46. Tamu Tidak Diundang
Ada yang kangeeennn?
IHATRA terbangun di sofa ruang tamu dalam posisi terlentang; satu kakinya naik dan menekuk keluar dari punggung sofa, sementara lengan kirinya terhampar ke karpet menindih remote televisi. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata, bibirnya mengerucut seperti bebek. Secara ogah-ogahan jemarinya meraba sofa untuk menemukan ponsel yang sejak tadi berbunyi nyaring.
"Buset ini adzan subuh aja belom, dasar orang gila!" Erangan jengkel itu diikuti jemarinya yang menyambar ponsel di antara lipatan sofa. Nama Jayden muncul di layar, tetapi Ihatra hampir tidak punya kendali untuk bersikap ramah. Maka ketika panggilan itu terhubung, kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah umpatan kebun binatang;
"Kampret lo, babi! Ngapain sih telepon segini paginya?"
"Lo ... hati-hati! Habis ... dateng ...."
Suara Jayden muncul-tenggelam seperti gangguan sinyal.
Ihatra mengucek matanya dan membalas dengan tidak sabar. "Apaan, Jay?"
"Dia ... dalam perjalanan ...."
"Hah, dia? Dia siapa? Siapa mau ke mana?"
"Dengerin makanya―bego! Lo ... rumah lo! Jangan pergi!"
"Jay, woy? Suara lo kepotong-potong!"
Ihatra lekas bangkit dari sofa, lalu menatap layar ponsel. Ketika dia membaca pesan otomatis yang memintanya memeriksa perangkat dan koneksi internet, benaknya mulai menangkap tanda-tanda tidak beres. Ihatra baru saja hendak menuju halaman belakang untuk mendekat ke router WiFi ketika mendadak―tanpa pemberitahuan ataupun prasangka―listrik di rumahnya padam.
Sambungan telepon seketika terputus.
Ihatra membeku di ruang tamu yang gelap gulita.
"Sial," rutuknya lirih, lalu buru-buru menyalakan senter dengan tangan gemetar. Paniknya kumat sehingga ponsel yang digenggamnya justru jatuh hingga berbunyi prak!
Pria itu berjongkok dan meraba-raba lantai, sambil berusaha mengendalikan laju napasnya yang memburu cepat. Ketika dadanya mulai nyeri lantaran aliran darahnya naik drastis, Ihatra akhirnya menemukan ponsel yang telah terpelanting satu meter jauhnya. Dia segera menghadapkan layarnya yang bersinar di depan, lalu merangkak menuju jendela kebun yang masih terkunci dan tertutup tirai.
Sret! Suara tirai disibak. Serbuan cahaya dari lampu halaman menyinari kegelapan di dalam. Ihatra terhuyung-huyung bangkit dan langsung membuka kunci jendela, lalu keluar ke kebun dan duduk di undakan terasnya yang cukup terang.
Dalam hitungan menit, rasa takutnya perlahan surut. Jantungnya masih berdebar, tetapi tidak sekencang tadi. Sungguh sial. Berkali-kali Ihatra merutuki listrik tempat tinggalnya yang sejak dulu selalu bermasalah. Padahal fasik kediamannya lebih modern dibandingkan pemukiman di sekitar, tetapi ternyata rumah ini hanya kelihatan indah di luar saja. Listrik dan segala fasilitasnya masih sama payah seperti lingkungannya yang lawas dan serba terbatas. Kapan-kapan Ihatra akan minta bantuan Pak Ersan untuk menyediakan sumber alternatif yang bisa menolongnya kalau-kalau mati listrik lagi.
"Ah, Jayden tadi telepon!" Sadar dengan situasi, Ihatra segera memeriksa layar ponsel, lalu lekas membuang napas kecewa. Seperti yang sudah diduga, panggilan sudah terputus, padahal pesan dari Jayden belum tersampaikan lengkap.
Seraya mengucek matanya yang masih pedas karena bangun tiba-tiba, Ihatra mengutak-atik ponsel sebentar. Jemarinya mengirim pesan singkat kepada Jayden, tetapi dia lekas mengumpat ketika menerima pesan otomatis dari provider bahwa pulsanya sedang dalam masa tenggang sejak berminggu-minggu lalu. Ah, sialaaan! Karena terlalu asyik hidup di desa, Ihatra tidak sempat menaruh perhatian pada hal sepele seperti ini.
"Duh, si Jayden tadi bilang apa dah? Suaranya enggak jelas."
Kesal karena insiden beruntun ini, Ihatra menundukkan kepala dan mencoba mengingat-ingat apa yang tadi Jayden katakan. Dia bakal dateng katanya? Dateng ke mana? Ke rumah gue? Dia itu siapa?
Tidak punya banyak petunjuk, Ihatra akhirnya cemas. Andaikan ada kuota internet, mungkin dia akan memberanikan diri mengecek berita di media sosial, untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang menjadi sasaran pers dan paparazzi. Dan, yang lebih penting dari itu, mengapa sampai sekarang Jayden tidak menghubunginya lagi?
Langit masih gelap. Adzan subuh pun belum berkumandang. Daripada memusingkan pesan Jayden, sekarang ada sesuatu yang lebih darurat untuk dikhawatirkan. Ihatra jadi tidak bisa masuk rumah karena takut gelap, dan dia tidak tahu bagaimana cara Pak Ersan menyalakan listrik seperti tempo lalu ketika seluruh lampu di rumahnya padam.
Namun bila dilihat dari tanda-tandanya, sepertinya kali ini memang bukan korsleting biasa, melainkan memang ada pemadaman dari pusat. Dulu sekali Pak Ersan pernah mengatakan pada Ihatra bahwa Desa Pinggala kadang-kadang mengalami pemadaman bergilir yang biasanya dimulai pagi hingga siang. Bila benar, maka Ihatra sudah tidak bisa berkutik apa-apa. Pilihannya adalah dengan melanjutkan tidur di teras, atau menghabiskan waktu sampai subuh seraya menggulir-gulir layar ponsel yang kini tidak menarik sedikit pun. Ihatra lebih senang berangkat tidur lagi. Dia tidak masalah dengan cuaca dingin yang menusuk punggungnya seperti duri, yang penting dia bisa memejamkan mata dan melanjutkan mimpi...
Dan, hanya dalam beberapa menit, pria itu sudah berbaring nyenyak di teras halaman yang terbuka. Sama sekali tidak terganggu dengan dengung nyamuk yang menggigiti leher atau sapuan angin subuh yang mencabik-cabik kulit.
Tidurnya disela mimpi random tentang putri duyung yang duduk di atas batu-batuan karang. Kali ini putri duyung yang berwajah mirip Tsabita itu mendekat pada Ihatra sambil menyapukan ekornya, membelai lengan dan mengusap dagu Ihatra tanpa rasa bersalah. Putri duyung itu tertawa sambil bernyanyi dengan nada ganjil yang aneh―bagaikan campuran bunyi ombak menghantam karang dan tabuhan alat musik yang kencang. Ketika Ihatra mencoba menggodanya, sosok itu berputar dari batu karang untuk memeluk Ihatra dari belakang, membisikkan sesuatu di telinganya.
"Jangan di sini."
"Apa?" Ihatra nyengir tipis sambil menggenggam tangan sang putri duyung.
"Kubilang jangan di sini."
"Iya, enggak di sini."
"Jangan di sini tidurnya, babi."
"Babi?" Ihatra mengerutkan kening, kemudian menoleh ke bahunya. Sekonyong-konyong terkejut ketika melihat paras ayu putri duyung itu berubah menjadi wajah Jayden.
Bak sebuah adegan film yang dipotong dengan tiba-tiba, mimpi itu berakhir begitu saja. Kelopak mata Ihatra terbuka lebar di dunia nyata, dan hal pertama yang dia rasakan adalah sekujur tubuhnya yang menggigil kedinginan. Hidungnya juga sangat gatal, jadi dia bersin-bersin heboh sampai tidak sengaja mengeluarkan ingus. Sambil terhuyung-huyung bangkit, Ihatra pelan-pelan mengingat rentetan kemalangan apa yang membuatnya menjadi terserang flu mendadak. Setelah itu barulah dia menyesali hasil dari perbuatannya sendiri yang ceroboh.
Kalau Jayden tahu, pasti anak itu akan marah besar sambil mengutuknya;
"Lo udah janji bakalan jaga kesehatan buat gue kan, Yat? Dasar babi lo!"
Uh, sudahlah. Tidak ada gunanya mengingat-ingat wajah anak itu. Yang ada Ihatra bertambah mual dan pusing. Maka dia berdiri dengan hati-hati dan masuk ke rumahnya yang mulai tersadur sinar biru pucat. Listrik masih padam, tetapi setidaknya ada jejak sinar yang membantunya melihat dalam kegelapan. Sepertinya sudah hampir lewat waktu subuh. Jadi, Ihatra buru-buru mengambil wudhu untuk melaksanakan ibadah. Dia baru saja selesai melipat sajadah ketika terdengar bunyi bel pintu.
Kalau itu Pak Ersan, seharusnya dia tidak perlu membukakan pintu, sebab Pak Ersan biasanya akan langsung pergi ke pekarangan untuk mengurus kebun. Lalu siapa yang pagi-pagi begini bertamu?
Sambil masih mengenakan sarung, Ihatra menuju lorong pintu utama. Di tengah perjalanan, dia sempat berpaling ke jendela kebun dan melihat Pak Ersan sedang melambai-lambaikan tangan kepadanya. Loh, loh....
"Loh, Pak?" Ihatra menghampiri Pak Ersan sebentar, lalu menggeser jendela halaman agar terbuka. "Kirain yang mencet bel di luar Bapak. Siapa dong?"
"Itu tamu, Nak. Kebetulan tadi dia ketemu Bapak di jalan, katanya nyari rumah kamu. Bapak arahin ke sini dan Bapak suruh pencet bel sendiri aja." Lalu Pak Ersan mengintip sekilas dari balik bahu Ihatra. "Oh iya, maaf ya, Bapak kemarin lupa bilang kalau hari ini bakalan ada pemadaman. Tapi cuma sebentar kok. Sekitar jam delapan nanti nyala lagi. Omong-omong wajahmu kenapa? Kok pucet gitu?"
"Oh, saya―hatchiii!" Ihatra menutup hidungnya. Pak Ersan menepuk-nepuk pundaknya sambil tertawa kecil.
"Kok bisa-bisanya kamu kena flu begini toh, Nak."
"Anu, tadi saya―"
"Gih, samperin dulu cewekmu. Nanti Bapak belikan obat."
Tidak punya waktu meresapi perkataan Pak Ersan, Ihatra melenggang ke pintu. Bunyi bel bukannya berhenti kini semakin menjadi, seolah yang menjadi tamunya sungguh tidak sabar. Kepala Ihatra pusing bukan main, dan sekarang telinganya pengar karena mendengar kehebohan tamunya yang memencet-mencet bel dengan brutal.
"Sabar, woy! Sabar!" gerutunya.
Setelah membuka kunci, Ihatra menjeblak pintunya lebar-lebar.
Dan, jantungnya seakan melorot jatuh ke lantai saat itu juga.
"Kak Iyaaat!"
Tidak. Tsabita tidak pernah memanggilnya dengan nada manja diseret-seret begitu. Kali ini yang memanggilnya adalah perempuan lain. Jauh lebih muda, dan lebih berbahaya.
"Kak Iyat kok bengong? Kaget ya aku ke sini?"
Rambut lurusnya yang dicat pirang melambai-lambai tertiup angin ketika Anastasya menyela masuk tanpa permisi. Gadis itu menggandeng lengan Ihatra dan bergelayut manja di dekatnya, secara tidak tahu malu berjinjit dan mencium pipi Ihatra, lalu tertawa kecil sepantasnya remaja yang tersipu malu. "Puppy, why are you silent?"
Ihatra yang terkejut, langsung mengerjapkan mata dan memandangi Tasya yang kini melepas diri darinya. Mendadak saja bulu kuduknya meremang seperti melihat hantu, tetapi pria itu tetap menjaga nada suaranya agar terdengar normal.
"Kamu tahu dari mana ...."
"What? Rumah Kakak?"
Ihatra tidak membalas apa pun, hanya menatap dengan tajam. Tasya menggigit bibir dan menyeringai kecil, "Dari manajernya Kak Jay."
Tanpa sadar Ihatra menggertakkan rahang dan menelan ludah.
Jayden babi ....
"Tasya," kata Ihatra, berusaha sabar. "Kamu ... sendirian?"
Tasya berpaling ke pintu depan, lalu menunjuk koper besar berwarna kuning yang terparkir rapi di dekat ambang pintu. "Aku sengaja nyusul Kakak ke sini sendirian."
"Adam?"
"He's fine. Udah ngebolehin kok."
Oh, tidak, tidak, tidak.
"Bukan, maksudnya...."
Rasanya seluruh darah dalam kepala Ihatra terkuras. Pria itu terhuyung mundur sehingga kakinya tidak sengaja tersenggol kabinet sepatu. Dia hampir jatuh ke belakang, tetapi Tasya secara sigap memegangi lengannya. Gadis itu berdempet-dempet di dekatnya seraya memasang tampang khawatir, "Kak? What's wrong? You okay?"
"A-ah ... diem bentar...."
Kepala Ihatra pusing, dan ini pasti bukan hanya karena flu yang dialaminya, melainkan karena Anastasya yang muncul di rumahnya tanpa aba-aba. Sekarang Ihatra bisa menyimpulkan sesuatu. Gadis inilah yang dimaksud Jayden di telepon tadi pagi. Dan sekarang, setelah segalanya terlambat untuk dicegah, Ihatra tidak bisa berbuat apa-apa selain memastikan keberadaan Anastasya tidak mengundang kekacauan yang lebih besar kelak. Namun, apakah bisa? Apakah gadis ini bisa menjaga rahasia? Apakah gadis ini tahu untuk apa tujuan Ihatra datang ke Pinggala? Bagaimana bila rahasianya terbongkar dan semua orang tahu tempat persembunyiannya?
Bagaimana bila....
Entah bagaimana, skenario masa depan mengerikan mulai terbentuk di benaknya. Ihatra tidak bisa melawan semua itu karena sekujur tubuhnya gemetar tidak jelas dan kepalanya pusing bukan main. Tasya, yang sepertinya mulai sungguh-sungguh khawatir, memeriksa kening Ihatra dengan telapak tangannya, lalu memekik tepat di telinganya; "Kakak demam loh!"
"Tasya, kamu pulang aja―"
"Kak, ayo kita ke rumah sakit!" Tasya menarik-narik lengan Ihatra dan menuntunnya agar duduk di sofa ruang tamu, secara panik meraba-raba tubuh Ihatra dan memeriksa temperatur di perpotongan leher dan pipinya. Pria itu merasa tidak nyaman dan berkali-kali mencoba menjauhkan tangan Tasya yang menggerayangi dirinya dengan tidak sopan, tetapi gadis itu sama sekali tidak punya kepekaan untuk menerjemahkan ekspresi merengek di wajah Ihatra.
"Untung aja aku cepet dateng. Bisa gawat kalau Kak Iyat dibiarin lebih lama!"
"Tasya, please ...."
"Ya, ya, I got you! Aku bakal tolong Kakak!"
"Bukan! Kamu harusnya enggak di sini!"
"Saking senengnya ketemu aku, Kakak sampai ambruk gini, ya?"
"Jangan gila kamu, Tasya...."
"Kak, I've been crazy about you since then. No need to doubt it." Lalu Tasya berpaling ke belakang tepat ketika Pak Ersan muncul dari arah kebun yang terbuka. "Oh, Bapak tukang kebun yang tadi! Pak, tolongin! Tolongin!"
"Saya tadi denger suara ribut, ada apa?" Terdengar nada cemas dalam suara Pak Ersan. Pria itu menghampiri sofa dan atensinya praktis terpaku pada Ihatra yang bersandar lemas di sofa. Wajahnya diliputi ketegangan bercampur gelisah, tetapi yang lebih parah daripada itu, suara melengking dan serak Ihatra membunyikan alarm pertolongan dalam kepada Pak Ersan;
"Harusnya Bapak bilang enggak tahu alamat rumah saya!"[]
-oOo-
.
.
.
Kalian bisa nebak Anastasya cewek yang kayak gimana? Nantikan keseruannya awowkwowk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top