𝟐𝟑.𝟓𝟗






PERPADUAN DUA INSAN.













‎‎


SUNYI HADIR DALAM RUANG. Kala lembayung dapati taruna berdaksa jangkung berdiri di hadapan. Wajah angkuh tetaplah dipasang kendati bibirnya memucat. Mengigil, tubuhnya mendingin. Tak kuasa bersua dengan serpihan embun yang jatuh pada ujung pelupuk ditiap detik.

Puan tak menyingkir. Menatap sejenak sosok yang mengerutkan keningnya. Kaki yang dengan lancang melangkah kembali dihalangi. Ciptakan kesal tiada banding meski tuan tak melawan.

"Untuk apa datang kemari?"

Haruchiyo berdecih. Menggosok ujung hidung merah muda miliknya. Memalingkan wajah. Pula, merah merambati durja, ciptakan tanya. Entah karena dingin atau yang lain.

"Datang ke rumah Dokter memangnya tak boleh? Kau kan istriku."

Dengusan sebal meluncur dari celah labium adiratna. Setelahnya bersandar di ambang pintu, abai akan taruna yang kedinginan setengah mati di depan. Kini bersedekap, memiringkan kepala sebelum akhirnya ia berkata.

"Masih calon. Kita bertunangan belum lama ini."

Haruchiyo terdiam. Kali ini memasukkan tangannya ke dalam saku jaket tebal. Berusaha mengusir dingin akibat musim. Bersirobok dengan lembayung di balik kaca, begitu indah serta memesona. Tak terhitung berapa ratus kali ia terjatuh akibatnya.

"Di luar dingin."

(Name) menaikkan kedua alisnya. Surai panjang laksana lembayung ikut terayun, kala netra memandang, sementara dagu menurun.

"Apa?"

"Di luar dingin, biarkan aku masuk."

•••

Begitu kontras.

Tatkala hangat merengkuh erat daksa jangkung, hilangkan penat serta lelah yang kian surut. Tak yakin bila ruang adalah pelaku, sebab hadirnya dambaan telah kalahkan panas dalam badan. Menelusup ke dalam dada, masuk ke relung hati. Berikan hangat tiada banding.

"Apa yang kau makan?"

Kening mengerut. Jemari lepaskan pegangan dari cangkir, di atas meja. Tak begitu kuat maupun lembut, biasa saja. Disusul tubuhnya duduk di atas sofa. Lalu nona menoleh, menatap dengan jelas akan benda yang hendak dikonsumsi tuan. Lembayung di balik kaca menyipit, kentara sekali bencinya.

"Dokter bertanya meski sudah tahu," kekehan meluncur. Haruchiyo urung memasukkan ke dalam mulut, melainkan menaruh manis di atas karantala, kemudian disodorkan. "Mau?"

"Mengonsumsi narkoba? Kau gila."

Haruchiyo kembali tertawa. Kini bersandar pada sofa, menengadah dan membuka mulutnya lebar-lebar. Tangan kanan kembali terangkat, guna masukkan obat-obattan yang kerap ia makan.

Toh (Name) selalu bersikap apatis. Selama sang laksmi tak berkata dengan gamblang, Haruchiyo tak perlu repot-repot berhenti mengonsumsi apa yang membuatnya candu.

Terkejut. Disaat karantala menyentuh pergelangan tangannya. Surai terurai jatuh di atas durja, mengelus lembut pula menyapa kulit. Netra tuan terpaku, akan nayanika lembayung sang nona. Tak mengukir kurva maupun tertawa, bermanis mulut tanpa dosa kala ia keluarkan larik tanya.

"Dokter, pose ini sedikit tidak aman."

(Name) mengurungnya. Sedikit menunduk pula menatap nayam. Lantas menjawab dengan nada pelan, namun yakin bila Haruchiyo mendengar.

"Setidaknya, jangan lakukan di depanku."

Haruchiyo dengan segera memasukkan tiga buah pil ke dalam saku. Agak kesulitan sebab (Name) keras kepala enggan melepas tangan.

"..."

Helaan napas berat terdengar. Cengkeraman pada pergelangan tangan sang tuan melonggar kala daksa mulai menjauh. Abai akan muramnya durja tuan, puan kembali duduk dengan nyaman. Menyelipkan jari pada gagang cangkir berisikan kopi, ditiup perlahan sebelum akhirnya diteguk. Menikmati pahit khasnya di langit mulut.

Haruchiyo berdecih. Harapan untuk mendapat sesuatu yang lebih pupus seketika. Jarinya bergerak membenarkan kemeja putih, sementara jaketnya telah digantung. Sedikit lembab.

Bertopang dagu, sedikit menengadah guna pandangi paripurna durja sang nona. Begitu indah laksana gumpalan payoda dengan warna jingga seolah dilukis tinta. Tiada banding, ia selalu dibuat gila oleh (Name). Bagai biru yang membentang luas di atas, tak ada ujung. Tak ada akhir.

"Jadi ingat! Dulu saat aku masih SMA, dan selesainya masalah Brahman ... kau mengobati Bos."

Adiratna mengangguk pelan. Itu juga saat dimana ia pertama kali mengenal Manjiro. Mengobati luka sepele, sebab gatal dengan lebam serta luka remeh lainnya.

Bila diingat juga, itu adalah saat ketika ia putus dengan Takeomi. Hubungan yang mereka bangun, kandas dengan sebuah penjelasan. Perihal ketidakcocokan mereka. Takeomi dengan pendiriannya, serta (Name) dengan kesibukannya.

Masih ia ingat durja mantan kekasihnya begitu datar, api yang berkobar dalam dada telah padam. Digantikan dinding es yang entah sejak kapan mengisi sua. Pupuskan asa. Pula, berikan derita.

Hubungan mereka yang berakhir sebab tak kuat dengan satu sama lain. (Name) yang begitu sibuk, mengejar mimpinya. Serta Takeomi yang sulit berjumpa.

Pria itu adalah seorang kriminal, berbeda dengannya.

Mungkin juga, sebab Takeomi tahu kalau adiknya mengejar-ngejar sang laksmi.

"Hei, Dokter. Kau melamun?"

Tersadar, kini puan mendengus. Berusaha terlihat biasa saja ketika satu teguk kopi kembali ditelannya. Kemudian menaruh cangkir sebelum membenarkan letak kacamata.

"Ehem, kau mengonsumsi narkoba, sementara aku adalah Dokter."

Haruchiyo menaikkan kedua alisnya. Masih dalam pose yang sama kini berpaling menatap dua cangkir di atas nampan. Minum belum ia sentuh sama sekali, terlalu lama fokus dengan sang puan.

"Hm ... mengapa memangnya?"

"Kita sangat bertolak belakang. Aku jadi heran bagaimana kita bisa bersama."

Deretan gigi terpampang jelas kala tawa mengumandang dalam ruang. Kini duduk dan beralih, menyentuh dengan begitu lembut permukaan kulit sang nona. Mengelus perlahan pipinya, kini seringai terukir pada durja taruna.

"Katanya jodoh itu bertolak belakang."

Suara tak bicara, kata enggan keluar. Kala posisi perlahan berganti. Gelap tutupi diri, surai merah muda ikuti gravitasi. Seringai pada durja menciptakan sebuah sensasi, saat taruna yang berstatus sebagai tunangan, kini menindihnya.

"... Haru?"

Haruchiyo memiringkan kepalanya.

"Ya, (Name)?"

Tersentak.

Mungkin itu adalah pertama kali dimana Haruchiyo memanggil dengan namanya. Degupan jantung semakin berpacu cepat, disusul kepakan sayap kupu. Enggan menyingkir melainkan berevolusi. Menambah jumlah serta lumuskan hati sang puan. Dengan kasih.

"Sayang," kini Haruchiyo semakin menurunkan dagu. Halangi silau cahaya lampu dalam ruang, berikan durjanya pada saujana mata. Begitu rupawan dengan merah samar tersorot sinar. "Ini sudah malam."

(Name) dalam hati tertawa. Lantas mengapa bila sudah malam?

Kurva tipis terbentuk. Terlukis begitu indah laksana senja. Seluas dirgantara. Tanpa adanya sosok yang berani bersanding dengan sang nona.

Kini tangan terangkat. Mengalungkannya pada leher serta ditaruh dengan manis. Menarik mendekat kemudian mengelus surai merah muda perlahan. Nyenyat yang kuasai detik jam hancur kala irama detak jantung terdengar. Begitu jelas pun begitu kencang.

Lihai sembunyikan wajah, namun tidak dengan rona.

"Benar. Ini sudah tengah malam. Bagamana kalau kau menginap di sini, Haru?"

Tawaran itu bagai sebuah perintah baginya. Tak terdengar laksana kalimat tanya. Taruna menyeringai sebelum akhirnya mengelus pipi dengan tangan kiri. Begitu lembut juga sarat akan kasih sayang.

Suara lembut yang mengalun bersua rungu serupa bait sihir.

Menghipnotisnya.

"(Name) benar. Ini sudah tengah malam."

Benang tatap tak pernah sedetikpun putus. Kendati punggung tangan dikecup mesra oleh taruna, ciptakan merah yang kentara jelas. Kini digenggam erat, singgah dengan nyaman pada pipi sang tuan.

Seringai pada durja sang adam kian lebar.

"Besok kau tidak ada jadwal kan?"

•••

12 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top