ACT I: CHAPTER 16
"Jadi sekarang aku diberi permisi untuk ikut?"
Taehyung membalikkan tubuh ke belakang. Ia berhambur lumayan cepat menuju wanodya yang tengah memilih ribon. Di situ berderet ribon dengan variasi warna yang banyak, sekaligus jenis material ribon yang rupanya bukan hanya kain. Sebenarnya ini bukan apa-apa lantaran Jiya masih memiliki banyak koleksi di asrama dan di rumahnya. Lucunya dari sekian koleksi yang barangkali sudah ratusan, baru saja kemarin si kirana inosen memesan pita-pita baru. Maniak ribon.
Citra was-was eksis di jihat Taehyung. Sedikit. Kalau bukan sebab si kirana ini sudah terlanjur terikat kultur sejak lahir, atau kalau bukan sebab dirinya sendiri yang sudah terlanjur jatuh cinta dengan imej Jiya yang khas dengan pitanya, Taehyung sedikitnya ada karsa untuk membakar semua benda itu. Masalahnya adalah benda sekecil pita saja bisa jadi mara bahaya.
Sesuai dengan warna di beberapa spot pakaian yang melekat di daksa Jiya, Taehyung ambil warna hijau. Sebuah hal alap, tetapi di sisi lain juga bisa menimbulkan polemik lantaran si Jung ini kan memang memiliki fetis pada pita yang utamanya dikombinasikan dengan warna hijau. Taehyung bicara dengan nada aneh, anggap saja seperti viktim penyiksaan yang tengah membela diri, "Ya, Mi Corazon. Tapi pertama-tama, boleh kalau aku yang memakaikan pitanya?"
"Boleh, asal jangan mencekikku."
Taehyung refleks terkekeh. "Impossible, Mi Corazon." Kendati nadanya masih terinfluesi tawa, tetapi Taehyung sungguh-sungguh. Mencekik Jiya sama saja seperti tengah melakukan percobaan bunuh diri.
"Impossible?"
"Hm. Mana mungkin," balas Taehyung.
"Tapi di luar konteks pita, kau pernah melakukannya, Tae. Tidak benar-benar mencekik, maksudnya tidak sakit, hanya ... itu tetap horor dan aku terus mengingatnya." Siluet perkara preseden lampau itu mendadak muncul lagi. Bukan hal yang benar-benar bagus lantaran rasanya dengan kemunculan visual seperti video di dalam otak saja sudah berhasil membuat tremor kecil. Serangkaian cumbana dan adegan invasi ke dalam tubuh dari belakang, berbaring juga, itu didapatkan Jiya dari Taehyung. Tetapi bukan itu saja, kadangkala tangan besar si paragon perfek ini merambah ke leher dan sedikit-seperti-mencekik. Jiya senang sebetulnya lantaran Taehyung menepati promis soal keindahan predestinasi stori pertama. Indeed it was great. Lucunya seorang Taehyung adalah meskipun awalnya mencoba untuk bersikap seperti harumanis yang flufi, selanjutnya malah agak barbarik. Barangkli memang Taehyung sudah terlalu terikat dengan tipe sanggama seperti itu.
Taehyung dengan tingkat sentuhan super lembut telaten melingkarkan ribon hijau itu di leher Jiya. Super memberi sirkumstansi siklon dalam sanubari Jiya. Voltase menyetrum saraf hingga menimbulkan rasa eksentrik antara panas dan dingin. Jangan ditanya lagi perkara kondisi kewarasan seorang Kim Jiya. Bisa dibilang perpaduan ketelatenan jemari Taehyung di lehernya yang sesekali mengusap seduksi, ditambah dengan netra jelaga yang kadangkala memberi suar seperti ancaman pada Jiya, dan napas yang mengenai epidermisnya, itu sangat tidak baik untuk kesehatan. Oh, satu lagi, vokal bariton Taehyung. Orang ini bersuara membalas leksasi Jiya setelah beberapa sekon terdiam. "Maaf, ya. I was too excited, Mi Corazon," ujarnya.
Jiya tertawa pelan menanggapi. "It's okay. Tapi tetap saja, aku tidak ingin mati kehabisan napas karena itu. Aku, aku ..., kau sangat intens dan itu sudah cukup membuatku sesak." Sebenarnya malu sekali untuk mengungkap fakta seperti ini. Tetapi itu tetap diperlukan. Coba sebutkan mengenai seberapa banyak eksperimen Jiya soal itu? Nol. Taehyung yang pertama dan orang ini sudah barbarik, walaupun sempat melakukan aksi sublim di awal-awal.
"Tapi aku akan melakukannya lagi." Taehyung terkekeh.
Jiya mencebik pasrah. "Up to you, Sir." Mungkin Jiya juga yang belum terbiasa, kan?
"Great."
"Kecuali jika sebab itu aku mati, aku akan menghantuimu." Jiya memberikan guyon aneh.
"Wow, horor!"
Jiya memutar bola matanya. Demi Tuhan, meski Jiya mencintai Taehyung, tetapi terkadang Taehyung menyebalkan. Bilang horor tetapi ekspresinya seolah mengolok-ngolok. Mungkin Taehyung memikirkan soal bagaimana cara seorang perempuan inosen yang tidak bisa marah ini menghantui Taehyung. Mungkin Jiya akan menjadi hantu paling konyol dan sungguh tak berbakat untuk menjadi setara seperti Annabelle.
"Bisakah membuat ekspresi yang lebih baik? Itu menyebalkan."
Taehyung mengedip. "Wajah menyebalkan inilah yang berhasil memikatmu."
Seperti biasa, orang ini selalu kapabel menjawab hingga Jiya hanya bisa bungkam sumarah.
Selanjutnya, Taehyung kembali fokus menatapi ribon. Orang ini melakukannya dengan motion pelan, padahal jika Jiya yang memasangnya, semenjak satu menit lalu itu sudah selesai. Sampai final aksi, ia bersuara lagi, "Bilang padaku kalau simpulnya terlalu mengikat. Apakah pitanya mencekik lehermu?"
"Ya." Jiya membalas.
Pandangan Taehyung langsung jatuh pada Jiya. Ada sorot tergemap sekaligus was-was. Hendak berucap sekaligus mengulang aksi, tetapi Jiya memblokade. "Tidak. Regulasi otakku sedang kacau. Ini menyenangkan, maksudnya ... tidak, itu tidak mencekikku, Taehyung."
"Suka?"
Jiya berdeham sebagai jawaban simpel. Ia menatap ke belakang ke arah kotak pernak-perniknya dan mengambil benda kecil prominen yang sebelumnya didapatkan dari Taehyung saat acara pengungkapan perasaan tempo lalu. "Satu lagi, Taehyung. Pakaikan juga, ya?"
"As you wish, Principessa. I love your spoil attitude. Sweet and lovely." Taehyung mengambil kalung dengan bandul stroberi yang lucu itu. Kontinyu melakukan hal yang serupa hingga leher Jiya bukan hanya dihiasi ribon, tetapi benda luksurius itu juga. Jadi leher Jiya juga semarak oleh relapan sumber fetis. Taehyung pribadi juga terlanjur menyuka penyiksaan semacam ini. "Kau jarang memakai ini. Kupikir kau tidak suka kalungnya," adisi Taehyung.
"Suka, kok. Hanya belum terbiasa. Terakhir kali aku memakai kalung itu sudah lama sekali. Agak aneh saat memakainya kembali."
Taehyung mengulum bibir. "Ehm, punya semacam traumatis?"
"Tidak juga. Kalau aku punya, mungkin aku akan menolak pemberianmu." Sudah dibilang bahwa ketimbang perhiasan berlian atau metal yang luksurius dan mengkilap, Jiya lebih suka pita. Saat awal Taehyung memberi kalung, Jiya tidak memiliki privelese untuk menolak sebab jelas itu sangat tidak sopan, meskipun waktu itu Jiya bingung soal dirinya yang akan memakai itu atau tidak. Tetapi Jiya belajar memakainya lagi sebab mau bagaimanpun Jiya suka kalungnya. Jiya cinta formasi stroberinya, ngomong-ngomong.
Taehyung terdiam memerhatikan seluruh detail yang nampak. Kendati sebenarnya jemarinya tidak cukup puas untuk merambah di setiap spot sebab ia tersihir inkantansi afsun perempuannya sendiri. Sempat memikirkan betapa konyolnya ia membeli barang seperti itu hingga berimbas pada dirinya yang tidak mendapatkan jatah medikamen ilegal yang sesuai porsi biasanya. Itu terjadi sebab uang jutaan wonnya dipergunakan hanya untuk kalung berbandul stroberi dan aksen berlian di situ. Tidak memperhitungkan. Sumpah, jika itu menjadi alasan berkurangnya jatah medikamen ilegal Taehyung, maka Taehyung rela-utamanya karena memang Taehyung tengah mencoba mengurangi. Bahkan kalau Taehyung mesti menggunakan uang untuk investasi rumah atau apartemen yang lebih luas dari ini untuk Jiya, Taehyung siap. Sebenarnya hanya merasa aneh sebab Taehyung tidak pernah melakukan hal ini. Sekedar informasi, Taehyung cukup pelit karena ia lebih suka membahagiakan diri sendiri ketimbang orang lain.
"Jadi, Taeㅡ" Jiya membuka suara lagi. Secara tidak direk merengguk kesadaran Taehyung lagi. "Aku boleh ke tempat komunitasmu dan, ehm, di sana aman, kan? Kau pernah bilang kalau mereka berbahaya." Meskipun ia sudah melihat Yoongi beserta beberapa anggota komunitas tersebut, ditambah aksi mereka yang heroik selama beberapa waktu belakangan ini, Jiya belum bisa menjamin sekuritasnya. Berbahaya tidak berdiri di satu konteks, tetapi banyak.
"Sekarang aman. Mereka mati kalau mengganggumu. No se preocupe. I'm your citadel, Mi Corazon. Don't you know that?"
Haruskah Jiya tersanjung atas sentens yang maknanya super manis itu?
"Aku tahu," balas Jiya tersenyum. "Itu sudah menjadi karbohidratku. Sangat tahu dan hapal sehingga aku menganggapnya sebagai makanan pokok."
j e o p a r d i z e
Pertama-tama, Jiya terkena turbulensi. Masih mencerna situasi yang eksis setelah sampai di tempat perkumpulan orang-orang Yoongi Fischer. Kedua, sepertinya harus dipublikasikan dulu tentang nama yang diambil sebagai titel komunitas ini. Awalnya, komuniti unik yang hanya berisi orang-orang yang memiliki penyimpangan seksualitas ini dinamakan The Slaves. Aneh, ya? Spesifiknya Jiya tidak tahu alasan nama ituㅡselain, Jiya berpikiran soal mereka yang seolah-olah menjadi budak iblis karena dosa mereka, terlebih awalnya komuniti tidak memiliki kegiatan yang bermoral. Sekarang namanya diubah, eksistensi si masokis Yoongi Fischer membuat warna baru, setidaknya lebih waras. The Academic Devils. Jiya akui, Jiya nyaris tertawa saat mendengar namanya. Lebih aneh, tetapi jujur ini lebih baik. Di balik kelainan yang mereka miliki, mereka kini lebih berguna. Taehyung sepertinya sudah sering mengatakan bahwa kendati mereka itu berandalan, tetapi mereka bisa jadi orang berguna. Tidak banyak informasi yang Jiya dapatkan selain keterlibatan mereka atas kekerasan kelab atau masalah pribadi beberapa orang. Maksudnya, mereka penolong yang heroik. Tentunya komuniti ini berbeda dari komuniti penjahatnya Jang Namjoon.
The Academic Devils berbasis di tempat yang rupanya tidak jauh dari Saint Hallway. Satu belokan pertama di sebelah utara, di bawah sebuah bengkel klasik milik Paman Benjamin Kim, di situlah tempat orang-orang sinting yang berguna ini berkumpul. Ngomong-ngomong soal bengkel, acapkali mereka juga membantu Benjamin Kim secara cuma-cuma. Hitung-hitung sebagai balas budi sebab orang tua tulen Korea yang memiliki nama asing ini juga memberi tempatnya secara gratis, selain karena alasan anaknya yang bergabung di sini juga.
Jiya ingin bilang ini gila. Namun, baru selangkah menuruni tangga, eksis banyak orang dengan berbagai kegiatan: berbincang-bincang, mereparasi motor, simulasi pertarungan, dan gaduhnya anak band dengan musik Psycotic Break milik Jerry Cantrell. Jiya merasa ... inilah hidup! Sepertinya ini lebih keren ketimbang diam di perpustakaan, menatapi layar untuk edukasi online, atau mengecat kuku seperti biasanya.
"Aku harus apa, Tae?" Jiya berbisik di belakang Taehyung hingga pria perfek dengan kaus hitam itu menghentikan langkah hanya untuk membalas bisikan. "Berciuman denganku."
"Aku serius tau." Jiya memincing lucu.
Taehyung terkekeh sejemang. "Kucing manis."
"Aku manusia, bukan kucing." Jiya menjeda dengan roman eksentrik. "Intinya aku harus apa sebelum menuju intensi awal?"
"Fine. You can do whatever you want. Bersikap ramah, tapi jangan atraktif. Aku tidak ingin punya saingan." Harusnya Taehyung tahu bahwa ia memiliki saingan banyak. Hanya saja sebab Taehyung super dominan, sepertinya mereka yang menginginkan Jiya lebih suka melakukan pergerakan mundur secara teratur. Kecuali beberapa bedebah seperti si Jungkook Scheiffer atau Jang Namjoon.
"Iya, Tuan Posesif. Aku milik kamu. Kecuali jika ada Harris Dickinson di sini, aku akan bersikap lebih atraktif."
Taehyung mengulum labium. Sebentar memainkan lidahnya di dalam mulut hingga muncul imej kuat yang dominan. Ia suguhkan itu di depan Jiya dengan posisi keduanya yang masih berdiri di tangga. Bagus untuk menjadi tontonan lantaran beberapa orang memusatkan atensi pada dua viktim Saint Hallway ini. Di situ Taehyung langsung bicara di dekat rungu Jiya. Hanya untuk memberi penegasan tepat di dekat auditori, utamanya karena efek musik band yang sedikitnya membuat keterbatasan pendengaran. "Bebé, masa periodmu sudah habis lebih cepat, kan?"
Jangan harap. Jangan harap bagi Jiya untuk berlakon tolol seperti itu. Meski memang benar, well, Jiya penggemar Harris Dickinson. Hanya saja pertanyaan Taehyung agak horor, sebab Jiya memikirkan kelanjutan konteksnya.
"T-tidak, tuh," balas Jiya. "Ituㅡaku masih ada ... darah." Oh, tolol sekali cara bicaranya.
"You told everything when we took a bath two days ago, Mi Corazon."
"Oh, ya?"
Paragon perfek itu mendadak memberi kurvanya. Manis, tetapi seperti biasa-ada ramuan intimidatif di sana. "Jangan memaksa aku untuk menelusupkan tangan ke dalam brazilianmu."
Jiya tolol. Sepertinya dia harus membuang nama Harris Dickinson di otaknya.
Jadi Jiya mencebik kalah. "Iya, masa periodnya sudah habis." Oh, soal ini, Jiya sepertinya perlu menganalisis problematikanya sebab siklus yang ia miliki sekarang berantakan. Ini baru pertama kalinya ia memiliki masa periode yang lebih cepat dari sebelumnya dan habis lebih cepat juga, maksudnya hanya tiga hari. Dua hari lalu, pulang dari aksi penculikan tolol Prim, Jiya saja terkejut karena periodnya sudah habis. Masalahnya adalah Jiya jadi tidak punya alasan untuk menolak invitasi Taehyung. Mengerti, kan?
"Good. Pulang nanti, aku ingin mencoba bangers and mash."
"Apa itu? Makanan, ya?"
"Posisi seks." Taehyung membalas konfidens dan mengedip.
Jiya tolol. Jawaban Taehyung jauh sekali dari asumsi Jiya.
"Ap-ap-a?" Sumpah. Seingat Jiya, itu jenis makanan British.
Satu sekon yang tersedia selanjutnya, bukannya memberi reaksi lebih lanjut, Taehyung menyambung konektivitas saliva sebentar. Mengganggu regulasi serebrum Jiya lebih parah. Oh, ya, salah siapa yang mula-mula menyebutkan nama Harris Dickinson dikala Jiya sendiri tahu kalau Taehyung super posesif? Terserah jika Jiya bercanda, Taehyung hanya terlalu pintar mengelola kesempatan dengan baik.
Tetapi itu terdistraksi saat mendadak vokal lain menguar di dekat rungu Jiya dan Taehyung yang lucunya sudah menuju tahap mustahil untuk dilepas. Mengingat tujuan Taehyung ke sini bukan untuk memamerkan hal seperti ini lagi di publik, jadi Taehyung cepat-cepat tarik kesadaran sebelum ada Baquero kedua.
"Setidaknya jangan bercumbu di tangga. Aku akan menjadi orang yang paling keras tertawa jika kalian terjatuh." Trevor memang seperti ini. Ada istilah seperti: tertawa di lingkup kenelangsaan orang lain. "Oh, ya, kenalkan, aku Trevor Schiller."
"Kim Jiya." Hazelnya jatuh menyipit ke netra Trevor. "Schiller?"
"Terdengar familier?" Ia menjeda.
Dari tipe wajahnya, Jiya bahkan kapabel merekognisinya. "Professor Schiller?"
"Ya, dan dia terkadang sok dan otoriter karena jabatan ayahnya." Taehyung menanggapi.
Jiya mengumbang kecil. "Aku baru tahu kalau dia punya seorang anak."
"Aku pindah dari New Orleans."
Jiya mengangguk paham. Sekejap pandangannya beralih kesana-kemari untuk menilik situasi lebih detail. Hingga belum benar-benar memindai seluruh sudut, ekor matanya melihat Trevor memberikan dua benda kecil panjang sepasang pada Taehyung. Taehyung otomatis memamerkan kurva menawan yang sialnya agak angkuh.
"Kau bermain drum?" Jiya memincing penasaran pada Taehyung.
Taehyung mengangkat alis. "Er, drum dan bas," katanya. Detik itu, Jiya merasa dicurangi. Taehyung tahu detail kecil yang dimiliki Jiya, sebaliknya tidak. Jiya tidak pernah menyangka kalau Taehyung memiliki abiliti seperti itu. Oh, ayolah, Taehyung itu agak susah untuk ditanya-tanyai. Misterius sekali. "Sekedar informasi, priamu ini multitalenta." Ia menambahkan.
"Sure, you are. Tapi tanganmu?"
Kedipan netra tak terhindari. Taehyung menguar vokal percaya diri. Sampai ia mendadak mengecup kening Jiya dan mutlak menatap sublim. "Aku dirawat oleh dokter manis dan aku seratus persen baik-baik saja sekarang. Ini hanya drum, Bebé."
Jiya tersenyum. "Fine. Jadi akuㅡ"
Jadi sebenarnya tujuan Taehyung dan Jiya ke sini untuk menemui Yoongi Fischer. Tetapi selagi menunggu Yoongi yang katanya masih berada di rumah kekasihnya, Taehyung dan Jiya hitung-hitung menghibur diri bersama anak-anak The Academic Devils. Utamanya Taehyung, rindu kegiatan utamanya tatkala berada di sini memang bermain drum.
"Lee Hyacinth!" Trevor berseru secara mendadak. Satu perempuan dengan tampilan nyentrik datang. Surai pirang, wajah agak tomboy tapi bisa dibilang atraktif, gaun hitam dengan jaket jeans, dan aksen heels sepuluh sentimeter. Oh, ini dia, perempuan yang tadi melakukan simulasi perkelahian dengan seorang laki-laki dengan menggunakan heels.
"Oh, hai!"
"Hai." Jiya membalas santai. "Aku Jiya."
"Aku tahu. Jiya, mahasiswi kedokteran. Perempuan yang menolak banyak pria."
Jiya tidak pernah merasa seterkenal itu.
"Kecuali Taehyung," sela Trevor.
Hyacinth menanggapi. "Ya, karena Taehyung adalah versi pria dari Jiya. Mereka cocok." Yah, lucu. Pada kenyataannya, Jiya dan Taehyung memang menyukai satu sama lain sejak lama. Itu alasan mengapa Jiya menolak banyak pria dan Taehyung yang juga selalu menolak banyak wanitaㅡwalaupun perbedaannya Taehyung tetap bermain-main dengan perempuan.
Lantas Hyacinth bersuara lagi untuk introduksi diri. "Hyacinth. Major bisnis Saint Hallway dan aku tidak seterkenal dirimu, jadi mungkin ini pertama kalinya kau melihatku," ujarnya. Atensinya berubah menuju Trevor dan Taehyung yang sedari tadi memerhatikan atmosfer kedua wanodya ini. "Jadi, Boys, silahkan untuk memulai pertunjukan. Aku dan Jiya akan duduk di sana."
"Tolong jauhkan Jiya dari Jihoon," respon Taehyung.
"Kenapa? Dia gayㅡindeed dia tampan dan aku menyayangkan hal itu."
Taehyung terkekeh konyol. "Dia gay tapi suka menyentuh perempuan sembarangan. Itu masalahnya."
"Itu karena dia merasa dirinya menjadi seorang perempuan dan kau beruntung, aku belum mendengar vokal sangkakala pria cantik itu dari pagi." Trevor memberi tanggapannya. "Katanya sedang ada kencan dengan pria di motel Miss Larry."
Taehyung menguar napas lega saat itu. Melirik Jiya yang sebelumnya terdiam sebab tidak paham topik konversasi. Pria itu mengedip terang-terangan. "I'll be back, Mi Corazon."
"Oh, lihatlah pasangan ini." Hyacinth mengolok-ngolok guyon. "Seperti hendak berpisah menuju peradaban yang berbeda," sahut Trevor.
"Karena beginilah hubungan yang sehat," balas Taehyung.
"Sehat dari sisi mananya, gila? Tidak nyambung sama sekali." Trevor berseru kesal di situ.
Jiya hanya terkekeh kecil. Menanggapi topik itu takutnya malah tidak berujung. Hingga selanjutnya, Jiya bergabung pada sekumpulan perempuan yang penampilannya tidak jauh berbeda dengan Hyacinth, tetapi sebagian berpenampilan seperti pria, mungkin terinsipirasi dari Lisbeth Salander. Ia mutlak duduk di sebelah Hyacinth.
Momen tatkala Jiya terduduk di sofa hitam yang mengkilat, pandangan terkoneksikan pada visualisasi Jung Taehyung. Taehyung tak jauh berbeda dengan Jiya sebetulnya, tetapi dia paragon yang super ekstrover. Terutama sebab influensi kedekatan anggota The Academic Devils dengan Taehyung sendiri. Kelihatan seperti famili. Saat dia menyapa satu demi satu anak komunitas penuh spirit, bertegur sapa dengan gaya keren, Jiya bisa melihat setidaknya Taehyung tidak semisterius dan sehoror yang ia bayangkan dulu.
Taehyung sigap di kadera depan perkusi kit itu. Sumpah, tipikal roman sedikit arogan seolah memamerkan abiliti campur karisma itu terpublikasikan secara jelas. Sampai ia membuat preambul kecil dengan drum kit, pria ini malah memberi kontak mata pada Jiya dan mengedip lagi. Kulturnya kembali hadir lebih banyak. Tidak ada yang bisa menghentikan Jung Taehyung dengan kelakuan atraktifnya.
"Dia selalu begitu, ya?"
Hyacinth melirik, "Taehyung?" Jiya berdeham. "Dia selalu begitu setiap menunjukkan performanya saat bermain alat musik. Tapi kalau bagian kedipan mata, tidak sama sekali. Dia tengah menyombongkan diri sepertinya," paparnya. "Oh, satu hal, Beggin' lagu yang bagus. Kau akan gila melihat atraksinya. Perkusi yang kuat dan ohㅡlihatlah wajahnya menyebalkan sekali. Tapi lebih beruntung sebab bukan Psychotic Break yang dimainkan."
"Kenapa?"
"Terakhir kali ia bermain drum dengan lagu itu. Ditambah kondisinya yang tengah emosi, tepat setelah pulang dari pesta Blanc. Sempat menghisap heroin sedikit dan memainkan itu. Aku sebenarnya mempertanyaan soal bagaimana caranya ia bisa mempertahankan kesadaran hingga ketukan drum dan spiritnya apik; but, he must be insane. He's hot!" Manuver otomatis, Jiya mendelik sensitif hingga Hyacinth memberi klarifikasi. "Oh, jangan salah paham. Itu pujian biasa. Aku punya kekasih, ngomong-ngomong."
"Silly me. Maaf, itu otomatis."
Hyacinth terkekeh pelan. "It's okay. Terkadang aku begitu jika seseorang memuji Trevor."
"Oh, kekasihmu si vokalis itu?"
"Tepat," ujarnya.
Selanjutnya, Jiya dikelilingi oleh atmosfer takjub dan panas. Tak jauh di depan, Taehyung terlihat seolah tengah melakukan tur dunia. Haruskah Jiya bilang bahwa jika Taehyung berkembang menjadi selebriti, sudah dipastikan tiket konsernya akan habis dalam kurun waktu satu detik-secara hiperbol. Drummer terkadang kalau pamor dengan vokalis, tetapi gilaㅡTaehyung super atraktif; ekspresi, aksi, sekaligus gerakan mulutnya yang seolah tengah lipsing.
Sepertinya Jiya akan menjadikan lagu ini sebagai favorit. Fuck, he's cool and hot!
Sesekali Jiya mencoba memberi atensi pada yang lain. Misalnya seperti Trevor. Suara pop-rock yang bagus, dengan pengucapan khas Amerikan tulen. Tetapi kendari demikian, fokusnya kembali pada Taehyung. Letupan semarak mendetonasi. Dan serupa dengan Jiya, pria itu juga beberapa kali tertangkap menatapi Jiya.
Gila. Taehyung sebagai drummer sangatlah mematikan.
Hingga klimaks musik, pria ini sepertinya menaikan intensitas spirit. Utamanya di bagian seruan vokabulari 'Darling', paragon perfek ini menunjukkan keselarasan regulasi tubuh. Pertama, ia mesti fokus pada pukulan stik di setiap jenis perkusinya. Kedua, ekspresinya berubah-berubah. Ketiga, di momen utama itu, Taehyung mengedip dengan mulut mengucap sesuatu sesuai lirik. Darling, katanya.
Taehyung is a poser and Jiya is nothing.
Hei! Jiya tidak benar-benar sanggup menerima sirkumstansi seperti itu. Hyacinth benar, Jiya akan gila dan itu terjadi.
"Tahan," gumam Hyacinth.
Jiya melirik ke samping dan berbicara tertahan. "Apa?"
"Mungkin tertarik ingin berteriak? Pertama ia memainkan drum di sini, orang-orang meneriakinya. Sekarang mereka terbiasa. Tapi kau, ini pertama kalinya kau melihat Taehyung bermain drum, kan?"
"Ya. Dia sendiri tidak pernah menyinggung soal kesukaannya."
"Dia memang menyebalkan."
Jiya terkekeh, "Lucunya, aku setuju."
Final musik itu sampai. Kemudian Jiya menahan napas tatkala Hyacinth berseru penuh semangat di samping.
Begitu pula dengan Taehyung. Setelah bersorak ramai sehabis ending lagu, menyoraki dan memuji setiap pemain musik, termasuk setelah memukul perkusi penuh semangat sebagai tanda titik halaman, Taehyung menghampiri Jiya. Relap netra Jiya menyorot takjub. Tetapi langkah intimidatif Taehyung kadangkala berhasil membuat simpanan oksigen di paru-paru Jiya hilang. Yang lebih sial, mendadak Jiya ingin berkunjung ke toilet.
Hyacinth mengolok-ngolok guyon di samping. Dan bisa-bisanya ia berbisik dengan rentetan kalimat ambigu. "Kami di sini punya ruangan privat lho." Kenapa dia berpikiran begitu?
"Apa?"
Tolol. Apa-apa-apa, semakin lama Jiya muak dengan ketololan diri sendiri.
"Aku permisi, ya. Trevor butuh aku." Ketika Hyacinth pergi, Jiya menelan saliva. Taehyung duduk di spot bekas Hyacinth dan merangkum tangannya di garba Jiya. "Bangun, Mi Corazon," perintah Taehyung.
Bangun, katanya. Tapi memang itu cocok untuk Jiya. Bangun dari rasa ketololan karena Jiya terdiam saja seperti patung porselen.
"Ya, ya, aku di sini, Taehyung." Jiya mengulum labium. Berpikiran konyol di dalam serebrum hingga hasil pemikirannya terpublikasikan. "Kau harus lebih terbuka padaku. Aku bahkan tidak tahu kalau kau suka drum, bas, atau suka hal-hal yang entah apa itu."
"Kupikir itu tidak penting bagimu," ujar Taehyung.
Jiya balas mencebik. "Penting."
"Fine. Kesukaanku? Pertama, kau. Kedua, kau. Terakhir, kau."
"Ih, menyebalkan." Jiya total marah. Marah inosen nan konyol seperti biasanya.
Taehyung menunjukkan senyum karismatik. "Jika itu penting bagimu, fine, aku beritahu nanti. Untuk sekarang mari menemui Yoongi supaya bisa cepat kembali ke apartemen."
"Oke. Tapi kenapa harus cepat-cepat? Aku suka lama-lama di sini."
"Bangers and mash. Harus diperjelas?"
"Persisten sekali, sih."
Taehyung terkekeh. "I miss you, Mi Corazon."
Jiya memutar bola netra. Menggeleng juga karena balasan eksentrik Taehyung. "Kita bersama setiap saat."
"Dalam konteks lain. Harus diperjelas?"
Jiya menggeleng. "Tidak. Tidak perlu. Aku paham." Ia menggigit lidah di dalam sebentar. Taehyung horor kalau sudah gencar memberi invitasi semacam itu. Lagipula Bangers and mash itu seperti apa, sih? Orang ini kukuh sakali.
Pria itu selebrasi kemenangan, terlihat dari raut wajahnya.
"Ngomong-ngomong benar, ya. Priaku itu multitalenta."
Taehyung mengedip. "Aku suka saat kau menyebut 'priaku'."
"Papi. Itu juga bermakna priaku. Reaksimu seperti baru pertama kali mendengarnya."
"Memang."
Lantas Taehyung beringsut bangun.
"Tapi, Tae, sebelum menemui Yoongi untuk membahas suatu hal kompleks, aku mau pipis dulu. Toiletnya di mana, ya?"
Jadi memang keahlian Jiya adalah menguar sentens 'aku ingin pipis'.
Taehyung tergelak kecil. Tanpa mau membuang waktu, pria perfek itu menuntun Jiya menuju kamar mandi di lantai yang lebih bawah lagi. Ketika itu Jiya hanya kapabel mengetawai diri sendiri sebab sepertinya Jiya mesti menghilangkan kultur seperti, "Aku mau pipis." Jiya terlalu sering begitu pada Taehyung, kan? Itu manusiawi sebenarnya, tetapi lama-kelamaan memalukan.
Taehyung menunggu di luar dengan vokal random mengikuti musik selanjutnya yang dimainkan di atas, Chlorine dari Twenty One Pilots. Menunggu selama beberapa kurun sekon. Mencari posisi nyaman, sekali membalikkan badan ke belakang demi menatap refleksi diri di cermin. Karismatik dan perfek seperti biasanya, tentu saja. Hingga finalnya ia melihat pintu kamar mandi terbuka. Momen itu, bukannya membiarkan Jiya keluar, Taehyung menerobos masuk dan mengunci pintu. Aksi yang sama seperti di bilik mandi Saint Hallway tempo lalu.
"Kenapa malah masuk ke sini?"
Taehyung tersenyum. "Sebentar saja, Mi Corazon."
"Sebentar apanya?"
"Ciuman," katanya dan itu menjadi ending konversasi random nan singkat itu.
Taehyung sepertinya ingin cepat-cepat pulang.
Paru-paru terbakar sebab gesekan zat misterius. Jiya melenguh pelan tatkala Taehyung menyambungkan koneksi saliva tergesa-gesa, sama sekali tidak ada adu pandang yang sublim sebagai intro. Abdomen bersentuhan dan Jiya merasa kebas di bagian depan tubuhnya sebab Taehyung menghimpit Jiya sangat-sangat-penuh spirit.
Serebrum buyar hingga rasanya seolah terjadi turbulensi besar-besaran di sana. Spesial dan lebih gila saat satu tungkai wanodya Kim itu terangkat sebab ulah Taehyung, membiarkan slit rok pelan-pelan naik hingga menampilkan spanx hitam ketat di dalam. Tangan Taehyung juga sempat menelusup ke dalam sandang bawah dan mengusap seduksi seluruh area privat Jiya dari luar fabrik.
Jiya tergemap juga karena itu. Refleks menjatuhkan jemari ke bibir pria perfek itu hingga pria ini absolut memublikasikan sorot kecewanya. Jiya terkekeh di situ. "Sebentar, katamu." Jelas sekali Taehyung menggeram tidak puas. Tetapi memang Taehyung sendiri masih perlu mendominasikan serebrumnya dengan kewarasan sebab tujuannya ke tempat The Academic Devils bukanlah untuk menumpang seks. Ada hal yang lebih krusial ketimbang ini. Maksudnya di apartemen lebih leluasa ketimbang di tempat sempit ini. Hingga Taehyung balas terkekeh. "Ya, maaf, Mi Corazon. Dan, sial, aku ingin pulang."
"Aku juga," balas Jiya.
Taehyung mengangkat alis. "Atas dasar apa? Ingin cepat tidur?"
Jiya mencebik. "Bukan."
"Lantas?"
Stagnansi hadir sekejap. Jiya menggigit labium, sebuah permulaan gila. Dengan sublim ia kontinyu menguar vokalnya dengan tangan-tangan lebih erat berada di sekitar leher pria perfek itu. Yang pasti, Taehyung untuk pertama kalinya ingin mengumpati Jiya. "Ada banyak hal yang harus kupelajari. Bangers and mash, danㅡTae's lollipop super attracts me."
Bagus. Mulut Jiya menjadi bajingan sekarang.
Sumpah, Jiya malu di detik selanjutnya hingga refleks menutup mulut. Terutama saat Taehyung menanggapi, mengedip atraktif lagi. "A Tae's lollipop, hm?"
"Ya, ehm, maksudnya lolipop yang tadi kau beli di minimarket. Rasa stroberi, itu kesukaanku."
"Tidak bisa dipercaya." Jung Taehyung dengan kesintingannya malah menaruh tangan Jiya di spot horor itu. Sampai sejemang kemudian labium Jiya jadi sasaran sapuan seduksi jemari Taehyung. "Benar. Lolipop alamiah di bawah ingin berkenalan dengan mulutmu dan mengedukasi banyak hal."
Jiya ingin menangis. Tapi memang sialnyaㅡJiya tertarik. Maksudnya bukankah itu bagus untuk menghilangkan bayangan Baquero tempo lalu. Tapi gila, kalau itu terjadi, Jiya akan tersedak dua kali lipat. Dua kali lipat.
"Iya, iya!" Jiya mendadak berseru.
"Hm?"
"Mau lolipopnya Taehyung-ie."ㅡ Dan si inosen ini mendadak mencicit lucu. Persis seperti anak bocah yang meminta lolipop dalam konotasi sebenarnya.
Kemudian, haruskah Jiya memberikan protasis mengenai bagaimana horornya situasi ini? Oh, sepertinya tidak perlu. Singkat saja, Taehyung menanggapinya dengan super-duper serius. "It's gonna be a sweet and long night for us, Mi Corazon."
Sialan. Jiya merinding.
[TBC]
jadi, komunitas yang aku singgung dari awal titelnya the academic devils. awalnya khusus komunitas biseksual. tapi, fyi, semenjak ada yoongi, itu bukan lagi komunitas biseksual.
sekaligus aku rekomendasikan lagi psychotic break (udah aku sebutkan di foreword), maneskin beggin, dan chlorine. sumpah, aku denger drum di sana bener-bener masuk imajinasi taehyung dan-he's definitely cool!
nih, taehyung hari ini: actually rambutnya masih tipe panjang ikal alias bukan seperti ini, kaus hitam, as a drummer, dirty talks. unit gawat darurat dibuka. sekian.
sampai jumpa di bagian selanjutnya.
note: personaliti jiya akan lebih kelihatan di bagian depan termasuk perkembangan kasusnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top