CHAPTER 29

Satu bulan lebih. Rumit.

Ajax Scheiffer sebenarnya sudah cukup banyak merasakan komplikasi rumit. Cemas, distres, kalut, pesimis. Berapa kali dia mengunjungi Marigold Anneliese? Satu kali setelah dia sendiri berpikir untuk tidak peduli pada Marigold.

Entahlah, dia kebingungan.

Hari ini, Ajax Scheiffer mengambil waktu hari kuliah setelah kelas pagi selesai, tatkala dosen beserta asisten pribadi dari kelas sisa secara kompak sakit. Esme Primrose lagi-lagi menemaninya, berhubung keduanya kompak memiliki kelas yang sama untuk hari ini. Ajax membutuhkan Esme, sebab sial bagi pria tersebut, dia telah mengalami kegagalan besar atas permintaan Marigold untuk memutuskan kontak dengan obat gilanya. Setidaknya Esme ingin membantu, walaupun dia cukup tersinggung saat dia tahu jika Marigold tidak menghendaki presensinya.

"Katakan padaku jika ada sesuatu yang aneh dengan tubuhmu." Esme mewanti-wanti.

Esme baru tahu, Ajax itu bebal, ya?

Sesungguhnya Esme sangat mampu dan tidak keberatan jika dia mengendarai kendaraan. Ajax pula masih sangat terlihat normal, tidak terlihat seperti pecandu narkoba kritis yang bisa gila kapanpunㅡsetidaknya sampai saat ini. Hanya saja, normal jika Esme khawatir, sebab jika pria itu memulai masa kritisnya, itu akan memberikan impak domino yang jelas pada Esme juga. Sayangnya, Ajax bebal.

Ajax berdeham. "Tenang, Esme, aku tidak akan membawamu mati."

"Tapi, Scheiffer, aku masih sungguh tidak paham ... sesuatu soal Sir Ortiz." Esme memberi tanggapan yang jauh dari isu sebelumnya. Bukan seseorang yang begitu suka dengan keadaan sunyi, Esme memilih untuk membuka topik baru.

Kalau melihat fakta, Esme tidak tahu apa-apa. Esme masih belum mendapatkan informasi. Ajax sangat tertutup pasal itu, bahkan jika Esme meminta eksplanasi.

"No offense, Scheiffer," tambahEsme, canggung karena Ajax senyap sekali.

Tapi Esme yakin, Ajax akan tetap bungkam seperti biasanya.

Esme menghela napas, "Ah, harusnya Alaska ikut karenaㅡ"

"Marigold berhubungan dengannya sejak lama. Tapi, aku baru tahu hubungan keduanya persis di minggu awal perkuliahan."

"Bukan baru-baru ini? Kupikir mereka baru mengenal semester ini."

"Marigold menghilang, kau tahu. Dia pergi ke Kanada untuk melakukan pengobatan mandiri secara tertutup, meninggalkan Ortiz juga. Aku pikir kehadiran Ortiz di Saint Hallway adalah caranya untuk bisa terhubung lagi dengan Marigold karena sepertinya hubungan mereka tidak baik dan tidak sehat. Ibaratnya, relasi mereka terputus dan Ortiz tidak menerima itu." Ajax menjelaskan cukup jelas. Bagi Esme, semuanya masuk akal saat Marigold Anneliese begitu tenang menghadapi edukator tersebut.

"Dan soal kehamilan?"

"Itu anak mereka," sahut Ajax, dingin.

"Bagaimana jika itu anakmu?"

Ajax terkekeh kecil, terdengar begitu ironis. Mengingat dia dan Marigold selalu bermain aman, tentu saja itu mustahil. "Bukan. Aku bermain aman," katanya, "Aku sangat tidak siap untuk menanggung hal itu. Beruntung karena itu anak pria gila itu." Dan tahu-tahu Ajax berbicara demikian, entah mengatakan kejujuran atau impak dari patah hati.

"Jangan bermain-main jika tidak siap."

Lagi-lagi Ajax tertawa minim. Esme sebagai perempuan tentu akan berpikiran seperti itu. Terlebih diantara empat gadis prominen ini, Esme termasuk yang paling suci, dalam artian bahwa kehidupan seksualnya tidak seperti Ruho, Alaska, ataupun Marigoldㅡbahkan orang-orang percaya jika Esme masih perawan. Pemikirannya terkesan sehat. Esme mungkin akan mengumpatinya dalam hati.

Esme menambahkan, "Jika aku Marigold, aku akan sangat sakit hati."

Apa yang bisa diharapkan dari pikiran seorang yang tengah mengalami komplikasi rumit?

"Aku berpikir waras. Itu normal," sahut Ajax membela diri.

"Aku paham. Kau sangat mencintai Marigold. Kehadiran Sir Ortiz mungkin terkesan mengacaukan situasi. Kau merasa tidak dihargai, mungkin. Pikiranmu menjadi sangat kompleks dan toksik. Hanya saja kuharap kau menjaga ucapanmu." Sebab orang patah hati bisa menjadi jahat, sadar atau tidak sadar. "Tadi kau bilang jika kau tahu hubungan mereka di awal semester?"

"Ya, tidak sengaja melihat mereka berhubungan seksual di apartemen Marigold. Tapi, aku pura-pura tidak tahu."

"Eh, wow ... tapi Marigold akhirnya memutuskan untuk memublikasikan status kalian. Aku tidak paham."

"Dia hanya bingung," balas Ajax.

"Dikhianati?"

"Entahlah. Aku membebaskan Marigold karena aku tahu jika dia tidak mencintaiku, tapi aku sungguh tersinggung."

Tapi, benar, kan? Marigold Anneliese bersalah. Seandainya Marigold mengakui segala halnya sejak awal, mungkin Ajax juga berupaya keras untuk tidak mengkonversikan afeksi simpelnya menjadi afeksi romantis. Secara tidak langsung Marigold mengorbankan dua perasaan pria sekaligus, sementara perempuan itu kesulitan untuk memilih tempat untuk disinggahi. Singkatnya, Marigold Anneliese begitu egois, dan seseorang yang paling dirugikan dalam kasus ini adalah Ajax Scheiffer.

Ajax tidak bisa berpikir jernih.

r e c o v e r y

Beruntung bagi Ajax Scheiffer karena Marigold Anneliese tidak meneruskan agresinya. Pada kunjungan terakhir kali, Marigold masih senantiasa tidak benar-benar menerima eksistensi Ajax dan Esme. Katakanlah, harga dirinya masih terluka. Ajax dan Esme sendiri sangat memahami karena pikiran perempuan tersebut kelewat ruwet, kendati sedikit tidak terima.

Yah, kalau membahas soal poin ketidakterimaannya, sebenarnya cukup simpel, terutama di sisi Ajax Scheiffer. Sebab ternyata memang benar, ya, bahwa eksistensi Ajax ini tidak begitu diapresiasi oleh gadis tersebut? Tidak ingin menjelek-jelekkan gadis tersebut, tetapi Ajax merasa tidak adil. Sosok Ortiz Romano adalah seseorang yang sangat tidak menghargainya. Mengapa Marigold menerima monster itu dengan baik?

Namun, persetan soal itu. Ajax juga harus memahaminya. Marigold tergantung pada Ortiz karena pria itu mencuci otaknua. Namun, mirisnya, bukan hanya karena kejahatan Ortiz yang otomatis mendoktrin pikiran suci Marigold, melainkan karena pada dasarnya Marigold menyimpan banyak afeksi untuk Ortiz.

Mengingat ini sudah menyentuh waktu lebih dari satu bulan, sudah sangat wajar jika Marigold mengalami banyak peningkatan, walau terkesan lambat. Itu lebih baik, bahkan intensitas bisikan penghakiman invisibel yang selalu menggangu Marigold sudah berkurang, ataupun delusinya pasal banyak hal seperti borgol sudah tidak nampak lagiㅡtidak akan ada masalah lagi jika pergelangan tangannya dipegang. Itu juga menjelaskan sederhana tentang mengapa keberadaan Ajax Scheiffer mulai diterima. Meski tidak untuk Esme Primrose.

Selagi Marigold membaik, masalah hati pribadi bukan masalah lagi, bukan?

"Marigold, aku meminta maaf lagi." Masuk ke ruangan, perkataan pertama yang Ajax ucapkan adalah permintaan maaf.

Marigold berdeham, mengangguk. Lantas dia bertanya, "Bersama Esme lagi?"

Ajax mengangguk. "Esme menyayangimu, Marie. Dia tidak akan mengkhianatimu."

Datang ke bangunan ini, Esme memang seringkali menunggu di ruangan tunggu, baik di kunjungan terakhir atau sekarang. Esme merasa tidak dihargai, tetapi di sisi lain dia memafhumkan kondisi dan beban yang Marigold hadapi. Dia mengalah.

Marigold tidak membalas. Kendati mentalitasnya sudah membaik sedikit demi sedikit, isu soal kepercayaan masih menjadi masalah utama.
Marigold duduk bersandar. Seperti biasa, boneka menjadi objek favorit, acapkali direngkuh dengan begitu setia, seolah jiwa-jiwa Ortiz Romano terperangkap di dalam boneka tersebut. Yah, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Marigold selain berdiam diri seperti anak kecil yang tengah bermain dengan boneka. Marigold menghibur dirinya secara simpel. Jiwanya seperti diatur ulang.

Ajax kukuh memerhatikan. Marigold memang menerima eksistensinya, tetapi sulit juga bagi masing-masing diantara mereka untuk membuka konversasi. Marigold bahkan selalu menunduk, menikmati dunia pribadinya dengan boneka dan salah satu foto dirinya bersama Ortiz. Sementara Ajax pribadi terlalu tidak mempunyai ide apapun untuk memulai konversasi.

Namun, yang pasti Ajax harus menjaga ucapannya.

Sampai akhirnya Marigold mencicit kecil. "Jauhi aku."

"Hei, kenapa?" Ajax menatap agak panik. Selalu saja ada kejutan.

Padahal Ajax sempat berpikir tidak peduli pada Marigold, mengapa dia panik?

"Aku tidak berharga, tidak tahu malu," katanya. "Aku jahat."

Ajax memasang wajah tenang, bahkan senyumnya terpatri begitu apik. Menyadari bahwa krisis tengah memblokir kewarasan Marigold, Ajax harus bersikap positif.

"Tidak, Marigold. Kau perempuan baik hati dan sangat berharga."

Marigold menggeleng. "Pikiranku masih kacau. Namun, aku tidak ingin memberatkanmu lagi, I'm sorry I can't love you."

"Tidak apa-apa." Yah, Ajax harus menepati omongannya sendiri. "Kau boleh bersama Ortiz jika memang hatimu memilih dia.

Marigold menggeleng. Sepertinya masih bingung. Memang, hari ini dan hari esok, Marigold Anneliese mungkin masih ketergantungan dengan Ortiz Romano, tapi tidak ada yang tahu soal masa depan.

"Jauhi aku." Sekali lagi Marigold berkata begitu.

"Elle ..."

Perempuan tersebut berakhir menyembunyikan badannya di dalam selimut. Dengan kata lain, obrolan ini dihentikan, dan keputusan Marigold sudah bulat.

r e c o v e r y

Agaknya Esme menyadari kehampaan yang dihadapi Ajax. Tidak mengetahui masalah spesifiknya, tetapi dia mengerti bagaimana Ajax Scheiffer yang begitu menyayangi Marigold dipaksa untuk menelan rasa pahit. Rasa-rasanya perjuangan Ajax tidak sebanding dengan hasil negatifnya. Lebih dari pada itu, pada intinya Ajax Scheiffer merasa sangat tidak diapresiasi.

Memandangi Ajax dengan perasaan iba, Esme berupaya keras untuk membuat situasi terkesan netral. Sebab Demi Tuhan, Ajax Scheiffer seolah kehilangan jati diri akhir-akhir ini. Dia lebih banyak murung, bersedia jika warna hitam membabat habis tubuhnya. Masalah soal Marigold terlalu memberatkan. Belum lagi fakta soal ketergantungannya pada medikamen ilegal dan masalah soal ayahnya. Sangat pelik. Tidak ingin terus-menerus merasa rumit, Esme memberikan opsi alternatif, setidaknya hanya mencoba membiarkan Ajax berupaya membuang pikiran toksiknya. "Kita bisa pergi ke pantai terlebih dahulu jika kau mau. Kau membutuhkan ketenangan."

"Kita langsung pulang saja."

"Aku tahu pikiranmu sedang rumit dan toksik. Perjalanan kita bisa riskan."

Namun, di sisi Ajax, Esme ada benarnya. Tidak baik baginya membiarkan kesakitan hatinya menutupi pikiran positifnya. Dia tidak bisa mengkhianati pandangan yang selalu dia umbar pada Marigold. Dia hanya kalut, secara naruliah, sebagai orang yang sedang menggilai seseorang. Barangkali alternatif Esme tidak ada salahnya. Dia tidak bisa menyalahkan Marigold begitu saja dan menganggap bahwa dia pribadi mendapatkan ketidakadilan. Marigold tersesat, seharusnya Ajax mendukung cara apapun yang Marigold miliki untuk bisa menemukan jalannya. Ajax Scheiffer hanya perlu menenangkan diri untuk bisa menghargai dirinya sendiri.

Lagipula berbicara pasal menghargai. Ajax pribadi harusnya menghargai sosok Esme Primrose yang akhir-akhir ini menemaninya dengan baik. Membiarkan diri sendiri kacau akan toksisitas pribadi malah menggambarkan dengan jelas jika Ajax membiarkan dirinya sendiri memberikan impak negatif pada orang-orang di sekitarnya, termasuk Esme sendiri.

Lagi, benar, Ajax hanya perlu menenangkan diri.

[TBC]

gimana, ya. malu aja gitu abis selingkuh dari cowok baik-baik.

Sampai jumpa di bagian selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top