❛ two

Japan, 2006.

━━━━━━━━━━━━━━━━

WARSA TERKUTUK YANG MENIMBULKAN ENIGMA. Perihal tanya mengapa kekasihnya kini tiada. Kala diri yang tengah berduka, mengunjungi tempat hanya untuk membumbui lara. Merasa menyesal, saat lembayung dapati sosok dengan tingkah laku sama persis, berdiri di hadapan. Mengukir kurva selepas kaki menginjakkan diri di bawah naungan abu payoda.

Tidak.

"Rana."

Jangan lagi.

"Pemandangan di sini bagus. Kau menyukainya?"

Surai seputih salju, tergerai sepunggung. Tak dikepang kemudian disampirkan ke sisi. Kini menari kala durja eloknya disorot jingga. Mengukir kurva tipis, ucapkan kalimat dengan nada sama persis.

Dingin disertai tetesan embun tak terasa. Yang menusuk kulit pula mengoyak daging, sungguh tak sebanding. Dengan lara maupun cinta yang nyatanya semu.

Haitani Ran, berdiri di hadapannya. Kini tersenyum meski pandangannya penuh dengan tangis.

"Nee-san."

Adalah kata pertama yang keluar dari mulutnya. Taruna tak tahu apa yang ada dalam kepala. Sungguh, gadis di hadapan ini tak memiliki rupa persis.

Namun mengapa, mereka begitu sama?

Haitani Ran dibuat gila. Setelah kehilangan wanita yang dicinta, kini gadis yang merupakan saudara dari orang yang dihormati, malah datang dan menjadi pelipur lara.

Dia berharap dalam hati, bila laksmi di hadapan akan menyahut dengan bentakkan. Tamparan pun tak masalah. Ran hanya butuh penolakan yang jelas.

Namun tanpa diduganya, adiratna dengan mahkota salju membuka labium, guna menjawab dengan nada yang begitu tenang.

Mengucapkan kata, dimana semua bermulai dari sana.

"Ya, Rana?"

Tuhan, tolong.

Jangan seperti ini. Jangan siksa mereka seperti ini.

Lengan kanan terangkat. Jemarinya bergerak, menyingkirkan helai yang menusuk kulit. Diselipkan pada belakang daun telinga, sebelum akhirnya Ran tersenyum. Selagi menciptakan ilusi lain bagi diri.

Jika gadis ini, adalah kekasihnya.

"Nee-san tidak pernah memanggilku seperti itu."

Labium kembali mengatup. Bergetar sejenak sebelum akhirnya bersirobok netra. Memandangi durja rupawan di bawah gumpalan awan. Tampak menawan tatkala senyum terukir, saat sang puan menyahut sesuai ekspektasi.

"... Ran?"

Taruna itu tersenyum, sebelum akhirnya mengelus pipi dengan penuh afeksi.

"Ya, Nee-san?"

Dan itu adalah awal, dari segala siksa yang mendatang.

•••

Lembayung menyusut, tatkala pandang dapati figur tak asing berdiri. Dengan dua daksa terkapar di hadapan, sementara buku jari dipenuhi noda merah.

Tuan berlari, menarik paksa tangan kiri, kemudian diangkatnya. Guna memperhatikan luka di sana.

"Nee-san, kau terluka!"

Gadis itu terkejut. Niat untuk melepaskan pukulan ke arah sosok di samping urung, kala tahu bahwa yang datang dalah kekasihnya.

"Ran."

Taruna bersirobok netra. Khawatir kentara dalam mata, kala sosok jangkung tersebut menelisik dalam diam keanggunan nona.

"Kau berkelahi? Tapi kau kan tak bisa berkelahi."

Labium itu terbuka.

Namun setelahnya mengatup kembali. Mengeluarkan kekehan kecil, kemudian menggenggam hangat karantala tuan. Tersenyum.

"Iya, aku hanya melindungi diri. Kau khawatir?"

Karantala beralih, mengelus perlahan permukaan pipi sang taruna. Kali ini Ran bertanya dalam batin, perihal dari mana kah wanodya elok tahu akan kesukaannya bila sang kekasih melakukan ini.

Kurva khas terukir. Ran mencium lembut punggung tangan laksmi. Berbisik pelan akan jawaban.

"Ya," bisiknya. Kini lembayung mengerling. Pandangi dua figur yang mengaduh, menatap takut sebelum akhirnya merangkak mundur. Taruna memicingkan mata, sebelum akhirnya mengukir seringai. "Nee-san, kau pulang duluan saja ya."

Wanodya mengangguk. Tanpa kata berpaling, mundur dan menjauh. Meninggalkan sosok taruna yang mengeluarkan tongkat khususnya berkelahi.

Dan dalam diam, Haitani Rindou adalah saksi. Orang yang menutup baik telinga maupun mata, tentang segala yang terjadi.

Mengenai dua insan yang saling menyakiti.

•••

"IZANA!!!"

Jeritan itu menggelegar. Terselip dalam semilir angin, kemudian menusuk kulit. Menyayat hati, tangis lara itu telah sampai pada rungu. Kalut akan sosok yang terbaring, melupakan eksistensi tuan lain.

Daksa terkapar lemah tak berdaya, di atas kolam merah. Berlumuskan darah. Begitu menyedihkan saat tirta bening menetes dari kelopak. Mengalir tanpa henti, suara yang kecil bahkan tak terdengar dengan jelas.

"O-oh, apa-apaan ini?!"

Tubuh itu ambruk. Dengan gemetar memangku tuan bersurai salju. Sama. Karantala yang menyentuh dada, kini dinodai merah sempurna. Tremor kala netra bertemu pandang dengan mata berkabut. Paripurna durja bersirobok, dengan taruna serupa. Saling bertukar pandang kala diri bertanya.

Nona dengan bengis menatap kerumunan manusia. Memeluk erat daksa, juga menjerit tak kuasa. Memberi lara pada dia yang baru saja kembali sadar.

Saat kalimat terakhir meluncur keluar, dari sang bahadur. Begitu lemah, disaat kolam semakin meluas.

"Berhenti ... (Name)-sama. Kau harus berhenti ... "

Ran terdiam, berdiri tak begitu jauh guna mencuri dengar. Hanya untuk dilanda bingung, saat kalimat dengan sebuah maksud keluar dari sana.

Apa maksudnya?

(Name).

Gadis itu, harus berhenti untuk apa?

•••

18 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top