๐ท๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐ป๐๐ ๐ป๐๐๐ ๐๐๐
Hai aku datang lagi ๐๐ maaphken lama terbengkalai
Pelanยฒ aku perbaiki yesss, semoga lancar sampe lahiran nanti ceritanya.
Bersama itu pula aku ganti dengan PoV 3 semuanya ya pelan-pelan ๐คญ๐คญ
------------------------
แดฎแตแถแต แตแตหขสฐแตแถ โฟสธแต แตแตหกแต แตแตสณแต แตแตแถแต แตแดพ
.
.
๐ข๐ฎ๐ต๐ช๐ถ๐ช๐ฝ ๐ถ๐ฎ๐ถ๐ซ๐ช๐ฌ๐ช
------------------------
Pasrah dalam segala hal yang nanti akan terjadi. Zaqi percaya apa yang telah dituliskan untuknya adalah takdir terbaik yang harus dia jalani. Itu sebabnya, sebesar apa pun sakit yang kini mendera hatinya, Zaqi tidak ingin lebih merasakan lebihnya jika seluruh keluarga akan menjauhi atau memilih bungkam atas kejujuran hatinya.
Satu keyakinan, bahwa Oomar tentu akan membuat Calla bahagia. Setidaknya kesimpulan awal yang Zaqi tahu hanya melihat sorot mata penuh semangat yang terpancar dari mata adiknya saat bercerita tentang perasaannya kepada Calla.
"Maaf ya, Bang. Jika aku harus melangkah mendahului Abang," kata Oomar.
"Tidak perlu minta maaf, jodoh itu tidak harus bertemu sesuai urutan usia. Doakan saja abangmu ini mendapatkan istri yang salihah, kelak."
"Tentulah, insya Allah, Allah pasti sudah memilihkan bidadari untuk Abang miliki."
Zaqi tersenyum lalu menepuk pundak adiknya. "Jadi suami yang baik, meski Abang belum pernah melakukannya. Tapi Abang berharap kamu tidak pernah menyakiti hati Calla. Dia wanita yang sangat baik yang Abang kenal."
"Terima kasih, Bang. Tapi Calla meminta syarat untuk menerimaku sebagai suaminya."
"Syarat?" Zaqi mengernyit.
"Nanti sore, bakda Asar aku diminta untuk menemui di Kokitata Cafe. Abang bisa kan menemaniku untuk menemuinya?" Zaqi tampak berpikir sebelum akhirnya mengiyakannya.
Bermain dengan kata ikhlas itu memang butuh perjuangan untuk melakukannya. Zaqi ingin membuktikan bahwa dia sanggup, dia mampu, karena dia telah berusaha mengikhlaskan apa yang ditulis Allah untuk takdirnya.
Kokitata Cafe masih terlihat lengang meski ada beberapa orang yang duduk menikmati makan siang yang sudah terlambat atau makan malam yang terlalu cepat. Ada lagi yang hanya duduk bersama satu gelas minuman dengan sebuah tablet atau laptop yang mereka mainkan.
"Selamat datang di Kokitata Cafe, sudah reserve atau belum, Kak?" tanya salah seorang pelayan Cafe yang menghampiri keduanya.
"Meja atas nama Calla Vyandinasini," jawab Oomar.
Sambil melihat pada layar monitor, pelayan itu mencari nama hingga beberapa detik kemudian dia bersuara. "Privat room, meja nomor dua. Sepertinya Mbak Calla sudah datang."
"Terima kasih," kata Oomar.
Zaqi berjalan di belakang Oomar, mengikuti petunjuk dari pelayan menuju ruang yang dimaksudkan. Senyum semringah itu tidak pernah hilang dari wajah Oomar apalagi ketika matanya menatap wanita yang diinginkan menjadi istrinya telah duduk bercengkerama dengan wanita lain.
Saat semua mata bertemu, rasa canggung jelas sekali terlihat antara Zaqi, Calla dan Azeera. Sampai suara Oomar memangkas kecanggungan itu.
"Sudah lama?" tanya Oomar.
"Aku pikir, kamu sendiri, ternyata dengan Bang Zaqi."
"Aku kira kamu juga sendiri, makanya aku ajak Bang Zaqi, ternyata dengan Kak Azeer." Calla dan Oomar bertemu dalam satu senyum yang sama.
"Silakan duduk dulu, mau pesan apa?" Calla kemudian menekan bel untuk memanggil seorang pelayan.
Ceria, satu kata yang bisa dirangkum Zaqi untuk mewakilkan wajah ayu wanita yang akan bersanding dengan adiknya. Sepertinya tidak jauh dari rasa bahagia, setidaknya sampai dengan Oomar resmi menjadi pasangannya Zaqi bisa memastikan wanita yang juga dicintainya itu tidak akan pernah menyesali keputusannya menerima Oomar sebagai suaminya.
"Seperti yang telah aku sampaikan, Mas Oomar, aku bersedia, tapi dulu aku pernah berjanji untuk tidak menikah mendahului Kak Azeer. Jadi...."
"Dik Calla....! Jodoh itu tidak harus seperti itu, jika memang sudah ada calonnya mengapa tidak disegerakan? Benar begitu, kan, Ustaz Zaqi?"
Zaqi menghela napas, pertanyaan tiba-tiba yang mengarah kepadanya membuatnya terkejut. Dia pikir diajak Oomar menemui Calla hanya sebagai penyerta mahram saja. Ternyata Calla justru memberikan pertanyaan mudah tapi sulit untuk dijawabnya.
"Dipanggil ustaz kok rasanya jadi gimana, ya?" Zaqi menutup gejolak yang bergemuruh dalam hatinya. "Jika memang sudah ada, baiknya seperti itu, tapi kembali lagi, jodoh itu di tangan Allah. Menurut kita masih jauh ternyata sudah di depan mata. Demikian juga sebaliknya."
"Benar, tapi, setiap janji bukannya harus ditepati, Bang?" tanya Calla.
Zaqi terlihat menghela napas dalam-dalam, dalam hati menyetujui pertanyaan Calla. Namun, apa yang bisa dia ucapkan sementara Zaqi bisa membaca akan ada konsekuensi atas jawabannya.
"Bang, itu ditanya Calla, kenapa nggak dijawab, sih?" kata Oomar sambil tersenyum.
"Benar, sebaiknya memang seperti itu."
"Tuh, Kak Azeer, Bang Zaqi saja setuju. Jadi, janji Calla tetap akan sama. Oomar setuju untuk menunggu sampai Kak Azeer menemukan jodohnya atau ada pilihan yang lain, itu adalah pilihan. Karena aku akan tetap menunaikan janji untuk tidak menikah sebelum Kak Azeer menikah terlebih dulu." Azeera tampak menggenggam tangan Calla lalu menggelengkan kepalanya.
Oomar menatap Zaqi seolah meminta pendapat kakaknya. Sampai akhirnya dia mengangguk untuk menyetujui apa yang Calla syaratkan. Tidak ada alasan untuk mundur saat hatinya ingin maju, bertahan adalah hal paling baik di antara semua pilihan.
"Sebenarnya tidak masalah juga untuk menunggu, toh, Bang Zaqi juga belum melabuhkan pilihannya kepada seorang wanita. Mungkin ada baiknya juga seperti ini?" kata Oomar.
Calla menatap, Azeera, Omaar dan Zaqi secara bergantian. Dalam hatinya berkata, atau memang harus seperti ini jalan takdirnya. Dengan berat hati dia berucap setelah mencuri dengar apa yang Ibu dan pakdenya semalam bicarakan.
"Sebenarnya bisa sih tidak menunggu lama jika Kak Azeer dan Bang Zaqi memutuskan untuk menyegerakan juga," kata Calla.
"Maksudmu apa, Dik?"
"Maksudnya apa, Calla?"
Seperti koor, suara Zaqi dan Azeera terdengar bersama-sama. Sementara Oomar memilih untuk menantikan jawaban Calla selanjutnya.
"Jika kalian belum memiliki calon, mengapa tidak memutuskan untuk berta'aruf saja?"
"Hah?!" Suara Azeera dan Zaqi kembali terdengar bersama.
Calla memilih mengulang kalimatnya tanpa rasa bersalah. Seolah mengerti apa yang ada dalam hati kakak sepupunya. Tidak sulit untuk mengagumi seorang Arzaq Dizhwar. Sehingga ungkapan hati itu bisa terbaca dengan mudah hanya melalui tatapan mata.
Berbanding lurus dengan apa yang dilakukan Calla, Oomar memilih untuk mendukungnya. "Ah, benar sekali apa yang dikatakan Calla. Mungkin kita malah bisa menikah di hari yang sama. Bagaimana Bang?"
"Dik Calla," bisik Azeera.
"Tidak semudah itu, Oomar. Manusia itu punya hati untuk bisa merasa dan menginginkan sesuatu. Terlebih menikah, ibadah terlama sepanjang usia," kata Zaqi.
"Kakakku ini permata, Bang Zaqi. Dia cantik, hafizh, lembut hatinya, kurang apalagi? Rasanya tidak sulit untuk seorang pria melirik padanya."
"Calla," cegah Azeera tapi Calla menggelengkan kepalanya.
"Abang pernah dengar kan, apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, tetapi jika Allah telah menentukan kebaikan untuk kita, sudah pastilah tidak akan ada keburukan walau mata kita berpaling untuk menolaknya. Buat Kak Azeer, aku yakin, bukan hal sulit juga untuk bisa menerima Bang Zaqi. Kalau semua sudah diniatkan untuk memgharap rida Allah, tidak ada yang sulit. Cinta bisa ditumbuhkan Allah selanjutnya."
Tidak lagi terdengar jawaban. Mendengar kalimat panjang Calla, Zaqi seolah ditampar kenyataan. Kalimat yang pernah dia ucapkan untuk Calla kini dikembalikan kepadanya.
"Tidak ada paksaan, semua kembali kepada kalian. Aku hanya menyarankan. Jika ada kebaikan di depan mata, mengapa harus mengharapkan sesuatu yang sudah tidak mungkin teraih?"
Azeera dengan ragu-ragu menatap Zaqi yang sedari tadi memperhatikan apa yang dilakukannya. Bukan tidak mau menerima, tetapi Zaqi telah menolaknya karena telah menetapkan hati kepada wanita pilihannya. Lalu mengapa Zaqi tidak menyegerakan untuk segera mengkhitbahnya?
----------------------------------------๐ฒ๐ฒ
__to be continued
Blitar, 10 Juni 2022
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top