(♡︎) - DAY 07. i. hajime
Alisku mengernyit tak percaya menapaki rentetan alfabet di depan mata. Juga sekelilingku telah banyak gelak tawa yang mengusik ketenangan. Terasa sangat jelas, pelipisku yang dibaluri oleh keringat yang setiap detiknya bertambah jikalau aku mengingat bahwa rasa gugup dan detak pada jantung ini nyata. Semu merah merekah pada kedua bilah pipiku.
Lantas ragaku terlonjak dari bangku yang menjadi tempat bersinggah. Tatkala semua bibir melantunkan goda yang mengatasnamakanku, aku berujar pada presensi yang bersejajar dengan papan tulis—biang dari timbulnya kegaduhan dalam bilik kelas. "Aku belum mengatakan setuju, Oikawa!" celutukku berintonasi keras, membelah gaduh.
Sang empunya nama memicingkan senyum miringnya. Jikalau aku jujur, sebenarnya aku ingin menghantam keras wajah itu kendati rautnya benar-benar menyebalkan.
"Oh? Tuan Puteri Belle angkat bicara." jawabnya menggoda.
"Berisik! Tunggu persetujuanku dulu untuk membagi peran!"
Dia bergumam seraya mengerjapkan matanya perlahan—masih bertahan dengan senyum miring yang menjengkelkan pada birainya, dia memandangku lurus yang sudah memberinya tatapan tajam.
"Hm? Jadi tuan puteri tidak mau menerima statusnya... Lalu bagaimana dengan pendapatmu, pangeran?" lantas ekor matanya beralih, menghadap pada tuan yang bersurai hitam berantakan pada penghujung kelas.
Presensinya menghadap balik pada Oikawa, keheranan, "aku? kenapa aku?" tanyanya.
"Karena kamu pangerannya."
Oikawa sialan!
Rapal umpatan terus membumbui batinku, mengatasnamakan Oikawa yang telah menjadi biang kerok dari kronologi ini. Dia menuliskan namaku untuk mengisi peran Puteri Belle selaku pemeran wanita utama pada kisah Beauty and The Beast—kisah yang akan dibawakan oleh kelasku pada penampilan teater.
Poin pertama yang membuatku kesal ialah Oikawa yang langsung menyertakan namaku tanpa ijin terlebih dahulu, kemudian poin kedua ia menyandingkan nama Iwaizumi Hajime sebagai Pangeran Beast.
Bukannya aku membenci Iwaizumi sehingga tak mau disandangkan bersama dalam satu teater, malah sebaliknya. Jika ada Iwaizumi, aku tak bisa fokus dengan tugasku. Aku bisa tertunduk pada rasa gugup yang ditimbulkan karena adanya perasaan yang bertengger pada hati.
Dan lagi, kami ditempatkan sebagai pasangan dalam cerita, itu teramat sangat tidak baik untuk jantungku.
Mungkin memang aku sudah lama menyimpan frasa ini sendirian, tak ada satu orang pun yang kuceritakan perihal. Namun entah bagaimana tiba-tiba seisi kelas menjodohkanku dengan Iwaizumi tanpa alasan yang jelas, membuatku merasakan ada sebuncah harsa dalam dada namun juga panik, khawatir bila saja ada seseorang menyadari gelagatku yang aneh bila membentuk interaksi dengan Iwaizumi.
Kembali pada saat ini. Iwaizumi membalas Oikawa, "ya, aku pribadi menurut saja bagaimana kemauan dari [Lastname]."
Yang sejak tadi mencuri pandanganku kini memandangku balik. Netra teduhnya bertemu dengan netraku, membentuk sebuah kontak mata. Dalam hitungan detik, kurasakan jantung ini meloncat dari tempatnya.
Oh, tidak. Jangan dengan kontak mata.
"Kamu keberatan bila memerankan ini bersamaku, [Lastname]?"
Biraiku yang kelu hanya bisa terkatup rapat. Susah paya aku memberinya jawaban namun apa daya seluruh syarafku tiba-tiba membeku. Entah sudah berapa detik aku diam memandanginya, lalu dengan sisa keberanian aku mencoba menjawabnya.
"Y-ya tidak juga, sih, sebenarnya." jawabku terbata sejenak.
"Ya sudah, kalau begitu kita jalani ini bersama, ya. Mohon bantuannya."
Lelaki ini gila, dia gila.
Setelah konversasi kami berakhir, seisi kelas bersorai gaduh, menyoraki namaku dan Iwaizumi. Dari perlakuan yang diberikan oleh seisi kelas membuatku tak dapat mengendalikan degupan yang telah menggila ini. Bahkan saat ini aku memiliki firasat, wajahku sudah bersemu padam dengan rona merah.
· · · ・ • 𓆩♡𓆪 • ・ · · ·
"Belle, kamu terlihat sangat cantik."
Birainya dengan mudah melanturkan frasa tersebut seraya menyodorkan jemarinya, memberi ajakan untuk melakukan tarian dansa bersama.
Jikalau aku tidak menginjakkan kaki pada panggung saat ini, mungkin aku akan melompat-lompat seperti orang gila karena salah tingkah.
Fokus pada tugasku untuk memberikan drama yang baik, aku menerima ajakan dari sang pangeran untuk berdansa tentunya dengan membalas saluran tangannya yang lebih besar jelasnya. Jemarinya bertaut melalui sela-sela jemariku, tangan kanannya melingkupi tangan kananku dan begitu pula sebaliknya. Dan tangan kirinya memeluk pinggangku, setelahnya kami mulai mensimulasikan gerakan dansa sesuai dengan yang telah dilatih.
Bersamaan dengan musik yang beralun mencipta birama, jantungku juga berdetak keras mengikuti birama. Mungkin bila musik tidak diputar, Iwaizumi dapat mendengar jelas degup beringas yang berasal dariku. Dan aku bahkan tak mengerti berapa kali aku merapalkan pujian tatkala memandangi rupanya dari jarak sedekat ini, lekuk wajahnya yang berkesan tegas namun untuk saat ini syarafnya dilemaskan sehingga kesan tegas itu berganti membawa kesan hangat. Kemudian dengan pakaiannya yang nampak begitu selaras dengannya, menambah kesan maskulin.
Astaga Tuhan, aku bisa pingsan.
Terhitung pula dengan senyum yang menghiasi wajahnya, senyum yang jarang kulihat. Netra teduhnya memandangku yang berada sedikit dibawahnya, membuat kepalanya harus menunduk upaya menyamakan pandangan.
Ternyata berada dalam situasi yang seperti ini tidak buruk juga.
· · · ・ • 𓆩♡𓆪 • ・ · · ·
Dari tempatku berpijak, kurasakan atmosfer hangat yang merambat pada sudut rooftop. Semuanya terlihat begitu bahagia, menggenggam jemari satu sama lain selanjutnya memberi rangkulan menjadikan bentuk apresiasi dari perjuangan kami menuntaskan teater.
"Baik! Selamat untuk keberhasilan kita hari ini dan terima kasih atas kerja kerasnya!" tutur Oikawa tepat membelah ribut cengkrama teman-teman.
Balasan terima kasih terucap dari birai kami semua, berlanjut pada aktivitas bersenang-senang yang dilakukan masing-masing kelompok atau bahkan individu. Dan di sini aku masih menggunakan gaun yang sama saat memerankan Puteri Belle di panggung, memandangi pemandangan Industri Yokohama dan menikmati angin yang mendersik pada angin pula menghembuskan helai rambut, membuatnya menari di atas tanah.
Sejak tadi pikiranku penuh dengan reka adegan yang kujalani bersanding dengan Iwaizumi, lantas kilas balik tersebut mengundang lengkung kurva pada birai pula kupu-kupu dari dalam perut. Mulai kala dia merapalkan pujian padaku yang menjadi Belle dan kala dia terlihat begitu serius dalam adegan pertarungan dengan Gaston sang antagonis dalam melindungi wanita yang dicintainya dan sosok ayah dari wanita tersebut.
Sungguh terlihat dari raut wajahnya, ada rasa serius ingin melindungi. Iwaizumi begitu serius untuk acara sekolah yang satu ini rupanya.
"Kamu tidak berkumpul dengan yang lain di sana?" lantunan suara berat itu menginterupsi kilas balik dalam benak, membuatku tersentak mendapati presensinya berdiri tepat di sampingku. Memfokuskan pada objek jauh yang sama pula.
Degup itu kembali menghantuiku, biraiku pun sekali lagi kelu. Berakhir terdiam dalam beberapa detik. "Tidak, mungkin nanti aku akan menyusul. Iwaizumi sendiri bagaimana? Tidak bersama Oikawa, 'kah?"
Entah datang dari mana keberanian itu tiba-tiba hadir, kuapresiasi diriku sendiri kendati telah berhasil berbicara pada sosok pujaan hati tanpa terbata sepertu sebelumnya.
Mendengar pertanyaanku Iwaizumi menggeleng, "dia itu haus atensi, biarkan saja dia di sana bertingkah seperti monyet terlepas dari kandang."
Seketika tawa renyah keluar begitu saja dari ujung bibir. Setiap membawa nama Oikawa dalam konversasi bersama Iwaizumi, inilah hal yang akan terjadi. Makian terhadap kawan akan selalu menjadi jawaban salah satu dari mereka.
"Pertemanan kalian unik juga, ya." ucapku berseling dengan tawa.
"Sejak kapan aku berteman dengan seekor monyet?"
Lantas aku tak dapat menjawab kembali, aku hanya bisa tertawa setelahnya terdiam begitu angin menghembus seusai tawaku menghilang.
"Omong-omong, yang tadi aku ucapkan di panggung, aku jujur dari lubuk hatiku." ujarnya membuka konversasi kedua.
Menjejal tanya, lontar kalimat mana 'kah yang dimaksud oleh Iwaizumi? Dalam drama, kami berdua mendapat dialog paling banyak di banding dengan teman-teman yang lain mengingat kami berdua pemegang pemeran utama dalam teater.
Aku memandangnya heran, satu alisku tertekuk menggambarkan kebingungan. Dengan sigap, Iwaizumi mengalihkan pandangannya yang semula memandangi objek panorama di depan menuju arah yang sama denganku. Dia seperti sedang menghindari kontak mata dariku.
"Lupa, ya?" tanyanya masih dengan posisi yang sama.
"Bukannya aku lupa, Iwaizumi. Dialogmu itu banyak, aku tak mengerti dialog mana yang kamu maksud." jawabku dengan posisi yang masih sama pula.
Tampak dirinya mengarahkan pandangannya padaku, membuatku sedikit tersentak. Belum lagi melihatnya memicingkan senyum miring di hadapanku.
Kejutan yang indah.
"Coba tebak." celutuknya.
Lantas aku mengernyitkan kedua alisku, berkecak pinggang, aku sangat menolak untuk berpikir keras lantaran aku memang sedang tak mau berpikir. "Ayolah, Iwaizumi! Apa iya aku harus mengingat kembali semua dialogmu?" jawabku merintih sambatan, dan kudengar lelaki di sampingku ini tertawa.
"Kalau mau ulang adegan yang tadi supaya kamu segera ingat juga tidak masalah untukku, kok. Di sini, sekarang, mau?"
Satu detik, dua detik, tiga detik aku tak berkutik dan berusaha memproses ucapannya. Aku tak dapat mengingat satu pun dialog karena merasakan adanya gugup dalam dada.
Iwaizumi Hajime ini berbahaya.
"Astaga, ayolah Iwaizumi! Ucapkan saja dialog yang kamu maksud, jangan membuatku penasaran!"
Pun, kembali dia tergelak, "yang mana, ya? Tiba-tiba aku lupa." ujarnya membuatku sedikit tersulut emosi.
"Ih, Iwaizumi!!"
Tawa lega dan renyah keluar dari birainya, "iya, iya. Kamu tebak saja, ya? Aku kasih petunjuk untuk mempermudahmu menebak jawabannya."
Aku menghela napas kasar, berkecak pinggang dan memutuskan untuk mengalah dari tragedi tarik-ulur ini. "Baiklah, berikan aku petunjuknya!" jawabku masih dengan alis yang tertekuk pada ujungnya.
"Kalimat itu aku ucapkan sebagai pembuka dari adegan dansa."
Dengan terpaksa, aku menggunakan otakku untuk berpikir dan mengilas balik segala kejadian yang terjadi saat adegan dansa Belle dengan Pangeran Beast.
Setelahnya, aku berhasil menemukan jawabannya.
...Tunggu, apa? Itu sungguhan? Pujian cantik itukah yang ia maksud?
"Dari ekspresimu sepertinya kamu sudah tahu dialog yang mana, ya?"
Tak ada jawaban yang dia peroleh, di sini aku diam terkatup dengan detak jantung yang tak beraturan dan semu merah yang menghiasi seluruh wajahku.
"Wajahmu merah." ujarnya tiba-tiba, memancing reaksiku memukul lengannya ringan. Yang jelas tak meninggalkan sedikit rasa sakit.
"Jangan bilang itu!"
Mendengarnya, Iwaizumi tertawa renyah. Tampak semburat merah hadir pada kedua bilah pipinya, tak semerona diriku jelasnya.
"Aku suka kamu." tuturnya dengan gamblangnya.
Aku terdiam.
"Dan aku sadar, kamu juga menyukaiku, 'kan?" lanjutnya menggodaku dengan meletakkan jemarinya pada puncak kepalaku, kemudian mengelusnya halus.
"Ih! Percaya diri sekali!" aku berusaha menyangkal, walau sebenarnya yang dikatakan Iwaizumi itu tepat, sangat tepat.
"Aku sudah sadar dari dulu, kok. Sekadar informasi, aku ini sudah suka kamu duluan sebenarnya."
Mendengarnya sudah menyadari perasaanku sebelumnya membuatku menjejal tanya, "sejak kapan kamu sadar? Mengapa kamu bisa sadar?!"
"Sejak kapan, ya? Intinya sudah dari dulu karena gelagatmu bisa kutebak, kamu tidak pintar menyembunyikan perasaan sendiri ternyata, ya?" jawabnya kemudian terkekeh selepas memberikan ejekan padaku.
"Berisik, ah!"
"Jadi, bagaimana? Nona Belle, maukah kami menaikkan status kita berdua?"
Dia ini benar-benar...
Dengan intonasi kecil karena digerogoti rasa malu, aku menjawabnya singkat, "mau." bersamaan dengan riuhnya tawa dari teman-teman dari jarak yang lumayan dekat dengan kami.
Kurasakan sesuatu yang hangat melingkupi tanganku. Kemudian memberikan usapan tepat pada punggung tanganku dengan lembut.
Bersamaan dengan hadirnya lembayung swastamita dan lengkung langit oranye bergradasi dengan kuning di cakrawala, segenap harsa mengudara bersatu dengan hangatnya warna yang menyorot manusia yang berada di bawah payungnya.
Terbitnya sekilas rona merah pada kedua bilah pipi dan ujung daun telinganya menjadikanku sadar bahwasanya pengakuan yang diucapkan itu sungguhan—tiada kebohongan atau keraguan kala bibir itu menyerukan frasa yang terpendam.
"Pacar." celutuknya mengukir senyum tulus pada birai dan melemparkannya padaku.
"Orang aneh."
· · · ・ • 𓆩♡𓆪 • ・ · · ·
—DAY 07: FIN
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top