CHAPTER 20


"Good girl. I knew right away that you'll listen to me."

Itu pujian, tetapi Marigold merasa sulit untuk tersenyum.

Marigold Anneliese itu super kalap. Dia tidak mengerti apakah sistem internalnya benar-benar terganggu atau sebab murni takut akan kemarahan Ortiz lagi. Yang pasti, dampaknya tetap membuat Marigold sulit untuk mengekspresikan jenis kesenangan apapun, selain hanya harus menuruti keinginan Ortiz. Dia benar-benar tersesat pada sebuah zona familier di mana di sana Marigold terperangkap pada kesedihan, keburukan, ketakutan, dan kekacauan. Kalaupun dia tidak sengaja tersenyum atau merasa berbahagia pun, itu sebab adanya rasa afeksi pada Ortiz yang entah mengapa otomatis membuat dirinya berbaik hati pada Ortiz. Lantaran persetan dengan rasa benci, dia masih mencintai Ortiz. Kenapa sulit untuk membencinya?

Kemudian, Ortiz mendistraksi. Pria tersebut membawa Marigold duduk di pinggiran tempat tidur, sementara Ortiz duduk di hadapannya setelah menyeret kursi. Pria tersebut memegangi tangan Marigold dengan impresi seolah ada rasa sayang di sana. Bukan sebab dia luluh pada Marigold, tetapi sebab ingin melakukan segmen pembodohan lainnya.

"Katakan padaku, kau ingin makan apa?"

Marigold menggeleng.

Sangat tidak menyukai respon seperti itu, Ortiz yang begitu intimidatif memilih untuk memberikan ancaman yang murni akan membuat Marigold bersikap submisif. Bisa dikatakan bahwa Marigold tersesat, tetapi dia juga merasa terancam dengan ancaman Ortiz. Semakin banyak ancaman Ortiz yang terealisasikan, semakin tersesat pula sosok Marigold ini. Saat itu Ortiz berkata, sederhana, hanya dua kata, "Kolam. Borgol. Itu yang ingin kaumakan?"

Bukannya hendak mempermainkan, Marigold Anneliese memang semakin tidak bisa dikondisikan. Sungguh, Marigold sama sekali tidak menyentuh makanan selama ditinggalkan oleh Ortiz. Atau, jangankan pasal pangan, urusan membersihkan diri, mereka akan melakukannya bersama-sama atau menyuruh pelayan.

Di sisi Marigold, kemudian, dua diksi dari Ortiz sontak membuat gelisah. Marigold menggeleng kuat setelah mendengar diksi itu. Ketakutannya meradang hingga membuatnya semakin tersesat. "Apa saja, Ortiz, apa saja."

"Apapun?"

Marigold mengangguk.

"Kau harus memakannya. Sepakat?"

Lagi, Marigold mengangguk.

"Janji?Jika kau melanggar, kau dapat apa?"

Marigold balas pelan. "Ketidakbahagiaan."

"Aku hanya ingin kau sehat. Nutrisimu harus terpenuhi."

Merepetisi hal sebelumnya, Ortiz kembali membawa daksa Marigold untuk berpindah posisi. Marigold menuruti secara otomatis. Sofa adalah posisi final di mana Ortiz duduk di belakang Marigold dengan punggung dan torso saling bersinggungan. Ortiz menyiapkan ponselnya di situ, membiarkan Marigold melihat transaksi yang Ortiz lakukan.

Satu tangan pria tersebut memeluk perut Marigold begitu manis. Telapak tangannya yang hangat menyentuh kulit perut Marigold secara langsung dan memberikan belaian tentram di sana. Marigold mungkin hanya bisa fokus memikirkan kesedihan dan nilai dirinya yang rendah, tetapi dia rasa akhir-akhir ini Ortiz selalu melakukan itu pada perutnya. Ortiz ingin menyalurkan ketenangan dan afeksi seolah lupa kalau secara bersamaan dengan itu dia tetap menyakiti Marigold. Aneh, tetapi Marigold tetap terpancing untuk selalu ingin menangis.

Ini sangat nyaman.

Pandangan Marigold murni kosong. Matanya tertuju pada layar ponsel Ortiz, tetapi tidak betul-betul memerhatikan. Bahkan kemudian, perempuan tersebut terpejam, merasakan rasa nyaman sekaligus kesedihan yang membuat situasi menjadi ambigu. Hingga tahu-tahu Ortiz selesai dengan transaksinya dan segera menambah satu tangannya untuk menambah ketenangan.

"Perutmu masih keram?"

"Apa aku punya penyakit?"

"Tidak. Kau baik-baik saja."

Marigold terdiam, kembali melakukan konversasi aneh di dalam pikirannya. Meski Ortiz yang lenggana masuk pada kondisi senyap akhirnya kembali mendistraksi Marigold agar perempuan itu tidak terlalu lama memikirkan hal konyol. "Kita buat kesepakatan. Mau?"

Jangan menolak. Tetap menurut.

Marigold berdeham submisif.

"Marigold Anneliese membenciku, bukan?"

Marigold terdiam. Dia bingung. Tapi, dia balas acak sesuai yang ada dipikirannya yang kacau itu, "Sangat."

Ortiz tersenyum. "Oh, ya? Berarti tidak masalah jika aku memilih Rosemary? Dia mencintaiku."

Mendapatkan pancingan seperti itu sontak membuat Marigold menggeleng refleks. Dia menangis dengan cepat. Kesedihannya memuncak dan semakin mencapai klimaks saat Ortiz berkata demikian. Dia membenci opsi semacam itu. Tubuhnya bervibrasi minim. Marigold lantas berbicara, gelagatnya begitu sengsara. Dia meledak begitu saja, "Marigold Anneliese masih mencintaimu. Pilih aku. Tolong pilih aku." Marigold kalap. Dia tidak tahu soal apa yang ada di pikirannya.

Sudah pasti bahwa lagak pria tersebut semakin nampak sombong. Ortiz menunjukkan senyum atraktifnya. Entah kenapa dia menyukai kebenaran tersebut, kebenaran hakiki soal rasa cinta Marigold pada Ortiz. Apalagi dalam kondisi rapuh seperti saat ini, Ortiz bisa memanfaatkan kondisi lebih gila lagi. Marigold Anneliese mengemis cinta itu sudah bisa, tetapi permainan sekarang lebih menyenangkan bagi Ortiz. "Aku akan memilih Marigold, aku tidak akan menyakiti Marigold, dan aku tidak akan membicarakan soal keburukan Marigold asalkan kau submisif menjadi Rosemary Cecilia." Begitulah permulaannya, sudah membuat Marigold kalap.

Lihat, menipu.

Konklusi Ortiz tetaplah Rosemary Cecilia. Apa perbedaannya?

Jawaban Ortiz tetaplah Rosemary Cecilia. Apa perbedaannya?

Marigold kalap. Tapi apa boleh buat?

"Jika kau menolak atau memberontak, aku tidak akan memilih Marigold, tidak akan memperlakukannya baik-baik, akan selalu merendahkannya, atau ... kau mungkin suka jika aku membuatmu hipotermia. Kesimpulannya kau tidak akan bahagia."

Marigold menangis. Internalnya semakin kacau.

Ortiz menambahkan, "Kau pandai delusi dan halusinasi. Imajinasikan bahwa aku memanggil nama Marigold Anneliese," katanya. "Ingat? Kemarin-kemarin aku memanggilmu Marigold, tetapi kau salah paham dan menganggap bahwa aku memanggilmu Rosemary. Kau marah karena aku tidak berbaik hati merawatmu sebagai Marigold, padahal aku melihatmu sebagai Marigold. Dunia fantasimu benar-benar bekerja, Sayang."

Marigold menangis. Tubuhnya semakin bergetar.

"Aku akan selalu menyayangimu. Bayangkan ... indah, bukan?"

Diam begitu lama, rasa afeksi Marigold yang begitu tolol itu mengacaukan perasaannya. Dia menangis, tetapi sudut bibir terangkat kecil, mengkhianati rasa sakit dan harga dirinya. Marigold Anneliese seolah dihadapkan dengan imajinasi kirana tatkala Ortiz begitu menyayanginya dan menjadi rumah yang sebenarnya sesuai dengan hal yang Ortiz katakan. Marigold benar-benar kalap. Barangkali dia bisa menkonversikan asma Rosemary menjadi Marigold.

Saat itu, Marigold mengangguk.

"Aku bahagia. Kau bahagia." Ortiz memprovokasi dengan kesimpulan yang sebenarnya hanya menguntungkan dirinya sendiri.

Marigold mengangguk lagi. Karena itu, Ortiz menganggap bahwa Marigold Anneliese menyetujui kesepakatan. Ortiz pribadi tidak peduli apakah Marigold bisa menjalaninya atau tidak, atau imajinasinya berjalan atau tidak, yang terpenting baginya adalah Rosemary Cecilia.

Kisah Ortiz dan Marigold sudah berakhir.

Bahu kiri perempuan tersebut sedikit terasa berat kemudian. Dahu beserta rahang tegas milik insan superior itu jatuh ke sana dengan niat melirik profil wajah Marigold dari samping. Bisa dikatakan bahwa ada impresi hangat dan nyaman juga sebab itu. Dia menyadari bahwa bahasa tubuh pria tersebut tatkala jatuh cinta memang terkesan sungguh nirmala. Ortiz mahir memberikan kontribusi untuk menyenangkan perempuan kepemilikannya. Sebelumnya, dia berpikir jika gayanya terkesan rendahan, tetapi tahu-tahu Marigold kembali digerogoti oleh kecemburuan. Ortiz membangun afeksi itu dengan baik. Namun, sebanyak apapun sisi positifnya, pada hakikatnya Marigold tetap terdistraksi untuk tetap fokus pada sisi gelap, yakni kesedihan, kekacauan, dan ketakutan.

"Rose." Ortiz memanggil. "Menangis karena terharu, ya?"

Kenapa Marigold masih tetap mendengar nama saudarinya?

"Rose." Ortiz mengulang, terlanjur menyukai sebuah kondisi di mana dia menyebut asma perempuan tersebut, sebuah asma dengan makna dan visual yang kirana yang begitu cocok dengan pemiliknya. "Aku memujamu. Jangan pernah meragukanku lagi. Percaya padaku."

Marigold mengangguk singkat, meski sebenarnya dia tidak mencerna perkataan Ortiz. Dia sedang berusaha untuk mengimajinasikan banyak hal karena Ortiz bilang jika dia pandai berhalusinasi. Dia sedang berusaha mengubah asma Rosemary yang keluar dari mulut Ortiz menjadi nama Marigold sendiri. Namun, kenapa itu sulit? Bukannya terjebak pada delusi dan halusinasi yang indah, Marigold malah terus terseret pada realitas yang menyesatkannya pada kesedihan masif. Lagipula kapan Marigold berhalusinasi atau delusi sehingga Ortiz menganggap bahwa Marigold pandai melakukan itu?

Satu tangan Ortiz masih loyal memberikan kenyamanan eksentrik pada garbanya, sementara yang satunya mulai terangkat naik pada rahang perempuan tersebut. Ortiz rupanya membawa Marigold untuk meliriknya, bersitatap dengan jarak begitu minim hingga tak aneh jika udara begitu hangat di sekitar wajahnya. Ortiz memberikan ciuman mesra sejemang dengan impresi yang dramatis. Harusnya terasa menggelitik kalbu, tetapi Marigold merasakan turbulensi hebat yang membawanya menuju kematian. "My Anneliese, aku sangat mencintaimu."

Fantasinya berhasil, Marigold berhasil.

Nama Rosemary berubah menjadi Marigold. Marigold mendengarkan Ortiz meloloskan namanya.

Namun, dalam situasi yang begitu samar-samar, tatkala Marigold tengah sepenuhnya menyadari kebenaran Ortiz soal abilitas Marigold untuk mengkhayalkan sesuatu yang tidak maujud, kontur Ortiz berubah menegang. Hingga tahu-tahu pria tersebut menghentikan segala tindakan romantisnya pada MarigoldㅡRosemaryㅡ, lalu melenggang pergi secara mendadak dengan sahutan satu atau dua diksi kotor. Pria tersebut mutlak meninggalkan kuriositas pada perempuan tersebut, meski secara umum Marigold tidak memikirkannya secara penuh.

Pada intinya, Ortiz menunjukkan rasa cintanya pada Rosemary, pilihan dan jawabannya. Lantas, mengapa dia tiba-tiba marah?

r e c o v e r y

Sebenarnya cukup aneh jika Ajax mengunjungi Dungeon Bar tatkala kondisinya belum kondusif. Andai kata bukan karena urusan bisnis haram yang masih ditekuni, dia mungkin akan memilih untuk mencari informasi soal Marigold pada Javier.

Pria Romano tersebut harusnya sudah pulang lusa lalu dan segera menunaikan janji untuk mengunjungi adiknya, tetapi sampai hari ini Javier belum mengirim satu kabar pun soal polemik ini. Ajax nyaris berpikir negatif jika saudara tertua Ortiz itu melanggar janji, tetapi dia lantas memberi pertimbangan jika Javier mungkin memiliki kesibukan mendadak atau tengah menyiapkan taktik tertentu. Sehingga pada akhirnya, Ajax hanya punya nol informasi. Finalnya dia memilih untuk ke Dungeon Bar dan lanjut melakukan beberapa transaksi yang beberapa hari ini sempat tertunda juga.

Pergi ke Dungeon Bar juga sebenarnya bisa menjadi bagian manis yang mengingatkannya pasal Marigold. Dungeon Bar itu selayaknya pojok nostalgia. Percaya atau tidak, ketimbang pergi ke kafetaria, ke karnaval, atau ke pusat perbelanjaan, mereka lebih sering berada di sini, bahkan jika gedung ini belum dibuka untuk umum sekalipun. Baik sebelum atau sesudah berelasi, Dungeon Bar adalah tempat pertemuan paling utama setelah unit rumah masing-masing.

Selepas ada transaksi khusus, Ajax belum berniat untuk pulang. Berkali-kali mengecek ponsel, tetapi tidak ada sesuatu yang menarikㅡseperti informasi soal Marigold Anneliese. Namun, sebenarnya ada sebuah kontroversi besar yang membuat pikiran Ajax terkena turbulensi. Agak menarik juga. Isu tersebut merujuk pada kehadiran member Francise yang begitu mendadak.

Ajax kalap dan tidak mengharapkan adanya bantuan adisional semenjak dia dikhianati oleh harapannya pada Daphne Francise. Hanya saja tahu-tahu keberadaannya terdeteksi oleh anggota Francise lain, yakni ibu dari Marigold Anneliese. Sungguh impresif, sekaligus tidak dapat dipercaya. Ajax meyakini kalau keluarga Francise mengambil semua daftar kontak Marigold, tetapi sungguh tidak bisa dibayangkan tatkala saat salah satu dari mereka berani datang ke lapangan secara langsung.

Tujuannya hanya satu, yakni Marigold Anneliese.

"Kau hanya perlu menanyakannya secara langsung pada bibi superiornya."

Sudah pasti jika Jovovich Ivanov memilih menyambangi tempat ini untuk mengintrogasi Ajax soal Marigold, artinya Daphne Francise sama sekali tidak menyebarkan informasi yang telah dia terima sebelumnya dari Ajax.

Jovovich menggeleng, dahinya mengernyit tidak memahami konteks tersebut, dia balas, "Apa dia tahu sesuatu?"

"Aku sudah memberitahunya tempo lalu."

"Lalu, di mana Marigold?"

Ajax terkekeh kecil. Keluarga aneh. Demi Tuhan, dia tidak pernah memahami konsep keluarga mereka. Jika mereka menganggap bahwa Marigold Anneliese adalah anggota keluarga yang paling aneh, bagi Ajax, keluarga besarnya-lah yang aneh. Menurutnya, Marigold adalah anggota keluarga terwaras.

"Persetan soal statusmu sebagai ibunya, aku tidak akan memberitahu apapun. Jika tetap ingin tahu, tanyakanlah pada Daphne Francise."

Wanita itu sontak mengubah impresi menjadi terkesan keras dan intimidatif. Namun, itu tak berdampak apapun pada Ajax sebab visual itu terlampau bodoh baginya. Seorang ibu yang tak pernah memperlakukan anaknya dengan baik, lantas tahu-tahu bersikap peduli. Adapun Ajax meyakini kalau mereka mencari Marigold karena terhimpit urusan bisnis. Dua bulan lagi harusnya Marigold menjadi Rosemary.

Nada Jovovich keluar begitu afirmatif, terlebih dengan aksen Rusia-nya yang kental. "Lancang sekali!"

"Tapi, jika kau ingin tahu kesimpulan Daphne saat dia tahu di mana posisi Marigold, aku akan memberikannya." Ajax menjeda. Pria tersebut mengambil ponsel pribadinya. Beruntung dia memilih untuk merekam konversasinya dengan Bibi Daphne tempo lalu. Sejenak dia memutuskan untuk memutar rekaman suara pada detik-detik terakhir dan segera memutarnya. Berhubung Ajax dan ibu Marigold berada di ruangan privat, suaranya akan jernih dan tidak akan bertabrakan dengan vokal bising di luar. Ajax mengulang, "Dia berharap agar Marigold mati. Maka aku menyimpulkan bahwa seluruh anggota Francise, termasuk orangtuanya, memang berniat untuk membunuhnya," katanya. "Jika aku sudah bersama Marigold, untuk apa aku mengantarkannya pada keluarga yang susah payah menyiksa batin dan fisiknya, mengubah jati dirinya, dan tidak mengapresiasi presensinya? Sungguhㅡ"

Jovovich menyela. Citra wajahnya semakin menunjukkan ilustrasi absurd. Kemungkinan ada kontroversi besar yang menyerang pikirannya. Dahinya mengernyit hebat. dia menanggapi, "Tidak ada siapapun dari kami yang ingin membunuh Marigold. Jangan mengada-ngada."

"Itu suara Daphne. Orisinil. Aku tidak menyabotase apapun."

"Daphne adalah orang yang sangat ingin Marigold menjadi pusat keluarga kami, mendapatkan kebahagian dan sukses. Jangan berpikirㅡ"

Wanita itu terdistraksi sejemang lantaran lolongan tawa Ajax Scheiffer yang begitu nyaring. Ajax tertawa untuk menunjukkan konsepsi sarkasme dan satire, meski tak bisa dimungkiri jika ada sejuta rasa sakit di balik tawa tersebut. Ajax juga kontinyu berbicara selepas tertawa begitu puas, "Dengan menjadikan dia sebagai Rosemary Cecilia? Marigold bahkan pernah berpikir jika dia bisa lebih dulu gila atau mati sebelum menjadi Rosemary yang kalian inginkan."

Jovovich kembali meradang. "Tahu apa kau tentangㅡ"

Hanya saja Ajax Scheiffer tentu tidak ingin kalah. Dia tidak lagi memikirkan soal reputasi pribadi dirinya di mata keluarga Marigold. Dia tidak peduli jika Francise menganggapnya sebagai insan tak bermoral atau tak berpendidikan. Ajax yang begitu jengkel tahu-tahu tak dapat meregulasi diri sendiri. Dia ingin berbicara berhubung Marigold Anneliese tidak pernah memiliki suara untuk membela diri atau mengevaluasi pikiran-pikiran kolot keluarganya sendiri.

Ajax menyela lebih lantang, "Aku tidak pernah berpikir jika pemilik-pemilik Francise yang prominen itu terkesan non moral dan non waras, tetapi kini kontras, kalian gila. Marigold bisa bahagia dan berkembang dengan jati dirinya. Persetan soal keberhasilan Rosemary Cecilia di masa lampau hingga kalian merasa terancam atas fakta Rosemary yang mati yang nanti benar-benar terungkap. Marigold bisa berkembang tanpa identitas baru, bahkan bisa lebih baik daripada saudarinya. Tidakkah kalian menyadari rasa sakit yang Marigold pegang selama ini? Dan kalian berharap dia bahagia sebagai Rosemary sementara faktanya itu malah semakin membunuhnya. Aku memang tidak pantas berbicara seperti ini, tapi faktanya kalian juga tidak akan pernah mendengarkan Marigold atau membiarkannya berpendapat. Kalian menyalahi Marigold atas kesengsaraan Rosemary, tetapi tidak pernah memikirkan kesengsaraan Marigold. Marigold juga anakmu, Gila."

Ajax berhasil, dan dia puas, walaupun dia meragukan apakah wanita di depannya akan berhasil menyerap inti sari dan kesimpulan dari pernyataan panjang darinya. Setidaknya dia sudah bisa mengekspresikan amarahnya sekaligus mewakili Marigold Anneliese untuk berpendapat.

Namun, Jovovich membalas dengan konteks lain, "Apa alasan Daphne ingin membunuh Marigold sementara Marigold adalah satu-satunya harapan Francise?" Dan Ajax yakin, Daphne memang antagonis Marigold yang sesungguhnya. Pencuci otak yang sangat handal. Bukan hanya mengotak-atik pikiran Marigold, tetapi seluruh keluarga.

"Marigold Anneliese pernah bercerita jika Rosemary sering mendapatkan kecelakaan. Siapa yang tahu jika Daphne adalah dalangnya?" Dia menjeda. Memikirkan opsi lain. Marigold memang biasanya misterius, tetapi Ajax juga ingat beberapa detail cerita kecil yang diceritakan Marigold sejak lama. Ajax bisa memberikan kesimpulan. "Tidak ada ahli waris selain Rosemary dan Marigold. Namun, semua orang tahu, Daphne Francise merupakan adik dari Russel Francise. Harusnya kalian bisa menafsirkan itu." Sebab bisnis memang dunia paling jahat.

Sayang sekali, Jovovich menggeleng, terlanjur tidak ingin menerima pendapat dari orang asing. Meski begitu, tatkala dia hendak memberikan pembelaan, atau spesifiknya ingin membela Bibi Daphne, tahu-tahu Ajax mendapatkan cerita baru yang lebih unik. "Ortiz Romano adalah satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas insiden Rosemary, dan itu valid. Daphne tidak berkaitan dengan itu."

Nyaris meledak, Ajax mencoba stabil. Meski dia kalap, tahu-tahu pikirannya tetap terbuka lebar untuk tetap berdiri di samping Marigold, memberikan pembelaan-pembelaan lain yang masuk akal untuk menghilangkan pikiran goblok orang Francise. "Jika begitu kondisinya, kenapa Marigold dianggap sebagai satu-satunya penjahat utama bagi Rosemary?"

Jauh dari terma ramai, ruangan ini jadi sunyi. Jovovich Ivanov nampak belingsatan hingga buru-buru menyiapkan diri untuk pergi. Dia memberi kode pada sekuriti pribadinya untuk pergi hingga telak membukakan pintu. Jovovich memandang Ajax dengan pandangan yang begitu sukar untuk dimaknai, tetapi Ajax bisa melihat adanya relapan kontemplasi besar di sana. Hingga akhirnya, Jovovich dinyatakan kalah dalam diskusi ini.

siapa yang mau jadi marigold di dunia nyata? TT

Sampai jumpa di bagian selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top