๐๐ | ๐๐ข๐๐ง๐ง๐
CANTIK. Betapa sebuah berkah di hari Minggu yang cerah, betapa indahnya taman dengan seorang bidadari di sana. Sang pemuja rahasia tiada bosan-bosannya memandang dengan berteman semilir angin dan burung-burung kecil yang beterbangan. Taman Suropati memang tak pernah tak indah. Terlebih, ada perempuan yang ia puja dalam keheningannya.
Lienna, gadis berparas anggun itu tengah duduk dengan biola di bahunya. Memberikan contoh kepada para murid di sana, yang tengah menyimak dengan baik apa yang Lienna berikan kepada mereka. Sekilas membuat Emir berandai-andai, apakah A. Lendra memuja Anna sebagaimana dirinya memuja Lienna?
Buku biru kelabu itu masih ia bawa. Hanya saja tidak turut menemaninya memandangi Lienna, ia meninggalkannya di dalam mobil. Selama ia masih belum tahu apa hubungan buku itu dengan Lienna, ia memutuskan untuk tidak mengeluarkannya. Khawatir akan membuat Lienna memancarkan kilat amarah seperti saat mereka berada di toko tua.
Bagaimanapun, tujuan Emir berada di Taman Suropati hanyalah untuk memuja Lienna sendiri. Bukan untuk mengajak gadis pujaannya berdiskusi tentang buku biru kelabu itu. Emir tidak mau menambahkan beban pikiran kepada sang ratu. Proposal resital sudah cukup banyak membebani Lienna. Jangan sampai hal lain turut membebaninya juga, atau Emir akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah lalai dan membuat Lienna merasa kesulitan.
Tak ada seorang pun yang mau seseorang yang dipujanya berada dalam situasi sulit, sekecil apa pun itu.
Tak terkecuali Emir, sang pemuja rahasia atas seorang gadis bernama Lienna. Pemuja rahasia yang dengan ramahnya mengulas senyum kepada perempuan yang ia puja dari kejauhan. Pemuja rahasia yang tak peduli kepada hatinya sendiri yang sedikit merasa terluka ketika sang pujaan mengalihkan muka.
Lienna masih tidak bisa bersikap ramah kepadanya.
Lienna masih tidak bisa menerima keberadaannya.
Dan Emir bisa mengerti hal itu.
Siapa yang mau menerima seorang penguntit di belakang mereka?
Tak seorang pun. Tak terkecuali seorang Lienna Rosaline.
Emir melamun dalam pemujaannya kepada sang gadis yang kini bergaun ungu. Warnanya gelap, ungu yang nyaris menyentuh hitam. Segelap pikiran Emir yang tidak sudah-sudah menemukan penerangan tentang siapa sebenarnya gadis yang ia puja. Lienna Rosaline dan Dona, dan Andrea, apa hubungan mereka bertiga?
Ia memuja, melamun, dan memikirkan hal itu hingga waktu istirahat akhirnya tiba. Tepat pukul dua belas, Lienna meninggalkan anak-anak muridnya yang berhamburan mencari orang tua mereka. Sekali lagi, seperti minggu-minggu lalu ketika Emir memuja Lienna di taman ini, beberapa teman instruktur di sana tampak mengajak Lienna beristirahat bersama. Namun, masih seperti minggu-minggu lalu juga, Lienna menolak mereka semua dan memilih untuk beristirahat sendirian.
Jika ini adalah masa-masa lalu, Emir hanya akan diam dan memandangi Lienna membeli sebotol air dingin dari pedagang di sekitar taman. Ia hanya akan tersenyum dari kejauhan melihat Lienna menghabiskan waktu istirahatnya sendirian hanya dengan sebotol air dingin. Tidak pernah ia lihat Lienna makan di jam istirahatnya. Dan Emir tidak pernah memiliki niat untuk mengganggu Lienna dengan mengajaknya makan siang bersama. Emir hanya akan memandangnya dari kejauhan saja. Jika ini adalah masa-masa lalu.
Namun, keadaan telah berubah. Lienna telah mengetahui keberadaannya di Taman Suropati di setiap hari Minggu yang cerah. Lantas, kali ini tak ada alasan bagi Emir untuk tetap duduk diam melihat Lienna menyendiri di bangku taman dengan sebotol air dingin. Kontak mata yang entah disengaja atau tidak oleh Lienna juga membuat niat Emir semakin kuat untuk menghampirinya.
Sekejap, ia pun muncul di hadapan Lienna.
Dan mengeluarkan sebatang cokelat dari dalam saku kardigan.
Lienna lantas mengerutkan muka.
"Buat Kak Lienna." Emir mengatakannya sambil tersenyum.
Betapa mengejutkan, Lienna menerima cokelat itu tanpa banyak berkata-kata.
Syukurlah, Emir pikir Lienna akan banyak menusuknya dengan kepingan kata tajam karena berani memberinya sebuah cokelat. Rupanya, yang terjadi tidak seburuk di dalam bayangannya sendiri.
"Saya ... boleh duduk, Kak?"
"Duduklah."
Sekali lagi, Emir tersenyum karena kemurahan hati gadis pujaannya ini. Meski masih terdengar dingin dan seolah mau tak mau menerima keberadaan dirinya, Emir masih bersyukur karena setidaknya Lienna tidak mengusir begitu saja. Emir berterima kasih atas kelapangan hati Lienna Rosaline.
"Repertoar, sudah sampai mana?"
"Soal itu ... saya baru dapat satu lagu. Dan ini dari Andrea."
Pianis muda berbakat yang diberikan oleh Lienna kepada Emir sebagai calon pengiring resital. Andrea. Dia sudah berdiskusi sedikit dengan Emir terkait repertoar dan proposal resital, meski kemarin dilakukannya dengan takut-takut. Kalau Emir tidak mendesaknya untuk buru-buru berdiskusi soal repertoar, demi segera menyelesaikan beban Lienna, Andrea mungkin akan terus mengulur-ulur waktu untuk tidak menghadapi seorang Emir Soerjotomo. Seorang yang masih menunggunya membayar hutang penjelasan.
"Andrea?"
Emir mengangguk, "Andrea. Dia kasih saya satu lagu, She dari Aznavour. Kak Lienna tau?"
Ada hening yang terjadi beberapa detik sebelum Lienna menjawab, "... ya."
"Gimana menurut Kak Lienna?"
"That's good."
Emir lantas tersenyum, diambilnya kata-kata Lienna barusan sebagai pujian untuk dirinya. Meskipun Emir sendiri tidak tahu mana yang pasti, apakah Lienna baru saja memujinya atau justru memuji Andrea yang memberikan ide lagu itu kepadanya. Entahlah, tapi Emir memilih untuk mengambil yang pertama. Lienna memujinya.
"Oh, iya." Emir baru teringat satu hal setelah sebentar hanyut dalam lamunan. "Kemarin, waktu saya ketemu Andrea, Andrea titip ini ke saya. Kalau Kak Lienna enggak sibuk, mungkin ... Kak Lienna mau datang juga?"
Selembar kertas licin dengan paduan berbagai macam warna biru, diberikan oleh Emir. Lienna menerimanya, dan membaca dengan seksama informasi apa yang ditulis dalam warna putih di lembaran biru tua. Pertama, ada sebuah siluet pemain biola di sana yang jelas adalah seorang pria. Kedua, ada tanggal, waktu, dan tempat yang ditetapkan. Ketiga, ada nama seseorang. Terakhir, ada lambang institusi pendidikan seni yang sama dengan institusi mereka.
Lembaran biru itu adalah sebuah undangan resital.
Dan nama yang tertera di sana, Dion Danniswara.
"Dion Danniswara?"
"Ah, itu ... dia teman saya yang kapan lalu enggak sengaja nabrak Kak Lienna di Toko Pak Tua, Kak."
Toko Pak Tua yang dimaksud Emir tidak lain adalah toko musik klasik dengan banyak koleksi instrumen bekas dan buku-buku tua. Mereka ramah menyebutnya Toko Pak Tua. Lantaran para pengunjungnya merasa sang pemilik benar-benar cocok menyandang panggilan itu hanya karena rambut putih yang sudah tak banyak di kepala. Si Pak Tua.
"Oh, dia. Si rambut ikal?"
Emir tertawa sekilas karena tak menyangka Lienna mengingatnya, "Betul. Si rambut ikal."
Rasanya, seperti baru kemarin Lienna bertabrakan dengan Dion Danniswara. Padahal, hari itu sudah berlalu cukup lama. Lama sampai tiba-tiba Dion memberikan undangan resital kepada Andrea, yang kemudian diberikan lagi oleh Andrea kepada Emir untuk Lienna Rosaline.
"Andrea bilang, Dion mau undang Kak Lienna. Sebagai permohonan maaf dia karena waktu itu nabrak Kak Lienna di Toko Pak Tua. Jadi, kalau Kak Lienna enggak keberatan ...."
"Apa Andrea juga hadir? Kamu kenal Andrea, dan kamu teman Dion Danniswara ini. Apa Andrea juga kenal Dion Danniswara? Apa dia juga hadir di acara resitalnya?"
Sungguh ini pertanyaan beruntun yang tidak pernah terbayang dalam kepala Emir. Mempertanyakan hubungan Dion Danniswara dan Andrea, juga kehadiran Andrea dalam resital Dion Danniswara tidak pernah ada dalam kilas pikiran Emir sebelumnya. Dan seketika Emir merasa ... agaknya Andrea tidak berbohong ketika dia mengatakan bahwa dia telah mengenal Lienna jauh sebelum Emir mengenalnya. Kemungkinan besar, dia mengenal Lienna dalam masa yang sama dengan Dona Hattala.
"Emir?"
"A-ah, iya, Kak? Apa tadi? Hm ... Andrea, ya? Andrea kemungkinan datang. Karena selain saya, Andrea juga teman Dion. Kami semua sering main sama-sama, Kak. Dan daripada dengan saya, Andrea justru lebih dekat dengan Dion. Jadi, pasti Andrea akan datang di resitalnya."
"Kalau begitu saya enggak perlu hadir di acara ini."
Lienna mengembalikan selembaran itu kepada Emir.
"Lagipula di tanggal itu saya sibuk. Dan sekarang, saya harus balik ngajar anak-anak. Terima kasih untuk cokelatnya. Dan kamu ... jangan lupa cepat selesaikan proposal kamu. Jangan terlalu banyak habiskan waktu di sini hanya untuk mengawasi saya."
Dari seluruh kata yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sungguh mengapa Lienna harus memilih kata mengawasi ketika yang Emir lakukan adalah memuja dari hati.
Agak sakit, tapi tetap Emir terima tanpa protes apa-apa. Ia tahu diri, toh Dion Danniswara saja menyebutnya seorang penguntit. Tidak heran jika Lienna bersikap keras kepada dirinya. Emir tahu dia tidak memiliki citra baik di mata Lienna. Namun, selagi hal itu membuat Lienna baik-baik saja, Emir tidak akan meminta apa-apa. Ia tak masalah menyandang gelar penguntit yang kini melekat pada dirinya. Toh, memang iya.
Manusia tidak pernah sempurna, dan Emir adalah salah satu dari segelintir pria bertabiat buruk ketika memuja seorang wanita.ย
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top