18. Rubi

“MAYAT WANITA DITEMUKAN DALAM KEADAAN KERING: MONSTER PENGISAP DARAH KEMBALI BERAKSI" 


“Mayat yang diduga kuat adalah seorang wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun ini ditemukan tidak bernyawa di atas balkon rumahnya, di West 45rd Street, Ruswer, Alaska. Belum ada penjelasan saintis terkait penyebab kematian yang menimpanya. Korban ditemukan dalam keadaan kepala nyaris terpisah dari tubuh, sementara semua jaringan organ dan kulitnya mengering―membuat mayatnya menyerupai mumi. Tim forensik masih ragu dalam mengidentifikasi fenomena ini sebagai proses mumifikasi, lantaran ditemukan adanya ketidakcocokan data antara rentang waktu proses mumifikasi yang sebenarnya dengan waktu kematian korban yang cenderung jauh lebih singkat. Selain itu, minimnya saksi mata membuat kasus ini lagi-lagi masuk ke jajaran kejadian aneh yang belakangan ini terjadi di Ruswer. Banyak orang menduga-duga, atau percaya, bahwa pelakunya adalah makhluk pengisap darah yang kita sendiri sering mendengar namanya―vampir, dimana makhluk ini  ….”

Cordelia mengguncang lengan Jade sehingga pemuda itu berkedip sadar. Dia berpaling dari televisi dan menangkap gurat kecemasan di wajah gadis itu, “Jade, ini persis seperti rumor yang kudengar dari empat orang pria yang melukaimu waktu itu.”

Jade membasahi bibirnya yang tiba-tiba kering. “Itu bukan perbuatanmu, kan?”

Cordelia menggeleng. “Kau kan tahu aku ada bersamamu di teras.”

“Kalau begitu siapa?” Jade mendongak menatap televisi lagi, dengan raut berpikir-pikir. Sekejap kemudian pemuda itu merundukkan kepala dan berbicara dengan nada super pelan kepada Cordelia, “Apa mungkin pelakunya adalah sebangsamu? Kau yang tahu sampai mana batas-batas kemampuanmu, bukan? Apakah kau bisa membunuh orang dengan cara seperti itu?”

“Itu ….” Cordelia meremang sejenak. “Itu bisa saja, tapi … aku tidak tahu siapa pelakunya.”

“Kalau pelakunya adalah makhluk sepertimu, apakah mereka juga sama-sama muncul dari lukisan?”

“Entahlah, bisa jadi mereka sudah hidup lebih dari ratusan tahun. Tapi setahuku, anugerah keabadian itu hanya dimiliki oleh abare murni yang kami sebut Leluhur. Mereka adalah abare yang tidak terikat dengan budak darah, sehingga kehidupannya berlangsung amat lama dan tidak terpengaruh oleh usia manusia-manusia di sekelilingnya.”

Jade mengernyit mendengar hal itu. 

“Jadi yang membunuh wanita itu adalah Leluhur kalian?” 

“Sulit mengatakan demikian. Leluhur kami adalah entitas yang sangat agung … mereka menjaga kemurnian rasnya dan sangat teliti dalam berperilaku. Rasanya tidak mungkin bila mereka membunuh orang sembarangan dan meninggalkan jejak sejelas ini….” Kemudian Cordelia memejamkan mata sejenak. Alisnya yang gelap berkerut seolah berusaha menggapai kepingan memori yang terlepas dari kepalanya. “Oh, andai saja, andai saja aku mengingat semuanya, Jade. Aku tidak tahu apa yang terjadi … aku tidak punya petunjuk apa-apa….”

“Hei, tenanglah,” Jade memegang tangan Cordelia yang terhampar di meja, meremasnya pelan. “Tidak perlu buru-buru, Cordelia. Kita punya banyak waktu untuk menyelidiki.”

“Aku ragu soal itu.” Cordelia mendongak menatap televisi dan kembali berpaling pada Jade. “Mereka bilang rumor ini sudah ada sejak belakangan, bukan? Itu artinya korbannya tidak hanya satu. Kita tidak bisa bersantai-santai menyelidiki sementara korban yang lain berjatuhan, bukan?” 

Jade berdecak. “Kau benar. Waktu kita tidak banyak.”

-oOo-

Sisa hari itu berlangsung lebih suram dari apa yang selama ini Jade bayangkan. Sepulang dari kedai makan, mereka kembali ke rumah dan melihat Joseph sedang bersantai di ruang tamu sambil menonton televisi. Di hadapannya, ada beberapa keping kaset DVD yang terabaikan. Pemuda itu menyambut Jade dan Cordelia dengan gayanya yang malas dan terkantuk-kantuk. 

“Hei, pasangan manis, bagaimana kencan hari ini?”

“Tutup mulut, Josh.” Jade melengos pergi ke dapur dan langsung meminum air dari keran, sementara Cordelia duduk di sofa yang sama dengan Joseph dan tanpa berkata apa-apa langsung merebut remote televisi dari tangannya.

“Hei!”

Namun Cordelia menulikan telinganya. Gadis itu mengganti-ganti saluran televisi dan berhenti di saluran yang menayangkan berita tertentu, berharap dapat menemukan sedikit informasi dari berita seorang wanita yang diduga dibunuh makhluk pengisap darah.

Namun, berita itu seolah-olah resap ditelan waktu. Tidak ada petunjuk lagi selain dari apa yang sudah mereka lihat. 

“Kenapa kau menggangu acara nonton TV-ku, sih?” 

Joseph merebut kembali remote dari tangan Cordelia dan mengembalikan saluran ke tayangan National Wild Geography. Layar televisi menampilkan seekor gagak hitam yang menanti mangsa di bawah pohon dengan sikap misterius. Joseph mengamati adegan itu dengan serius. Kesunyian ini entah bagaimana malah membuat Cordelia sakit kepala. 

Sementara Jade, yang mulai menyingkirkan masalah berita penemuan mayat, kini kembali sibuk menekuni ponsel baru di meja ruang makan. Dia menggulir layar ponsel yang menampilkan kolom pesan―hanya ada pesan tak terjawab dari Dave, Joseph, dan juga Cassie. Entah bagaimana, jemarinya gatal untuk membuka pesan terakhir dari mantan kekasihnya itu. 

Cassiopeia

Jade, aku tahu kau bajingan, 
tapi kau perlu tahu kalau aku 
sudah memaafkanmu. 

Ini pesan terakhir dariku.  
Mulai sekarang, semoga kau 
tak muncul lagi di hidupku yang 
tenang dan damai.

Bersenang-senanglah kau 
dengan jalang bedebahmu.

Jade mendesaukan napas dan membenturkan keningnya di atas meja dengan pelan. Tidak ada hal bagus yang dia terima sejak hubungannya dengan Cassie kandas. Sekarang, gadis itu benar-benar membencinya, bahkan sangat jijik bertemu dengannya. Apakah seorang peselingkuh memang tampak sehina itu di mata orang lain? Pemikiran ini membuat Jade tergoda untuk menjelaskan yang sebenarnya, tetapi dia mati-matian menahan. Dia tidak mau penjelasannya akan berujung kepada toleransi hubungan yang membuat Cassie kembali dekat dengannya―sekalipun itu hanya sebagai teman. 

Dengan suasana hati yang mulai gundah dan jemu, Jade menggulir layar ponsel ke bagian kotak masuk email dan menemukan pesan baru dari Caspian Pelleanore. Rupanya pria itu meminta jadwal pertemuan mereka diajukan lebih awal dari biasanya; lusa depan, dan Jade sama sekali tidak keberatan. Dia sedang mengetik balasan di layar ponsel ketika tahu-tahu saja, sebuah suara membuatnya nyaris melompat dari kursi. 

“Jade?” 

“Ada apa?”

“Kurasa kita harus memeriksa sesuatu,” kata Cordelia, sementara langkahnya mendekat. Gadis itu merendahkan suaranya agar Joseph yang sedang menonton televisi di ruang tengah tidak mendengar. “Petunjuk apa pun yang bisa ditemukan di rumah ini. Kakekmu pasti menyimpannya.”

Benar sekali, sekarang bahkan Jade tak memiliki waktu untuk meratapi hubungan cintanya yang kandas. Dia harus selalu bergerak untuk menyelidiki kebenaran tentang kematian si wanita di berita televisi, dan kenyataan tentang asal-usul abare sendiri. 

“Oke. Di mana kita harus memulai?”

“Ruang bawah tanah,” kata Cordelia. “Kurasa kakekmu tidak mungkin tidak memiliki intensi untuk mengoleksi busana dari abad pertengahan.”

Yeah. Sekarang mari kita selidiki tempat itu sekali lagi.”

-oOo-

Penyelidikan pertama; nyaris nihil. 

“Ini tidak membuahkan hasil,” gerutu Jade seraya berpaling dari rak-rak berdebu yang hanya menyimpan barang-barang rongsokan dan perkakas bangunan. “Kita tidak menemukan apa-apa selain sampah ini.”

Cordelia, yang sejak tadi memeriksa sudut-sudut kontainer besi yang kosong (karena sebagian besar pakaian yang masih bagus sudah dipindah ke lemari kamar di lantai dua), akhirnya menyerah juga dan kembali menegapkan tubuh dari lubang kontainer. Dia berputar pada Jade sambil memperlihatkan beberapa barang temuannya. “Aku hanya menemukan kain ini dan … sebuah kalung. Ternyata menyempil di sudut kontainer.” 

Jade menghampiri Cordelia, yang kini menjereng kain kuning lusuh di tangannya. Itu adalah gaun tidur kuno yang sudah bebercak karena terlalu lama disimpan. Hanya rongsokan, jadi gadis itu melemparnya kembali ke dasar kontainer. Berikutnya, Cordelia memberikan sebuah kalung berbandul permata berwarna merah kepada Jade. Mereka mengamati penemuan terakhir itu dan memutuskan untuk lebih tertarik pada si kalung alih-alih pakaian lusuh tadi. 

“Kau punya pikiran yang sama denganku?” tanya Cordelia, mata terpaku pada liontin kalung berwarna semerah darah.  

Jade mengangguk, lalu menggigit liontin kalung. “Luar biasa! Kemungkinan ini permata rubi asli. Kalau dijual pasti sangat mahal!”

“Bukan itu, dasar mata duitan!” 

Cordelia merebut kalung dari tangan Jade dan mengangkatnya ke atas, mendekatkannya pada sumber ventilasi sempit yang bersemayam di dinding seberang. Seberkas sinar dari celah ventilasi terpapar pada permukaan batu permata, mempertajam kemilaunya.

“Jade,” bisik Cordelia dengan sorot menyipit penasaran. “Ini kalung yang sama dengan yang kupakai di lukisan diriku.”

“Oh, ya?” Jade mengerutkan kening, mengingat-ingat. 

“Perhiasan ini jelas milikku,” kata Cordelia, menurunkan kalung, berputar kembali menghadap Jade. “Aku tidak ingat apa kaitan kalung ini dengan hidupku di masa lalu. Tapi firasatku mengatakan kalung ini begitu penting.”

“Sayang sekali kita tidak menemukan cara untuk membuatmu ingat.”

“Tunggu saja. Firasatku mengatakan, aku tidak akan lama dalam mengingat semuanya.”

“Kuharap firasatmu benar.” Jade melirik kalung tersebut lalu beralih menyapu pandang seantero ruang bawah tanah yang berbalut debu suram. Suaranya melemah beberapa detik kemudian, “Kita tidak menemukan petunjuk apa pun yang dicari. Hanya sebuah kalung, tapi itu pun masih terhalang karena kau amnesia. Mungkin aku bisa….”

“Bisa apa?”

“Kemarikan padaku.” Jade mengambil kalung itu dari tangan Cordelia dan menjejalkannya ke dalam saku. Saat menangkap raut Cordelia yang bertanya-tanya, dia menjelaskan, “Kemungkinan kalung ini adalah artefak dari masa lalu―salah satu benda yang dikoleksi kakekku. Aku akan memeriksanya di internet, atau bertanya pada Caspian.”

“Caspian?”

“Yeah, si kolektor benda kuno itu. Dia lebih ahli untuk masalah ini.”

Kemudian Jade mengajak Cordelia pergi dari ruang bawah tanah. Saat mereka hendak menaiki tangga ke lorong atas, Cordelia secara ragu mencubit pakaian Jade sehingga pemuda itu menghentikan langkah. “Ada apa?”

“Tentang Caspian, kurasa kau harus hati-hati padanya.”

“Ada apa memangnya?”

“Dia terlihat senang saat kau mengatakan padanya bahwa kakekmu sudah meninggal.”

Jawaban Cordelia barusan membuat Jade terhenyak beberapa detik. Dia berputar dari gang tangga yang sempit dan menghadap Cordelia, dengan sorot terheran bercampur tidak percaya. “Aku tidak melihat ekspresi yang sama seperti yang kau duga, Cordelia. Di mataku dia terlihat seperti orang yang terkejut,” kata Jade.

“Mungkin itu cuma perasaanku, tapi kau tahu aku tidak mengada-ada dalam berbicara.”

“Mengapa menurutmu dia terlihat senang mendengar kematian Kakek? Kau tidak berada di dalam rumah saat aku dan Caspian sedang berbincang.”

“Suara kalian terdengar dari jendela yang terbuka. Aku memperhatikan wajah Caspian saat kau mengatakan sesuatu tentang kakekmu. Otot di bibirnya berkedut, seolah berusaha menahan senyum.”

Jade ingin sekali mengatakan bahwa Cordelia mungkin hanya salah menilainya, tetapi dia tahu itu tidak mungkin. Sejak awal mengenalnya, gadis ini menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengetahui lebih banyak hal yang tidak diketahui manusia biasa sepertinya. Semua yang dibicarakannya, walaupun sekilas terdengar tidak masuk akal, lama-lama terbukti juga. 

“Jade?”

“Aku tahu,” Jade akhirnya memutuskan untuk peduli pada pendapat Cordelia, walaupun tak seratus persen meyakininya. Sejujurnya dia masih terngiang-ngiang tentang imbauan Joseph yang menyuruhnya untuk menjaga jarak dari gadis ini. “Aku akan hati-hati padanya. Menurutmu, motif apa yang dia miliki pada kakekku? Apa dia membenci kakekku?”

“Itu yang harusnya kau selidiki. Kau kan cucunya.”

“Aku tidak sedekat itu untuk jadi cucu.” Lalu Jade menggosok-gosok dagunya sambil berpikir. “Tapi kalaupun pendapatmu benar, barangkali Caspian memang membenci Kakek. Dulu Dave pernah bilang padaku kalau Walthrop Bailey adalah orang yang sedikit angkuh dan sulit didekati.” 

“Persis sepertimu.”

“Maaf?”

“Kau mirip seperti kakekmu. Aku tidak akan kaget bila suatu hari nanti Dave juga menambahkan bahwa kakekmu adalah orang yang bermulut tajam, keras kepala, sembrono, dan cemberut minta ampun.”

Kening Jade mengeryit lagi karena tersinggung. “Aku tidak cemberut! Dan lagi, setahuku kau punya ekspresi yang lebih mengerikan!” 

Namun Cordelia tidak membalas apa-apa dan langsung melanjutkan perjalanan ke lantai atas, sementara Jade hanya mendesau berat seraya membuntuti gadis itu di belakang. Dia berkata dengan nada melunak, “Kau orang pertama yang berkata jujur padaku tentang hal itu.”

“Kau mengakui watak jelekmu?”

“Ya, maksudku … aku tahu watakku jelek, tapi setidaknya aku bukan bedebah berengsek seperti yang dikatakan Joseph atau Cassie.”

“Itulah, Jade. Selain empat hal tadi, kau juga pengecut.”

“Pengecut katamu?” 

“Kau terlalu sering melampiaskan kemarahan dan kebingunganmu pada sesuatu yang bukan tempatnya. Seperti saat kau melukai mantan pacarmu dengan cerita dusta tentang hubungan kita.”

Percakapan mereka tiba-tiba berhenti karena Cordelia sudah sampai di ambang pintu keluar. Jade berniat untuk membalas kata-kata Cordelia yang amat menyinggungnya, tetapi dia memutuskan untuk diam. Toh, yang dikatakan gadis itu memang benar. Tidak perlu bantahan apa lagi penolakan. Joseph maupun Cassie pun sudah setuju bahwa dirinya memang semakin bermasalah terutama setelah ibunya meninggal. Dan Jade merasa tidak punya kendali untuk memperbaikinya. 

Pemuda itu mematikan sakelar lampu di balik pintu lalu menutupnya. Tanpa berkata apa-apa, Cordelia melewatinya dan langsung menghambur masuk ke tempat favoritnya―perpustakaan. Setelah Cordelia menghilang di belokan ambang, Jade merogoh kembali kalung dari kantong celana jinsnya. Dia pun pergi ke kamarnya sendiri untuk langsung menghadap lukisan keramatnya.

Rupanya benar. Kalung rubi ini adalah kalung yang sama dengan yang dipakai Cordelia dalam lukisan. Dua benda ini terlihat identik, namun kalung yang ada di potret lukisan terlihat lebih mengilat, sementara yang ada di tangannya sedikit buram karena berlapis debu.

Jade mendekati lukisan dan meraba permukannya pelan-pelan, menelusuri tiap sentimeter bidang berwarna kasar dengan jari telunjuknya. Dari setiap sudut, ke pinggiran lukisan, sampai ke tiap coretan dan lekukannya. Tidak ada nama atau tanda tangan pelukis seperti yang diduga Cassie saat pertama kali dia datang kemari. Lukisan ini benar-benar dibuat tanpa nama, padahal keindahannya sendiri bisa bersaing dengan lukisan-lukisan realis yang sering dipajang di museum. 

Dan, satu pertanyaan mengganjal yang sejak dulu selalu menerornya; bagaimana bisa seorang manusia keluar dari lukisan ini? Tidak ada alasan saintis yang bisa menembus selubung kebingungannya. Lukisan ini padat. Dari luar tampak seperti lukisan biasa. Tidak ada jejak misterius sebagai tanda-tanda penggunaan sihir gelap atau trik ilusi modern.

Oh, Ya Tuhan, sebenarnya apa yang disembunyikan kakeknya?

Jade menepi ke kasur dan mengempaskan tubuhnya di sana. Setelah lama berpikir, dia mulai mencari beberapa informasi terkait lukisan Cordelia. Beberapa kali dia menjelajahi peramban pencarian dengan kata kunci yang berbeda-beda; Lukisan Cordelia, Lukisan Seorang Wanita dengan Kalung Rubi, Lukisan tahun 1700, atau nama-nama sejenisnya … tetapi tidak ada jawaban apa-apa selain intruksi laman yang menyeretnya ke informasi singkat tentang lukisan-lukisan sejenis. Ini menyatakan bahwa pencarian Jade mungkin terhalang kata kunci yang tidak benar atau masalah teknis lainnya. 

Kesimpulannya, tidak ada pembahasan mengenai abare atau vampir yang mengisap darah budaknya. Dunia internet ternyata tidak seluas yang Jade pikir. 

Nyaris menyerah dengan pencarian yang tidak menghasilkan, akhirnya Jade memotret kalung Cordelia, lalu mengirimkan gambar itu melalui surel milik Caspian. Dia menyertakan pertanyaan polos tentang apakah Caspian mengetahui riwayat sejarah kalung ini atau tidak. Sekitar tiga puluh menit kemudian, jawaban datang.

[email protected]
Aku tahu. Bawa benda itu saat kita bertemu lusa depan.

Jade merenung sejenak menatap sebaris jawaban dari Caspian, dan entah bagaimana, tiba-tiba timbul perasaan ragu yang melumuri hatinya. Apakah tadi dia kelepasan bertanya kepada Caspian? Apakah dia, tanpa sengaja, telah berbuat sembrono dengan membocorkan benda ini kepada orang asing? Internet saja tidak tahu kalung ini milik siapa, lalu mengapa Caspian mengaku bahwa dia mengetahuinya? Apakah pria itu mencoba membohonginya? Tetapi untuk apa?

Ah, sialan. Alasan apa pun yang menyelubungi maksud di balik tindakan Caspian, Jade meyakini dirinya cukup pintar untuk mencegah hal itu terjadi. 

Maka bersama pemikirannya yang percaya diri, Jade menggenggam kalung batu rubi itu erat-erat.[]

-oOo-

.

.

.

.


.


Menurut kalian tindakan Jade bener atau nggak? 😃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top