❛ three
DUNIA MEMBUAT MEREKA GILA. Hatinya tercabik, kala lembayung tuan memandangi sosok gadis di sana. Begitu rapuh daksanya, namun juga kuat disaat bersamaan. Kendati lara telah berakar dalam sanubari, tak kuat hati juga acuh pada laksmi. Yang kini membutakan taruna akan sosok yang telah pergi.
Ran berjalan mendekat pada gadis yang menunduk. Bersandar pada kursi, di bawah rimbunnya daun dengan pakaian serba hitam. Surai salju kontras dengan gelap, kini terikat asal.
Taruna berjongkok, di hadapan gadis yang merasa kosong. Berpangku tangan serta menatap sayu. Bulu mata lentik tuan, bergetar lembut memandang durja secara paripurna.
Deja vu.
Bukankah dia pernah melakukan ini?
Karantala menyentuh tangan puan. Diberi hangat, sesekali dielus pelan. Kala dagu mulai terangkat guna bersirobok netra. Memandangi, serta ada apakah hingga tuan satu ini datang.
"Ran?"
Mengapa nada serta cara bicara mereka begitu sama?
Ran membatin. Merasa takut serta senang sekaligus.
Bila begitu ... bolehkah Ran mengulang? Mengenai kesalahan dia dahulu. Yang seharusnya tak ia lakukan, juga hal yang ia inginkan.
Bibir tak mengatup. Terbuka guna keluarkan nama kekasihnya jua. Suara berkata, yang memanggil nama wanita itu, kini teredam. Berganti dengan senyum tipis kala nama gadis itulah yang terucap.
"(Name)."
Adiratna tersentak. Tak yakin rungu menangkap benar, bila nama ia yang tersebut. Kendati diri senang dalam diam, duka masihlah singgah. Tak leluasa mengekspresikan rasa.
"... ya?"
Ran tersenyum. Begitu hangat serta menatap sayu. Berujar dengan nada lembut kala tawaran itu keluar dari mulut.
"Menikahlah denganku."
•••
"(Name) ... "
Bisikkan lirih tak pernah letih hadir setiap malam. Bagai nyanyian duka akan lara tuan, perihal puan. Kini jemari mengelus sebuah barang. Kala pandang dapati sebuah dompet terbaring di atas meja, Ran seratus persen yakin itu milik mendiang istrinya.
Duduk di bibir ranjang, Ran perlahan membukanya.
Hal pertama yang ia lihat, serta kesan pertama yang ia dapat, adalah ngeri.
"Apa ini—"
Ibu jari mengelus sebuah polaroid. Kemudian ditarik keluar, guna dipandang leluasa.
Itu adalah foto pernikahan mereka. Dicetak lebih kecil agar muat dalam dompet.
Mengapa ada di dalam sini? Mengapa (Name) menyimpannya?
Ratusan tanya mengisi, kendati jawab tak muncul dipermukaan hati. Daksa kian bergetar kala tuan akhirnya sadar, bahwa kertas telah dirobek dua. Dinoda merah, akan lara yang menetes.
"Ini ... "
Ran menajamkan pandang. Meneguk ludah, menenangkan diri. Mencoba berpikir dengan jernih, meski sesungguhnya ia dilanda gundah setengah mati.
Dilihat dari bekas darah tersebut, yang mengering, sepertinya sudah cukup lama. Kematian (Name) sudah sebulan, lantas ... apakah ini dirobek pada hari itu?
Ran menutup setengah wajahnya dengan tangan kiri. Meremas kasar frustasi, kala ia sadar akan sesuatu.
Wanita itu ... (Name). Selama menikah dengannya, apa yang Ran berikan? Apakah kasih sayang?
Tidak.
Yang ia berikan adalah, kasih sayang pada nee-sannya. Dia tak menganggap (Name) sebagai puan itu sendiri. Melainkan kekasihnya yang telah mati.
Langkah kaki mendekat, memberi gelap kala sepasang kaki masuk dalam pandang. Membuat Ran menengadah, memandang sang bendu. Tangis pandangnya kentara dalam durja, kendati berusaha sekuat mungkin, guna kuat.
"Rindou?"
Taruna dengan surai terang tersenyum kecut, ketika lembayung dapati apa yang membuat kakaknya kembali gila.
Ah ... rupanya polaroid itu.
"Aniki, aku menghormatimu."
Ran mengerutkan kening. Sedikit mengendur tangannya, kini ia memandang bingung sang adik. Mengapa pula tiba-tiba membahas ini?
"Lantas?"
Rindou menunduk, membuat helainya mengikuti gravitasi. Bermuram durja kala pandang berkabut. Ingat kembali akan sosok manis, laksmi yang ia saksikan.
"Tapi, Aniki. Ada kebencian dalam diriku, ketika menyangkut (Name)."
"Huh?"
"Apa kau pernah menganggapnya sebagai (Name)?"
Ran tersentak. Ia menegakkan tubuh, memandang paripurna durja nayam. Kini netranya bergetar, kala Rindou memandangnya begitu rumit.
"Aku ... "
Kekehan meluncur dari labium tuan pemilik surai terang.
"Aku memang tidak tahu bagaimana rupa wanita itu. Wajah, perilaku, ataupun hal yang membuatmu terobsesi sebegininya."
Karantala mengepal. Buku-buku jari memutih, saat kepalan itu kian menguat tiap detik. Bersamaan bibir bawah yang digigit, Rindou tampak begitu emosi.
"Kau menyiksanya."
Ran menggeleng.
"Tidak, aku tidak menyiksanya."
Tungkai kaki melemah. Daksa tuan ambruk, di atas ubin lantai. Tangan otomatis menopang, bergetar serta kekehan geli keluar dari bibir. Setelahnya, Rindou mengangkat pandang.
"Ya, Aniki ... terikat dengan Murakami membuatmu buta. Dan itu bukan hal yang lazim. Aku memang tidak tahu bagaimana rasanya, Aniki."
Ran kini memicingkan nata. Tampak bingung dengan perilaku yang berubah tiba-tiba.
"Tapi aku tahu penderitaannya .. penderitaan (Name) yang tak seharusnya."
Sebenarnya, siapa kamu?
Siapakah kamu, (Name)? Membuat gila dua taruna, akan kepergianmu. Sesungguhnya tak sia-sia, walau yang kau lakukan itu adalah dosa.
Kamu, nona. Telah membuat mereka terjerat, akan benang takdir.
"Dan aku menyesal sebab hanya menyaksikannya."
(Name). Apakah kau melihatnya?
Pria itu menyesal, bendu telah luluh dinding esnya. Menyatu dengan buana, bersama semesta, apakah kini kau saksikan mereka?
Orang-orang telah lupa akan kematianmu. Nestapa yang berlangsung sesaat, tangis yang terdengar singkat, nelangsa yang ada, juga lara yang tidak singgah. Mereka, yang hadir dalam ruang duka, nyatanya hanya menyumbang wajah.
Lantas, mengapa?
Mengapa Ran begitu terikat denganmu? Mengapa Ran begitu tersiksa akan perginya dirimu?
Rasa bersalahkah, cintakah?
Satu purnama yang seharusnya berlangsung singkat, tidak terasa. Kini bagai neraka dunia bagi ia. Menyiksa bukan pada fisik melainkan batin.
Maka, Ran. Bisakah kamu lepaskan (Name)?
Karena tidak seharusnya, duniamu lagi-lagi terjebak dalam masa lalu.
•••
18 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top