༃ֱ֒🦊🌾BAB 2

Kita terdiam mendengarkan cerita singkat Suna.

Sebenarnya dia pernah mendengar cerita itu saat dirinya masih kecil. Tentang kisah neneknya yang dirawat oleh manusia baik hati namun ia terpaksa pergi karena Dewa Inari memanggilnya.

Apakah takdir itu kembali terulang kepada mereka?

"Kakek juga bilang jika aku suatu saat akan menolong seekor rubah dengan nama Kita, awalnya memang aku tak percaya tapi setelah kejadian di kuil waktu itu aku mulai percaya bahwa aku akan menolong seekor Kitsune." Lanjut Suna dengan di sertai sebuah senyuman tipis.

Dia kemudian melirik ke arah Kita, "Jadi Kitsune, siapa nama lengkapmu? Aku yakin namamu tak hanya Kita."

"Ki-Kitsune?"

Suna mengangkat alisnya heran, kenapa Kita nampak begitu marah saat ia memanggilnya Kitsune?

"Kenapa? Bukannya memang benar kau Kitsune?"

"Bukan! Aku bukan Kitsune! Aku adalah Zenko dewa Inari bernama Kita Shinsuke. Jangan samakan aku dengan Kitsune, karena kami jelas-jelas berbeda."

Suna hanya menatap datar ke arah Zenko tersebut, sebuah jenis tatapan tak peduli dan acuh.

"Aku tak peduli, aku akan tetap menganggapmu Kitsune."

"Ap-Hah?! Tapi aku Zenko!!"

"Apa bedanya? Sama saja kan?"

"Berbeda! Kami jelas berbeda."

"Terserahmu lah, aku tak peduli."

Tipikal seorang Suna Rintarou yang selalu tak ingin terlibat pertengkaran konyol. Dirinya memilih mengalah atau mengakhiri perdebatan tersebut daripada berceloteh panjang lebar.

"Aku akan membuat makan malam."

"Te-terima kasih. Maaf merepotkan."

Suna kembali berdehem, tangan dengan cekatan membungkus kaki Kita yang terluka dengan sebuah kain agar tak infeksi lantas berjalan masuk ke dalam.

Kembali dengan Kita yang hanya sekelilingnya dengan rasa penasaran. Ekornya sedaritadi bergerak naik-turun karena antusias dengan sebuah rumah manusia yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Ternyata tak jauh berbeda dengan rumahku." Ujarnya membantin dalam hati.

Dirinya berbaring di lantai, entah mengapa hari ini dia merasa begitu lelah. Mungkin itu efek dia menggunakan kekuatannya terlalu banyak.

Dirinya menguap, kelopak matanya perlahan-lahan menutup menyembunyikan bola mata cokelat keemasan miliknya yang indah dan akhirnya terlelap begitu saja tanpa gangguan.

🌾🦊🌾🦊

Kelopak matanya berkedut, dengan rasa kantuk yang masih ada dia mencoba membuka matanya perlahan.

Sebuah ruangan yang berbeda menyapa dirinya ditambah dengan sebuah kain panjang hangat menutupi setengah tubuhnya.

"Aku tertidur?" Dia bergumam tanpa sadar.

Tangan ia tarik ke atas, mencoba merenggangkan sedikit otot-otot tubuhnya yang terasa sedikit kaku. Bedhair miliknya mencuat kesana kemari, tak memperlihatkan Kita Shinsuke yang seperti biasanya.

Setelah merasa nyawa terkumpul sepenuhnya, perlahan dia mencoba berdiri walau pergelangan kakinya masih terasa sakit jika di gerakkan.

Pandangannya menyusur ke jendela lantas menyibaknya sedikit. Sebuah ladang padi berhektar-hektar menyapa matanya. Ditambah dengan cahaya matahari yang muncul dari ufuk timur.

Ekornya bergoyang kesenangan, pemandangan seperti itu adalah kesukaannya. Dengan agak tergesa-gesa dia mencoba berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Mencari jalan keluar agar sampai di ladang padi nan luas tersebut.

"Indah.." Dia bergumam kagum atas pemandangan yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Kedua tangannya terangkat di susul dengan keluarnya sebuah cahaya keemasan dari sekitarnya.

Kelopak matanya kembali tertutup, Kita merapalkan sebuah mantra dan kemudian cahaya keemasan tersebut menyebar ke seluruh ladang dengan begitu cepat.

"Apa yang kau lakukan?"

Kita segera berbalik, terkejut dengan kedatangan Suna yang tiba-tiba.

"Hanya.. Membuat tanah ladang ini gembur. Tak masalah kan?"

Suna diam, lantas berjalan mendekati ladang dan berjongkok di depannya.

Sebuah seringai tipis ia perlihatkan kala tangannya telah menyentuh tanah tersebut.

"Tak buruk."

Dan disitu lah keduanya semakin menjadi akrab, Kita yang dengan senang hati membuat hasil padi Suna menjadi baik dan Suna yang memberikan Kita tempat tinggal.

🌾🦊🌾🦊

Hari berganti menjadi minggu, minggu berganti menjadi bulan, bulan berganti menjadi tahun.

Tak terasa, sudah 2 tahun keduanya bersama setelah bertemu. Suna nampak tak begitu keberatan dengan kehadiran Kita begitu pula Kita yang menganggap Suna adalah tempat pulang ternyaman bagi dirinya.

Malam itu, keduanya duduk bersama. Disebuah gubuk kecil yang keduanya buat di pinggir ladang agar saat mereka bekerja di ladang bisa beristirahat sejenak.

Kepala Suna berada di paha Kita dengan Kita yang mengelus kepala bersurai cokelat itu penuh kehati-hatian. Seolah dia sangat enggan untuk menyakiti orang yang sudah membuatnya nyaman.

"Hei Shin."

"Ada apa, Rintarou?"

Pandangan yang tadi melihat ke arah sang bulan kini berubah ke wajah rupawan sang manusia.

Zenko itu kembali terpesona dengan rupa sang manusia yang ia kenal. Begitu banyak ekspresi yang telah ia lihat dengan matanya di wajah itu.

"Apa kau sudah pernah menyukai seseorang?"

"Menyukai? Seingatku tidak. Aku terlalu sibuk dengan kewajibanku sehingga aku sampai tak mempunyai orang untuk aku sukai. Lagipula, jika aku menyukai manusia, dia akan meninggalkanku. Aku abadi sementara dia tidak, aku juga tak siap untuk kehilangan."

Suara jangkrik meredup, angin yang tadi terasa dingin menusuk kulit sekarang justru menghilang entah kemana, seluruh hal di alam saat itu seolah tahu penderitaan Kita membuat Suna sendiri menjadi sedikit canggung karena telah menanyakan hal tersebut.

Tangan besarnya dia arahkan untuk menangkup kedua pipi pau milik Kita dan mengarahkan pandangan mereka berdua agar bertemu.

"Hei, maafkan aku telah menanyakan hal itu. Kau ingin menangis?"

Pertanyaan Suna tak ia jawab, Kita masih setia menunduk seraya menahan sesegukannya walau matanya sudah berlinang air mata.

Suna bangun, dia kemudian memeluk tubuh yang justru lebih kecil darinya tersebut erat, "Hei, kalau kau mau menangis, menangis lah. Kau tak perlu menahannya, hanya ada aku disini kau bisa menangis tanpa di ketahui orang lain."

Telinga runcing menekuk ke bawah, Suna dapat merasakan bahwa kimono bagian dadanya sedang diremat kuat sementara bahunya terasa hangat dan basah.

Suna terkekeh kecil, tangannya mengusap punggung milik Kita mencoba menenangkan Zenko tersebut.

"Apa kamu juga akan meninggalkanku Rintarou?" Pertanyaan tersebut hanya di balas dengan sebuah tawa ringan.

Suna menyeret tubuh mereka agar ia bisa bersandar di tiang kayu lantas kembali mengelus punggung Kita.

"Tentu tidak, aku tak akan meninggalkanmu begitu saja."

"Janji?"

Kita mengangkat wajahnya, membuat wajah mereka berdua kini saling berhadapan satu sama lain.

Tampak segaris warna merah tipis terlihat di wajah Suna karena melihat wajah Kita. Dirinya mencoba menahan gemas karena perilaku Zenko di hadapannya yang kadang bisa amat manja kepadanya.

Suna mengangguk lantas menggesekkan hidung keduanya, tanda bahwa keduanya membuat sebuah janji.

"Janji rubah Inari."

"Sejak kapan ada janji itu." Kekehan kecil keluar dari mulut sang Zenko.

Suna hanya terkekeh geli lantas kembali memeluk tubuh tersebut erat seolah enggan kehilangan.

"Aku suka padamu."

🌾🦊🌾🦊

"Aku suka padamu."

Secara tiba-tiba wajah putih Kita memerah dengan cepat, dia benar-benar terkejut atas ungkapan yang baru saja dikatakan oleh Suna barusan.

"Tu-Tunggu. Rintarou? Ja-jangan bercanda. Aku tak perlu di bohongi seperti itu, aku sudah terbiasa jangan memaksa-"

"Tidak, aku benar-benar mencintaimu. Kenapa kau menganggapku bercanda?"

Kita kembali terdiam untuk beberapa saat, namun di detik kemudian dia kembali menjawab.

"Habisnya Rintarou kan suka bercanda, juga aku takut Rintarou bilang seperti itu hanya kasihan padaku." Ungkapnya mencoba untuk tak terlalu gugup.

Walau sepertinya akan susah karena Rintarou jelas tahu kebiasaannya yang menggerakkan ekornya secara cepat saat ia sedang gugup.

Telinganya menekuk ke belakang, merasa sangat malu karena tiga kata tersebut yang keluar dari mulut Suna secara gamblang.

"Ayolah untuk yang ini aku tak bercanda. Aku tak ingin kau meninggalkanku dan karena aku juga kebetulan menyukaimu jadi kenapa tak sekalian saja? Aku yakin dengan begini kau tak akan pergi jauh iya kan?"

Perkataan Suna kembali membuatnya terbungkam, Kita benar-benar tak bisa berkutik jika seperti ini.

Tak lama sebuah senyum terukir di wajahnya, dia kembali memeluk tubuh tinggi itu erat.

"Kukira hanya aku saja yang menyukaimu."

"Kau menyukaiku? Wow menarik, apa yang membuatmu menyukaiku? Tampan? Tentu saja, aku Suna Rintarou semua wanita di desa jelas menyukaiku."

Kita mendengus, entah mengapa ia merasa sedikit menyesal memberitahukan hal itu pada Suna jika akhirnya pemuda itu justru menyombongkan dirinya.

"Ya sudah, sana cari saja wanita di desa yang menyukaimu." Pelukan segera ia lepas kemudian berjalan cepat menuju rumah.

Suara Getta yang terdengar di hentak-hentakkan membuat Suna terkekeh kembali dan segera menyusul Kita.

"Hei, kau marah?"

"..."

"Kau benar-benar marah ya? Astaga aku baru tahu jika ada Zenko yang akan marah hanya karena hal ini."

"..."

"Shin, Hei. Aku hanya bercanda. Aku tak akan pergi mencari mereka lagian hanya kau yang aku inginkan."

"..."

"Shin, Hei. Maafkan aku. Okey okey aku salah maafkan aku Shin."

Kita masih tetap diam dan masuk ke dalam rumah, kemudian duduk di atas Zabuton seraya memeluk ekor putih besarnya sendiri.

Suna terkekeh geli, dia segera memeluk dari belakang tubuh mungil tersebut dan membawa Kita ke pangkuannya.

"Kau benar-benar imut hahaha."

"Rintarou menyebalkan."

"Hanya padamu."

Suna kembali terkekeh geli saat lengannya menerima sebuah pukulan kecil dari Kita. Jujur itu tak terasa sakit sama sekali, kekuatan yang digunakan Kita seolah tak ada untuk memukulnya.

Chup

"Jika kau masih marah, maka ijinkan aku menjadikanmu milikku Shin. Aku akan menjaga dan merawatmu serta tak akan meninggalkanmu sendirian." Bisikan halus dari Suna membuat bulu kuduknya merinding.

Kita menoleh ke belakang, wajahnya memerah karena kecupan dari Suna tadi. Dengan ragu dia mengangguk mengiyakan.

Suna merebahkan tubuh Kita di bawahnya, dengan perlahan melepaskan ikatan kimono milik Zenko tersebut.

Kecupan serta desah nafas mereka menyatu di malam dingin tersebut. Bekas tanda di leher banyak di tinggalkan.

Menunjukkan kepemilikan dari masing-masing pihak.

Untuk pertama kalinya mereka melakukannya, saling membagi kehangatan mereka di rumah sederhana di dekat ladang pagi.




















Otsukare sama~~~!!!

Yahh... Saya tahu ini agak terlambat tapi... Maafkan saya! Tugas akhir-akhir sangat menumpuk sampai-sampai saya bingung sendiri harus menyelesaikan tugas dari yang mana terlebih dahulu T^T

Maaf jika kesannya ini di percepat karena saya mengetuk ceritanya juga agak terburu-buru hehe

Sore jaa mata ne~~

Diketik Senin, 1 November 2021
Dipublikasikan Selasa, 2 November 2021
Jawa Timur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top