๐ | ๐๐๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ ๐๐๐ฃ๐๐ญ๐ข ๐๐ข ๐๐๐ฆ๐๐ง ๐๐ฎ๐ซ๐จ๐ฉ๐๐ญ๐ข
KALA itu, adalah seorang perempuan yang telah lama ia puja dalam rahasia. Ada gadis yang selalu ia pandang diam-diam, yang selalu membuat dirinya duduk menikmati kedamaian di sebuah taman. Lienna Rosaline, namanya.
Pertama kali ia bertemu adalah sudah satu tahun lalu. Ia ingat, kala itu sang gadis pujaan tengah melangsungkan rehearsal untuk pertunjukkan tahunan grup orkestra kampus. Yang dilakukan gadis berambut pirang berkilau di bawah cahaya lampu kala itu hanyalah mengalun melodi-melodi indah dari sebuah biola, namun sudah cukup membuat pemuda bernama Emir Soerjotomo jatuh cinta. Nada-nada yang lahir dari gesekan tangan lentik gadis itu, bahasa tubuh yang seolah mengalun sempurna dengan nada, ekspresi dingin di bawah hangatnya sinar, dan rambut pirang yang tergerai panjang entah kenapa membuat Emir terpesona dari sekian banyak perempuan di sana. Lantas sejak saat itu hingga saat ini, Emir tak mengalihkan pandangan kepada siapapun lagi, meski gadis itu tak pernah menyadari keberadaannya sama sekali. Tak apa, ia tak pernah keberatan juga menjadi seorang pemuja rahasia.
Lagipula, memuja Lienna diam-diam tak memiliki efek buruk sama sekali kepada dirinya. Lebih daripada itu, ia justru menyukai segala kegiatan Lienna yang ia ikuti dengan diam-diam. Baginya, tak ada berkah yang lebih indah daripada memiliki kesempatan menikmati kecantikan Lienna. Emir sudah mutlak jatuh ke dalam pesonanya.
Dan kali ini, Taman Suropati di hari Minggu pagi, Emir tak pernah absen untuk hadir memandang Lienna yang di setiap Minggunya berdiri memberikan instruksi kepada para pemain biola belia. Air mancur yang menyejukkan, burung terbang dan berkicauan, juga semilir angin yang membelai menemaninya dalam setiap pemujaan yang ia lakukan. Ia tidak kesepian. Sungguh. Ia menikmati suasana ini. Terlebih, di sisi lain taman, ada sang gadis pujaan yang sedang ia pandang-pandang.
Terima kasih kepada seorang teman, karena telah memberikan informasi tentang lokasi di mana gadis pujaannya bekerja paruh waktu.
Emir tersenyum memandang gadis bergaun hijau emerald itu. Ia tampak seperti sebuah permata dalam wujud manusia. Parasnya cantik dari sudut mana pun ia memandang. Rambut pirangnya begitu ikonik di tengah mereka semua yang berambut hitam. Lienna Rosaline memang mampu mencuri perhatian, dan secara total telah mencuri hati seorang Emir Soerjotomo.
Sungguh, ia memandang Lienna tak ada henti-hentinya. Memuja gadis itu dengan penuh cinta meski masih dalam sebuah rahasia. Emir tak keberatan sama sekali, sungguh bukan sebuah masalah, untuk dirinya hanya sekadar menjadi pengagum rahasia dalam diam dan keheningan.
"Cantiknya." Ia selalu bergumam begitu. Tak peduli apa yang Lienna kenakan; entah itu gaun hijau seperti permata emerald atau gaun biru secerah langit yang dikenakannya minggu lalu, Lienna tetap tampak rupawan. Tak peduli bagaimana gaya rambutnya; entah itu diikat, dicepol, atau digerai panjang, bagaimanapun rupanya tetap tampak seperti mahkota untuk Lienna. Benar-benar tak peduli apa pun yang Lienna lakukan, apa yang Lienna kenakan, apa yang Lienna tampilkan, bagi Emir ... gadis itu tak pernah tak cantik, tak pernah tak membuatnya jatuh cinta dengan rasa berbunga-bunga yang sama.
Namun kadang, Emir tak habis pikir. Bagaimana bisa perempuan secantik Lienna ada di dunia? Karena, pernah nyaris ia kira Lienna adalah malaikat yang jatuh ke bumi manusia. Sungguh. Tapi, tak seperti malaikat yang jatuh beramai-ramai, Lienna lebih tampak seperti telah jatuh sendirian.
Lantaran gadis itu tak pernah tampak memiliki teman.
Tak di Taman Suropati ketika gadis itu mengajar, tidak juga di Taman Ismail Marzuki ketika gadis itu memainkan biolanya untuk recehan uang, Lienna tak pernah memiliki satu atau dua orang yang menempel kepadanya ke mana pun gadis itu melangkah. Dalam arti, ia tampak tak memiliki teman meski kerap berada di lingkungan ramai. Dan karenanya, Emir selalu memantau Lienna dari kejauhan. Tidak pernah berani mendekat, mengingat gadis pujaannya tampak begitu nyaman dengan kesendirian itu. Ia takut mengganggu, ia takut hanya akan menjadi benalu. Pasalnya, Lienna tampak menikmati hari-hari yang seperti itu.
Lantas, yang bisa dilakukannya hanyalah memuaskan hasrat diri untuk memuja seorang perempuan yang indah parasnya dari kejauhan. Tak mendekat, apalagi berusaha untuk memiliki. Sekadar mempunyai kesempatan untuk dapat terus menikmati visual indahnya, sudahlah sebuah keberkahan bagi seorang pemuja rahasia. Mana berani ia dengan lancang menawarkan hatinya untuk menjadi seseorang yang spesial.
Ketika ia memandang Lienna sebagai bintang, maka yang tinggi tetaplah harus ia pandang dengan tinggi. Tak mungkin seorang biasa mampu menggapainya. Tahu diri. Ia bukan penggapai bintang di sini.
Oleh karenanya tak pernah menjadi masalah bagi ia sebagai seorang pemuja rahasia, ketika ia hanya bisa memandang pujaannya dari kejauhan saja.
Ia tak keberatan, selama ia masih memiliki kebebasan untuk memujanya diam-diam.ย
ยง
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top