Little Red Riding Hood - [Day Dream]
A/N:
Oneshot ini dirilis berdasarkan suara terbanyak yang menjawab questionnaire part Halloween [Quartet Night]. Atas partisipasi kalian yang telah menjawab pertanyaan, terima kasih banyak. Happy reading! ^^
• • •
Suatu hari, ada seorang gadis mungil bernama [Full Name]. Dia sangat suka mengenakan kerudung merah saat bepergian, tepatnya karena bisa meneduhkan diri dari terpaan sinar mentari.
"[Name]-chan, kemarilah," panggil laki-laki yang memiliki senyum bak matahari--- Ittoki Otoya.
"Eh, Oto-nii, ada apa?" tanya [Name] menghampiri Ittoki.
"Hari ini aku ada tanding sepak bola, jadi aku akan menitipkan keranjang ini kepadamu. Ingat kan, jalan menuju rumah kakek Natsuki?"
Shinomiya Natsuki, sang kakek berusia lanjut. Beliau sangat menyayangi kedua cucunya. Sering kali, [Name] dan Ittoki mendapatkan oleh-oleh darinya saat kedatangan Natsuki ke rumah mereka. Namun, karena Natsuki menderita sakit keras, maka [Name] dimintai untuk menjenguk kakeknya itu.
"Jangan lupa ketuk pintu sebanyak tiga kali. Dan ingat, jangan berbicara kepada orang asing. Kalau bisa, langsung larilah secepat mungkin," ucap Ittoki berpesan sembari mengacak pelan rambut adiknya.
Di dalam keranjang itu terdapat beragam buah-buahan segar yang telah dipetik sang abang dari pagi.
"Baik, Oto-nii! Aku berangkat!"
Ittoki melihat punggung adiknya yang telah menjauh. Merasakan adanya keganjilan yang tidak bisa Ittoki deskripsikan, ia pun merengkuh gadis mungil kesayangannya itu dari belakang.
"Berhati-hatilah." Ittoki membenamkan wajahnya yang telah memerah padam--- bagaikan kepiting rebus di pundak [Name].
[Name] tersenyum hangat lalu mengacak pelan rambut abangnya. Dia akan berusaha menjadi adik yang bisa diandalkan oleh Ittoki.
Little Red Riding Hood
Day Dream Sub Unit:
(Ittoki-Natsuki-Syo-Reiji-Ren-Kurosaki)
☆ Uta no Prince-sama (c) Broccoli, Sentai Filmworks, Kuruhana Chinatsu
☆ Red Riding Hood (c) Charles Perrault
☆ Warning: AU. OOC. Typo. Adanya improvisasi dari kisah asli.
☆Genre: Reverse-harem, comedy
By agashii-san
.
.
.
Sebenarnya, [Name] tidak pernah berjalan sendirian menuju rumah kakek Natsuki. Jalan yang dilalui cukup jauh dikarenakan melintasi hutan yang rimbun--- penuh dedaunan lebat--- dan meskipun hari bisa terbilang cerah, sekeliling hutan tampak lebih redup.
"Yo, [Name]-chan! Mau ke mana?" sapa seorang pemuda ceria yang bersemangat di balik pohon.
Tepatnya, karena pemuda itu--- sang pemburu bernama Syo Kurusu sering kali berkutat di hutan.
"Chibi-san!" panggil [Name] melambaikan tangan dari kejauhan.
Syo membanting ketapel yang digenggamnya ke tanah lapang. Terlihat perempatan siku-siku menghiasi puncak kepalanya.
Dia menggeram kesal lalu berkata, "Dasar tidak sopan. Panggil aku Syo-san. Tanpa embel-embel chibi!"
"Habisnya Syo-san sangat imut! Kapan-kapan ajari aku cara memburu hewan, ya! Omong-omong, Kakek Natsuki sedang sakit dan aku ingin menjenguknya."
Semburat merah menghiasi kedua pipi pemuda itu. "Hmph. Akan kuajarkan kalau kau mengataiku keren sebanyak tiga kali."
Dengan polos, [Name] mengucap, "Syo-san si pemburu yang keren! Keren! Keren! Ulalalala---"
Syo mengernyitkan dahi lalu mengetuk pelan puncak kepala [Name]. "Nggak usah pake 'ulalala' segala. Nih, karena kau sudah melakukan pekerjaan bagus, kuberikan kau sebuah senjata kesukaanku."
Ketapel. Dilengkapi sekantung mungil berwarna pink berisi biji ek sebagai senjata.
"Gunakan di saat mendesak dan jangan sembarangan digunakan. Sampaikan salamku kepada Kakek Natsuki dan katakan semoga cepat sembuh."
Gadis itu mengangguk mantap, lalu segera meneruskan perjalanan menuju rumah Kakek. Ketika nyaris berada di pertengahan jalan, muncul seorang pemuda berambut jingga gondrong hingga sepunggung.
"Hai, gadis cantik," sapa pemuda itu mengedipkan sebelah manik biru cerahnya.
[Name] sempat bergeming sejenak. Dirinya langsung teringat dengan ucapan Ittoki untuk menghindari interaksi dengan orang asing di hutan. Pemuda itu menyadari gadis itu terlihat ketakutan. Namun, pemuda itu tidak akan tinggal diam saja.
Gadis itu dipastikan akan menjadi mangsa selanjutnya.
"Barangmu kelihatan banyak. Apa isinya makanan? Mau ke mana?" singgung Ren.
[Name] mengira pemuda itu memang kelaparan sehingga terus mencegat dirinya. Diambilnya sebuah roti tawar berbalut selai stroberi dari keranjang jerami kepada pemuda itu.
"Makanlah. Aku mau ke rumah Kakek sekitar tiga ratus meter lagi dari sini. Rumahnya nomor lima. Dia sendirian dan aku mau menjenguknya."
Ren tersenyum-senyum penuh misteri, tetapi sesungguhnya hadir dengan sebuah siasat licik.
"Kalau begitu, kau harus memberikan Kakekmu sebuket bunga. Dia pasti akan senang jika mendapati cucu sebaik dirimu. Kudengar ada sebuah toko bunga di simpang sana."
[Name] tersenyum berseri. "Wah! Benarkah? Terima kasih untuk infonya! Saya pergi dulu."
Ren tersenyum menyeringai sembari memandangi [Name] melangkah riang. Ren mengingat-ingat jelas alamat yang diucapkan [Name]. Kakinya pun segera melangkah lebih dulu menuju rumah Kakek Natsuki.
☆ ☆ ☆
"Selamat datang ke Kotobuki's Florist. Ada yang bisa saya bantu, Nona?" sambut seorang pemuda berambut gondrong sebahu kecokelatan.
[Name] berucap, "Saya... mau mencari bunga untuk Kakek saya yang sakit."
"Mau satu jenis bunga atau dicampur?" tanya Reiji mengambil secarik plastik.
[Name] sempat bergeming sejenak, lalu memutuskan tidak boleh terlalu lama berada di sini.
"Dicampur saja," saran Reiji.
Manik [Name] mengarah ke sebuah jam dinding. Dia sudah telat setengah jam dari waktu yang dijanjikan. Dia tidak ingin Natsuki menunggu terlalu lama. Mau tidak mau, [Name] mulai kepanikan.
"Tolong cepat sedikit, ya. Kakek pasti sudah lama menungguku."
Reiji mengiyakan, mempercepat pengemasan bunga-bunga campuran yang dikumpul dalam sebuah buket plastik diikat pita kuning pucat.
"Semoga Kakekmu cepat sembuh, ya."
[Name] mengangguk. "Terima kasih, Paman. Permisi."
Tanpa mendengar respons Reiji, [Name] telah berlari kencang. Namun karena terlalu gegabah, [Name] pun tersandung kerikil. Reiji pun segera menyusul [Name] yang jatuh terjerembab.
"Apa kau baik-baik saja? Ingat tidak arah menuju rumah Kakekmu dari sini?" tanya Reiji mengulurkan tangan kepada [Name].
Manik [Name] meratapi sekeliling jalan. Dia melupakan arah dari lokasi yang seharusnya dituju. Panik, [Name] menggeleng cepat.
Melihat gadis itu kebingungan, Reiji pun berkata, "Kakimu luka. Kuobati dulu baru kutemani, ya?"
Sejejak rasa perih mulai menelusuri lutut [Name]. Reiji segera membopong gadis itu masuk ke dalam toko bunganya. Mengambil obat merah dari kotak khusus pertolongan pertama. Dalam waktu singkat, tempurung lutut [Name] telah terbalut plester cokelat.
"Omong-omong, saya harus memanggil Paman siapa?" [Name] mengusap lukanya sekilas.
"Panggil Reiji saja. Sini, kemarikan keranjangnya," sahut Reiji.
[Name] menggeleng pelan. "Tidak usah, Reiji-san. Lagipula tokonya masih buka. Saya akan berjalan sendiri. Bagaimana kalau Reiji-san membuatkan peta?"
Reiji pun menatap nanar. "Sebenarnya... toko ini hampir tidak ada pelanggan. Jadi, menolongmu pun tidak apa-apa."
[Name] mengernyitkan dahi. "Kenapa bisa begitu?"
Tanpa menyahut pertanyaan [Name] sepatah kata pun, pemuda itu pun membalik papan 'OPEN' menjadi 'CLOSED'. Ia pun langsung menggendong tubuh [Name].
"Pama--- Reiji-san! Sa-saya bisa berjalan sendiri, kok!" bantah [Name].
Sekarang, gadis itu benar-benar takut diculik. Selain itu, Ittoki pasti akan mengkhawatirkan dirinya karena terlalu lama berada di luar rumah.
"Ayo tancaaap, [Name]! Arahkan aku jalan yang kira-kira kaukenali sebelum datang ke tokoku," ujar Reiji lalu mengulur jari kelingking, "aku berjanji akan memulangkanmu dengan selamat."
[Name] pun mengamit jari kelingkingnya. Terselip sedikit kepercayaan kepada pemuda itu. Apalagi tiada sosok yang sepeduli ini terhadapnya selain Reiji.
Gadis itu berharap ia tidak salah langkah.
Di lain sisi, ternyata Ittoki telah sampai di rumah. Ia mengusap peluh keringat sehabis bermain bola yang membanjiri sekujur tubuh--- mengangkat sedikit kerah bajunya.
Manik merah cerah Ittoki menghadap jam dinding. Sudah hampir dua jam, [Name] telah pergi dari rumah. Padahal ia menyangka gadis itu telah pulang lebih dulu.
"Sebenarnya... dia baik-baik saja tidak, sih?" gumam Ittoki mulai merasa tidak tenang. "Aaah, aku nggak tahan berlama-lama menunggu di sini."
Tanpa pikir panjang, Ittoki pun segera mengambil tas. Meninggalkan rumah. Memutuskan mencari [Name].
• • •
"Yang ini nomor rumahnya, Reiji-san," tunjuk [Name] ketika Reiji nyaris melewati dua blok rumah.
Reiji pun memosisikan [Name] kembali dalam posisi tegap. "Lainkali hati-hati dalam melangkah, ya."
[Name] mengangguk. Syukur Reiji adalah pemuda baik-baik. Gadis itu berbalik badan, hendak membuka gerbang hitam yang rupanya tidak terkunci. Mungkin Natsuki lupa mengunci.
"Sampai jumpa!" seru [Name] melambaikan tangan kepada Reiji.
Gadis itu memutar kenop pintu. Memudarkan eksistensi setelah memasuki ruangan. Disahuti oleh senyuman kecil, Reiji merasa senang telah membantu orang lain. Namun, setiap langkah demi langkah saat Reiji menjauhi rumah terus membiarkannya hanyut dalam perasaan meragu. Perasaan tidak enak yang membuatnya tidak bisa melepas gadis itu begitu saja.
Namun, Reiji menganggap asumsi hanyalah bayang-bayang yang berdasar dari intuisi. Reiji akhirnya telah melangkah keluar dari kompleks. Memutuskan kembali menuju toko bunga, kakinya tanpa sadar telah melangkah sejauh dua ratus meter.
Di simpang lain, Reiji menemukan Ittoki yang menghampirinya.
"Haaah... haaah. Permisi, apa Paman tadi lewat dari jalan sana?" tanya Ittoki dengan napas terengah-engah sehabis berlari.
Reiji mengangguk. "Betul, tapi tadinya bersama seorang gadis mungil ke rumah Kakeknya. Sebelumnya, dia memang sempat mampir ke tokoku untuk membeli sebuket bunga."
"Apa gadis itu memakai tudung merah?" tanya Ittoki memperagakan bentuk tudung yang menaungi puncak kepala [Name].
"Ya, betul sekali. Tapi... kenapa kau tahu soal itu?" sahut Reiji, lalu kembali bertanya sembari mengusap dagu.
Masih didera kepanikan, Ittoki merasa tidak perlu berlama-lama berbincang dengan Reiji.
"Gadis itu adalah adikku. Kalau begitu, terima kasih atas informasinya."
Ittoki pun meninggalkan Reiji.
Reiji melipat tangan tepat di atas dada. "Apa harus kupantau hingga keduanya keluar beriringan?"
Tanpa menemukan jawaban dari siapapun, Reiji hendak memutuskan untuk membuntuti arah Ittoki melangkah.
• • •
"Kakek Natsuki~" panggil [Name] saat membuka pintu kamar tidur sang kakek.
Kamar Natsuki masih tetap bersih seperti terakhir kali gadis itu datang, masih dengan nuansa kuning cerah yang menyenangkan.
"Ma-masuklah, cucuku," sahut suara parau yang berada di balik selimut.
[Name] masuk ke dalam kamar Natsuki, lalu duduk di sebuah kursi goyang yang terbuat dari jerami.
"Kakek baik-baik saja? Kenapa suaranya serak begitu?" tanya [Name] merasakan keganjilan.
"Te-tenggorokan kakek sedang gatal, jadi memengaruhi suara. Ehm, ah, ehm---"
[Name] pun menghampiri tempat tidur Natsuki. Selimut itu menutupi sekujur tubuh sang kakek.
"Lalu...," ucap [Name] sempat terputus, "kenapa rambut kakek jadi belang-belang? Ada emas bercampur putih?"
"Itu karena aku sudah menua, Cu."
Tangan [Name] mengudara di atas selimut Natsuki. Entah mengapa, jantungnya berdebar-debar kencang. Kecurigaan bercampur ketakutan menjadi satu. Pelan-pelan, [Name] membalik selimut dari bawah, tetapi menyadari sebuah keanehan.
Sang Kakek yang merupakan manusia, tidak mungkin mempunyai empat kaki.
"WOE! REN, AKU NGGAK TAHAN LAGI! JANGAN PELUK-PE---"
[Name] membatu usai mendengar racauan yang mirip sumpah serapah barusan. Apalagi di sisi kiri, pemuda berambut jingga keemasan telah terjatuh dari tempat tidur. Di lain sisi, terdapat seorang pemuda berambut jabrik keabu-abuan tengah melempar selimut hingga jatuh ke lantai.
Ren mengusap kepalanya yang terasa nyeri. "Tch, bukan mauku memeluk tanpa alasan. Ini demi incaran mangsa---"
Mendapati jawaban dari kecurigaan berkaki empat, [Name] telah mendapati kesimpulan singkat.
Yang ada di tempat tidur kini adalah dua sosok werewolf. Dan jumlahnya ada dua.
Lari. Itulah yang terlintas di benak [Name] saat ini, tetapi sebelum gadis itu bertindak, ia telah sepenuhnya terjebak. Tangannya bergerak cemas mencari ketapel pemberian Syo, tetapi Ren takkan membiarkan gadis itu menyerang.
"Mau ke mana, gadis manis?" tanya Ren mengekang gadis itu antara dirinya dan dinding.
"Kau... jangan coba-coba menyentuhnya! Dia milikku!" Kurosaki mencegat Ren dengan tatapan sinis.
"To-tolong...," ujar [Name] terdengar lirih.
"Bagaimana kalau aku mencobamu? Kurosaki, kita bisa bagi dua," timpal Ren mengedipkan sebelah maniknya.
[Name] menggeleng cepat. "Maaf, tapi sungguh. Aku nggak enak! Aku bukan makanan---"
Kekangan tangan Ren di pergelangan tangan [Name] terlepas begitu saja berkat lemparan kencang butiran biji ek dari sebuah ketapel. Pemuda itu mengaduh kesakitan, begitu pula dengan Kurosaki yang mengerang penuh nyeri di atas tempat tidur.
Rupanya dari sisi jendela, Syo telah melompat masuk menuju kamar Natsuki.
"[Name], kau tidak apa-apa?" Syo menghampiri [Name].
Gadis itu jatuh terduduk dengan lemas. "Syo-san... aku...."
Lain halnya, di sisi pintu kamar yang telah terbuka, menampilkan sesosok pria berkacamata.
"Apa yang kalian lakukan... di kamarku?" Natsuki dengan polos membawa sekeranjang berisi kue kering. "Baru saja kutinggalkan rumah sebentar."
"Kakeeeek," seru [Name] langsung menghambur dalam pelukan Natsuki.
"Nah, bisakah kalian bisa jelaskan apa yang terjadi?" tanya Natsuki dengan kalem, tetapi meregangkan sendi-sendi jemarinya.
"[Nameeee]!" seru Ittoki dari luar rumah. "Kau baik-baik saja?"
"[Name]-chan, kau ada di sana, 'kan?" Reiji ikut bertanya, disusul Ittoki.
Syo mendelik terhadap Ren dan Kurosaki. "Dengar suara-suara itu? Kalian jangan coba-coba untuk kabur dari sini."
Keduanya pun tidak berkutik. Dan lima orang lainnya membutuhkan penjelasan untuk meluruskan perkara tersebut.
• • •
Rumah Natsuki kini terisi penuh dengan enam penghuni selain sang tuan rumah di dalamnya. Mereka bersama-sama berkumpul dalam sebuah ruang makan dalam suasana hening.
"Intinya, kami... hanyalah serigala malang yang terdampar. Hidup penuh ketersesatan," ungkap Ren duduk bersebelahan dengan Kurosaki di ruang makan.
Tentu saja kedua pelaku berada dalam posisi terkekang karena sebuah tali tambang yang diikat oleh Syo.
"Kami lapar, jadi terpaksa melakukan hal seperti ini," tambah Kurosaki menundukkan kepala, tampak tidak berdaya.
Kakek Natsuki menyirami tanaman lebih dulu, lalu memberikan mereka roti titipan [Name] di atas meja.
"Kalian boleh datang makan di sini kapan saja, asalkan tidak berniat melukai cucuku sedikit pun," ujar Natsuki merapatkan posisi kacamata, "jika tidak kalian turuti, silakan coba saja sendiri."
Terselip aura hitam pekat milik Natsuki yang mendiamkan seluruh raga.
"[Name], apa kau mau memaafkan mereka?" tanya Ittoki.
Syo menepuk bahu [Name]. "Kalau mereka macam-macam lagi, saat ada aku di sisimu, aku akan tetap siap menyerang mereka. Kalau tidak, aku akan memperbaiki perkakas biji ekmu!"
[Name] memandang Ren dan Kurosaki yang tidak berani melihatnya. Ditariknya napas secara perlahan. Hari ini, dia melalui banyak sekali petualangan. Dari yang menyenangkan hingga mengerikan.
Namun, gadis itu tahu dendam bukan sikap yang baik. Dendam bukanlah jejak yang patut ia sebarkan dalam benih hati. Dendam memupuk kehancuran diri, yang tidak segan untuk merusak sel kebahagiaan dirinya. Dan, dendam hanya akan membiarkan perkara semakin menjadi-jadi.
"Kumaafkan. Tapi, kalian harus berteman dengan kami. Kalian tidak boleh melukai manusia, karena kami tidak melukai kalian. Setuju?" [Name] mengulurkan tangan, berucap penuh kepastian.
Reiji yang terkesima menepuk pelan puncak kepala [Name]. "Sikapmu yang bijak patut ditiru. Nah, bagaimana tanggapan pria-pria yang tampan ini?"
"Y-ya, kami salah. Kami tidak akan mengulangi perbuatan buruk seperti itu lagi," ungkap Kurosaki.
Ren mendesah, lalu berkata, "Maafkan kesalahan yang kami perbuat. Kalau begitu, kami akan sesekali datang ke sini untuk bertemu dengan [Name]--- maksudku, dengan kalian semua."
"Nah, begitu. Mari berbaikan~" Natsuki merangkul mereka satu per satu.
Akhirnya, Ren dan Kurosaki pun yang terkurung dibebaskan oleh Ittoki bersama Reiji. Mereka larut dalam tawa dan canda bersama. Tanpa ada sesal di hati, dengan sebuah awal kehidupan baru yang lebih baik. Berawal dari sebuah kesalahan, tetapi berakhir memupuk kebaikan yang membenarkan.
• END •
A/N:
Maaf kalau part ini jatuhnya nggak ke romance (malah nyaris nggak ada sama sekali), terus kalau merasa jatah mereka ada yang nggak merata, itu dikarenakan sesuai dengan peran yang diemban. Maaf ;w;)
See ya for another part~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top