14. Winter is Coming
-oOo-
SETELAH tidak ada barang mencurigakan yang ditemukan di dalam mobil Claude, para penjaga gerbang menuntut mereka untuk memarkirkan mobil di lahan kosong di luar pagar perbatasan, tempat bercecernya kendaraan rongsokan lain yang sebagian mesinnya telah rusak karena dipreteli. Heaven bertanya-tanya apakah di Domehall hanya Claude saja yang menaiki kendaraan.
"Ada kelompok bedebah yang datang kemari dan merampas semuanya," kata salah satu penjaga yang lebih muda―belakangan Heaven tahu bahwa namanya Ruthes―sambil menunjuk kepalanya yang berbalut perban tebal. Eskpresi di wajahnya dilumuri kemarahan seolah-olah ingatan masa lalu menyengatnya lagi dengan rasa sakit. "Luka di kepala ini adalah ulah mereka," dia berkata sambil melengkungkan bibir ke bawah.
"Maksud kalian para ekskursionis sialan itu?" Euros menebak.
"Kalau ada kata yang lebih sopan untuk menggambarkan mereka, itu lumayan cocok."
"Siapa mereka sebenarnya?" Heaven bertanya.
"Cepat masuk. Kalian sudah terlalu lama menguras waktu kami." Si pria tampaknya tidak mau bercerita lebih banyak tentang apa yang terjadi sebelum ini. Claude dan kawan-kawan hanya saling menatap sambil melemparkan tanda tanya, lalu mereka memutuskan untuk mula-mula menyingkirkan masalah ini dan masuk ke pintu masuk terakhir yang sudah didorong terbuka.
Claude memimpin rombongan melangkah di luar ambang perbatasan. Mereka melihat orang―lebih banyak dari yang selama ini pernah dilihatnya―berseliweran di lahan kota Domehall yang lembab dan kumuh. Hampir semuanya berdandan lusuh dan compang-camping. Wajah-wajah mereka kurus kering, coreng-moreng oleh debu, tetapi mata mereka yang gelap dan cekung justru terlihat lebih liar dan waspada. Seolah-olah bencana yang terjadi di kota ini telah mewarisi mereka kekuatan baru untuk bertahan.
Domehall memancarkan keramaian yang suram sekaligus mencekik. Debu di udara menebal seperti asap kelabu yang meracuni pernapasan―berbau seperti sampah yang dibakar dan samar tercium aroma-aroma pembusukan yang tidak asing. Gedung-gedung yang sebagian besar pondasinya telah rusak, berdiri layaknya bangkai perkotaan yang membingkai bayangan mendung langit. Aspal di bawah kaki mereka sudah retak-retak―sebagian strukturnya hancur disapu ledakan dan meninggalkan celah lebar yang ditumbuhi lumut serta rerumputan liar. Cuilan atap, kertas-kertas, dan sampah dedaunan serta ranting berserakan. Ada kelompok-kelompok kecil yang menetap di dalam gedung atau membuat tenda di sepanjang jalan, berinteraksi satu sama lain―meminum sesuatu dari gelas, membersihkan senjata, atau berkutat dengan peralatan asing di hadapannya. Sebagian dari masyarakat bersikap lebih waspada. Mereka menatap rombongan Claude seperti burung pengintai, dan Claude merasa kedinginan serta gemetaran, tidak bisa mengenyahkan beban pikiran bahwa orang-orang ini barangkali tahu siapa dirinya yang asli.
"Mereka mengawasi kita," Nathaniel berkata lirih seraya mengusik pandangan seorang bocah perempuan di dekatnya. Anak itu duduk di dekat bonggol pepohonan yang roboh dan menatap mereka dengan berani. Di tangannya ada tulang paha ayam yang sudah kering, tetapi si bocah tampaknya masih berusaha menggerigiti tulangnya sampai habis tak bersisa.
"Kurasa sekarang waktu yang tepat untuk bertanya soal Janeth," kata Euros sambil menyapu pandang sekeliingnya dengan muram, "Tempat ini membuatku gelisah. Mereka menatap penyintas baru seperti melihat kelinci buruan."
"Kita harus mencari temanku secepatnya," Heaven mengusulkan.
Claude berpaling padanya dan berkata, "Di mana dia?"
"Aku tidak tahu, tapi kata Noah, temanku pergi ke Domehall untuk mencari perlindungan."
"Kota ini sangat luas. Kemungkinan kita tak bisa menemukannya dengan mudah." Claude menatap hamparan gedung-gedung yang sudah rusak dan kepikiran untuk berkunjung ke sana terlebih dahulu. Dia mengajak rombongannya berbelok ke sudut jalan dan menepi dari keramaian, menuju salah satu gedung kecil yang tak menarik perhatian. Jalanan di hadapan mereka larut oleh debu dan bising oleh percakapan serta suara logam-logam yang ditempa. Nathaniel melihat, dari dalam sebuah gedung yang kaca-kacanya pecah, ada sekelompok orang yang mengawasi mereka.
"Empat laki-laki," Nathaniel berdesis di dekat Claude, memastikan bahwa dia tak salah memperkirakan ada berapa orang yang bersembunyi di dalamnya. Pandangannya menyorot ke atas, pada dinding kelabu gedung yang memantulkan sinar kusam langit. Barangkali jumlah mereka lebih banyak dari yang diperkirakan.
"Kita datangi mereka," usul Claude, lalu menghampiri lebih dekat.
Euros berkomentar lirih sambil memandangi Heaven, "Lihat, muka mereka ramah sekali." Lalu menatap suram pada tiga pria berwajah cemberut di kejauhan sana.
Saat mereka semakin dekat, suara-suara lebih keras terdengar. Claude bisa melihat empat orang pria sedang membuat senjata dengan memukul-mukul besi menggunakan batu. Salah satu di antara mereka berhenti mengayunkan batu ketika melihat rombongan Claude, yang melangkah melewati ambang pintu kaca yang telah rusak. Dengan gaya kalem, Claude membersihkan serpihan kaca dan debu yang menempel di pundaknya. Para pria yang mengawasi di dekat lobi menatap mereka dengan sorot muak dan sinis.
"Tidak ada tempat untuk pengunjung baru di sini." Tatapannya keras dan penuh luka, kental dengan kewaspadaan.
"Kami sedang mencari orang," Heaven menyahuti sambil setengah mengernyit heran. Pandangannya mendarat pada kalung dari gigi-gigi taring yang digantungkan di leher pria ini. Belum sempat memikirkan dari mana asal gigi itu, penyelidikan lebih jauh membuat mereka lebih merinding lagi. Euros melihat batu-batu yang para pria gunakan untuk menempa senjata, rupanya terbuat dari bonggol tulang berukuran kepalan tangan.
Claude mendapati semua pria asing di hadapannya menyeringai tipis, dan dia tahu bahwa mereka telah menangkap tanda-tanda kecurigaan darinya.
"Kami tidak punya waktu untuk berkenalan dengan seluruh orang di kota ini." Si pria yang berdiri di dekat pintu berkata demikian. Dia memiliki ukiran tato di bawah mata yang bertuliskan; KILL THE MONSTERS, menatap mereka dengan pandangan mencela. "Pergilah," lanjutnya. "Cari tempat lain yang mau mengurus bokong merepotkan kalian."
"Dari mana asal kalung itu?" Claude tak tahan untuk tidak bertanya. Sejak tadi hatinya digelayuti pikiran negatif tentang kumpulan manusia mengerikan ini.
"Sudah tentu, kan?" Pria yang mengenakan kalung menjawab dengan seringai keji, "Kami membunuh para monster dan mencabut giginya."
"Tidak mungkin," Euros bergumam dengan kening mengernyit. "Memangnya kalian tidak takut terinfeksi?"
"Ada yang lebih menakutkan daripada itu? Kami sudah terbiasa menghadapi rasa takut."
"Kalian sungguh menganiaya monster?" Nathaniel seakan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Keempat pria itu mengingatkannya dengan barisan ilmuwan sinting yang mengurung spesimen seperti Claude di ruangan bersekat kaca dan memotong tangan dan kakinya berkali-kali. Bedanya, mereka melakukannya untuk bersenang-senang dan mendapat pengakuan. Orang-orang ini barangkali lebih keji dari dugaannya.
"Kami memberi rasa sakit yang sama pada makhluk yang berusaha membinasakan kita," kata pria itu, terkekeh. Senyumnya tidak cocok berada di tempat seperti ini. "Kami adalah pahlawan bagi umat manusia."
Pahlawan. Claude menatap mencela pria itu.
Ada benang kalut yang mengitari dadanya, dan Claude berpaling kepada ketiga rekannya untuk mengirimkan pesan waspada. Saat pertama kali mendengar nama Domehall, Claude membayangkan tempat pengasingan yang dipenuhi masyarakat putus asa dan memohon dengan tangisan berderai-derai. Namun, Domehall yang sebenarnya sangat berbeda dari apa yang dia duga. Tempat ini adalah wadah bagi orang-orang yag melakukan aksi pembangkangan dan gencatan balas dendam kepada para monster. Penduduk di dalamnya sepertinya telah didesain untuk menangkap dan menguliti monster hidup-hidup. Senjata-senjata yang mereka gunakan, walau terlihat apa adanya, cukup keji untuk menjebak dan mengeroyok monster beramai-ramai. Claude tanpa sadar menelan ludah, bukan karena takut dirinya akan menjadi sasaran, tetapi karena takut dia harus membela diri dan terjun untuk membunuh demi menghentikan tindakan mereka.
"Kata-katamu sungguh terdengar naif. Dari mana kalian berasal?" Si pria bertato bertanya. Matanya menelisik tajam perangai Nathaniel yang terlihat menantang. "Kau prajurit?" Tebakan tepat.
"Winter," kata Heaven, tidak berminat lagi untuk menunggu lama-lama. "Kami datang kemari untuk mencari Winter."
Nama itu membuat empat pria di hadapan mereka berjengit. Claude menangkap raut tegang itu, dan merasa sepertinya telah menyentuh tombol kutukan. Seorang pria yang sejak tadi hanya duduk sambil menyeringai menikmati obrolan, kini berdiri. Dia lebih pendek dari yang lain, tetapi tampangnya paling keji. "Apa tujuanmu mencari dirinya?"
"Jadi kalian tahu Winter?" Euros berkata setengah meledek, lalu bergumam pada Nathan, "Oh, kota ini benar-benar sempit."
"Katakan di mana dia," Heaven mengulang.
Pria itu keluar dari bangkunya dan menghampiri Heaven. Claude menangkap pergerakan waspada dari ketiga kroninya yang lain. Mereka semua mendekat dan saling menggenggam senjata terdekat. Si pria yang mengayunkan batu kini tampak meremas erat batunya hingga jemarinya bergetar.
"Hei, mundur," Claude menarik Heaven mundur, tetapi wanita itu menepis tangannya dan malah bergerak maju.
Wajahnya mendongak―menantang si pria berwajah keji. "Aku tidak mau mengulang pertanyaanku," Heaven berdesis dingin.
"Kau bisa mendapatkan informasi yang kaumau." Pria berwajah keji itu menatap dari bawah dan menyeringai lebar, menampakkan gigi-giginya yang kurang terawat. "Tapi tentu tidak gratis."
"Apa yang harus ditukar?"
"Senjata, mungkin?" Pria itu menggosok-gosok dagunya sambil memasang raut menilai. Dia berpaling pada kroninya di belakang dan saling melempar pendapat dalam bisu. Si pria yang bertato menarik napas dalam-dalam dan menunjuk senjata di pinggang Heaven. "Kau punya pistol mutakhir itu. Berikan pada kami." Seorang di antara mereka memandang mengernyit dan berbisik pada teman di sampingnya, seolah-olah mereka tahu sesuatu tentang pistol itu.
"Penawaran yang lain," kata Heaven, menjaga suaranya agar tetap tenang.
"Kami mau yang itu," si pria bertato menekan nadanya.
"Tidak, bagaimana kalau dua pistolku?" Nathaniel berkata, kemudian dia melucuti dua pistol di pinggang dan mengacungkannya di hadapan para pria, yang malah memberikan cengiran konyol dan saling tertawa meledek satu sama lain.
"Kau pikir kami bodoh? Yang kami butuhkan adalah pistol milik perempuan ini, bukan milikmu."
"Tiga, dengan punyaku," Claude mendadak berkata. Kemudian dia melepas sabuk senapan di punggungnya dan meletakkan senjata mengerikan itu di atas meja. Heaven menatap tak percaya pada senapan serbu yang digosok mulus itu. Dia tak pernah menyangka bahwa Claude pun akan mengorbankan benda yang dia kira jauh lebih penting dari nyawanya sendiri.
Sementara itu, keempat pria tampaknya goyah ketika melihat senapan milik Claude. Itu adalah jenis AK-103 berlaras panjang yang kelangkaannya dapat disandingkan dengan M16. Sangat cocok untuk membedil monster dari jarak terjauh dan meledakkan kepala mereka dengan serbuan tembakan jitu. Para pria terdiam sejenak, saling bertatapan, lalu yang bertato lagi-lagi berceletuk, "Kami akan terima semua senjata ini, tapi dengan tambahan."
Pandangannya merambat pada Heaven dan mendadak saja ada seringai melecehkan muncul di ekspresinya. "Wanita ini jadi milik ka―"
Claude belum beranjak satu sentimeter pun dari tempatnya sebelum dia melihat pria bertato itu tahu-tahu saja telah tersungkur di lantai. Sementara Heaven mengungkung di atasnya, meninju wajahnya dua kali dan memastikan hidung pria itu patah. Darah mengucur melewati pipinya, dan erangannya terdengar pilu.
Bagai disambar petir―tiga orang rekan lainnya langsung menghambur menyerang Heaven. Namun Claude lebih dulu menghadangnya. Dia menyodok si pria berwajah keji dengan sikunya dan melayangkan tendangan pada yang lain. Seorang pria yang wajahnya penuh bekas luka meradang bengis; menyambar tombak di dekat pintu dan mengayunkan ujungnya yang tajam pada punggung Claude; Nathaniel mendomprak pria itu dengan keras―membuat keduanya jatuh bergulingan. Tombak lucut dari tangannya, berkelontangan di lantai. Euros menyambar senjata itu dengan gesit dan langsung menodongkan ujungnya secara bergantian kepada orang-orang yang bergumul di lantai. "HENTIKAN ATAU TOMBAK INI AKAN MENYASAR LEHER KALIAN!"
Teriakan itu membuat semua orang berhenti. Para pria terkapar sambil terengah-engah. Heaven, sementara itu, beranjak dari tubuh si pria bertato seraya memandanginya dari atas dengan luapan kekejian bak psikopat. "Sekali saja kau berniat melecehkanku, aku tak segan-segan menggorok lehermu," dia berdesis lirih.
Claude dan Nathaniel juga turut bangkit, menepuk-nepuk pakaian dari debu dan saling memeriksa keadaan satu sama lain. Belum usai menikmati keletihan, tepuk tangan seseorang mendadak saja terdengar dari puncak tangga di sudut ruangan. Rombongan Claude mendongak dan melihat seorang pria tua menuruni anak tangga satu per satu. Tubuhnya kurus, tetapi langkahnya lebar dan semangat, terlepas dari betapa tua kondisinya. Wajahnya belepotan debu, tetapi tatapannya nyalang dan hidup. Suaranya meraung parau ketika berkata, "Sudah lama aku tak melihat pertunjukan gratis macam ini."
"Siapa kau?"
Claude melontar pertanyaan tajam itu. Selagi menunggu jawaban, mereka menyaksikan Heaven tiba-tiba memangkas langkah menghampiri si pria tua. Peristiwa itu terlihat konyol, mengingat mereka sepertinya tak pernah bertemu sebelum ini―atau setidaknya begitulah yang Claude pikirkan, sebelum dia melihat apa yang terjadi berikutnya; Raut pria itu berubah ketika menatap Heaven. Eskpresi terpana sebelum ini luntur, digantikan dengan kernyitan terheran-heran seolah baru saja melihat mayat yang bangkit dari kematian.
Pria itu berkata parau, "Vivy? Kau masih hidup?"
"Di mana anak itu?" Heaven menyerobot panik. Tatapannya yang resah bergulir menyapu seluruh ruangan, seolah-olah wanita itu baru menyadari sesuatu yang penting. Claude menyaksikan keganjilan Heaven dan langsung menghampirinya. Sementara itu, si pria tua mengangkat kedua tanganya dan menggeleng berat. Alisnya menukik turun menunjukkan penyesalan yang teramat dalam, dan dia mulai membungkuk untuk meredakan amarah Heaven. "Oh, Vivy, maafkan aku, dia ... dia sudah tak bersamaku."
"Apa maksudmu? Kau membawanya dariku!" Heaven hampir melayangkan protes berupa pukulan tepat sebelum Claude memeganginya dari belakang. Sebuah kenyataan menghunusnya. Dari sikap yang diterakan oleh pria ini, Claude tersadar bahwa Heaven telah bertemu dengan teman lamanya―Winter.
"Di mana dia? Kau bawa ke mana dia, Winter?" Wanita itu memberontak, tetapi Claude mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuat Heaven tidak kehilangan akal. Keributan yang mereka timbulkan bisa membuat segalanya runyam. Mereka tidak boleh berbuat onar lagi.
"Wanita itu datang dan mengambilnya," Winter berkata berat. "Ilmuwan sinting itu―Janeth."
Nathaniel dan Euros, yang mula-mula berada di dekat pintu, tergerak untuk mendengarkan lebih jauh. Mereka menatap satu sama lain dan setuju bahwa Winter benar-benar tidak bercanda ketika melontarkan nama Janeth.
"Kau kenal Janeth?" Claude bertanya tanpa repot-repot melembutkan suaranya.
"Ya, tentu," pria itu berkata lagi. Kali ini tatapannya membulat penuh teror, "Dia adalah orang yang beberapa minggu lalu datang kemari bersama kroni monsternya dan memporak-porandakan Domehall."[]
-oOo-
.
.
.
Ei, haloo....
Minggu depan kita melipir bentar ke River dkk yaaa. Siapa yang udah kangen sama mereka? :"
Btw jangan lupa baca novelku yang lain!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top