CHAPTER 09

Ortiz Romano banyak berbohong, terutama pada Marigold Anneliese.

Jika mesti mengakui satu hal besar, sudah tentu kalau Ortiz memiliki banyak rahasia yang bersangkutan dengan Marigold, saudarinya, dan keluarganya. Daftar kebohongannya akan sangat panjang jika ditulis. Jumlah yang terlalu banyak agaknya bernilai layak dengan konsekuensi yang akan Ortiz dapatkan jika dia mengakui.

Kadangkala daya pikirnya terguncang tatkala melihat wajah Marigold. Iya, benar, dia menyukai perempuan nyentrik itu, sejauh yang dia sadari baru-baru ini. Namun, dia tidak cukup yakin atas perasaannya sendiri. Memangnya apa makna dari diksi "menyukai" yang Ortiz miliki terhadap Marigold? Tidak ada eksplanasi khusus sebab warnanya dominan monokrom, hitam dan putih sehingga nampak tidak ada konklusi jelas dan bagus. Mungkin, dia menyukai Marigold karena perempuan itu mudah dikontrol? Atau mungkin karena perempuan itu bisa disetubuhi kapan saja? Dia sendiri kebingungan. Kadang-kadang, dia lebih percaya jika dia mencintai Rosemary Cecilia dan dia tengah memanfaatkan Marigold untuk alasan itu.

Ortiz Romano ingat visinya di masa lampau: Dia menyukai situasi tatkala anak-anak Francise terguncang dengan ketololannya masing-masing. Misalnya seperti Rosemary Cecilia yang dengan mudahnya memublikasikan seluruh rahasia dan kelemahan bisnis Francise padanya atau Marigold Anneliese yang nampak obsesif pada Ortiz dan yang dengan mudahnya memuaskannya. Anak-anak Francise adalah sumber kiamat bagi keluarganya sendiri, dan Ortiz menyukai realitas itu sebab Ortiz merasa diuntungkan, dari sisi bisnis dan kesenangan pribadi.

Namun, sial, Ortiz tidak paham tentang segala hal yang terjadi akhir-akhir ini. Dia sudah berhasil membuat Roman's menempati urutan tertinggi sementara kompetitor keluarga tolol itu telah mengalami penurunan besar-besaran. Dia tidak perlu memanfaatkan anak-anak Francise lagi, Rosemary sudah mati dan Marigold semakin tolol hingga nyaris tak ada gunanya. Namun, faktanya dia tetap suka menjatuhkan Francise dan mencuri gadis-gadisnya, entah untuk tujuan apa selain untuk mencari jawaban atas ketololannya sendiri.

Harus Ortiz Romano akui sendiri, dia sangat jahat.

Menatap ke arah depan di mana sekelompok mahasiswa besar memerhatikannya begitu khusyuk, Ortiz hanya mampu memaparkan materi dengan impresi kaku. Netranya justru malah fokus tertuju pada Marigold saja. Sialnya, dia juga tidak tahu, apa alasan di balik sikapnya.

"Sebelum kelas berakhir, berikan kesimpulan singkat soal materi tadi." Ortiz menjeda, kini dia memerhatikan setiap anak di hadapan, berniat untuk memilih korban.

Sebenarnya ada saja mahasiswa yang akan dengan sangat mudahnya memberi kesimpulan. Banyak mahasiswa pandai di program studi Sastra Italia, tetapi kehororan dan aura intimidatif Ortiz Romano memblokir bakat. Seketika mental mereka menciut. Yang pintar saja terlihat menghindari, apalagi bagi mahasiswa yang tak memiliki niat untuk mengingat materi sebaris pun. Alhasil biasanya Ortiz sendiri yang akan menunjuk dengan begitu elegan dan memaksa.

"Marigold Anneliese."

Tapi kini Ortiz Romano memilih korban favoritnya.

Bukan karena ingin mempermalukan gadis pemalas itu di depan sejumlah mahasisiwi besar di kelas, tapi mempermudah dirinya sendiri agar bisa mengontrol gadis itu lagi. Sejauh yang dia sadari, semenjak Marigold berbicara bahwa dia tidak bisa mencintai Ortiz dengan alasan karena dia ingin menghargai saudarinya, perempuan itu benar-benar kembali menjauh. Pun, entah kenapa Ortiz kesulitan untuk memasukan perempuan itu ke sarangnya lagi. Namun, dia yakin, Marigold yang tidak stabil bisa kembali padanya.

"Kesimpulannya?"

Marigold nampak gelisah, begitu yang Ortiz lihat. Ortiz mulai meyakini bahwa catatan kecil yang berada di meja gadis itu mutlak kosong melompong. Sayang sekali Marigold Anneliese begitu angkuh dan memiliki harga diri yang begitu tinggi di hadapan mahasiswi lain sehingga dia tidak berminat untuk melihat catatan mahasiswi lain.

Sejenak perempuan itu memejam, mengingat-ingat atau mungkin menyerah diam-diam. Marigold Anneliese sebetulnya tidak bodoh-bodoh amat. Dia tipikal anak tidak stabil yang pintar dan bodohnya tergantung situasi, upaya, dan perasaan. Agak aneh, tetapi spesies seperti itu benar-benar ada. Kini rasanya otak Marigold semakin tumpul sebab otaknya penuh dengan polemik keluarga. Terkesan tidak profesional, memang. Namun, siapa yang bisa menyalahkan atau menilai kehidupan satu individu?

"Marigold Anneliese." Ortiz memanggil ulang.

Marigold membuka netra dengan pinar menyorot nelangsa. Dia mulai melantunkan nyanyian diksi kotor di dalam kalbu, tetapi dia mencoba membalas Ortiz begitu santai, seingatnya saja. "Dolce Stil Novo."

"Hanya itu? Itu bukan kesimpulan, Nona Anneliese."

"Itu bermakna sweet new style." Lagi, perempuan itu menjeda. "Gaya atau gerakan baru yang manis," balasnya tanpa konteks jelas, hanya bentuk translasi.

Ortiz menunggu dengan gaya yang begitu angkuh. Telapak tangan kiri menumpu pada meja lekturer, sementara yang satunya masuk dengan maskulin pada saku celana. Tak aneh jika mahasiswi lain yang faktanya tengah berlakon menjadi batu mulai memotret diam-diam, sayang jika tidak memotret figur tampan itu. "Gaya apa? Berikan penjelasan yang lebih jelas."

Sayangnya Marigold Anneliese kepalang gemas. Dia melupakan materi yang dibahas Ortiz sebelumnya atau faktanya tidak benar-benar memerhatikan karena fokusnya mengambang tak jelas. Dia hanya ingat kalau istilah itu merujuk pada sejarah sastra Italia, tetapi dia melupakan definisi spesifiknya karena otaknya terlampau penuh dengan beban keluarganya dan pria gila di depan. Maka dari itu, Marigold yang kebanyakan suka pesimis, minim etika, memiliki banyak tingkah, dan begitu sering bersikap aneh menjawab begitu dingin. "Gaya bercinta, Papi Romano."

Suasananya sunyi seketika.

Namun, jauh dari ekspektasi para mahasiswa yang beranggapan bahwa Ortiz Romano akan marah dengan suara horornya, yang terjadi malah kontras. Sekali Ortiz membersihkan kerongkongan, seolah tersedak berlian atau apa, lantas dia tersenyum menantang dengan keangkuhan yang naik drastis. Itu tidak pernah terjadi. "Ingin bermain-main, Nona Anneliese?"

Marigold menggigit jarinya, terlihat polos dan menggoda dalam satu waktu. Sebenarnya, untuk orang seperti Ortiz Romano, dia bisa ereksi karena itu, apalagi jika perempuannya adalah Marigold Anneliese. "Kenapa? Do you want to fuck me with that dolce fucking style, Ortiz Romano?"

Dan keterkejutan lain membabi-buta. Bagi mahasiswa, Marigold Anneliese adalah mahasiswi tergila yang bisa-bisanya bersikap tersebut pada headmaster yang menurut mereka suci.

"Rupanya kau mau mengunjungi ruanganku dan menerima tugas hukuman lagi. Aku siap memberikanmu beberapa tugas analisis." Begitulah balasan Ortiz, begitu santai, penuh basa-basi.

Sementara itu, Marigold kembali abai dan terbebani dengan segala masalah pribadinya. Dia sangat-sangat kepayahan.

Karena tidak ingin kehilangan kontrol, maka Ortiz membuat kesimpulan sendiri sebelum menutup kelas. "Benar bahwa Dolce Stil Nova adalah gaya atau gerakan baru yang manis, itu makna translasinya. Namun, konteksnya bukan "gaya bercinta", Nona Anneliese," balasnya, telak melirik Marigold. "Dolce Stil Novo adalah istilah untuk gerakan sastra Italia pada abad ke-13 dan ke-14 yang dipengaruhi oleh puisi Tuscan dan Sicilian School. Sorotan dari karya di aliran ini merujuk pada tema-tema ilahi atau pemujaan yang merepresentasikan intropeksi yang mendalam." bla-bla-bla, menjadi konklusi yang panjang, dan pada akhirnya, "Persiapkan diri untuk quiz dan analisis karya Dolce Stil Novo di pertemuan selanjutnya," katanya, "Dan Marigold Anneliese, ke ruanganku lagi."

r e c o v e r y

Tidak. Marigold Anneliese tidak langsung mendatangi ruangan Ortiz. Dia melarikan diri sebentar untuk mencari kebenaran soal presensi Ajax.

Sejak terakhir kali Marigold memberikan pesan elektronik pada Ajax, yang mana Marigold sendiri lupa kalau dia mengirimkan pesan, Ajax sendiri tidak membalas. Marigold sempat khawatir jika pria itu mendatangi apartemennya sementara sandi apartemen sudah berubah total. Namun, setelah dia menginterogasi pihak sekuriti, Ajax sama sekali tidak datang.

Gila, bukan? Pria itu kenapa?

Marigold sempat bertanya pada Esme saat kelas pagi, katanya Ajax hadir di kelas. Sangat aneh. Ajax dan ponselnya itu seperti pasangan sehati. Meski tidak sering, tapi kebanyakan, sedetik pesan masuk, Ajax akan langsung membalasnya. Ini apa? Marigold terpaksa harus memberi spam hingga menanyakan pada Esme.

Deret papan-papan putih menghiasi beberapa spot tembok dengan beberapa tempelan pengumuman dan pemberitahuan lainnya. Jika dia rajin, mungkin dia akan menempelkan satu buah pengumuman, seperti: Dicari, Ajax Scheiffer. Marigold menelusuri lorong dengan estetika tembok berpapan itu hingga merujuk ke bagian kanan bangunan, spot paling menyenangkan karena kebanyakan ditempati para mahasiswa untuk menongkrong atau sekadar terdiam mendengarkan musik. Biasanya, Ajax memang selalu di sana.

Dan untungnya, Ajax Scheiffer ada.

Tidak ada yang berbeda dengan pria bertato itu, hanya sedikit kacau karena mungkin kekurangan tidur sebab terlalu keasyikan berpesta dan bertransaksi di Dungeon Bar. Selain itu, Ajax Scheiffer masih sama seperti biasanya, pria itu masih hiperaktif dan asyik bercengkerama random dengan karibnya. Nampak seperti tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

"Ajax!"

"Er, ada kekasih, tuh." Clover, pria reseh.

Ajax melirik kedatangan Marigold. Tak tanggung-tanggung, Marigold segera duduk menyamping di atas paha pria tersebut hingga Ajax memegangi secara otomatis. Bisa dikatakan dari sisi Marigold Anneliese bahwa dia merindukan ini. Entah, satu-dua-tiga atau beberapa hari tidak seperti ini dengan Ajax, dia lupa.

"Hai, Clo. Sudah berhasil mendekati Esme? Tidak takut seperti Trevor?" Marigold melirik Clover. Meski reseh, sejujurnya Clover adalah pria yang sangat menyenangkan untuk diajak berbicara secara baik-baik ataupun berbicara laiknya perdebatan internasional.

"Belum. Gila, tipe Esme seperti apa, sih?"

Marigold mengedik. "Sejujurnya jika kau bertanya soal itu padaku, Ruho, atau Alaska, kami tidak akan pernah memberikan jawabannya. Esme tertutup soal asmara. Tapi kudengar orangtuanya mengincar pria kelas atas yang sudah mapan supaya Esme tidak perlu bekerja."

"Gila. Dia mau Papi Chulo, ya?"

"Menyerah saja," sahut Ajax.

Clover memasang senyum, "Dengan senang hati, tapi nanti Marigold akan kurebut."

Marigold menggeleng dengan ekspresi jahil yang super meledek. "Dengan senang hati aku akan mengatakan bahwa aku tidak sudi," katanya. "Hush, Pergi sana!"

Clover seolah hendak menyeruduk laiknya banteng. Namun, sekejap kemudian, dia tertawa sembari pergi meninggalkan Ajax dan pacar resehnya. Clover pribadi terlampau sadar diri bahwa Marigold Anneliese bukan tipikal wanodya yang mudah ditaklukan. Semua orang tahu, satu-satunya pria yang berhasil menaklukan Marigold hanyalah Ajax Scheiffer. Dan semua orang tahu juga, tidak ada yang bisa menyaingi pria itu.

Selama beberapa saat setelah Clover pergi, Marigold setia terduduk tolol dengan karamel menghadap pada netra lawan; bukan sekadar menatap, melainkan memerhatikan banyak hal yang bersifat internal di sana, seperti mempertanyakan alasan pas perkara mata dengan saraf kecil memerah beserta kantung mata yang terlihat samar-samar itu. Sebenarnya bukan hal yang aneh, Ajax sering begitu, tapi ternyata Marigold masih merasa khawatir.

"Aku memberimu pesan."

"Nah." Aku memulai dengan interjeksi. "lni aneh, tapi ponselku hilang."

"Lantas kenapa tidak bilang atauㅡ"

"Aku berniat mendatangimu, tapi bos memaksa untuk, ah, kau tahu, transaksi. Aku salah satu bandar yang paling dia percayakan."

Ajax pun sebenarnya tidak terlalu sadar jika ponselnya hilang. Asumsinya tertuju pada opsi di mana dia lupa sebab fokus akan suatu hal atau mabuk berat karena hal-hal ilegal dan alkohol. Hal pertama yang ingin dia lakukan setelah itu terjadi sebenarnya adalah sesuatu hal soal Marigold, tapi kesibukan haramnya meradang. Untungnya, Marigold bukanlah wanodya reseh yang terbiasa marah-marah tanpa sebab.

Menarik napas, sejemang Ajax memberikan atensi pada jaketnya. Dia mengambil ponsel baru hingga itu beralih pada tangan Marigold. "Nomor barumu, aku tidak hapal."

Marigold terkekeh. "Mau nomor baru atau lama, kau tetap tidak ingat," balasnya seraya mengetikkan nomor barunya pada ponsel Ajax.

"Setidaknya aku ingat nomor pakaian, nomor sepatu, nomor bra, nomorㅡ"

"Berisik." Marigold mendelik.

"Tapi agaknya nomornya sudah bertambah, ya."

"Wah, mengajak ribut rupanya."

Pria di hadapan loyal tertawa, senang sekali menjahili Marigold yang anehnya suka merasa malu kalau sengaja disinggung hal semacam itu.

"Nanti malam aku mau menginap di rumahmu, omong-omong."

"Kenapa?"

"Aku kekasihmu, harus tanya kenapa?"

Ajax menggeleng, terkekeh lucu. "Bukan begitu. Ada masalah?"

"Hanya ingin kabur dengan leluasa," ucap Marigold.

Ajax selalu menegang jika mulai mendapatkan topik konversasi itu. Menyinggung pasal keluarga Marigold itu seolah mempersiapkan mental untuk menghadapi kiamat kubra. Dia hanya mulai membayangkan kesulitan Marigold selama ini. "Iya, datang saja ke apartemen. Hanya saja aku akan pulang telat."

"Dungeon Bar?"

Jungkook berdeham simpel.

"Aku mau ikut ke sana juga."

Berikutnya Ajax hanya memberikan perizinan. Itu haknya Marigold. Jika ingin ikut, ya, ikut saja. Dungeon Bar bukan tempat yang berbahaya bagi Marigold Anneliese. Faktanya, dia sendiri menjadi seperti ratu di sana.

Kemudian, Marigold bangkit dari pangkuan itu. "Aku mau ke ruangan Sir Ortiz."

"Hukuman lagi?" tanya Ajax.

"Yah, begitu, deh. Dia itu hobi sekali menyulitkanku."

Memahami dengan segenap hati, Ajax ikut berdiri dengan dehaman kentara. "Oke. Nanti pulang bersama atau bagaimana?"

"Aku ke apartemen dulu. Nanti akhir hari aku langsung ke Dungeon Bar."

"Fine, kalau beㅡsebentar, itu kalung baru?"

Marigold menunduk sejemang. Mendadak lupa ingatan jika dia punya kalung baru dan lupa jika Ajax adalah pemerhati yang begitu seksama. Alhasil Marigold mengangguk, membenarkan meski tidak benar. "Benar." Itu pemberian Tuan Ortiz Yang Maha Kaya Raya. Pria itu memberikan kalung di pagi hari setelah Marigold mengatakan jika dia tidak bisa mencintai Ortiz. Hitung-hitung menyuapnya.

Tatkala pria itu lagi-lagi berdeham laiknya orang malas berbicaraㅡatau memang terlalu fokus memerhatikan Marigold hingga lupa susunan kataㅡ, Marigold menjinjit kecil sejemang hanya untuk berciuman dengan Ajax, hitung-hitung memberi sebuah salam sebelum nanti kembali berjumpa. Dia tahu resikonya jika ada mata-mata Ortiz, tetapi persetan, Ajax itu kekasihnya, mereka bebas berciuman di manapun, kapanpun, dengan cara apapun.

Ah, tapi, miris. Marigold Anneliese itu sungguh labil dan munafik.

Dia merasa sedang menyelingkuhi Ortiz.

r e c o v e r y

Seperti biasa, ruangan Tuan Ortiz Yang Terhomat rasanya begitu mencekam dan memabukkan. Pria itu terlihat terduduk elok di singgasana pribadinya seraya memainkan ponsel. Tetap, begitu angkuh seperti tukang invasi yang seratus persen beradikuasa.

Marigold berjalan mendekati hingga dia berdiri di hadapan pria itu dan mejanya. Sejenak Ortiz masih fokus memainkan ponsel, entah melakukan interaksi bisnis atau berkirim pesan dengan ibunyaㅡkarena ketahuilah jika dia adalah pria yang manis dan baik hati jika di depan ibu. Namun, satu menit kemudian atensi pria itu berpindah pada Marigold. Awalnya tidak ada impresi nyentrik atau apapun itu yang terkesan mencurigakan.

Tapi, sial, Ortiz Romano ini kenapa, sih?

"Nanti malam." Menyebalkan. "Tidur denganku lagi, di rumahku."

"Hah?"

Harusnya Marigold tuli seperti Rosemary. Gila, Marigold ingin ke rumah Ajax.

Sayang sekali, Marigold harusnya paham bahwa sekali dia menurut pada Ortiz dan memulai hubungan lagi dengan pria itu, keberaniannya pula akan menurun drastis, yang mana itu setara dengan peningkatan sikap otoriter Ortiz dan sikap setan lainnya. Seribu kali Marigold mundur, seribu kali dia kembali. "Tunggu di sini. Satu kelas lagi, kita pulang bersama," katanya, afirmatif. "Pasrah atau kau akan paham konsekuensinya jika membelot."

Marigold semakin percaya jika Ortiz punya mata-mata, hingga dalam kesempatan ini dia mencegah keinginan Marigold untuk pergi ke rumah Ajax.

"Kau benar-benar seorang invader, Tuan."

"Masalah?"

Marigold diam kebingungan.

"Atau Bibi Daphne akan datang menjeratmu lagi," ancam Ortiz dengan kelemahan Marigold.

"Aku ingin menginap di rumah Esme." Tentu, dia berbohong. Ajax adalah pusat pikiran Marigold. Kendati lucunya Ortiz menggeleng begitu yakin. Alhasil Marigold memberi tindakan penyuapan tolol. "Satu sesi gim, lalu izinkan aku."

Ya Tuhan, sumpah? Dia harus merendahkan diri hanya untuk bebas?

Ortiz menggeleng. "Sedang tidak ingin bercinta."

"Pria jahanam," tukas Marigold. Tapi bagus, bukan?

Mendengar itu sama sekali tidak membuat Ortiz tersinggung atau marah. Sudah terlampau biasa baginya mendengar panggilan kotor dari mulut kecil yang suka menjejal zakarnya itu. Ortiz tahu seberapa toksiknya dia memperlakukan Marigold hingga percaya diri untuk semakin membatasi pergerakannya. Sesungguhnya dia sedang mencari jawaban, mengenai perasaannya pada Marigold, tapi memang dia tidak terbiasa bersikap baik-baik pada Marigold. Sebab begini, ingat ini, "Tidak ada yang lebih mampu melindungimu dari keluargamu sendiri selain aku, bukan? Kau ingin sembuh dan aku memberikan perlindungannya, aku dan rumahku," katanya, "Akui saja, Anneliese. Kautahu jika itu benar karena tidak ada yang keluargamu takuti selain aku."

Ortiz banyak berbohong. Tapi kini dia jujur bahwa dia senang dengan perannya di hadapan Marigold.

Marigold pula banyak berbohong. Tapi kini dia jujur bahwa perkataan Ortiz seratus persen benar.

Sehingga sepersekian sekon keluar bahana mendayu, begitu lugu dan sumarah, "Benar."

"That's My Anneliese."

Begitukah cara Ortiz Romano menyembuhkan Marigold dan dirinya sendiri?

hshshs, rindu. TT.

ayo tebak, marigold bakal kabur atau nurut?

Sampai jumpa di bagian selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top