6. Ananas Taart
~ Layaknya kudapan nikmat yang berisi selai kejutan. Seperti itulah, Tuhan mengisi pagi hariku, kini. ~
||
Seperti yang diutarakan bunda, semalam ..., “Masa sih? Kok Bunda ragu, dengar jawabanmu!” Tatapnya menyelidik. “Kalau bukan karena Bagas, berarti karena siapa dong?” tanya bunda dengan penasaran.
Dan, pagi ini ... bagai sebuah kejutan, bukan ayah yang mengantarkanku ke Sekolah, melainkan bunda. Berbekal Car Seat di sebelah kirinya, untuk menempatkan Alrik, bunda dengan santainya mengemudikan mobil ini.
#Pagi tadi, di ruang makan.
“Yah! Yang nganterin Luna, Bunda aja ya?!” izin bunda dengan nada selembut mungkin. Yang tentu saja langsung mendapat persetujuan dari ayah.
Seperti Biasa, bukan ‘Bundanya Aluna', kalau tidak bisa meluluhkan hati ayah dengan keinginannya.
“Alrik gimana, Nda?” tanya ayah. Tentu saja membuat ayah sedikit khawatir.
“Pakai car seat lah, Yah!” jawab bunda. Yang kemudian mendapat anggukan serta senyum dari ayah.
🚗🚗🚗
Entah mengapa pagi ini, perjalanan menuju sekolah terasa lebih cepat dari biasanya. Bahkan gerbang utama, tinggal berjarak beberapa ratus meter saja.
“Mana anaknya, Na?” tanya bunda.
“Hah! Anak siapa, Nda?” Aku yang bingung justru balik bertanya kepada bunda.
“Emang anak siapa lagi?! Ya anak yang suka sama kamu! Kata Ayah, ‘dia biasanya nungguin kamu’, kan?!” cecar bunda menggebu. Kemudian celingukan mencari objek yang dimaksud.
“Di gerbang dekat Masjid, Nda! Bukan di gerbang utama.”
Bunda menanggapi jawabanku dengan cara yang berbeda. “Ih, ih ... Bundanya salah sedikit aja, Na udah kesel! Padahal Bunda kan cuma nanya,” cetusnya dengan mimik sesedih mungkin.
“Siapa yang kesel, sih Nda? Na kan cuma menyebutkan tempat yang benar.”
“Iya, deh iya. Bunda yang salah!” putus bunda lesu, mengakhiri perdebatan kami. Setelahnya bunda kembali fokus pada kemudi dan menunggu antrean masuk.
‘Anugerah Persada' sudah diakui kredibilitasnya, sebagai sekolah unggulan yang memiliki pengawasan dan penjagaan ketat. Pintu masuknya saja, berlapis. Yang dimaksud dengan ‘Gerbang Utama' adalah, pintu pagar yang membatasi Jalan raya dengan tempat parkir area paling luar sekolah. Sedangkan 'Gerbang Masjid' adalah, pintu pagar yang menjadi akses masuk ke dalam area sekolah. Dinamakan seperti itu karena, posisinya yang berada tepat di samping Masjid.
“Itu bukan, Na?” terka bunda. Pandangannya terarah pada seorang remaja lelaki yang berdiri menyandar tembok, dengan menggendong ransel hitam bersemburat coklat tua. Apa yang sedang disembunyikan di balik punggungnya?
“Loh, loh ... Nda! Parkirnya kan di sana!” pekikku. Bagaimana aku tidak panik?! Bunda terus saja melajukan mobil ini, dan menghentikannya di depan area Masjid.
“Tenang aja, Na! ... Yang penting kamu sampai dengan selamat!” ujar bunda santai. Selamat sih, selamat! Tapi ga sampai sini juga nganternya, Nda!
“Aluna!” panggil Kak Riza. Ia berjalan ke arahku, saat melihatku keluar dari mobil. “ini untukmu!” ujarnya sambil menyerahkan gantungan kunci berbentuk beruang berwarna biru.
Bunda mencolek bahuku sambil tersenyum. “Aw! ... Anak Bunda lagi love-love, nih!” goda bunda mengerlingkan mata.
“Bunda, ih ... Jangan gitu dong!” sergahku kilat. Bukannya berhenti bunda justru semakin menggodaku, hingga sebuah suara menginterupsi ....
“Assalamu’alaikum, Bunda!” sapa Kak Riza.
“Eh ... Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Bunda sambil mengamati Kak Riza.
Ia meraih tangan, lalu mencium punggung tangan Bunda. Kemudian berkata, “ Perkenalkan ... Nama saya, Altaf Fahriza. Kakak kelasnya, Aluna.”
Bunda tertegun mendengar kalimat yang diucapkannya. Sejurus kemudian terbit senyum jahil di sudut bibir bunda. “Tunggu, tunggu ... Siapa tadi namanya? Siapa yang bilang? Kalau saya, Bundanya Aluna!” protes bunda sok tegas.
“Itu-” Kak Riza salah tingkah sambil memegang tengkuknya. “... saya Riza, Bunda! Eh, Kak ....” sambungnya.
“Hehehe ... Tuh kan Na! Dibilangin gak percaya, Bunda ini masih kelihatan muda! Riza aja manggil Bunda, kakak!” ujar bunda girang.
Aku dan Kak Riza saling pandang, melihat tingkah laku bunda. Ya ampun, Nda! Jangan bertingkah ajaib di sini!
“Maaf, maaf. Halo, Riza ... saya memang Bundanya Aluna, yang manis ini!” sambung bunda sambil mengemas pipiku.
“Aluna lebih dari manis, Bunda!” gumam Kak Riza.
“Manis ya? Makanya kamu selalu nemenin Luna!” terka bunda. Mendengar perkataan bunda, Kak Riza kembali salah tingkah.
“Berarti ... kamu suka kan sama Luna? Nah, kalau suka harus dijaga! Jangan diapa-apain! Jangan dimacem-macemin! Kalau Luna sampai lecet, Bunda gantung kamu!” pesan bunda panjang lebar. Aku memilih bungkam, sedangkan Kak Riza mengangguki petuah bunda.
“Bunda rasa ... saatnya kalian masuk! Riza jaga Aluna, ya! Selamat belajar, Assalamu’alaikum ....” sambung bunda, lantas berlalu meninggalkan kami.
“Wa’alaikumussalam warahmatullaahi wabarakatuh,” jawab kami, lirih.
~~~
Selepas kepergian bunda, hanya kecanggungan yang bisa kusuguhkan kepada Kak Riza. Aku takut, ia akan berpikir hal yang aneh tentang keluargaku. Ya ampun, Na! Sejak kapan kamu peduli pala pola pikir orang lain?
“Hei, Aluna! Kamu kenapa? Apa yang sedang kamu pikirkan?” tegur Kak Riza. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Tak mungkin aku memberitahukan apa yang tengah menjadi gejolak dalam pikiranku.
“Woi! Tungguin dong!” Sebuah teriakan menghentikan langkah kami. Nampak Erika dan Chessa, lari tergopoh-gopoh menghampiri kami.
“Na ... pinjam PR Matematika, dong! Ika belum ngerjain,” pintanya. Erika menyunggingkan senyum semanis mungkin, agar aku memberikan apa yang diinginkannya.
“Itu bukan pinjam, Ka! Tapi nyontek, namanya!” cela Kak Riza.
“Dih, situ yang sewot! Luna yang punya, biasa aja tuh!” kilah Erika. Chessa yang berjalan di samping Erika, hanya mampu mengamati perdebatan yang tengah terjadi.
“Sudah, belum, debatnya? Kalau belum, Na tinggal, nih!” ancamku.
Aku berlari kecil menjauhi mereka. Namun baru beberapa langkah saja ....
Bruk! .... “Auw!” pekikku. Aku hampir terjerangkang, seusai bertabrakan dengan seseorang.
“Ya ampun, Na!” Suara kencang milik Erika saat melihat kondisiku, membuat mereka bergegas dan mempercepat diri menuju tempatku terjatuh.
Kak Riza dan Erika, membantuku untuk kembali berdiri. Sementara Chessa, tengah membantu orang yang tertabrak olehku. Semoga dia tidak terluka! Maafin Na, yang ceroboh!
“Kamu gak papa, Na?!” Kak Riza mencoba meneliti tubuh terluarku. Seperti, lutut, siku, dan seragam. “bisa jalan, gak?” sambungnya. Aku mencoba mengangguk meskipun susah.
“Loh! ... Bin? Jadi kamu yang tabrakan sama Luna?!” seru Kak Riza. Aku yang mendengar langsung tersadar, saat melihat alat pengeras suara yang kerap bertengger di leher dan telinga itu, kini tercecer di aspal. Jadi, dia ... makhluk 'ber-headphone'! Berarti ... Na, harus gantiin barangnya yang rusak!
“Na?” Erika tampak panik. Aku mengernyit saat merasakan nyeri pada pangkal tumitku. “Aluna, gak bisa jalan Kak!” beritahu Erika pada Kak Riza. Aduh! Kenapa lagi ini kakiku?!
“Kita bawa ke UKS, Ka!” putus Kak Riza.
Usai memastikanku mendapatkan perawatan, Kak Riza, Chessa, dan Erika, memutuskan untuk kembali ke kelas.
“Na, Ika sama Chessa ke kelas dulu, ya! Sekalian tulis absen buat Na,” ujar Erika.
“Aku ke kelas sebentar!” tukas Kak Riza. Kemudian, “Bin! Jagain Aluna! Bentar ... gue balik lagi!” pesan Kak Riza pada orang yang bertabrakan denganku.
Sepeninggal mereka ... “Akhirnya, aku bisa mengenalmu Aluna! Mau ya temenan sama aku. Namaku, Bintang!” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Aku cukup terkejut dengan penuturan dan ajakannya. Bahkan aku masih tak habis akal! Kenapa pagi ini, aku justru harus berdiam diri di UKS? Dan hanya bersamanya saja. Ini sebuah kebetulan, atau memang benar sudah menjadi kehendak Tuhan.
.
.
.
Adakah diantara kalian yang pernah mengalami kejadian seperti ini?
Assalamu'alaikum, Friends ...
Selamat berjumpa kembali dengan 'remahan' milik Aluna. Semoga kalian masih setia menikmati 'kudapan' ini bersama.
Jangan lupa tinggalkan jejak-jejak kalian ya. Terima kasih 🙏
Selamat bermalam mingguan
Salam sayang
~ Dunianya_D ~
20-26.03.20 ~> 28.03.20 19:00
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top