2. Varian Malkis

~ Yang asin seperti rasa pertemananku. Sedangkan yang manis, seperti gemercik dalam hatiku~


   Tak ada yang istimewa di seminggu pertama, masa SMA-ku. Mungkin saja karena masih dalam tahap penyesuaian, sehingga kesannya biasa-biasa saja. Yang sedikit berbeda hari ini, adalah pembukaan pertandingan basket SMA se-DKI Jakarta, yang mengambil lokasi di lapangan sekolahku.

   Sejak kemarin Erika sudah memperingatkanku, agar aku tak absen ....
   “Na ... besok tetep jam biasa, jangan kesiangan. Lu harus bantuin gue!” pinta Erika saat kami tengah berkemas untuk meninggalkan kelas.

   “Iya, iya ... kenapa harus nunggu besok sih, sekarang aja kan juga bisa!”
   “Besok aja. Kak Riza nya gak masuk,” ujarnya buru-buru menutup mulut. Akhirnya aku tahu siapa kakak kelas yang disukai oleh Erika.

    Hal ini tentu saja menjadi sesuatu yang menggelikan untukku. Karena Erika yang kukenal beberapa hari ini, adalah tipikal anak yang tak bisa lepas dari pantauan sang kakak.

   Yaps, Dwiko Praditya (Kakak Erika) ialah salah seorang senior satu tingkat di atas kami. Dan setahuku, Kak Riza adalah salah satu sahabat Kaiko. Sayangnya ia takut untuk mengungkapkan perasaannya, sehingga memintaku untuk hanya menyampaikan salamnya saja.

🍭🍭🍭

   “Anak Ayah kok senyum-senyum sendiri! Kakak gak demam kan?” celetuk ayah sambil mengarahkan punggung tangannya ke dahiku.

   “Ih, Ayah ... Luna gapapa alias sehat-sehat aja!” tepisku.
   “Habis kakak sih pagi-pagi sudah horor!” canda ayah.

   “Bukan gitu Yah. Teman sebangku Luna tuh lagi naksir sama kakak kelas. Terus minta tolong sama Na, buat nyampein salamnya. Padahal Na tuh awalnya gak tau orangnya yang mana. Eh kemarin sebelum pulang dia keceplosan ngomong sebuah nama, jadinya Na tau deh!”

   Ayah yang mendengar penjelasanku terlihat mengulum senyum, “Kalau anak Ayah, ada yang ditaksir gak?”

   “Gak lah Yah! Na kan masih pengen ngejar mimpi dan cita-cita. Jadi gak boleh cinta-cintaan!” kilahku membela diri.

   “Siapa bilang cinta-cintaan?! Naksir itu artinya suka atau tertarik, bukan berarti cinta kak!”
   Penjelasan ayah membuatku berpikir sejenak, apakah sejak hari pertama ada yang aku sukai?

   “Gimana sudah ketemu pencariannya?” tanya ayah saat mendapatiku sedang berpikir, yang kujawab dengan gelengan semata.

   “Berarti belum ada yang kakak taksir?!” sambung ayah lagi.
   “Terserah Ayah aja ah ... Na, pusing!”

   Kali ini ayah tertawa menanggapi ucapanku yang terdengar pasrah.
Obrolan ringanku dengan ayah berakhir seiring sampainya mobil di halaman sekolah.

🏫🏫🏫

   Empat puluh lima menit di dalam kelas, hanya diisi dengan pembekalan materi ringan. Apa seperti ini sekolah kebanggaan ayah dan bunda?

   “Lun, gue boleh duduk sini?”
Aku mengangguk sambil tersenyum, menjawab pertanyaan Saras.

   “Mau ikut ekskul apa?”
   “Belum tau Ras. Masih mikir-mikir dulu!”
   “Banyak yang masih kosong kok, Lun. Gue ambilin formulirnya dulu gimana?” sambung Saras.

   “Jangankan berpikir tentang ekstra kurikuler, berteman sama kalian saja, aku masih belum terlalu yakin!” gumamku dalam hati.

   “Lun ... Luna,” panggil Saras sambil melambaikan tangannya ke depan wajahku.
   “Eh iya, terserah Saras aja,” ujarku pasrah.
   "Oke. Gue ke bawah dulu, ambil form," pamitnya sebelum berlalu meninggalkan bangkuku.

   Ting nong neng ...,
🔊 “Diberitahukan kepada seluruh siswa dan siswi Sekolah Anugerah Persada untuk segera berkumpul di lapangan sekolah, terima kasih

   Suara pengumuman yang berasal dari ruang staf utama ini, menggema ke seantero penjuru sekolah. Seperti murid yang lainnya, meskipun enggan aku pun harus menuju lapangan. Entah hanya mendengar pidato, pura-pura menikmati acara, atau sekedar melihat-lihat saja.

   Bayangkan saja sekitar seratus lima puluh remaja turun melalui tangga secara bersamaan, begitulah posisiku saat ini. Menempati ruangan kelas yang berada di lantai tiga, bersama dengan empat ruang kelas lain.

   “sutt ... sutt ... eh ... ada Kak Riza, kasi jalan, kasi jalan, kita di belakangnya aja!” Bisik-bisik segerombolan siswi kelas sebelah.

   O.. jadi ini to yang namanya Kak Riza! Lumayan sih, dengan kulit putih cenderung kekuningan, hidung mancung, tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima centimeter, rambut depan ala jambul talang air, dan tak lupa senyum menawan.

   “Pantes banyak yang naksir!” gumamku samar.
   “Siapa yang banyak ditaksir?” Sebuah suara muncul di telinga bagian kananku.

   Aku benar-benar tak tahu jika suaraku bisa didengar olehnya, yang kini berada di sisiku, dan menyamai langkah kakiku. Aduh Na kenapa gak bisa ditahan sih omongannya

   “Kok diem. Anak baru ya?”
   “Iya.”
   “Kelas sepuluh?” Aku mengangguk. Lalu, “sepuluh berapa?” imbuhnya.
   “Sepuluh satu.”
   “Kelas unggulan. Masuk jalur tes, atau-”
   “Jalur prestasi.”
   “Cerdas!” cetusnya.

   Senyum menawan dan tepukan di bahu, yang ia lontarkan usai kata pujian, berhasil membuatku merona. Oh Tuhan ... apakah di dalam dadaku saat ini sedang berlangsung konser? Kok rasanya meriah sekali.

   “Kak Riza, dapat salam dari Erika!”
   Kontan saja apa yang keluar dari bibirku, menjadi tontonan dan kasak-kusuk dari semua orang yang berada di sekitar kami.

   “Dari Erika! Bukan dari kamu?”
Pertanyaan Kak Riza yang terdengar layaknya sebuah keluhan, mampu membuatku terbungkam.

   “Yah diem lagi. Mau ke lapangan kan?”

   Bibirku hanya mampu mengeluarkan tiga huruf sakti, "iya."
 

  “Ya udah, ayo!” ujarnya santai.
Sebuah ajakan yang tak akan mungkin bisa ditolak oleh Aluna.

💦💦💦

.


.
Hayo siapa yang lagi senyum-senyum karena inget sama kakak kelas?

Assalamu'alaikum Friends, Dhi mohon bantuan dan dukungan kalian semua ya..

Gak perlu SMS, cukup tekan BINTANG & tinggalkan KOMEN kalian

Terima kasih, salam sayang dari..
~Dunianya_D~

08-12.02.20 ~> 12.02.20 20:00

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top