𝟐𝟑.𝟓𝟒



MALAM, DOKTERKU.












TEMARAM PUCAT MENYOROT SURAI. Mahkota kini terayun turun. Ikuti irama angin dikala helaiannya menyapa permukaan durja. Dengan begitu lembut. Kepalang lembut hingga empunya merasa geli sendiri. Lantas menggelengkan kepala, memaksa pindah helai nakal dari tempatnya. Taruna kini menyandarkan punggung. Menenggadah, menatap bayang pucat yang kerap muncul tiap malam.

"Sial," umpatan tak henti keluar dari celah bibir. Sesekali dikulum, digigit pelan pula. Luka tembakannya tak hanya satu, membuat kolam merah menyebar luas dengan begitu cepat.

Keringat dingin tak henti menetes. Membasahi daksa.

Netra mengerling, tatapi figur tubuh taruni yang telah menyaksikannya. Lantas menjauh, tak berniat membantu barangkali mencegah pendarahan.

"Figur itu, aku jadi ingin membunuh setiap wanita dengan figur itu!"

Namun tanpa diduga.

Tak lewat sepuluh menit, langkah tergesa memasuki rungu. Membuat telinga berdengung dikala suara feminim turut ikut campur.

Dalam pandangannya yang kini telah kabur, wajah yang tak asing terlihat. Nyenyat kuasai situasi, sebelum akhirnya sang surai merah muda sadar dengan apa yang terjadi. Membuat suasaha hatinya mendadak membaik. Kontras dengan sekon sebelumnya, taruna kini mengukir senyum lebar.

"Oh! Lihat, bukankah ini Dokterku?" cengiran melebar. "Tidak jadi deh! Aku tidak jadi membunuhnya!"

Taruni di hadapan mengernyit bingung. Tak ambil pusing dengan kegilaannya, tangan dengan lihai mengotak-atik barang yang bawa. Mulai dari perban, bahkan hingga pisau bedah pun ada.

"Jangan banyak bicara," perlahan jemarinya menyingkirkan tangan taruna. Membuat pandang leluasa perhatikan luka, yang mana samar. Namun berkat sinarnya, kini merah pekat terlihat mengalir dari dua lubang. "Ini parah. Harus ke rumah sakit—"

Belum sempat tangannya hendak memapah taruna, kini lengan bersimbah darah telah lebih cepat mencengkramnya. Dengan begitu kuat serta menodai kulit bersih dengan darah.

Kening semakin berkerut. Ciptakan guratan halus, bersamaan dengan atensi yang sepenuhnya beralih.

"Hei, lepaskan. Kamu bisa mati," diperhatikannya sejenak netra yang mengunci. "Pantas tak asing. Ini pertemuan kita setelah beberapa tahun, dan akan tak lucu bila kamu mati di sini."

Namun bukannya melepas. Barangkali melonggar, kini cengkramannya kian menguat. Membuat sang puan meringis. Berjengit secara refleks.

Dua ujung garis dengan bekas luka melengkung. Mengukir kurva serta ciptakan perpaduan yang mana gila. Dengan darah serta senyum yang merekah, laksmi kini menghela napasnya lelah, dikala larik dengan nada riang terdengar.

"Cukup kamu. Aku hanya butuh kamu," kekehan pelan keluar dari labium pucat. "Kamu kan dokterku."

•••

Entah sudah berapa kali jeritan tertahan terdengar. Haruchiyo menyumpal mulutnya sendiri dengan robekan kain kemeja, upaya meredam teriakkan sakit sebab operasi dadakan ini bahkan tidak menggunakan anestesi.

"Brengsek, ini sakit! Bisakah dipercepat?!"

"Diam. Aku sedang memegang pisau," kali ini sang laksmi menodongkan pisaunya. Membuat pria yang tengah misuh-misuh kini diam seketika. Membiarkan puan di hadapan melaksanakan pengobatannya leluasa.

Adiratna yang telah selesai kini menghela napasnya lega. Mengelap peluh sejenak, kemudian mengerling tuan.

"Aku sudah menyuruhmu untuk ke rumah sakit. Melakukan operasi dadakan tanpa anestesi, ditambah dengan kondisi jalan gelap begini sangat tidak bagus. Ditambah cahaya yang dapat kugunakan hanya dari ponsel dan bulan. Kamu beruntung aku membawa alat bedah secara lengkap, Akashi."

Haruchiyo menendang pelan gumpalan kain di depan kaki. Mengatur napas. Lantas setelahnya kembali duduk, menyandarkan kepala dan sedikit dimiringkan. Guna netra dapat secara paripurna pandangi rupa.

"Jangan panggil Akashi."

"Lihat, kau bahkan tidak mendengarkanku."

"Ayolah, kau ini kan kekasihku!"

(Name) mengerutkan kening. Mendengus malas, ketika sadar bahwa berbicara dengan pria ini akan berujung sia-sia.

"Saat aku masih kuliah, bahkan sampai sekarang, kau belum lelah?"

Haruchiyo mengangguk pelan.

"Benar, aku tidak lelah. Bagaimana bisa aku melupakan rasa ini? Oh, tapi Dokter bahkan masih mengingatnya. Apa itu tanda aku masih memiliki kesempatan?"

Puan abaikan ocehan. Memilih untuk memeluk kotak peralatan, sebelum akhirnya beranjak berdiri. Menimbulkan tanda tanya pada benak lelaki.

"Mau kemana?"

"Pulang," adiratna sedikit menarik kurva. "Aku tidak sebodoh itu untuk mengajak pulang seorang pria. Dan khususnya kamu."

Kedua alis diangkat. Dagu ikut menenggadah, menatap sayu adiratna yang mulai berjalan menjauh.

"Bahkan bila aku terluka?"

Langkah terhenti.

Perlahan, daksanya berbalik. Menatap paras pucat sang tuan, sebelum akhirnya kembali memutar badan. Memilih untuk menjauh tanpa peduli, raut tak acuh kentara para durja puan.

"Ya, pasienku. Dan kusarankan kamu untuk ke rumah sakit sekarang. Itu bukan luka sepele."

Kelopak halangi pandang, selepas indra dapati puan telah melenggang. Ketukan sepatunya telah menjauh serta gelap telah menelan. Membuat samar terlihat, namun agaknya Haruchiyo tidak bergerak.

Diam sesaat, mengukir kurva pada paras. Sementara karantala mengacak surai. Basah. Keringat yang ia keluarkan tadi banyak bukan main.

Kekehan meluncur dari celah labium. Membuat satu-satunya yang mengisi rungu, dikala nyenyat kuasai sekon berikut.

"Kau melupakan fakta aku adalah kriminal, Dokter."

•••

"Oh, (Surname). Bukannya kau sudah pulang?"

Hara, wanita yang kini mengetukkan pena ke atas meja seraya menopang dagu menatapnya bingung. Jelas, dia tahu tadi (Name) sudah pulang.

Namun, ada apa hingga wanita ini kembali lagi, bersama dengan tangannya yang bersimbah darah?

"Aku bertemu orang gila, Kano-san," helaan napas. Disusul daksa yang dengan lemas bersatu dengan kursi di depan Hara. Lelah, dirinya menaruh kasar kotak di atas meja. "Dan orang itu memaksaku untuk mengoperasinya."

"Oh—APA?!"

Otot rahang melemas. Hara menjatuhkan penanya, bersamaan dengan netra yang membulat. Orang gila mana itu?!

"Dan kau melakukannya?!"

(Name) mengangguk pelan.

"Risikonya besar, (Surname)."

"Aku tahu. Tapi bila aku tidak mengoperasinya saat itu juga," kelopak tertutup. Menciptakan ruang gelap saujana mata. "Dia akan mati. Dia terlalu keras kepala."

Detik jam kuasai nyenyat. Setelahnya Hara menaikkan alis lalu duduk dengan benar. Kembali memungut pena dan memiringkan kepala.

"Apa ini, kau berbicara seolah sudah mengenalnya."

Kepala digelengkan. Membuat surai lembayung terayun pelan, bersamaan dengan nayanika yang pancarkan binar. Tatkala kelopak kembali terangkat, membuat netra dapat dengan jelas pandangi langit-langit ruangan.

"Sialnya, Kano-san. Sialnya adalah, aku mengenal dia."

•••

Rasa penasaran hadir dalam benak Manjiro. Keningnya berkerut, dikala diri sadar bahwa Haruchiyo kini mendekat dengan langkah tak wajar. Gelap, dengan penerangan samar. Akhirnya netra dengan paripurna pandangi daksa yang mendekat, dengan jejak ketukan pada tiap langkah.

"Sanzu, ada apa dengan perutmu?"

Haruchiyo tersenyum lebar. Diam-diam merasa senang diperhatikan begini oleh rajanya.

Disentuhnya bagian perut kiri, kemudian kembali pandangi sang raja.

"Tidak masalah, Bos. Aku tertembak dan untungnya tidak terlalu dalam."

"Kalau begitu, kau kemari dengan luka seperti itu? Bahaya, Sanzu. Jejak yang kau tinggalkan akan dilacak polisi."

Tawa menggelegar. Disusul Haruchiyo yang kini mendudukkan diri di atas kursi bekas. Diam sejenak, menarik napas sebelum akhirnya tenang.

"Tidak masalah," menenggadah. Diri kini pandangi paras pucat dengan kantung mata di hadapan. "Dokter sudah mengobatiku."

Manjiro memiringkan kepalanya tak paham.

"Kau ke rumah skait?"

Terkekeh, Haruchiyo kini menggeleng. Agaknya merasa lucu juga.

"Tidak, Bos. Kau mengenalnya juga kok."

•••

21 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top