CHAPTER 32
Belakangan ini ada sesuatu hal penting yang mengganjal hati dan pikiran Ortiz Romano. Kepercayaan dirinya terombang-ambing hingga dia mulai kembali berkonflik dengan keegoisan dan narsismenya sendiri.
Ini sudah dua minggu semenjak Marigold Anneliese mendapatkan kemenangannya. Rupanya segala kemenangan itu membuat proses pemulihannya semakin efektif. Kendati tidak sepenuhnya dapat disebut jika Marigold sudah bisa kembali ke alam bebasnya karena dia masih punya sisa-sisa krisis, perempuan itu beralih menjadi lebih waras dari sebelum-sebelumnya. Rumornya, dia bahkan sudah diperbolehkan pulang.
Entah mengapa, karena itu, Ortiz merasa tersingkirkan. Bukan berarti dia tidak suka jika perempuan pirang itu sembuh, karena faktanya kesembuhan Marigold berimbas pada kewarasan dan kesembuhan Ortiz juga. Hanya saja, ide untuk mengontrol Marigold Anneliese sudah tidak bisa dijalankan maksimal atau tidak bisa dijalankan sama sekali. Ortiz berkata jika tidak ada yang tahu mengenai reaksi Marigold ke depannya, tapi dia tidak siap dan tidak ingin jika Marigold lepas dari genggaman tangannya.
Seminggu awal setelah kemenangannya, Marigold masih bersikap biasa sajaㅡmenurut pandangan Ortiz. Dalam artian bahwa sepertinya Marigold dan Ortiz memiliki kesempatan untuk bersama lagi. Setelahnya, Marigold memberi ruang dan jarak kendati dia masih berusaha berbaik hati pada Ortiz.
"Jangan berlagak bodoh, Ortiz."
Ortiz hanya tidak siap pada keputusan buruk yang sama sekali tidak dia inginkan.
Javier menambahkan. "Aku sudah bilang padamu berkali-kali untuk jangan mengharapkan kesempatan. Kondisinya belum sepenuhnya stabil. Dia pernah terpenjara pada sebuah ketakutan yang terkontrol yang telah kau tanam padanya, dan sekarang dia cukup waras untuk menghindari kontrol toksik itu."
Ortiz menggeleng kecil. Pandangannya nampak kosong, tapi netra hitam legam itu memantau Marigold Anneliese dengan baik. Perempuan itu berada di depan, sekitar jarak lima belas meter, tengah ditemani oleh susternya. Bahkan Ortiz merasa sangat geram dengan hanya melihat Marigold ditemani orang lain, bukan dirinya, apalagi harus berdampingan dengan kondisi di mana dia dan Marigold tidak bersama lagi sepenuhnya.
"Dia tidak bisa mencintaimu selamanya, Bodoh. She has the capacity and limitation," tambah Javier lagi, melihat bahwa Ortiz Romano terlalu bodoh untuk sekadar membalas obrolan ini. "Aku tidak berkata bahwa Marigold sepenuhnya lepas darimu, tapi aku hanya ingin menegaskan kepadamu bahwa dia bisa memilih untuk pergi."
"Aku melakukan banyak hal untuknya, termasuk menyelesaikan konflik Rosemary."
"Itu kewajibanmu." Kadang-kadang Javier berpikir jika adiknya sudah gila. "Kau dan Francise adalah sekelompok orang yang menorehkan luka pada Marigold, dan sudah semestinya kalian bertanggungjawab. Tapi, aku menegaskanmu, dan aku juga sudah bilang pada Jovovich untuk jangan berharap lebih pada Marigold."
"What is that supposed to mean? She loves me."
"Dia mungkin masih mencintaimu atau tidak sama sekali. Namun, bahkan jika dia masih mencintaimu, tidak semestinya dia harus kembali padamu. Tidak selamanya dia menjadi properti yang harus membuatmu selalu bahagia. Sekarang dan nanti, dia bisa memilih pilihannya sendiri tanpa merasa takut dan putus asa lagi."
Sebenarnya Ortiz Romano sangat paham, itu mengapa dia berpikir jika dia tidak siap. Kendati dalam kondisi pulih, Marigold mungkin masih rentan, dia bisa kembali mengabaikan perasaan warasnya sendiri dan terombang-ambing pada perasaan cinta beracunnya dan perasaan terintimidasinya pada Ortiz. Namun, Marigold akan tetap mempertahankan sisi kewarasannya dan berpikir jernih untuk tidak kembali membiarkan penjajah tak tahu diri seperti Ortiz Romano untuk kembali menguasainya. Terlebih setelah kemenangannya, Marigold merasa untuk tidak terikat lagi pada siapapun. Dia tidak perlu takut dan mencari perlindungan lagi.
Kesunyian itu mendominasi sejenak. Pandangan keduanya terisi oleh Marigold Anneliese.
Dalam situasi mengambang seperti ini, aneh rasanya jika Ortiz menilai dirinya sendiri suci. Ada keinginan tersirat yang keji bahwa seharusnya Marigold Anneliese jangan pulih. Ortiz bisa menyelesaikan segala konflik dan mencintai Marigold tanpa membawa Marigold menuju pemulihannya. Namun, sial, melihat Marigold Anneliese yang nyaris pulih membuat Ortiz lega, dan dia juga ikut bahagia melihat perempuan itu bisa bersikap santai tanpa perasaan was-was. Mungkin, jika begitu caranya, jika Marigold sembuh dan menolak untuk percaya lagi pada Ortiz, Ortiz bisa meminta Marigold untuk memberikan pria itu 365 hari untuk membuktikan bahwa dia sepenuhnya bertaubat.
"Tidakkah kau puas hanya dengan melihatnya bahagia seperti itu?" Javier menginterupsi.
Ortiz bertikai dengan pemikirannya sendiri. Dia puas, sangat puas dengan itu. Namun, dia masih tetap ingin berada di samping Marigold, memberikan bukti pertaubatannya sekaligus menjadikan perempuan itu sebagai perempuan paling berharga dan bahagia sejagat raya.
Ortiz mengekshalasi napasnya begitu kuat. Dia tidak menjawab pertanyaan Javier selain hanya menunduk seraya memijat keningnya.
Dia berpikir gila saat itu. Jika Marigold tidak ingin memberikan kesempatan, apakah akan ada perempuan lain yang bisa memenuhi ekspektasinya dan bisa membuatnya melupakan Marigold Anneliese? Dia justru mulai berpikir kalut jika perempuan-perempuan itu akan bernasib sama seperti Marigold ketika Ortiz menjadikannya sebagai Rosemary Cecilia.
Sungguh, Ortiz Romano hanya ingin Marigold Anneliese.
"Kau menyudutkanku, Javier."
Sebuah kekehan berkumandang renyah. Bahu lebar Javier bervibrasi karena respon itu. "Aku hanya berusaha memposisikan diri pada posisi yang netral," balasnya. "Jika di kemudian hari Marigold sepenuhnya percaya padamu, aku hanya berharap kau jangan gegabah lagi. Tidak menutup kemungkinan jika satu luka kecil bisa menyakitinya begitu keras."
Ortiz berdeham.
"Oh, ya, ini kalung Marigold. Dulu aku mengambilnya karena ini tidak aman." Di akhir konversasi, Javier merogoh jasnya dan memberikan kalung. Kalung itu adalah kalung berlian berbentuk kupu-kupu yang pernah Ortiz belikan untuk Marigold.
"Ya, terima kasih."
Selanjutnya, sementara Javier pergi untuk mengurus urusannya sendiri, Ortiz mendatangi Marigold. Pada saat itu, dia disambut dengan senyuman kecil seperti biasa, senyuman yang hangat tapi ada citra "pembatasan" di situ. Ortiz menatap suster itu sejenak, meminta izin tanpa lisan agar Ortiz dan Marigold dibiarkan berdua terlebih dahulu. Dan untuk sementara waktu, mereka terdiam.
Marigold tidak seperti biasanya akhir-akhir ini. Dia memang lebih banyak terdiam, mungkin terlalu fokus dengan pikirannya yang berisik atau memang benar-benar ingin membuat Ortiz merasa tidak nyaman. Kaki-kakinya berayun kecil, dan dia terlihat mengetuk-ngetuk kecil bangku dengan jarinya. Memang, bagi Ortiz, biasanya paripolah seperti inilah yang membuat Ortiz tidak nyaman.
Namun, untungnya, Marigold Anneliese memotong kesunyian. Dia melirik ke sampingnya dan segera menelisik mata Ortiz. "Kau tidak seharusnya mengunjungiku setiap hari," katanya memulai. "Javier sudah bilang jika aku sudah akan pulang, kan?"
"He did."
"I am planning to have an abortion with his supervision before I go home."
Ortiz Romano menegang. Jika dia mengikuti keegoisannya, dia akan marah besar atas itu, sebab dia bersumpah dia ingin anak itu. Kendati Ortiz sadar kalau Marigold tidak melakukan aborsi sejak lama sebab perempuan itu masih terpengaruh oleh segala ancaman dan intimidasi Ortiz, Ortiz merasa bahwa setidaknya ada setitik afeksi Marigold pada kandungannya. Tidakkah Marigold mencintai Ortiz lagi?
Tiba-tiba Marigold tertawa kecil. Tawa itu terdengar manis, tapi perempuan itu memang masih tertekan. "It's funny how God didn't make me miscarry or how I believed this baby was wanted by me."
"I'm sorry, Anneliese." Suara Ortiz pelan sekali, nyaris berbisik. Kemudian, dia beralih merosot, berakhir berlutut di depan Marigold. Dia mulai memegang kedua tangan perempuan itu dan menggenggam erat seraya menatapnya begitu tulus. "Aku mengakui segala kesalahan dan kebodohanku. Bodoh rasanya karena aku menggunakan cara itu untuk mendapatkanmu tanpa meminta perizinanmu. Tapi aku bersumpah, Anneliese, aku mencintaimu dan anak kita."
"I might accept this child if you use the opportunity I gave you well, Ortiz." Dia menghela napas, dan sepertinya dia terlihat menahan tangisㅡdia sangat-sangat sensitif. "Mereka berkata jika aborsi ini akan aman, dan aku masih masuk ke dalam persyaratannya."
"Tolong jangan." Dan sungguh, tidak biasanya Ortiz Romano memohon dengan sopan dan pelan seperti ini.
"Aku bercerita bukan untuk meminta izinmu. Kau tidak meminta izin atas pregnansi ini, maka aku punya hak juga untuk tidak meminta izin untuk aborsi."
Ya, itu sepadan, bukan? Harusnya Ortiz tahu diri.
"Aku punya pilihan sekarang," tambah Marigold.
Marigold melihat ada penyesalan besar pada Ortiz, dan dia akui, kadang-kadang dia tergoda atas ketidakyakinan yang sangat menyesatkan. Dia tidak tahu apakah dia masih mencintai Ortiz atau tidak, atau apakah cinta itu tulus atau karena sebab takut, atau dia percaya Ortiz atau tidak. Semua hal itu masih samar-samar. Dia perlu waktu lama untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, untuk pregnansinya, entah benar atau salah, dia merasa keberatan. Pregnansi itu mempengaruhi jalan berpikirnya. Rasa-rasanya itu membuatnya sulit untuk mencari jawaban yang dia butuhkan. Lagipula, bagi Marigold Anneliese yang akhir-akhir ini mulai bisa berpikir waras, pregnansi yang dia terima adalah simbol dari kebohongan dan penganiayaan.
Meski masih diblokir dengan rasa bingung, dan meski dia berpikir untuk aborsi, setidaknya Marigold masih membiarkan Ortiz menemaninya. Itu cukup, bukan?
"Aku tidak tahu jika kau tulus padaku." Marigold bergumam demikian. "It's hard to believe."
"Aku memahaminya, Anneliese."
Bahkan saat Ortiz Romano telah membantu Marigold untuk benar-benar menyingkirkan Rosemary, satu-satunya biang keladi terbesar yang membuat situasi memanas, Marigold masih terhalang oleh kebohongan-kebohongan masa lalu.
Ortiz menambahkan, "Maukah kau memberikan kesempatan untukku membuktikan segalanya?"
Tanpa pertimbangan, Marigold menggeleng. "Tidak tahu. Aku belum bisa mempertimbangkannya."
Ortiz menunduk. Tidak biasanya dia kehilangan cara dan tidak biasanya dia tidak berpikir keras untuk memaksa. Dia nyaris tidak percaya jika perempuan ini adalah perempuan yang sama yang beberapa waktu lalu masih menerimanya dengan hangat dan penuh cinta bahkan dalam keraguannya. Perbedaannya benar-benar sangat kontras. Kata Javier, itu normal, tapi Ortiz mulai ketakutan.
Anehnya, saat itu, Marigold tidak mau melepaskan genggaman tangan mereka dan justru malah balik menggenggam lebih erat. Saat Ortiz kembali menengadah, dia melihat si gadis Anneliese tersenyum begitu cantik dengan netra karamel terang yang begitu tulus menatapnya. Demi Tuhan, itu membuat Ortiz Romano kembali merutuki dirinya. Bagaimana bisa dia menyia-nyiakannya perempuan sebaik dan setulus ini?
Goblok, goblok, goblok.
"Aku merasa ketakutan saat kita bertemu kembali tempo lalu, tapi aku banyak berharap. Aku benar-benar berharap kau membantuku untuk lepas dari masalah itu dan membebaskanku dengan cara yang tepat. Aku benar-benar melihatmu sebagai pelindung, tidak masalah jika aku harus berperan sebagai perempuan geladak. Jika itu terjadi, kita benar-benar bahagia sekarang."
Ortiz goblok.
Ortiz terkekeh putus asa. "Bodoh sekali karena aku menyia-nyiakannya," balasnya. "Kau memberiku satu tahun kesempatan untuk berpikir, tapi aku diam saja. Kau memberiku kesempatan untuk mencintaimu dengan benar, tapi aku kembali menyakitimu."
"Aku sungguh kecewa, Ortiz, tapiㅡ" Marigold mengernyit. Dia melepaskan genggaman tangan itu dan beralih memegang kedua sisi wajah Ortiz. Tubuhnya pun dibuat sedikit membungkuk. "Are you crying?" Marigold bersumpah, sepengetahuannya, Ortiz Romano tidak pernah menangis, tapi kini, dia terlihat mengeluarkan beberapa tetes air mata. Pun, perempuan tersebut tidak segan untuk menyekanya. "Kau tidak pernah menangis di depanku."
"Aku menyia-nyiakannya kesempatan dan mungkin aku tidak akan mendapatkan kesempatan lainnya."
"Bagaimana jika itu memang pilihanku?"
"Aku ingin melakukan apapun, tapi aku sadar jika itu akan menakutimu."
"You got a tattoo, my name."
"Tidak masalah, Anneliese. I love this tattoo, dan itu karma, bukan?"
Marigold tersenyum. Pria ini terlihat menyesal. Kendati kadang-kadang dia berpikir jika Ortiz memang terlalu pintar berlakon.
"Dan jika sebaliknya?"
Ortiz balas memegangi pipi-pipi Marigold. Dia sempat mengusap pelipis perempuan itu dengan penuh afeksi. Senyumannya tak kalah tulus dari bahasa tubuh lainnya kendati dia yakin jika itu tidak akan membuat Marigold terpukau. "Aku akan memanfaatkan kesempatan itu dengan baik dengan cara-cara yang membuatmu nyaman. Dan aku bersumpah, itu bukan sekadar kata-kata."
"Sungguh?"
Ortiz mengangguk. Kemudian, dia mengambil kalung yang tadi diberikan Javier. Dia menunjukkan itu pada Marigold, dan ternyata Marigold memang mencari-cari itu. "Bolehkan aku memakaikannya untukmu? Itupun jika kaumau."
"Pakaikanlah."
Namun, yang pasti, dari segala tindakan ramah tamahnya, Marigold Anneliese tidak memberikan keputusan apapun. Bahkan sampai mereka terpisah setelah Ortiz menemani Marigold melaksanakan aktivitas makan malamnya, perempuan itu tidak membahas apapun soal konflik mereka selain hanya membicarakan hal-hal acak. Ortiz pikir, Marigold hanya belum siap.
Sialnya, pada keesokan hari dan setelahnya, Ortiz Romano justru tidak dapat menjumpai Marigold. Marigold menghilang, menjauhkan dirinya sendiri dari Ortiz. Saat Ortiz bertanya pada Javier, pria itu hanya berkata bahwa Ortiz hanya harus memberikannya kesempatanㅡtanpa harus berharap lebihㅡ, dan rupanya Marigold juga menghindari keluarganya sendiri selain dimodali oleh emotional dan finansial support. Ortiz bisa saja mencari Marigold hingga ke ujung dunia sebab dia benar-benar mencintai Marigold, tapi tak bisa dimungkiri, itu adalah karmanya. Dia bisa menemukan Marigold dengan mudah, tapi itu bisa menghimpitnya. Ortiz harus mendengarkan kata-kata Javier dan Marigold sendiri, dan dia juga harus berhenti egois.
Yang pasti, Ortiz Romano bersumpah saat itu, sebelum dia melihat Marigold Anneliese kembali dan mendapatkan keputusannya, dia tidak akan pernah melupakan atau mengkhianati Marigold Anneliese.
r e c o v e r y
Biasanya, Ajax Scheiffer memang sering membuka surel. Berbeda dari tampilan luarnya yang membuat citranya seperti berandalan gila yang tak peduli dengan pendidikan, dia cukup bisa dikatakan sebagai mahasiswa teladan. Dia rajin membuka surel karena kepentingan kampus ada di sana, seperti tugas, pemberitahuan, atau hal lainnya. Namun, tidak disangka-sangka, saat dia membuka surel untuk melihat tugas dari salah satu mata kuliah, dia melihat surel dari Marigold.
Demi Tuhan, semenjak terakhir kali bertemu dengan Marigold, Ajax tidak berharap apa-apa lagi. Dia justru mulai memikirkan daftar tentang mengapa dia harus menjauhi Marigold dengan bahasan-bahasan yang terkesan buruk. Putus asa dan sakit hati karena isu keluarga, ditambah dengan isu mantan kekasihnya, jelas membuatnya tidak sehat. Yah, setidaknya dia bisa melupakan Marigold dengan cepat.
Awalnya dia tidak ingin membuka surel itu, tapi hatinya berkata lain sehingga dia membuka dan membaca pesan surelnya. Dia nyaris berpikir jika Marigold Anneliese akan mengirimkan undangan pernikahannya dengan Ortiz Romano atau hal-hal semacam itu, tapi ternyata tidak sama sekali. Satu hal yang bisa disimpulkan adalah Ajax Scheiffer tidak perlu memikirkan daftar buruk untuk membuat cita Marigold terlihat buruk. Sialnya, memang, dia tidak bisa berlagak santai seperti sedia kala. Citra Marigold sudah terlanjur buruk baginya. Krisis-krisis akhir-akhir ini membuatnya cukup atau sangat gila.
Ah, lagipula, sudah semestinya Marigold mengakui segala kesalahannya dan meminta maaf padanya, bukan?
Alhasil, karena tiba-tiba perasaan Ajax begitu negatif, dia mengabaikan pesan itu, dan bahkan menghapus surelnya tanpa pikir panjang. Dia punya hak untuk itu, bukan? Dia juga butuh waras, dan caranya adalah dengan melenyapkan segala hal tentang perempuan itu. Sialnya, karena hal itu, perasaan pria itu memburuk, berakibat pada tertundanya niatnya untuk mengerjakan tugas.
Beralih ke tempat tidur dan duduk bersantai, dia mengambil ponsel. Dia menghubungi seseorang yang dia pikir dapat mengembalikan kewarasannya. Dia melakukan itu seraya mengambil rokok. "Bisa kemari?" Hingga tak lama kemudian, dia tersenyum. Persetan soal Marigold Anneliese, seseorang yang kini Ajax Scheiffer anggap sebagai pengkhianat tak tahu diri, setidaknya dia memiliki Esme Primrose, seorang pengganti yang lebih waras dan tahu diri.
365 hari, hmz. 👀
btw ... ajax yang waras ketularan gila. doain aja dia nggak nyakitin esme yang super baik hati. (':
ayo, tandai jejak kamu di sini sebelum tamat. siapa yg berhasil sampai bagian ini?
Sampai jumpa di bagian selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top