38. He is the Outcast
-oOo-
"SUDAH tahu berita yang sedang ramai?"
Wayne berpaling pada salah seorang petugas markas yang sedang duduk-duduk sambil berjaga di pintu laboratorium. Namanya Raul―lebih muda setahun darinya, tetapi jago mencari informasi. Wayne lumayan dekat dengan Raul semenjak anak ini selalu bergantian tugas jaga dengannya. Dia membalas pertanyaan Raul barusan dengan serius, "Eksperimennya berhasil?"
"Kalau yang itu belum ada laporan resmi, tapi memang ada desas-desus eksperimennya mencapai hasil memuaskan." Raul berbicara sambil menjepit ujung rokok dengan gigi. Tampangnya yang setengah India dan setengah Amerika diputar menghadap Wayne, membuat anak itu berjengit menatap alis tebalnya yang nyaris menyatu. "Yang kumaksud rumor di antara kawan-kawan kita, Wayne. Katanya ada jejak misterius yang ditemukan di sekitar pantai."
"Jejak misterius?"
"Penyintas," kata Raul, mengembuskan asap rokok di udara. Lalu dia menyerahi Wayne geretan miliknya untuk menyulut rokoknya sendiri. "Sepertinya baru tiba beberapa hari lalu, Bung. Kapalnya ditinggalkan begitu saja."
Wayne menyulut ujung rokok dengan geretan, lalu mengisap dengan nikmat. Selepas mengembuskan asap, berkata, "Kita tidak menyelidikinya?"
"Sudah ada tim yang terjun untuk memeriksa. Regu pemula di bawah pimpinan Heaven. Kau tahu dia, kan?"
"Oh, si sersan yang baru bergabung itu?" Wayne mendengkus sinis. Ingatannya tahu-tahu mendarat pada momen pertemuan pertamanya dengan Heaven dan Claude di pinggir pantai, pada tengah malam, ketika dirinya baru saja melesakkan peluru di kepala Beatrice dengan terpaksa. Sang abang dan kekasih barunya yang berambut merah tampaknya sengaja jauh-jauh datang kemari untuk cari mati.
"Ya, si mantan sersan. Dia punya reputasi bagus yang bikin orang itu percaya padanya," Raul berbisik-bisik. Yang dia maksud "orang itu" adalah Janeth. Hanya segelintir rekan Wayne yang berani menyebut Janeth dengan nama aslinya, termasuk Wayne sendiri. Mereka berpikir menjaga jarak dengan tidak menyebut nama secara langsung adalah aksi preventif untuk membuat seolah-olah Janeth tidak ikutan hadir di dekat mereka.
"Tapi si rambut merah itu sok mengatur-ngatur, seperti kita ini kacungnya saja," kata Wayne. "Baru pertama datang, tapi sudah ditempatkan sebagai komandan regu? Walaupun dia bisa bertarung, seharusnya Janeth tidak perlu sepercaya itu padanya. Bagaimana kalau ternyata Heaven adalah musuh dalam selimut?"
"Kau berlebihan, Wayne."
"Ini namanya bersikap waspada, dasar kau polos. Jangan keseringan menunjukkan punggungmu pada orang tidak dikenal. Tahu-tahu kau ditebas jadi dua." Wayne mengisap rokok dengan menggebu, entah mengapa merasa jengkel dengan opini Raul. Belakangan ini dia memang merasa jarang diperlukan lagi oleh Janeth. Wayne tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia pikir itu karena Janeth terlalu sibuk mengurusi eksperimen. Wayne ingin mengelak asumsi perihal Heaven yang menjadi anak emas Janeth, tapi dia tidak punya bukti bahwa pendapatnya sendiri benar.
Raul melanjutkan, "Ada desas-desus yang bilang kalau yang namanya Heaven itu sejak dulu adalah iblis pembunuh."
"Oksimoron yang bagus. Heaven and killer―surga dan pembunuh. Tipuan iblis akan selalu terbaca. Rambutnya yang semerah api sudah menyatakan di mana tempatnya yang sebenarnya." Wayne menggosok-gosok wajahnya dengan satu tangan. Dia menatap ujung lorong yang kosong dan muram, seolah menanti-nanti sesuatu muncul dari balik pintu-pintunya yang tertutup. "Tahu tidak? Heaven bisa saja adalah jelmaan ular dari neraka yang akan mengobrak-abrik kita, seperti waktu iblis menunggangi ular untuk menghasut Adam dan Hawa."
"Yeah, kita butuh lebih banyak bukti untuk membuktikan tuduhanmu," kata Raul.
"Pegang saja kata-kataku. Dia itu iblis." Wayne mencibir sambil menyibak rambut acak-acakannya ke belakang kening. Saat Raul hendak membalas lagi, pintu di hadapan mereka terbuka. Seorang petugas laki-laki yang mengenakan setelan jas laboratorium dan masker pelindung keluar sambil menenteng plastik hitam besar berbau agak menyengat. Bagian bawah plastik tersebut tampak basah dan meneteskan air berwarna kemerahan.
"Makanan para monster," kata petugas laboratorium itu. "Sudah menunggu lama?"
"Lumayan." Wayne membuang rokok yang baru diisap ke lantai, lalu menggilasnya dengan ujung sepatu. Dia maju untuk mengambil kantong plastik hitam dari tangan sang petugas, seketika mengerutkan hidung sampai memalingkan wajah."O, ya ampun, busuk sekali."
"Meninggal dua hari lalu, tapi baru ditemukan pagi ini," kata sang petugas, lalu berpaling pada Raul dan langsung memberi isyarat dengan tangannya agar Raul masuk ke dalam untuk membantu sesuatu. Petugas laboratorium itu menghadap Wayne lagi. Sepasang matanya tampak memerah dan berkaca, entah karena pedih menahan bau busuk atau karena hancur melihat bangkai di dalam kantung plastik. Tapi Wayne menebak opsi pertama. "Sepertinya sudah sakit sejak lama, tapi tidak ada yang tahu keadaannya," sang petugas berkata dengan nada berat.
Wayne menatap kantong plastik itu dengan sorot meredup prihatin. "Bocah malang."
"Bukannya seharusnya kau memeriksa keadaan mereka setiap hari?"
"Dia makan dengan baik, jadi kupikir tidak ada masalah," kata Wayne, tersinggung dengan sindiran petugas laboratorium. "Dan kemarin kukira anak ini sedang tidur saja."
"Kau mestinya mengeceknya bila dia tidak bangun-bangun, dasar," kata petugas itu. "Anak ini masih bisa diselamatkan andai tidak dibiarkan terlalu lama kedinginan di penjara itu. Para petugas menyayangkan kematiannya yang sia-sia."
Wayne terdiam sejenak, dan tiba-tiba merasa bersalah.
"Maaf," katanya. "Aku hanya tidak mau mengganggu tidurnya."
"Jangan kehilangan fokus, Wayne."
"Apa?"
"Kalau kau kehilangan fokus, kau bisa menjadi target selanjutnya." Nasihat lembut sang petugas terdengar seperti ancaman. "Di sini bukan tempat bagi orang yang punya hati lemah. Bila kau tidak sanggup menghadapi perubahan, maka kau akan dicampakkan ke tempat sampah."
"Kenapa kau bicara seperti itu?"
"Karena kata-katamu barusan menunjukkan betapa lemah dirimu."
"Kata-kata yang mana?"
"Tentang kau yang tidak mau mengganggu tidurnya. Persetan dengan tidur. Anak itu masih bisa digunakan dalam penelitian, andai kau tidak mengikuti bisikan malaikat kecilmu yang lemah itu."
Ucapannya membuat Wayne jengkel. Dia berdecak, lalu mundur dari pintu. Seketika meludahkan kata-kata kejam untuk membuat petugas itu menelan malu, "Tidak ada dari aksiku yang sia-sia. Berterimakasihlah pada bocah ini, Pak. Kalau bocah ini tidak tewas, Janeth bisa saja menyuruhku untuk menculik salah satu dari kalian supaya jadi santapan para monster."
Sang petugas tidak berkata apa-apa, akan tetapi ekspresinya berubah terkejut.
Wayne yang kepalang puas langsung menyingkir pergi. Anak itu turun melewati bordes tangga yang gelap, lalu menatap jendela di ujung lorong yang kacanya sudah lenyap karena dipecahkan. Sekejap saja teringat bahwa seminggu lalu ada orang sinting yang nekat kabur dari ruang eksperimen dengan melompat dari jendela. Ke mana keparat itu sekarang? Tidak ada yang tahu. Beberapa rekan Wayne menyimpulkan orang itu sudah berhasil kabur ke pantai, di waktu yang bersamaan ketika mereka menemukan Beatrice. Tapi ada juga yang bilang kalau orang itu tidak jauh dari sini―barangkali sedang didera depresi karena sendirian, kelaparan, dan kehabisan rencana.
Seraya berbelok menuju lantai pertama, Wayne mendadak dilimpahi paranoia bahwa River bisa sewaktu-waktu muncul di hadapannya untuk balas dendam. Entah bagaimana Wayne merasa sejak awal River membencinya. Apa orang itu cemburu karena dirinya pernah bersahabat dengan Juan, ataukah orang itu hanya iri saja karena posisinya yang sekarang tidak bisa mengalahkan Wayne? Apa pun alasannya, sulit untuk mengenyahkan rasa khawatir. Wayne harus selalu waspada dengan apa pun yang terjadi, dan dia yakin bisa melakukannya, sebab dia tahu Janeth akan melindunginya sebagaimana yang wanita itu janjikan.
Keyakinan itu saja sudah membuat Wayne merasa cukup. Dia membuka pintu utama dan langsung menyisir ke markas di sebelah barat―penjara para tawanan. Cara jalannya agak pincang karena satu tangannya memikul kantong plastik yang berat. Wayne harus berhati-hati melangkah karena dia tidak mau tersandung di tengah jalan dan memburai semua isi kantong. Sesekali dia juga memastikan bahwa di sekitar sini tidak ada monster rakus yang berniat mencuri jatah para tawanan.
Wayne menatap muka depan markas yang kosong, bertanya-tanya mengapa tidak ada penjaga bersenjata yang molor di dekat pintu. Dia tahu sebagian besar petugas markas memang pemalas setengah mati, tapi kalau sampai bolos pos jaga, itu kelewatan. Namun, Wayne ogah ikut campur masalah kedisiplinan. Dia memutuskan mengabaikan saja rasa penasaran itu karena ingin cepat-cepat menyerahkan plastik di tangannya kepada para tawanan di bawah.
Saat hendak membuka pintu markas, tahu-tahu saja tampak bayangan memanjang dari belakangnya. Dia berputar dengan panik, lalu terperangah gemetar melihat sosok yang berdiri di hadapan Wayne.
"Ka-kau ... kenapa? Bagaimana bisa ...."
Sebelum Wayne sempat melanjutkan ocehannya, River menghantamkan tinjunya ke wajah anak itu dengan keras.
-oOo-
Wayne terbangun seraya merintih merasakan sengatan pedih di hidung. Saat mengusapnya, dia menatap pasta darah pekat melapisi telapak tangan. Wayne meringis tertahan sambil mendorong dirinya bangkit dari posisi rebah. Dia memperhatikan ruangan di sekitarnya yang suram, kosong, dan remang. Hanya ada sekat ventilasi mungil yang menjadi akses masuknya cahaya, tetapi ventilasi itu dilapisi teralis besi, seolah mencegahnya untuk kabur.
Ketika Wayne masih meraba situasi di mana dirinya berada, seseorang tahu-tahu berkata di dekatnya;
"Bantulah kami untuk membayar dosa dan ketololanmu selama ini."
Wayne tengadah ke asal suara. Di dekat pintu bunker yang tertutup rapat, dia melihat River bersandar di dinding sambil merokok santai. Kotak rokok penyok yang tergeletak di dekat kakinya memberi informasi bahwa rokok yang diisapnya adalah milik Wayne yang telah dia curi dari kantongnya. Bedebah keparat. Ditambah lagi, ekspresi River yang cenderung datar dan meremehkan membuat Wayne semakin murka. "Kau yang membawaku kemari?"
"Kuanggap itu jawaban iya."
"Apa maksudmu?" Wayne susah payah berdiri seraya mengatasi kebingungan. Dia tersadar dengan kata-kata River sesaat setelah dia terbangun, lalu langsung berjengit protes, "Tidak! Aku tidak mau membantumu, dasar sialan! Cepat keluarkan aku dari sini!"
Lantaran tidak mendengar tanggapan yang berarti, anak itu menghambur maju untuk menghajar River. Namun belum sempat mengayunkan tinju, River lebih dulu menonjoknya tepat di tulang pipi, sekonyong-konyong membuat Wayne terjungkal lagi ke lantai. Sial. Gerakan pukulannya begitu lihai dan enteng. Wayne merasa payah dan dipermalukan.
Sambil bangkit dan mengusap wajahnya yang bonyok, dia berteriak frustrasi, "Kau iblis kurang ajar! Aku akan membalasmu sebentar lagi!"
"Memangnya aku mau mengeluarkanmu dari sini?"
Gigi Wayne bergemeletuk menahan marah. Namun seketika saja, terbersit sesuatu di benaknya. Anak itu merogoh kantong celananya lalu menarik keluar remote kecil seukuran genggaman tangan. Sambil menyeringai puas, dia menghadap River. "Kau pikir kau bisa menang dariku, hah? Anjing harus menurut pada tuannya."
Lalu tanpa menunggu reaksi River, Wayne menekan tombol di remote-nya dengan kuat.
"Kenapa?" River menyungging senyum miring yang berkesan meledek. "Tidak mempan lagi, ya?"
"Bagaimana bisa ...?"
"Kalau kebodohanmu ibarat sebuah lubang yang kau gali, sekarang kau pasti sudah terbenam di dasar jurang," kata River seraya melangkah maju. Dia menyambar kerah pakaian Wayne dan menariknya mendekat hingga wajah keduanya hanya berjarak beberapa sentimeter saja, lalu menggeram, "Dengarkan aku, bocah. Aku tidak akan membunuhmu selama kau masih menuruti perintahku. Bekerjalah di bawah kakiku. Kalau kusuruh kau menjulurkan lidah, kau harus menjulurkan lidah."
Wayne berusaha tidak tampak gentar. Dia tertawa seraya menatap matanya lurus-lurus. "Kau pikir aku mau melakukannya?"
River menyentak kerah Wayne dengan kasar. "Kalau kau tidak mau melakukannya, aku tidak akan rugi apa-apa. Tapi kau akan kukurung di sini sampai kau mati kelaparan."
Ujung bibir Wayne berkedut jengkel. "Janeth tidak akan diam saja kalau aku tidak ada."
"O, romantis sekali. Kau menganggap dirimu penting di mata keparat itu, hm?"
"Kenapa? Tidak suka ya kalau aku dianggap berharga?"
River menatap Wayne dengan kening mengernyit. "Aku heran kenapa Juan dan Euros mau-mau saja berteman dengan orang sepertimu. Kau pengidap narsistik, huh? Kudengar mereka adalah sampah paling merepotkan di dunia ini."
"Sialan."
"Apa sampai sekarang kau belum juga sadar tentang siapa dirimu di mata Janeth?" kata River dengan sorot mata iba dibuat-buat. "Orang itu hanya memanfaatkanmu untuk bisa bertemu Claude. Dan setelah kita berdua sama-sama tahu bahwa Claude tidak bisa memberikan apa yang Janeth inginkan, Janeth akan mengganti posisimu dengan orang yang dinilai jauh lebih cerdik dan menguntungkan."
Wayne merasakan dadanya membara saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut River.
"Jangan menganggap dirimu rendah hanya karena masalah itu, anak manis. Kau bersamaku sekarang, dan asal kau tahu, keberadaanmu jauh lebih berguna daripada barisan pasukan monster bodoh di luar sana." Kata-kata Janeth, terngiang di benaknya, berdentum seperti bom yang mekar di tengah kesunyian. Wayne berharga. Dia jauh lebih layak dan berguna dibandingkan sekumpulan monster bodoh yang tidak bisa membedakan jam kerja dan jam istirahat. Bagaimana bisa Janeth mengganti posisinya semudah itu?
"Tahu apa kau soal Janeth?" Wayne mendesis murka. "Kau ini hanya makhluk berengsek yang berusaha menipuku."
"Kita bertiga akan sama-sama membuktikannya," kata River.
"Kita bertiga?" Wayne mengerutkan kening.
"Heaven akan menyebarkan rumor kalau kau adalah seorang pengkhianat yang kabur dari markas. Mari lihat bagaimana reaksi Janeth yang kau banggakan itu, apakah dia akan membelamu atau tidak."
Wayne merasakan jemarinya bergetar.
"Heaven, katamu?" Dia meringis jengkel, kepalang ingin meludahi River dari jarak sedekat ini. "Jadi selama ini kau bekerjasama dengan perempuan ular itu?"
"Yeah, ular satu itu memang partner yang lumayan kompeten untuk pekerjaan ini."
"Apa dia juga membantumu kabur? Memberimu tempat persembunyian?"
"Kenapa? Tidak suka ya karena aku punya bala bantuan?"
Wayne kehilangan kendali. Dia mengangkat lengan dan mengayunkan tinju secara asal di udara, tetapi River menghindari semua pukulan itu dengan mudah. Gerakan Wayne lamban. Membosankan. River menendang perutnya dengan lutut hanya satu kali, lalu anak itu langsung roboh menghantam lantai, memegangi perutnya dengan kesakitan. Sambil menyaksikan Wayne meracaukan kata-kata kotor, River menatapnya datar. "Wayne, kau masih terlalu muda untuk merasakan penderitaan. Sudahi kebodohanmu, dan bergabunglah bersama kita."
"Tidak! Aku tidak mau membantu kalian! Kalian pasti ingin mencuri serum dan membuat pasukan, lalu ingin menguasai dunia ini sendiri, kan?"
"Hanya orang bodoh yang masih memikirkan duniawi saat kau tahu dunia ini sudah di ambang kiamat."
Wayne belum sempat menjawab River, sebab pintu bunker tiba-tiba didorong dibuka dari luar. Seseorang masuk ke dalam, lalu menutup lagi daun pintunya dengan debum memuaskan.
"Heaven?" Wayne terperenyak.
Heaven menatap Wayne yang terpuruk di lantai, lalu tengadah menghadap River. Suaranya bernada berat sekaligus lelah, "Kau akhirnya jadi juga menangkapnya."
"Apa kataku? Ini rencana yang bagus. Kita tinggal meyakinkan si bodoh ini kalau pengabdiannya pada Janeth sia-sia," balas River.
"Aku tidak akan ikut-ikut kalian, dasar sialan!" Wayne melolong murka. "Dan kau, si kepala merah! Sudah kuduga kau adalah iblis yang menyamar! Aku akan memberitahukan semuanya pada Janeth, dan kau akan dibunuh―tidak! Kau akan dilempar ke tahanan para monster untuk dijadikan santapan hidup-hidup! Kau perempuan berengsek, jalang, bedebah kepa―"
Kata-kata Wayne terpotong lantaran Heaven menodongkan pistol ke keningnya.
"Bicara satu kata lagi dan aku tidak akan segan menembakmu."
Wayne membeku sejenak. Bola matanya bergetar resah menatap moncong pistol di hadapannya. "Kau ... hanya menggertak saja," lirihnya. "Kau tidak akan membunuhku dengan mudah kalau kau sudah susah payah membawaku kemari."
"Memang tidak akan kubunuh dengan mudah."
Lalu Heaven menggeser pistolnya sedikit ke kanan dan menekan pelatuk dengan mantap. Suara tembakan meletus. Wayne menjerit kala daun telinganya robek akibat tergores peluru yang menghantam lantai di bawahnya. Dia berguling ke samping, melolong kesakitan sambil memegangi telinganya yang mengucurkan darah.
Di antara keributan tangis yang membuat kuping pengar, River yang berdiri di dekat Heaven diam-diam menarik napas untuk menenangkan diri. Dia berbisik lirih pada sang wanita, "Kau yakin tempat ini kedap suara, bukan?"
"Sudah kubilang bunker kosong ini aman. Kau seharusnya memakainya sejak dulu untuk tempat persembunyian," kata Heaven, lalu berlutut di dekat Wayne seraya tetap menodongkan pistol pada wajahnya. "Nah, anak manis, aku memang tidak akan membunuhmu secara cuma-cuma, tapi aku bisa melukaimu dengan mudah, di tempat mana pun aku menginginkannya. Sekarang nyawamu ada padaku. Kalau kau kelewatan, aku bisa membuatmu cacat di beberapa bagian."
"Aku ... aku tidak bisa mendengar!" Wayne meracau panik sambil menutupi sebelah telinganya yang berdarah. "Kau membuatku tuli, bodoh!"
"O, mungkin gendang telingamu pecah akibat suara ledakannya."
Wayne tampak syok berat, jadi Heaven dan River terpaksa menunggunya beberapa waktu sampai anak itu terbiasa dengan keadaan. Ketika sudah lelah menangis dan menggerung seperti bayi, Wayne akhirnya hanya bisa berbaring lemah di atas lantai seraya menatap langit-langit dengan suram. Air mata membasahi pipinya, matanya bengkak dan kosong. Darah di daun telinganya yang robek telah berhenti mengalir.
Lalu, Heaven berkata, "Apa kau tidak memikirkan Claude yang ada di dalam sel?"
Satu telinga Wayne masih berfungsi, tetapi dia diam saja mendengar kalimat itu.
"Wayne," kata Heaven. "Masih ada waktu untuk berubah. Kami akan menerimamu kalau kau mau membantu kami untuk menghancurkan tempat ini."
"Aku sudah melakukan banyak hal untuk sampai ke titik ini," kata Wayne lemah. Atensinya masih terpaku pada langit-langit bunker yang tinggi dan gelap. "Aku mengorbankan semuanya ... demi ada di pihak Janeth. Dia memperlakukanku lebih baik daripada ibu dan ayahku. Dia menganggapku berharga ...."
Heaven bertukar pandangan dengan River, lalu wanita itu berkata, "Kau bukan benda."
"Aku tidak peduli dianggap sebagai apa. Aku hanya ingin diterima."
"Kau juga bisa mendapatkan hal itu bila bersama kami."
"Pembohong," Wayne bergumam lirih. "Pada akhirnya aku hanya akan menjadi anak yang dikucilkan, sebab orang-orang lebih menyukai sosok yang kuat, bukan?"
"Lalu kau percaya bahwa Janeth tidak akan mencampakkanmu suatu saat nanti?"
Wayne membuka mulut, tapi dia tidak tahu akan berkata apa. Dia rasa perkataan Heaven ada benarnya, akan tetapi dia tidak mau meyakininya. Sulit untuk menelan fakta bahwa semua pengorbanannya selama ini akan dilempar mentah-mentah.
"Wayne," kata Heaven lagi. "Janeth hanya memanfaatkanmu demi sesuatu. Sebatas itu saja. Dia mungkin membolehkanmu tinggal, tapi artinya kau akan terus diperbudak sekalipun itu seribu tahun lamanya. Apa menurutmu enak menjadi katak pekerja terus-menerus? Dikurung dalam tempurung sempit, dipaksa melakukan kejahatan, dan terancam mati bila membelot?"
"Bagaimana dengan kalian? Bukankah kalian akan memperlakukanku sama sepertinya? Kalian hanya akan memanfaatkanku untuk melancarkan misi, lalu menendangku ke jurang setelah semuanya usai!"
"Kami tidak akan melakukannya. Kami akan membebaskanmu setelah semuanya usai," kata River.
Wayne menatap River, mencoba menggali kebohongan di matanya, tetapi dia hanya melihat iris cokelat yang hampa, seakan melecutkan kejujuran apa adanya.
"Claude," kata Wayne dengan bibir berkerut kecut. "Claude akan membunuhku. Sebab dia pasti menganggapku pengkhianat."
"Claude menyayangimu," sahut River.
Kata-katanya seketika membuat Wayne mengernyit. "Mustahil dia merasakannya."
"Tidak, dia sungguh-sungguh memikirkanmu." River maju dan berjongkok di dekat Wayne. "Aku menyelinap ke penjara mereka setiap malam dan kami berbagi cerita. Claude mengaku pada kami bahwa dia tidak menyalahkanmu sedikit pun. Dia justru membenci dirinya sendiri karena tidak bisa menjadi abang yang baik untukmu."
"Wayne," kata Heaven. "Kau masih punya keluarga yang bisa memberimu cinta yang sesungguhnya."
Wayne merasakan sengatan pedih di pelupuk, jadi dia cepat-cepat melengos untuk menyembunyikan ekspresinya. Kata-kata mereka membuatnya terharu, tapi dia merasa tidak pantas dihibur dengan cara seperti itu. Claude, bagaimana mungkin orang itu masih menganggapnya keluarga, padahal dia sendiri sudah hampir melupakannya?
Mata Wayne memejam rapat, sekonyong-konyong ingatan tentang insiden masa lalu menggenangi pikirannya. Claude yang dikurung dalam ruang eksperimen Ayah ... tersiksa dan menderita. Lalu aku datang untuk menolongnya. Dahulu dia pernah menjadi pahlawan untuk abangnya sendiri. Dahulu dia pernah berkorban sehebat itu demi menyelamatkan abangnya. Tidak ada penyebab pasti yang membuat hubungannya putus dengan saudara sendiri, lantas sejak kapan hidup Wayne menjadi kacau balau dan kehilangan arah?
Ingatan-ingatan itu membawanya kembali ke duka masa lampau, menjepitnya dengan rasa bersalah dan penyesalan. Claude. Mengapa hubungan kita menjadi sekacau ini?
Tidak sanggup menanggung konflik yang bertumpuk, Wayne pada akhirnya menangis sesenggukan lagi. Anak itu menutupi mata dengan lengan dan merasa hancur berkeping-keping.
Claude, Claude, Claude.
Wayne tidak sadar bahwa selama ini dia merindukan abangnya.[]
-oOo-
.
.
.
Wayne ..... kira-kira bisa dipercaya tidak yaaaaa????
Apakah prajuritnya sudah lengkap? Udah siap buat pertempuran akhir? Kalian mengharapkan Janeth mati, kan? Aku akan mengabulkannya, tapi.....
Aku butuh tumbal satu lagi.
Siapa yang kalian pikir bakalan jadi tumbal kali ini, ngahahahaha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top