Ketujuh โ€• Angin dan Bunga Inteyvat

Theme VII/VII โ€• Free (Reincarnation)
Venti x Lumine

|1493 kata|

*+:๏ฝก.๏ฝกใ€€๏ฝก.๏ฝก:+*

Berapa kali 'kah mentari tenggelam dan terbit kembali?

Sudah berapa ribu kali rerumputan menjadi layu kemudian tumbuh kembali?

Aku tak tahu.

Atau lebih tepatnya, aku sudah lama berhenti menghitungnya.

Pemandangan di sekitarku berubah begitu cepat, seumpama diorama yang berjalan dengan kecepatan yang tak dapat kukejar. Tatkala diriku tersadar, hal di sekelilingku sudah tak lagi sama.

Rumah kayu sederhana tiga lantai kini berganti dengan bangunan-bangunan beton beribu jendela kaca yang menjulang tinggi. Organisasi Knight of Favonius tak lagi ada, berganti menjadi suatu badan kepolisian daerah. Mereka yang telah mati, kini terlahir kembali dengan sosok berpenampilan sama tanpa ingatan kehidupan sebelumnya.

Dua hal yang belum berubah (dan kemungkinan tak akan pernah) hanyalah bangunan gereja yang masih berdiri kokoh dan patung Dewa Barbatosโ€• atau patung diriku sendiriโ€• setinggi lima kaki di alun-alun kota. Daripada dirubuhkan, para penduduk di kota ini justru merenovasi-nya beberapa tahun sekali. Mereka masih menjadikan keduanya sebagai ikon Kota Mondstadt layaknya ribuan tahun lalu.

Yah, aku senang akan kesadaran mereka atas nilai budaya dan rohani yang terkandung dalam dua bangunan itu. Sungguh para rakyat yang teladan.

Aku menghela napas panjang. Sudah berulang kali kukata, namun waktu memang benar-benar berlalu begitu cepat, ya.

Dering ponsel di saku jaket mengalihkan perhatianku. Kuraih benda pipih tersebut, menekan tombol dismiss untuk mematikan suara pengingat yang terus menguar.

Aku pun melompat turun dari dahan pohon, runguku disambut dengan suara pijakan merdu kala tungkai menginjak tanah berumput.

Aku memandang pemandangan Kota Mondstadt sekali lagi sebelum beranjak pergi meninggalkan perbukitan tempatku bersinggah.

Mari kita lihat, sudahkah dia mengingatku? Atau malah ... memorinya masih terabai dalam asumsi bunga tidur?

โƒโƒโƒ

Stasiun begitu ramai.

Ada banyak manusia yang berjalan ke sana kemari 'tuk mengejar waktu, jiwa abai pada dunia yang berputar di sekitar mereka. Bising, runguku dipenuhi dengan suara ketukan sepatu, pula gema kalimat pemberitahuan yang menguar dari pengeras suara.

Aku tersenyum. Stasiun ini menjadi lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.

"Kereta Carmen Dei akan tiba lima menit lagi. Para calon penumpang mohon berdiri di belakang garis kuning. Saya ulangi kembali. Kereta Carmen--"

Oh, dia sudah datang!

Aku lantas bangkit dari kursi tunggu dan berdiri di belakang garis tunggu. Suara roda kereta yang bergesekan dengan rel menggema di antara dinding stasiun, disusul dengan tibanya segandeng gerbong-gerbong putih yang tiga per empat bagiannya berwarna hijau tua.

Seluruh pintu gerbong terbuka dan para penumpang berhamburan keluar dengan bermacam-macam ekspresi. Aku membaur dengan kerumunan, mencari sosok yang telah kutunggu.

Gadis berambut pirang pendek ... ah! Itu dia!

Begitu mendapati seorang gadis pirang yang menoleh ke sana kemari dengan raut wajah bingung, aku langsung menghampirinya.

"Halo! Apa benar ini dengan Lumine Viatrix?" sapaku ramah usai sampai di hadapannya.

Dara itu menoleh ke arahku, menatapku dengan kedua manik madu besarnya.

Di jarak yang dekat ini, aku dapat melihat penampilannya dengan lebih jelas.

Sang puan berambut pirang pendek dengan bagian depan yang lebih panjang membingkai wajah rupawannya, sepasang netra kuning keemasan yang jernih bak kolam madu, kulit porselen ibarat putihnya salju di puncak Dragonspine, pula bibir merah muda nan mungil layaknya kelopak sakura.

Penampilannya masih sama seperti dulu, tak ada perbedaan sedikit pun selain pakaiannya yang sesuai dengan masa sekarangโ€• atasan blus putih dengan bawahan rok biru selutut, kaus kaki putih dan sepatu senada menjadi pembungkus tungkai.

Ya ampun, walau bajunya berbeda, namun pilihan warnanya masih sama dengan warna gaunnya kala dulu, ya. Aku menjadi bernostalgia.

Tunggu ... dia belum membalas sapaanku, 'kan?

Kala kembali memerhatikannya, kudapati Lumine berdiri dalam diam. Pandangannya ke arahku, tapi dia bukan melihatkuโ€• dia tampak seperti melihat hal lain yang jauh. Mungkin saja memori kehidupan masa lalu, baru asumsiku saja sih.

Jentikkan jari dariku membuat gadis itu mengerjap dan menggelengkan kepala, tangannya memegang pelipisnya dengan wajah berkerut.

Aku menjadi khawatir dengannya.

"Lumine, apa kau baik-baik saja?" Astaga! Aku keceplosan memanggil nama depannya!

Tapi, biarlah. Pasti dia tidak mendengarnya ... 'kan?

Kedua ujung bibir gadis itu bergerak pelan sebelum akhirnya merekahkan seuntai senyum. "Saya tidak apa-apa, Tuan ...?"

Aku terkekeh akan cara bicaranya.

Dia tak pernah berbicara dengan bahasa formal padaku, sedari awal. Entah mengapa mendengarnya berucap seperti sekarang membuatku merasa gemas padanya. Hm, bukan salahku sih, dia memang menggemaskan.

"Ah, aku lupa memperkenalkan diri, ya," balasku usai terkekeh, tanganku terulur ke arahnya. "Aku Venti, pemandu turmu di Kota Angin dan Musik ini selama tiga hari ke depan. Oh ya, tak perlu terlalu formal padaku, santai saja."

Dia membalas uluran tanganku, menjabat dengan lembut. "Salam kenal, Tuan Ven--"

"Venti."

"Ah ... baiklah. Salam kenal, Venti."

"Salam kenal juga, Nona Viatrix." Aku melebarkan senyumku.

Lumine membuka mulutnya sejenak, namun langsung menutupnya kembali seakan menunda apa yang ingin diucapkannya. Hm ... Lumine di masa ini lebih pemalu, ya?

Yah, bukan masalah! Asal dia Lumine, bagaimana pun sifatnya, aku akan tetap menyukainya.

Dan jujur saja, aku menjadi semakin bersemangat untuk menggodanya.

"Jika kau tak keberatan, aku bisa memanggilmu dengan nama depanmu lho, Nona Viatrix," tawarku ramah sembari mengedipkan sebelah mata.

Kedua pipi Lumine langsung merona layaknya apel ranum usai aku berkata demikian. Kedua tangannya bertaut, meminkan jemari sambil menundukkan pandangan untuk menyembunyikan rasa malu. Imutnya....

"K-Kalau begitu ...," Lumine menelan ludah, tatapan masih menunduk. "Tolong panggil saya-- m-maksudku aku dengan nama depan," lanjutnya dengan nada berbisik.

Senyumku melebar. Menggodanya sedikit lagi sepertinya tak ada salahnya.

"Eh, apa? Bisa diulangi lagi?" kataku dengan suara setengah berteriak, tangan kananku berada di belakang daun telingaโ€• berlagak pura-pura tak mendengar perkataan yang terucap darinya beberapa saat lalu. "Suaramu terlalu pelan dan stasiunnya bising, jadi aku tak mendengar ucapanmu tadi dengan jelas, Nona Viatrix."

Lumine menggeram kesal. Dia mendongak, menatapku dengan ekspresi kesal dan kedua pipi yang menggembung. "Aku bilang, k-kau bisa memanggilku dengan nama depan."

Ketika mendengar ucapan bernada kesalnya itu, aku tertawa. Reaksinya benar-benar seperti yang kuharapkan, sama sekali tidak mengecewakan.

"Berhentilah tertawa. Tidak ada yang lucu," kata Lumine, masih dengan air muka jengkelnya.

"Apa maksudmu tidak ada yang lucu? Yang lucu 'kan kamu."

"Venti!"

"Ehe."

Tanggapanku dihadiahi dengan pukulan di pundak oleh Lumine. Gadis itu jelas-jelas tersipu, namun berusaha menyembunyikannya dengan ekspresi marah yang ditampilkan. Andai dia tahu seberapa merah wajahnya sekarang.

Aku pun mengulurkan tanganku ke arahnya untuk kedua kalinya, mengubah senyuman yang sebelumnya jahil menjadi seuntai senyum lembut dan penuh keyakinan. "Pegang erat tanganku agar kita tidak terpisah, Lumine."

Lumine memandangku dengan tatapan terkejut, kedua iris madunya berbinar. Namun sedetik kemudian, dahinya mengernyit disertai erangan pelan yang lolos dari bibir. Dia meletakkan tangan kanannya ke pelipis kepala, memijatnya perlahan untuk menetralisir rasa sakit.

Senyumku seketika pudar.

"Lumine, kau tidak apa-apa?" tanyaku panik sembari memegang kedua bahunya. Daguku mengeras ketika melihat rintihannya semakin menjadi. "Akan--"

"Venti ...," lirihnya di sela rintihannya. Kedua manik madunya yang berlinang air mata menatapku dalam, seakan menghisap jiwaku ke dalamnya. Lalu dengan suara serak, dia lanjut berucap dengan tanya, "A-Apa ... sebelumnya kita ... pernah bertemu?"

Mataku membelalak. Pertanyaan itu ... apa mungkin dia sudah mengingatnya?

"Venti ...?"

Panggilannya menyadarkanku. Spontan aku kembali menatapnya, Lumineโ€• gadis terkasihku yang tengah melihatku dengan tatapan menunggu penuh harap.

Kala melihat sepasang iris keemasan itu, keinginanku mulai menguasai batin.

Aku ingin mengatakannya. Aku ingin menceritakannya tentang kasih yang telah kupintal dengannya di masa lalu, memberitahunya betapa hangat pula lembut raganya kala kudekap, betapa manisnya senyum berlinang air mata miliknya kala aku menjanjikannya sumpah sehidup semati sebelum perang meluluh-lantakkan bumiโ€•ย semua kisah itu sudah berada di ujung lidahku.

Namun, aku tahu itu keputusan yang gegabah. Ada kemungkinan bahwa Lumine akan mengalami sakit kepala hebat atau bahkan pingsan akibat betapa banyaknya memori yang masuk ke dalam otaknya. Aku tak ingin itu terjadi.

Aku merapatkan bibir, berusaha menghentikan keraguan yang hampir berimbas pada ujung lidah. Senyum kurekahkan, berusaha memberinya kenyamanan sekali lagi.

"Entahlah, mungkin kita pernah berpapasan beberapa kali sebelumnya?" balasku dengan nada lembut, kedua mataku terpejamโ€• berusaha menyembunyikan rasa cemas yang terpancar dari selarap iris hijau. "Abaikan dulu soal itu. Kamu duduk saja di ruang tunggu, aku akan mencarikanmu obat sakit kepala."

Lumine tampak keberatan, namun dia akhirnya tetap mengangguk walau kelihatan agak ragu.

Benar, keputusan yang terbaik adalah menyerahkan perkara ini kepada waktu, membiarkannya menyusun kepingan memori dan mengingat seluruh reminisensi dengan kemampuannya sendiri. Prosesnya akan memakan waktu, tapi itu tidak masalah bagiku. Walau harus menunggu sepuluh ribu tahun lagi hingga tangan kami menjawat dalam afeksi, aku tetap akan menunggunya.

Lagipula, tak ada yang lebih unggul dalam hal menunggu selain diriku.

*+:๏ฝก.๏ฝกใ€€๏ฝก.๏ฝก:+*

โฎ You've been reach the end. โฏ

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top