❝ halaman kedua

"Ahaha, ayo kabur! Ada polisi!"

Ran berseru. Lelaki itu kemudian berlari. Sesekali menoleh, memperhatikan adiknya yang tiba-tiba menjadi linglung.

"Rindou, kau tidak apa-apa?"

Rindou mendongak. Ia mengukir cengiran khas.

"Oh, tentu saja!"

Keduanya sudah berlari cukup jauh.

Cipratan air dari genangan yang diinjak, mengotori sepatunya. Membuat dua bersaudara sesekali berdecak meski hati merasa senang. Seolah menari, tubuh terasa ringan tatkala air tak henti merembes masuk. Membuat tubuh terasa dingin.

Rindou tanpa sengaja menubruk bahu seorang gadis. Membuat orang itu sedikit oleng, namun dapat mempertahankan keseimbangannya.

Rindou baru saja mau mengumpat sebelum akhirnya melihat dengan jelas figur tubuh itu.

Rambutnya hitam.

Tingginya sebahu Rindou.

Payung biru tua melindunginya dari hujan.

Dan yang terpenting—

Plak!

Haitani Ran melongo di tengah hujan deras. Dirinya menatap tak percaya Rindou yang tanpa aba-aba menampar seorang gadis.

Gadis asing.

"Rindou, apa yang—"

"Hei."

Gadis itu menyelanya.

Ia menenggadah, menatap Rindou dengan kening berkerut. Wajah linglung Rindou berubah sendu tatkala sang gadis menelisik dalam diam.

"Tamparanmu kurang keras."

Gadis gila ini.

Ada banyak skenario dalam kepala yang Rindou bayangkan. Berbagai kalimat tanya yang ia lontarkan. Serta ucapan maaf yang tidak tersampaikan.

Namun pada akhirnya, hanya satu kalimat yang keluar.

"(Name) ... aku merindukanmu."

Nyatanya, seringkali hati dipatakan oleh ekspektasi berlebihan.

"Kau siapa, bajingan?"

Pertemuan pertama mereka di masa lalu adalah pada musim semi tahun 2014. Siang saat matahari bersinar terik. Hari dimana ia bertemu seorang masokis.

"Kau main tampar orang, apa masalahmu?"

Benar.

Dia kembali ke masa lalu.

Tuhan memberinya kesempatan. Untuk menjaga dia yang dikira telah tiada. Untuk memberinya kebahagiaan tanpa batas.

Haitani Rindou, kembali.

"... boleh kenalan?"

•••

Diri merasa sesak dengan mimpi buruk yang tak kunjung berhenti. Masa lalu yang mengejarnya tanpa merasa letih. Serta dosa yang terus menghantui.

Haitani Rindou merasa takut.

"Rindou, wajahmu pucat. Yakin kau baik-baik saja?"

Ran tampak mengerutkan kening. Ada kecemasan pada sorot matanya. Bagaimana pun, Rindou adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.

"Oh, aku—" senyuman kaku dilempar. Tak ada alasan bagus yang dapat Rindou berikan. "Aku hanya sulit tidur akhir-akhir ini."

Ran tersenyum. Dipikir-pikir, terhitung jarang baginya untuk melepas kepangan rambut. Pria ini bergumam perlahan seraya menyisir rambutnya ke belakang.

"Kau ada masalah?"

Sang adik menggeleng. Ini adalah urusannya. Bila diceritakan pun, akan terdengar sangat konyol. Memang, siapa yang akan percaya jika dia kembali ke masa lalu?

"Tidak. Aku hanya kepikiran gadis yang kemarin."

Ran menatapnya bingung.

"Hanya orang lewat, untuk apa dipikirkan?"

Tawa kecil lolos dari bibir Rindou.

"Benar juga. Kalau begitu, Aniki. Bagaimana kalau kita keluar?"

Terasa sedikit aneh bagi Rindou untuk memanggil Ran dengan panggilan kakak. Dimasa ini, sudah jelas bahwa Rindou lebih tua darinya.

Namun dalam hati, dia merasa sedikit senang. Ada kehangatan samar yang terselip di dalamnya.

"Malam-malam begini?"

Rindou mengangguk.

"Ayo."

•••

Sekali pendosa, selamanya akan tetap menjadi orang yang berdosa.

Apa kamu percaya kalimat itu?

Nyatanya, setengah benar setengah salah.

Untuk kasus Rindou sendiri, tampaknya berkelahi sampai mati sudah menempel erat pada diri. Seolah ia tidak bisa hidup tanpa menyaksikan penderitaan orang lain.

"Oh? Rindou, kemampuanmu bertambah baik."

Ran mengelap tongkatnya.

Pada awalnya, ada geng kecil yang mencari ulah. Mereka—Haitani bersaudara—sebenarnya tidak begitu ambil pusing. Tetapi geng ini sepertinya benar-benar harus diberi pelajaran.

Tanpa aba-aba, mereka menyudutkan Haitani bersaudara.

Sayang sekali mereka memilih lawan yang salah.

"Aniki, kau terluka?"

Rindou menegakkan tubuhnya. Menoleh, menatap pria yang tengah duduk di atas punggung orang—menjadi kursi bagi Ran. Dengan santai, dibawah lampu remang-remang.

Rindou sendiri mengelap bercak darah pada pipinya.

"Tentu tidak," sahut Ran. Ia mengangkat kepala, menatap adiknya yang tampak kalut belakangan. "Rindou, tampaknya orang yang kau hajar sudah sekarat."

Ran menatap orang yang tergeletak di hadapan Rindou. Wajah dipenuhi lebam, apalagi sekujur tubuhnya. Darah segar masih mengalir dari mulut serta pipi.

Matanya terbuka. Tampak sayu seraya bergumam tidak jelas.

"..."

Rindou memperhatikannya dengan wajah datar.

Kemudian, dia tersenyum lebar.

"Kalau sekarat, bukankah lebih baik hapuskan jejak?"

Seringai kian melebar. Rindou mengangkat tangan kanannya. Menciptakan kepalan, kemudian menyalurkan tenaga.

Memukul orang yang kini tak jelas lagi wajahnya. Mengotori sarung tangan putih dengan bau besi.

Satu kali, dua kali. Dilakukan tanpa henti. Beberapa saksi mata yang lewat, dengan segera memutar balik. Dengan ragu-ragu bersikap tak tahu. Tidak ingin terlibat dengan mereka—juga tidak mau repot-repot menelpon pihak berwajib.

"Rindou—"

Ran semakin mengerutkan kening. Tangan yang mengelap tongkat mendadak berhenti.

Dirinya dibuat sedikit terkejut dengan Rindou. Sementara orang lain yang mengintip dalam diam, merasa isi perutnya tengah diaduk. Seolah organ dalam perut dipelintir, diri tak kuasa menyaksikan kejadian yang begitu bruntal.

"... kau benar-benar membunuhnya."

Ran bergumam dikala permatanya menangkap tangan yang terkulai lemas. Disusul dengan tetesan cairan merah.

"Oh?"

Rindou menoleh dengan senyum lebar. Sungguh, dia terlihat seperti remaja polos seandainya darah tidak menghiasi wajah.

"Kan sudah kubilang untuk menghapuskan jejak."

Tatapan mata Rindou beralih. Ia menatap beberapa orang yang tergeletak tak bernyawa, kemudian berujar pada orang yang dijadikan kursi oleh Ran.

Sang kakak sendiri menoleh dengan wajah datar.

"Kamu," panggil Ran. Membuat tubuh yang gemetar di bawahnya menjawab takut.

"I-iya?"

"Bereskan mereka."

Ran beranjak berdiri seusai bicara. Ia melempar kain yang digunakannya tadi ke arah Rindou. Memberi perintah lewat tatapan untuk membersihkan penampilan.

Rindou tersenyum lebar.

"Terima kasih, Aniki!"

Haitani Rindou, adalah seorang pembunuh.

Agaknya langit malam ini terasa gelap tanpa penerangan. Seolah mereka sedih dengan keputusan sang penguasa. Merasa tak rela bila Haitani Rindou adalah orang yang dipilihnya.

•••

21 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top