🍁ー木枯らし 04

Bunkyo, Tokyo, 15 Desember, beberapa tahun sebelumnya.

🍁🍁🍁

Iris biru bergerak ke kanan dan kiri, mengikuti jarum detik jam di ruang kelas. Sesekali si lelaki menguap bosan sambil meregangkan badan, berharap kalau mata kuliah yang ia ambil hari ini bisa cepat selesai. Toh, Satoru sebenarnya tidak tertarik dengan mata kuliah ini sama sekali. Satoru mengambilnya hanya karena Dosen pada mata kuliah ini merupakan teman lama neneknya ketika masih di bangku SMA dulu. Karena itu, demi menjaga ー yang disertai tanda kutip ー pertemanan Neneknya dan temannya yang bahkan tidak Satoru ketahui namanya, ia harus mengikuti kelas ini. 

Sekali lagi, Satoru menguap kecil. Rasa kantuknya makin menjadi-jadi karena remang karena salju-salju mulai menutupi setengah bagian jendela. Jika bukan karena bunyi tuk tuk tuk tuk yang dihasilkan oleh anak di sebelahnya, mungkin Satoru sudah terlelap di atas lipatan tangannya sekarang. Walau bunyi tuk tuk tuk tuk dari anak di sebelahnya terdengar sangat berisik dan menganggu, Satoru sedikit berterima kasih karena ia tetap terjaga selama mata kuliah berlangsung.

Makin lama bunyi tuk tuk tuk tuk dari sebelahnya terdengar semakin berisik. Satoru diam-diam curi pandang ke arah anak yang sebangku dengannya. Satoru menyadari kalau bunyi tuk tuk tuk tuk tadi berasal dari jari telunjuk yang mengetuk meja dengan gerakan mengulang. Anak di sebelahnya tidak terlihat bosan berkebalikan dengannya, justru terlihat antusias. Namun antusiasme itu di ekspresikan dengan telunjuknya yang mengetuk meja berulang kali dengan ritme tuk tuk tuk tuk yang berisik.

Kalau boleh jujur, Satoru juga sebenarnya tipe yang sangat tidak bisa diam lama-lama. Tapi Satoru akan belajar untuk diam di waktu yang diperlukan, tidak seperti anak di sebelahnya. Bunyi tuk tuk tuk tuk dari jari telunjuknya terdengar begitu menyebalkan di telinga Satoru. Bunyinya sama seperti bunyi jarum yang biasa dikeluarkan oleh Ayahnya ketika Satoru menerima hukuman. Karena saking berisik dan menyebalkannya bunyi tuk tuk tuk tuk  yang kian menjadi semakin cepat sehingga bunyinya berubah menjadi tuktuktuktuktuktuktuktuk persis suara burung pelatuk yang sedang melubangi pohon. Satoru pun, dengan setengah dari segenap tenaganya, menahan tangan anak di sebelahnya.

Satoru menghela nafas, "Maaf, tapi, ketukan dari jari telunjukmu itu berisik sekali. Boleh tenang sedikit?" bisiknya.

Wajah anak di sebelahnya memerah, mungkin karena merasa malu telah menganggu seseorang yang bahkan tidak dikenalinya. Dengan wajah yang masih memerah, anak di sebelahnya mengangguk patah-patah. 

"Maaf," cicitnya.

Satoru mengangguk, melepaskan tangannya dari tangan anak di sebelahnya. Satoru kembali bertopang dagu, mengikuti mata kuliah dengan perasaan bosan dan ingin cepat pulang. Satoru sempat berpikir, besok akan aku paksa Suguru dan Shoko untuk ikut kelas ini, namun buru-buru ia urungkan niat tersebut setelah mengingat bagaimana buruknya kedua temannya itu kalau tidak dalam perasaan senang. Satoru kembali menghela nafas pelan, mencoret-coret bukunya dengan berbagai tulisan dan gambar asal yang lebih menyerupai kode rahasia suatu kultus sesat.

Tidak sampai lima menit Satoru mencoret-coret bukunya, bunyi tuktuktuktuktuk terdengar lagi. Satoru mengantupkan bibir kesal. Dia kembali menoleh ke gadis di sebelahnya dengan alis yang terlihat jelas menurun ke bawah, "Hei," Panggil Satoru dengan nada menyebalkan.

 "Ah, maaf.... Ini kebiasaan jelekku," Jawab gadis di sebelahnya.

Satoru menghela nafas, "Tidak ada yang bertanya tentangmu sama sekali," gumamnya dalam hati. Iris birunya kembali melirik jam dinding di atas papan tulis, tinggal 10 menit lagi sampai mata kuliah ini selesai. Satoru menghitung mundur dalam hati, sampai akhirnya Dosen menutup mata kuliah hari itu. Satoru pun membereskan barang-barangnya dan berjalan melengos ke luar kelas tanpa mempedulikan panggilan kecil yang berasal dari gadis di sebelahnya.

🍁🍁🍁

Bunkyo, Tokyo, 19 Desember, beberapa tahun sebelumnya.

"Satoru! Oi!"

Satoru berhenti mengetik di Laptopnya ketika mendengar namanya di panggil. Ia melepaskan kacamata bacanya, mengalihkan pandangan ke arah dua orang yang sedang melambaikan tangan mereka dari ujung lorong Kafetaria kampus. Satoru membalas lambaian kedua temannya dengan senyum lebar. 

"Suguru! Shoko!" Serunya balik.

Kedua temennya bergegas mengambil bangku di depan dan sebelah Satoru, melepaskan tas punggung mereka untuk mengeluarkan Laptop dan ikut mengerjakan tugas bersama Satoru di meja bundar dengan kopi dan potongan kue kecil untuk menemani. Mereka saling diam, menatap layar dengan beribu kata dan tulisan di depan mereka. Sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi mereka bertiga untuk bertemu di kafetaria kampus untuk sekedar berkumpul atau mengerjakan tugas bersama walau mengambil Program Studi yang berbeda. Biasanya mereka akan saling diam sampai salah seorang mengeluarkan atau menceletukkan satu dua kalimat.

Hari ini Suguru adalah orang tersebut. Setelah beberapa menit saling diam, si surai hitam membuka mulutnya, "Apa kalian sudah mengajukan Proposal ke Dosen Pembimbing?" Tanyanya, yang di balas dengan gelengan kedua temannya.

"Aku masih memikirkan bahan dan judul yang tepat, tapi memikirkannya juga aku malas," Ucap Shoko sekenaknya.

Suguru mengangguk seolah menyetujui ucapan Shoko. Dia beralih ke Satoru yang masih sibuk mengetik, "Katanya anak di Prodimu ada yang sudah hampir tahap Sidang? Kau kenal tidak?" Tanya Suguru.

Satoru berhenti mengetik. Ia menatap Suguru dengan wajah herannya. Entah heran karena ada orang serajin itu, atau heran karena Satoru belum pernah mendengar orang yang di maksud Suguru. 

"Siapa?" Tanya si surai putih.

Suguru terlihat berpikir beberapa saat, "Kalau aku tidak salah dengar dari Mahito, [Name]. Nama belakangnya aku lupa, tapi dia dikenal dengan Pengetuk meja karena selalu mengetuk meja di setiap mata perkuliahan. Katanya itu membantunya fokus. Kau kenal?" 

"Sejak kapan mengetuk meja bisa membuatmu fokus?" Celetuk Shoko penasaran.

Suguru mengedikkan bahunya, "Jangan tanya aku, aku tidak tahu soal itu. Bagaimana denganmu Satoru?"

Satoru menghela nafas, "Aku duduk di sebelahnya kemarin," jawab Satoru. Tangannya kembali beralih untuk mengetik kalimat-kalimat yang terputus karena percakapannya dengan Shoko dan Suguru. Setelah beberapa saat diam, ia pun melanjutkan, "Jujur saja, dia tidak terlihat seperti itu." Ucapnya.

Shoko menggeser kursinya maju beberapa centi sebelum menatap Satoru dengan pandangan tertarik. Mulutnya ditarik lebar, memperlihatkan sederet gigi bersih yang rutin dibersihkan setidaknya dua kali dalam sehari. Satoru berjengit menatap mata penasaran Shoko yang agaknya sulit untuk di tolak, karena pilihannya hanya ada menjawab atau dipaksa menjawab. Terakhir kali Satoru memilih opsi dipaksa menjawab, ia menemukan dirinya tidak bisa berhenti tertawa karena Shoko menggelitiknya tanpa henti.

Karena Satoru tidak mau tertawa tanpa henti sampai tenggorokannya sakit, ia pun menjawab pertanyaan Shoko setelah menyerahkan tugasnya di forum. "Alih-alih seperti orang rajin, dia terlihat seperti orang yang dipaksa untuk menjadi rajin," Jelas Satoru yang kemudian disusul dengan bunyi piiip panjang dari layar Laptopnya. Wajah Satoru seketika berubah menjadi pucat, ia berseru, "CHARGER! CHARGER! LAPTOPKU MATI! DATAKU, TUGASKU BELUM SELESAI DI UNGGAH!!"

🍁🍁🍁

Bunyi derak rel kereta yang berjalan menjadi musik Satoru pada sore itu. Gerbong kereta yang padat akan penumpang, yang di mana masing-masing dari mereka hanya berfokus pada urusannya masing-masing. Beberapa orang memakai jas kantoran, beberapa berpakaian seragam, beberapa memakai pakaian musim dingin seperti dirinya. Gerbong yang penuh akan manusia namun juga hening secara bersamaan. Hanya ada bunyi derak rel kereta dan sepatu atau baju yang saling bergesekan di dalam gerbong.

Karena tugasnya sebagian besar sudah rampung, Satoru memilih untuk pulang ke rumah kedua keluarganya. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Satoru hanya ingin merebahkan diri dan beristirahat karena telah menyelesaikan sebagian besar kelas mata kuliah dan tugasnya. Sebenarnya ia bisa saja meminta tolong kepada supir keluarga untuk menjemputnya, namun hari itu Satoru memilih menaiki kereta dengan derak berisik setiap menitnya.

Atau mungkin itu sebenarnya adalah sebuah takdir. Mungkin Tuhan sudah merancang hari itu di buat untuknya, agar ia bertemu dengan gadis yang baru saja dibicarakan bersama Suguru dan Shoko beberapa jam yang lalu.

Di dalam kereta yang penuh akan orang-orang, Satoru melihat pucuk rambut dengan warna mencolok. Posisinya tidak jauh dari Satoru, mungkin berjarak empat sampai lima orang. Dengan tingginya pun, Satoru sebenarnya bisa melihat dengan jelas bagaimana gerak-gerik sang gadis di gerbong minim udara ini. Beberapa kali Satoru melihat gerakan aneh, seperti badan yang bergerak dari sana ke sini, atau tangannya yang seperti sedang menahan sesuatu. Satoru menyipitkan matanya guna melihat lebih jelas, ketika ia sadar apa yang terjadi, Satoru langsung berjalan degan cepat ke arah sang gadis.

Satoru berhenti beberapa langkah di samping [Name] ー kalau Satoru tidak salah ingat nama, benar nama gadis itu adalah [Name] ー tangan lebarnya menahan tangan seorang pria berumur 40 tahun yang berusaha untuk mengangkat rok gadis di hadapannya. Satoru menarik nafas, "Pak, tolong hentikan. Tindakan asusila yang anda lakukan ini bisa saya laporkan," ancamnya tegas.

Hampir beberapa orang di sekitar mereka menoleh. Beberapa gadis berseragam SMA berbisik ーdengan suara yang sebenarnya cukup keras ー tentang bagaimana menjijikannya si pria tersebut. Karena mungkin malu, pria tadi buru-buru pergi dengan langkah berderak kencang pada lantai kereta menuju gerbong lainnya dengan wajah memerah. Satoru menatap punggung pria tersebut menjauh sebelum mengalihkan atensinya kepada gadis yang gemetaran di hadapannya. 

"Pria itu sudah pergi, kamu tidak apa-apa?" Tanya Satoru.

Gadis di hadapannya tersentak beberapa saat, kemudian mengangguk. Matanya melirik tidak fokus, tangannya menarik-narik ujung rok serta baju hangatnya seperti berusaha menutupi seluruh tubuhnya. Satoru meringis, "Tidak apa-apa. Tidak ada masalah dengan cara berpakaianmu, Pria tadi itu hanya tidak tahu cara mengontrol nafsunya sehingga kau jadi sasaran," Ucapnya.

Tidak ada jawaban dari gadis di hadapannya, kecuali sebuah bisikan yang Satoru yakini sebagai ucapan Terima Kasih. Mereka tidak banyak berbincang setelahnya, selain dari Satoru yang menawarkan diri untuk mengantar [Name] sampai ke stasiun terdekat yang diiyakan dengan anggukkan kepala. Beberapa kali Satoru mendapati gerakan-gerakan aneh dari gadis di hadapannya, seperti hentakkan kaki atau jemari yang tidak bisa berhenti bermain satu sama lain. Tapi Satoru tidak bertanya, pun membahasnya. Biarlah, bukan urusanku ー adalah pikiran Satoru pada saat itu. Yang Satoru tak tahu, adalah, kalau Tuhan sebenarnya sudah merancangnya untuk terlibat dengan [Name] untuk kurun waktu yang jauh, jauh, jauh, lebih banyak lagi. 

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top