ACT II: CHAPTER 20

Jung Taehyung berakhir tragis dengan fluida membanjiri tubuhnya tatkala Trevor Schiller masuk ke asrama yang tidak tertutup dan menyiram pria Jung yang tak berkultur itu dengan air. Taehyung terperanjat kaget dan refleks berseru, terkejut laiknya dibombardir prajurit perang dunia. Kesialan lainnya adalah Jung Taehyung langsung mendapatkan hadiah bangun tidur yang agaknya dipenuhi rasa amarah, tinjuan. Paragon perfek yang semula nyaris terduduk dengan nyawa yang masih melayang-layang setengah itu otomatis menjadi kembali terbaring.

Di New Orleans, Trevor salah satu pemuda barbarik yang menjadi aksis ketakutan mahasiswa universitinya. Bukan tipikal mahasiswa pencari masalah seperti Taehyung, tetapi Trevor selalu ikut campur dalam urusan membantu orang. Pernah sekali saat sahabatnya, Ellen Johanson, diseret oleh dua pria mabuk, Trevor membantunya hingga pelakunya mutlak masuk rumah sakit. Kekerasan memang diperlukan bagi orang-orang yang laik menerimanya, kan?

Apalagi dalam fragmen ini, sejujurnya Jung Taehyung dan Trevor Schiller bukanlah lawan yang seimbangkan. Jika diibaratkan, Jung Taehyung itu punya abiliti level silver, sementara Trevor Schiller itu menyabet level emas. Kendati keduanya sama-sama memiliki pendidikan bela diri, untuk urusan pertarungan, Trevor bisa menang karena dia bukan tipikal ceroboh seperti Taehyung.

"Oh, wow, wow! Trevor, calm down!" Yoongi menginterupsi di belakang. Pria bersurai blonde itu ikut belingsatan sebab Trevor memang gila. Oh, ayolah, apa yang diharapkan dari situasi ini tatkala Jung Taehyung masih mutlak tolol karena efek bangun dari pingsan sekaligus tidurnya? Apalagi sepertinya Jung Taehyung membutuhkan obat-obatannya. Tragis sekali. "Kau bisa membuatnya terbunuh, gila!"

"Memang itulah niatku," balas Trevor penuh dendam kesumat.

"Trevor!" seru Hyacinth belingsatan.

Hanya saja Trevor sudah terlalu banyak dirasuki siklon.

"Sial, sial, cepat interupsi pergerakannya!" Hyacinth ikut kelabakan.

Demi Tuhan, Taehyung mendadak jadi makhluk buruk rupa dengan eksistensi seni darah di wajahnya, berikut lebam-lebam sinting. Kendati spesies seperti Taehyung pantas mendapatkan karma semacam itu, bagi Hyacinth, Trevor tetap tidak punya hak untuk melakukan kekerasan fisikal hingga membuat Taehyung babak belur. Bukankah konsekuensinya harus berasal dari Jiya sendiri?

Yoongi dan seseorang member The Academic Devils lainnya, yakni Kim Han alias anak si pemilik bengkel, susah payah mengambil tindakan preventif agar asrama Jiya tidak menjadi tempat kejadian pembunuhan. Berbahaya juga kalau itu terjadi. Ujungnya si Kim Jiya yang akan dituduh sebagai pembunuh Jung Taehyung karena lokasinya telak di asrama Jiya.

"Bajingan, bajingan, bajingan!"

Taehyung meringis, terkekeh juga. "Aksennya mirip sekali seperti Jiyaㅡsial, wajahku." Agaknya Jung Taehyung mulai penuh dengan kesadaran. Sebelumnya ia hanya diam dengan ringisan, kini Taehyung mulai beringsut bangun demi menghindar tatkala Trevor sendiri sudah berhasil ditarik menjauh oleh Yoongi dan Han.

Konstelasi mereda sejemang. Trevor masih mengeluarkan napas berderu yang tidak stabil akibat perasaan emosinya. Sementara Taehyung membantu meramaikan dengan suara ringisan. Masing-masing punya aksis tersendiri. Termasuk Hyacinth yang menyayangkan luka dan darah yang presens di wajah Taehyung. Wajah perfek yang malang.

"Tidak bisakah kau memulainya baik-baik?" Taehyung mengomentari.

Trevor tidak membalas. Ia malah lebih banyak berderu.

Sebab tidak mendapatkan sinyal balasan, Taehyung lebih memilih untuk pergi ke toilet sekejap. Membersihkan luka pada wajahnya. Well, kendati luka lebamnya lebih parah daripada pergelutan seperti biasanya, Trevor tidak membengkokkan hidung atau merontokkan gigi Taehyung. Jika itu terjadi, itu akan buruk. Tidak lucu, kan, kalau stori pasal Jiya dan Taehyung malah berubah menjadi stori Beauty and the Beast?

Sialan, sialan, sialan.

Secara mendadak Taehyung mengingat fragmen kemarin. Sanubari jadi pelik. Otomatis paragon ekstraordinari itu memanas laiknya aftab di dahina hingga refleks menghancurkan reflektor di depan netra dengan satu tinjuan kuat. Mengapa harus Jimin? Bukankah Jiya sudah diberitahu oleh Taehyung untuk was-was pada spesies sok alim itu? Jiya bahkan sudah mendeklarasi diri bahwa ia membenci Jimin.

Lantaran bahana pecahan yang kuat, Yoongi, Han, dan Hyacinth otomatis menyeruak masuk ruangan penuh kuriositas. Barangkali sebab adanya atmosfer tak biasa, di situ hanya Yoongi yang meneruskan rasa kuriositasnya. Pria yang nyaris similar seperti orang pucat pesakitan itu mendekati Taehyung. Lantas berbicara, "Mengingat betapa runyamnya relasimu dengan Jimin, aku pikir segera merebut Jiya dari genggaman Jimin itu sangat diperlukan." Yoongi menjeda, melirik Taehyung yang menatap refleksi diri penuh amarah. "Dia orang yang paling tidak bisa ditebak."

"Dia membahayakan, maksudmu?"

"Tidak, jika dia melihat Jiya sebagai sahabat. Iya, jika dia melihat refleksi masa lalu."

"Pendendam," respon Taehyung.

"Kau berdosa padanya."

Taehyung memincing tidak terima. "Sialan. Bahkan dia lebih tak waras dariku."

"Ya, aku bahkan masih mengingat fragmen saat dia nyaris membakar tanganku." Yoongi balas eksesif, tetapi ia tetap mengeluarkan tawa konyol.

Kilas balik saat Kim Hoseok kehilangan nyawa, Jimin tak terkontrol seperti siklon. He loves him. Ya, itu fenomena yang wajar bagi komuniti The Slavesnama tolol sebelum adanya reformasi. Terlalu banyak anomali, termasuk percintaan sesama jenis. Hal yang wajar tentang mengapa Jimin mengubah orientasi seksual Hoseok hingga menjadi tak normal. Jimin berharap mendapatkan balasan. Kendati lucunya Jimin masih tetap menjadi orang tragis sedunia dan finalnya tak terkontrol saat Hoseok diwartakan meninggal.

Kisahnya barangkali akan sangat menguras emosi dan energi. Yoongi kalau mendadak mengingat itu pasti akan tertawa sinting. Kata Jimin, Hoseok meninggal karena Taehyung. Kisah tolol karena Taehyung menolak Hoseokㅡoh, ayolah, Jung Taehyung pria normal, mana mungkin ia balas menginginkan manusia pemilik lolipop juga; baginya, itu super eksentrik. Jimin menyalahkan Taehyungㅡbla, bla, blasingkatnya, jika Taehyung menerima Hosoek, pasti Jimin tidak akan kehilangan Hoseok. Saat konflik itu terjadi, Yoongi membela Taehyung, sampai finalnya Yoongi menjadi sasaran Jimin. Pendendam karena tidak diberi pembelaan. Namun, sungguh, itu adalah kisah paling tidak jelas yang eksis di kehidupan Yoongi dan Taehyung. Jimin si alim yang menjadi mahasiswa paling apik di Saint Hallway itu sesungguhnya punya banyak kejutan.

"Jika problematikanya ada di poin ke dua, kenapa harus Jiya? Jiya tidak ada hubungannya dengan itu. Aku menolak Hoseok karena aku normal, bukan karena Jiya."

Yoongi mengedik. "Sudah kubilang, Jimin orang yang sulit ditebak," balasnya, "kuharap dia tidak macam-macam dan menjaga Jiya dengan baik."

Taehyung mengumbang minim. "Hm. Kuharap begitu. I already miss her."

Yoongi Fisher balas terkekeh. Roman melankolis Taehyung sangat cocok dipajang di tembok. Meski menyedihkan, tetapi malah terasa lucu di hadapan Yoongi. Sudah dibilang, kan? Begini jika Jung Taehyung jatuh pada perempuan.

"Hubungan Jiya dan Jimin sangat sehat dan tidak terlihat toksik. Jiya akan baik-baik saja dan kembali padamu jika ia sudah tenang."

Jadi, peroman Taehyung setidaknya lebih tenang. Dia memiliki banyak pemikiran buruk soal Jimin. Namun, mengingat Jimin dan Jiya punya koneksi intim yang similar seperti adik dan kakak, sudah semestinya Taehyung mencoba percaya, kan? Terlebih selama beberapa periode tatkala Jiya mengalami perundungan di Saint Hallway, Jimin-lah person yang kadangkala membantu Jiya. Barangkali pilihan untuk mencoba tidak eksesif itu lebih baik. Kendati sialnya seorang Jung Taehyung masih tetap tidak kapabel untuk tenang.

Mi Corazon. Mi Corazon. Mi Corazon.

Something is missing.

"Sial sekali aku tidak tahu alamat rumah Jimin," ujar Taehyung mendadak.

"Begitulah jika kau berhadapan dengan orang kaya raya yang selalu mendapatkan banyak ancaman. Kudengar tahun lalu ia pindah rumah dua kali." Agak konyol, tetapi itu real. Jimin mungkin seribu kali lipat dengan Taehyung, kalau soal harta. Lucu memang lantaran famili Hwang bisa menyewa ratusan sekuriti untuk rumahnya. Namun, terkadang selalu ada kesalahan sampai famili Hwang enggan berada di tempat yang sama. Alhasil mereka masih tetap mesti hidup berpindah-pindah. Hidup nomaden seperti orang purba.

"Kau bisa melacaknya, Yoon?"

"Kau punya kontak atau hapal plat transportasinya?"

Sialan, sialan, sialan. "Tidak."

Yoongi Fischer membasahi labium, lantas kontinyu mengolok-ngolok. "You're in trouble, Jung." Ia berdiri lebih tegak dan menjauh dua langkah. "Selamat bersenang-senang dengan permainan solo. Kau tidak lagi berminat dengan gadis Madam Barbara, kan? Yah, Jiya adalah ratu, standar paling atas, dan original. Atau mungkin kau akan menurunkan standar untuk sementara waktu?"

"Sialan."

"Ingin? Aku ada kenalan gadis baru yangㅡ"

"No, thanks. Sama sekali tidak berminat."

Sedetik setelah Yoongi melengos ke luar dengan tawa olok-olok. Sementara Taehyung lanjut menatapi refleksi wajah sendiri. Ia benar-benar dalam masalah. Bukan sebab permainan solo, Taehyung sedang tidak memikirkan soal itu, kendati itu ada benarnya. Maksudnya, Kim Jiya merusak ponselnya sehingga Taehyung tidak memiliki koneksi dengan Jiya. Seperti hal sebelumnya yang telah disebutkan, Hwang Jimin dan familinya yang super eksentrik itu selalu berpindah-pindah rumah. Taehyung benar-benar kehilangan gadisnya.

Itu katastrofe. Oke, mungkin Jung Taehyung akan semakin menggila dan kering kerontang seperti hantu yang tidak diberi persembahan tatkala sampai di apartemen dan disuguhi baju-baju kirana Jiya, pita atraktifnya, juga aroma chamomile manis yang memang menghiasi ruangan kamar. Fuck.

Tolol, tolol, tolol. Kenapa Taehyung merogol Jiya waktu itu?

"Kau manusia tertolol, Jung." Taehyung bergumam untuk diri sendiri. Hingga sepersekian sekon ada tawa kecil yang menyahut.

"ㅡDan tragis." Seseorang membalas. Trevor di sisi pintu. Mengolok-olok.

Taehyung mencoba abai. Ia lebih suka melankolis dan meratapi ketololan diri sendiri yang rupanya sudah menggerogoti setiap lapisan daging. Kendati sialnya Tuhan selalu bermain-main dengan Taehyung. Kini, bebannya malah bertambah.

Hingga finalnya Taehyung hanya mampuㅡlagi-lagiㅡmengumpati diri sendiri. Yang pasti ia mendadak tertarik dengan situasi di ruangan utama asrama. Sirkumstansi agak azmat. Lebih tepatnya, itu adalah Profesor Schiller yang kini menjadi duplikasi Trevor Schiller dan Jiya Schillerㅡmungkin Taehyung bisa menyebutnya sebagai Madison Schiller. Bukan serupa dalam hal pergelutan. Mana mungkin pria berwibawa seperti Russel Schiller mengobrak-ngabrik manusia seperti preman gang? Tidak, Profesor Schiller lebih tenang. Hal yang serupa adalah aura horornya. Madison Schiller meninggalkan Taehyung. Trevor Schiller mengolok-ngolok Taehyung. Sementara bapaknya ini, Taehyung langsung diseret ke inferno oleh Russell Schiller.

Sedetik saat Taehyung berhadapan dengan Profesor Schiller, Taehyung langsung dibuat turbulensi. Ia berkata, "Jung Taehyung ... siap untuk diinvestigasi oleh kepolisian?"

Selamat tinggal, Jung Taehyung.

May God save you.

j e o p a r d i z e

"Sudah bangun?"

Ada aksis utama saat Jiya terbangun dari tidurnya yang entah sudah berapa lama-tidurnya nyenyak sekali. Jiya merasa lebih baik. Setelah dibawa Jimin untuk ke rumah familinya yang hangat, Jiya langsung diperlakukan seperti putri renaisans. Famili Hwang memang selalu seperti itu tiap Jiya berkunjung ke rumah Jimin. Lebih spesifiknya, ada dokter spesial di sini, dan Jiya diberikan perawatan intensif. Termasuk sekuritas level maksimum di rumah ini. Ibunya Jimin juga memberikan peran krusial kemarin; barangkali sebab sesama perempuan dan memahami apa yang terjadi pada Jiya.

Jimin persistens bermain dengan dua kucing ekstrover itu. Eksis tawa-tawa manis Jiminㅡwell, Jimin seratus kali lipat antusias jika berurusan dengan kucing; cinta sekali. Beberapa menit Jiya penuh kuriositas. Terakhir kali Lucy dan Brenton berada di apartemen Taehyung dan Taehyung kehilangan kesadaran di asrama Jiya. Lantas bagaimana Jimin mengambil mereka?

"Bagaimana merekaㅡ"

Jimin menyela. "Aku masuk ke sana dengan bantuan pihak apartemen," balasnya. "Aku meragukan apakah spesies seperti Jung Taehyung mau dan mampu mengurus mereka atau tidak; atau bukankah sangat mengerikan jika hewan ini jadi sasaran amarah selanjutnya? Animal abuse akhir-akhir ini marak terjadi. Jadi aku berinisiatif melakukan ini. Kau juga ingin Lucy, kan?"

Sesungguhnya, Taehyung bisa melakukannya dengan baik. Bukannya membela, tetapi realitasnya seperti itu. Selama ada hewan itu, ketahuilah bukan hanya Jiya yang mengurus, Taehyung juga. Katanya Taehyung pernah mengurus hewan, spesifiknya anjing. Taehyung tinggal dengan familinya sebelumnya, termasuk dengan anjingnya. Setelah presens kasus, Taehyung juga dimestikan untuk tidak berhubungan dengan rumah ataupun hal-hal yang berkaitan dengan rumah, termasuk keluarga dan hewan peliharaannya.

Beberapa sekon otomatis Jiya terdiam. Taehyung, Taehyung, Taehyung. Mengapa malah memikirkan spesies tak berkultur itu? Makanya cepat-cepat Jiya meraih titik fokus. Jiya ikut duduk di karpet bulu berwarna krem dan membelai Lucy. "Ya. Sudah terlalu lama aku melupakan Lucy."

Vokal tawa kecil lolos. "Ya, begitu. Kendati Lucy maniak kepadaku, saat ia berada di rumahku, adakalanya kucing ini melankolis. Aku tidak tahu pikirannya, sih, tetapi mungkin ia menginginkanmu." Mau bagaimanapun, sudah dibilang juga bahwa Jiya bahkan tidak bisa mengurus diri sendiri dengan baik setelah adanya kasus nyentrik itu, makanya ia lebih banyak mengabaikan Lucy atau kadangkali nyaris melakukan kekerasan pada hewan itu secara tidak sengaja. Hewan juga punya perasaan, kan? Barangkali Jimin benar.

Nyenyat dalam kurun waktu tertentu. Ucapan Jimin sebelumnya hanya dibalas kurva normal, lantas Jiya fokus pada Lucy. Namun, jelas sekali bahwa Kim Jiya super lesu. Kurva normal tadi agaknya dipaksa-paksa. Serebrum Jiya terlalu banyak dihinggapi problematika. Agaknya wajar. Konversasi semacam pembahasan felis catus bukanlah prioritas Jiya. Hingga kemudian Lucy dan Brenton lepas dari pengawasan, sementara Jiya dan Jimin kontinyu terduduk di sofa. Sama-sama terdiam, tetapi Jiya penuh dengan pikiran tolol di otak.

Ada hal lain yang mendominasi regulasi serebrumnya.

Absurd sebetulnya. Konstelasi di serebrum dan sanubarinya kusat-mesat. Barusan menolak pemikiran seorang makhluk Jung yang tidak berkultur itu, tetapi mau bagaimanapun juga Jiya tetap ingin Taehyung. Munafik sekali. Kemarin, ia rasa ia sudah melakukan reaksi alamiah yang terlalu berlebihan. Jiya pakau, entah dia yang eksesif atau memang Jung Taehyung yang terlalu laik menjilat hasil perbuatannya sendiri. Namun, sumpah, Taehyung baik-baik saja, kan? Yang terpenting, setelah kekacauan sirkumstansi tolol kemarin, Taehyung masih tetap punya interes untuk menyimpan afeksinya pada Jiya, kan?

Jiya tolol. Jiya tolol. Jiya tolol. Susah payah mendapatkan Taehyung, lantas malah dilepas.

Fragmennya jadi eksentrik. Jimin terbawa canggung. "Jiya?"

"Hm?"

"Memikirkan apa? Kita sebelumnya selalu berbagi. Sekarang, bersedia?"

"Kau tahu betul soal apa yang memenuhi otakku," balas Jiya.

Jimin kemudian balas tergagap, merasa seolah memegang beban dan rasa salah yang mendarah daging. "Er, maaf soal kemarin. Aku memukul Taehyung. Aku emosi." Hingga Jiya membalas tanpa beban, seolah tidak mempersalahkan poin yang ada. Labil, tidak jelas, dan super eksentrik. "Dia penjahat. Dia pantas. Lagipula bukan itu yang kupikirkan," balasnya, berbohong. Sialan, sialan, sialan. Kenapa otaknya penuh dengan Taehyung?

"Lantas?"

Jiya meraih fokus lain. Ada hal lain yang ada koneksinya dengan Taehyung yang lebih penting, kaitannya dengan Jimin juga. Sebelum kesadarannya hilang karena efek tidak tidur, Jiya memikirkan itu. Overthinking. Agaknya itu menyakiti, tetapi karena belum ada kejelasanan, Jiya berusaha untuk tidak lebih-lebih eksesif. "Kau bilang pada Taehyung, merusak dan kehilangan gadis lagi. Bisa kau paparkan maksudnya? Mantan kekasih?"

Taehyung pernah bilang bahwa Jiya itu pertamanya. Sungguh tidak penting. Namun, jika Taehyung berbohong, Jiya akan merasakan kecewa berkali-kali lipat.

"Bukan. Hanya mainan. Tetapi, katanya spesial."

"Mainan?"

"Tidur. Obsesi. Memaksa. Mengumbar kata cinta, tetapi hanya bualan. Oh, ya, sekedar informasi, kontak pertama mereka itu buruk, Taehyung memerkosanya."

Seburuk itukah seorang Jung Taehyung?

Kehangatan dalam atma mendadak jadi dingin. Jiya memiliki insekuritas semacam itu. Sangat ketakutan jika berafiliasi dengan pria semacam Taehyung. Kendati ujungnya Jiya lebih memilih untuk membesarkan perasaan yakin daripada ketakutan tak berdasar. Namun, mendengarkan jawaban singkat Jimin, Jiya kembali tolol dan seolah dipermainkan oleh dirinya sendiri dan situasi.

Afsun Taehyung mendetonasi luas. Dia menghancurkan benteng Jiya laiknya apion yang berputar mengacak-acak permukaannya. Paragon ekstraordinari seperti Taehyung tidak akan bisa ditolak dari segala sisi. Tiap berhadapan dengan Taehyung, Jiya nampak seperti berkeledar, tetapi tetap menguar invitasi yang merujuk pada rajutan asmaraloka. Jiya jatuh pada Taehyung hingga inti paling terdalam. Tidak bisa diselamatkan oleh bantuan apapun. Seberapa buruknya Jung Taehyung, Jiya sudah teramat terikat dengan alamin Taehyung.

Kemudian, di depan, seorang yang tenang seperti Jimin menjadi was-was; tidak enak. Menghadapi roman kusut Jiya, Jimin semakin digerogoti perasaan aneh yang membuatnya seperti bajingan kelas kakap. Jadi ia membalas demi menurunkan intensitas aneh ini, "Kupikir dia terjatuh sangat dalam padamu, Ji. Aku memang memberikan pandangan buruk soal Taehyung, tetapi aku tidak bisa berbohong. Aku dan Taehyung pernah berteman, kau tahu itu. He loves you. Seorang Jung Taehyung tidak akan mau repot-repot menyakiti diri sendiri atau melakukan hal tolol demi perempuan. Terkecuali soal kejadian di ruang praktek, itu kisah lain, aku tidak akan mengomentari," papar Jimin, "dia tidak pernah peduli pada perempuan, ngomong-ngomong. Soal gadis yang lalu, kata Taehyung dia spesial, tetapi hanya ingin untuk urusan mainan. Taehyung tidak memiliki sisi kemanusiaan untuk hal lain yang membahayakan perempuan itu. Bahkan saat perempuan itu mengandung, Taehyung membuangnya."

Great.

Jiya mulai memikirkan hal buruk. Jiya tidak akan terlalu memikirkan poin soal rasa afeksi Taehyung. Perasaan bukan hal yang bisa dipercayai. Itu bisa dimanipulasi dan berubah. Satu hal yang menarik interes Jiya adalah poin terakhir. Kenapa rasanya tidak mengejutkan? Oh, tentu, Jung Taehyung ketakutan atas eksistensi bayi. Hantu terhoror bagi manusia itu. Namun, sial, Taehyung pernah melakukan kesalahan itu pada perempuan lain?

"Mengapa kau berbicara begitu?"

"Aku sedang memberikan petunjuk."

Jiya mengernyit tidak paham. "Apa korelasinya?"

"Kisah Taehyung akan menjadi kisahku. Namun, itu akan dimodifikasi sedikit."

"Maksudnya?"

Jimin menggeleng. "Nothing."

Demi Tuhan, Jiya tidak paham.

Jiya masuk pada semesta kosong sementara waktu. Ia tidak tahu apa maksud sentens Jimin. Jiya sama sekali tidak tahu soal bagaimana ia harus menginterpretasikan hal itu. Sialnya, kendati Jiya sudah memberikan raut penuh kuriositas yang super tolol, Jimin malah tertawa kecil. Barangkali maknanya seperti: kau tidak perlu memikirkan itu, sama sekali tidak penting.

Jadi Jiya berusaha melupakan hal itu jika memang itu tidak penting. Wanodya itu berkonvergen lagi pada aksis lain. Ada banyak pertanyaan yang presens di otaknya yang kini tidak berfungsi maksimal. "Kenapa harus gadis itu? Kenapa ia sebut gadisnya sebagai seseorang yang spesial jika tidak cinta?" tanya Jiya selanjutnya.

Jimin mengumbang minim sebentar, "Em, begini." Dia menjeda, murni memantik rasa penasaran Jiya. Sekonyong-konyongnya Jiya buat raut roman lebih inosen lagi karena penasaran. Sampai Jimin lanjut bicara lagi, "Banyak yang bilang bahwa: jika kau tidak atau belum bisa memacari perempuan A, maka pacari saudari atau sahabat terdekatnya. Entah istilah tolol berawal dari mana, tetapi memang itu berlaku di Saint Hallway. Meski sebetulnya Taehyung tidak memacarinya, hanya klaim sinting tak berdasar, but he did it. Tidak cinta, tetapi memberikan hak paten seperti barang spesial. Apalagi perempuan yang ia mainkan itu memiliki beberapa kemiripan dengan perempuan yang ia incar. He went too far."

Jiya menelan saliva sendiri. Entah atas basis apa. "Memangnya siapa?"

"Siapa apa? Gadis yang disukai atau disakiti?"

"Disukai?"

Jimin menaikkan alisnya sendiri. Romannya cukup tidak bisa ditebak. Mendadak Jiya dilindapi perasaan eksentrik yang lagi-lagi tidak jelas, entah takut, was-was, atau bahagia. Jimin membuat Jiya mesti pelan-pelan menelan salivanya sendiri. "Memangnya siapa lagi?" Jimin malah balik bertanya. "Kau. Dia pertama kalinya gila karena kau."

"Lantasㅡ"

Jimin memotong ucapan Jiya. "Yang disakiti?"

"Hm? Who's that? Jika memang mengikuti konsep, jika kau tidak atau belum bisa memacari perempuan A, maka pacari saudari atau sahabat terdekatnya, maka itu terdengar aneh. Aku tidak memiliki saudari perempuan ataupun sahabat. Sahabat terdekatku hanya kau."

Pria itu terkekeh. "Jangan tolol, Ji. Maksudmu aku? Impossible."

"Lantas?"

Great. Ketololan Jiya menjadi-jadi.

"Perempuan yang aku sukai," balas Jimin.

Jiya otomatis melotot. "Prim?!"

"Sinting," gumamnya sembari bergidik. Astaga, semenjijikan itukah seorang Prim Setan Isabeau? Jimin selalu begini ketika membahas Prim. "Aku hanya menyukainya sebentar. Sekedar informasi, aku masih tetap ingin membunuhnya."

Wanodya itu balas terkekeh konyol. Hwang Jimin memang pria aneh, atau normal? Dia selalu mengubah tipe ideal. Misalnya, bulan ini, dia menyukai Prim, bulan selanjutnya akan berbeda lagi. Tidak tahu kalau itu hanya candaan atau secara kebetulan tengah kecewa. Bagaimana, ya, seperti ... terlalu kecewa pada Prim, jadi Jimin cepat-cepat mengubah tipe idealnya dan menyukai perempuan lain demi melupakan rasa sukanya pad Prim.

"Sungguh tidak setia," canda Jiya, terkekeh.

Jimin membalas eksesif. "Oh, ayolah, haruskan aku tetap menyukai spesies seperti Prim? Aku laki-laki normal yang menginginkan perempuan original. Selain karena alasan kesehatan." Jelas, hal itu membuat Jiya melipat labium ke dalam demi menahan tawa. Kendati di sisi lain agak menyinggung. Jiya berbeda dengan Prim. Namun, karena tempo lalu, perkara Jung Taehyung dan Jungkook Scheiffer, mengapa Jiya merasa mirip seperti Prim?

"Oke, oke, jadi siapa? Kau tidak pernah memublikasikan nama perempuan selain Prim."

"Yakin ingin tahu?"

Lagi-lagi, Jiya mengernyit heran, tetapi romannya memantik tawa. "Mengapa? Apakah jawabannya akan membuatku terguncang atau membuatku-"

Jimin menyela mendadak. "Jeon Jihan."

"Oh, Jeon Jiㅡapa?"

Jiya terguncang. Sumpah.

"Jihan. Dia bukan sahabatmu, tetapi dekat karena alasan satu asrama. Jeon Jihan memakai pita sepertimu. Jeon Jihan memiliki aroma chamomile sepertimu. Jeon Jihan memiliki roman inosen sepertimu. Jadi begitulah, erTaehyung tahu aku menyukai Jihan, tetapi ia ... oke, tidak penting, sekarang aku sudah melupakan itu."

"Jihan?"

Jimin mengangguk. "Ya, Jihan. Kenapa?"

Jiya terguncang. Sumpah.

Jiya tidak ingin memunculkan probabilitas buruk soal dirinya sendiri. Namun, mengapa ia mulai memahami satu hal yang Jimin sebutkan? Kisah Taehyung akan menjadi kisahku, kata Jimin. Itu menimbulkan ambiguitas. Protasisnya bercabang. Jiya otomatis ruai dan kelesah. Mendadak punya insekuritas tolol soal hal yang menakutkan. Namun, ini Jimin! Impossible. Tidak mungkin jika Jimin mirip seperti apa yang ia pikirkan sekarang.

"Jihan?" Jiya mengulang.

Mungkin itu alasan mengapa Jihan enggan berdekatan dengan Jiya? Ini hanyalah konsep tolol seorang Kim Jiya, tetapi ini kapabel menjadi konsep paling utama. Jihan membenci Jiya? Jihan membenci Jiya karena Jihan menjadi korban pria bajingan seperti Taehyung. Jiya memang tidak ada hubungannya soal ini lantaran Jiya juga tidak pernah menyangka bahwa Taehyung menyukainya. Itu mutlak kesalahan Taehyung yang terlalu pengecut atau apalah itu namanya. Kalau dipikir-pikir itu rasional.

Memang, Jihan dan Jiya memiliki kesamaan. Kendati dari segi selera musik itu mutlak berbedaㅡJihan menyukai metal dan gotik, sementara Jiya musik normal yang kebanyakan disukai perempuanㅡtetapi dari segi penampilan dan hal yang berhubungan dengan itu, memang similar.

Great.

"Jihan?" Oke, Jiya sudah seperti kaset butut yang terkadang diputar di toko samping asrama. Namun, sumpah, Jiya terkena turbulensi hebat. Kenapa harus Jihan?

"Ya, kenapa?"

Sialan, sialan, sialan.

Jiya mulai menemukan esensinya.

"Bisa antar aku ke Taehyung?"

Jimin menggeleng.

Kenapa Jimin menggeleng?

"Bisa antar aku ke Taehyung?"

Jiya mengulang dan Jimin menggeleng.

"Aku ingin bicara dengan Taehyung danㅡ"

"Tidak."

"Aku ingin bertemu Taeㅡ"

Jimin menggeleng.

Kenapa Jimin menggeleng?

Jiya menelan saliva. Jimin tersenyum manis. Satu buah kurva yang teramat Jiya favoritkan. Namun, ada aura horor yang entah dari mana itu bisa muncul. Barangkali karena otak Jiya yang terlalu banyak memikirkan posibilitas buruk. Jiya berdegup. Mendadak muncul perasaan kelesah. Padahal, demi Tuhan, tidak ada basis yang membuat Jiya harus siap berkeledar.

Sampai tahu-tahu Jimin membalas dan Jiya paham kenapa dia merasa belingsatan. Jimin berucap afirmatif. "Tidak bisa. Sekarang, kau milikku, Jiya." Sialan, sialan, sialan. "Now, you are mine andㅡ"

Jiya merasa gelap.

"ㅡI am your citadel, Mi Corazon."

[TBC]

so, for those who asked, is Jimin bad or not? kalian bisa nyimpulin sendiri. seluruh karakter di sini enggak sepenuhnya baik atau buruk. maksudnya, they really have their own problems and their sadness.

then, may i ask you something? er, aku overthinking, kalian sejauh ini dapet inti sari jeopardize enggak? misalnya koneksi setiap masalah dan karakter, juga dasar semua hal gila di sini? ini udah di tahapan klimaks. aku udah banyak ngasih petunjuk dan aku harap kalian merhatiin hal ituㅡenggak cuma sekedar mikirin soal permainan kucing-kucingan doang, hehe. Pusing enggak, sih?

selain itu, well, ini klimaks. be wise. be ware.

bisa tebak selanjutnya ada kejadian apa?

sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top