitahu Dona soal kehadiran Emir di hari itu. Jadi, mungkin karenanya, ini bukan lagi kejutan bagi Dona.

Tapi, ini tentu sesuatu bagi Andrea. Anak itu agaknya tidak tahu apa-apa. Kalau benar paman Dona sudah memberitahu Dona, lantas Dona sepertinya menyimpan informasi itu sendirian. Dia tidak banyak bicara bahkan kepada Andrea.

"Lari dari Fatahillah ke parkiran mobil? Ngapain? Maksud gue, Mas Em ngapain ke Kota Tua? Dan ngapain lari juga?"

"Hujan, Drea. Makanya lari."

"Memangnya nggak pakai payung?"

Emir diam. Seharusnya, pertanyaan itu mudah dijawab oleh Emir. Ia bisa saja langsung mengatakan, pakai. Tapi kata itu tidak keluar dari bibirnya. Isi kepalanya malah berputar ke hari hujan itu, hari di mana ia berlari meski berada di bawah lindungan payung. Seolah-olah takut tangisan langit membasahi dirinya, takut menularkan tangisannya kepada dirinya.

"Makanya ke mana-mana bawa payung, Mas Em, lagi musim hujan gini." Andrea menceramahinya. Emir hanya berdeham singkat dan mengabaikan Andrea.

Emir lantas kembali ke tujuannya yang nyaris terlupakan. Semula, ia keluar dari kamar karena ingin pergi ke dapur untuk menyeduh teh hangat, tapi terhenti karena Dona dan Andrea.

Sudah tidak ada urusan lagi, Emir pun meninggalkan mereka dan menuruni anak tangga.

Tatkala kakinya menapaki anak tangga satu persatu, samar-samar ia dengar percakapan Andrea dan Dona di ruang keluarga lantai dua.

"Kak, masih cari lagu buat repertoar Mas Em?"

"Hm."

"Ha ... udahlah, Kak. Kak Dona nggak perlu repot-repot bantu Drea. Biar Mas Em sama Drea aja yang cari lagu buat repertoar di proposal itu. Sekaligus biar Mas Em makin lama juga urusannya sama Kak Lienna, heheh!"

Emir sontak merasakan dingin di sekujur tubuhnya.

Dona tidak perlu repot-repot ... apa? Bantu?ย 

Apakah ini berarti ... Dona diam-diam membantu di belakangnya?

Dona diam-diam mencari lagu untuk repertoar proposal resital Emir, meski dalihnya adalah membantu Andrea. Tapi, tetap saja. Tetap saja ini sama dengan Dona membantu Emir, teman yang sedang berada di tengah perang dingin.

Jadi ... beginikah tabiat asli Dona Hattala?ย 

Dia itu memang hobi diam-diam membantu orang lain atau apa?

to be continue

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top