Fiancee's Challenge - [Mikaze Ai x Reader]

Requested by FukuzawaAmanda

Cinta?

Ialah satu kata menyampaikan rasa

Apa aku patut menerima perasaanmu?

Apa aku bisa menerima ikatan darimu?

Apa ikatan pasti mengaitkan?

Yakini aku bahwa ikatan di antara kita bukanlah semu

.
.
.

Tunangan (n) calon istri atau suami.

Kini, kau tahu persis arti tunangan dari sebuah kamus besar bahasa.

Kau ingat betul. Sebutir cincin putih perak berbandul safir masih menampilkan sirat cerahnya. Kau ingat betul bahwa Mikaze pernah membeli satu kalung sejenis demimu. Meskipun dari suruhan Camus agar kau tetap setia menjadi pengawalnya.

Sesaat kau tersadar bahwa kau akan segera menjadi istri dari seorang raja Asvagarde. Wanita nomor satu yang akan dipandang dan dijunjung seluruh penduduk.

Namun, sebenarnya jangankan menjadi istri. Menjadi calonnya saja bukan tantangan mudah. Apalagi tentu saja akan muncul sebuah seleksi alam yang tidak pernah kau duga.

Fiancee's Challenge
Pair: Fiance! King! Mikaze Ai x Fiancee! Citizen! Reader
Uta no Prince-sama © Broccoli, Sentai Filmworks
Rate: T+ [PG-15]
Note: AU, OOC, Typo
Note: setting tempat oneshoot ini bersifat istana sentris dan diadaptasi dari ff FTS.
.
.
.

"Ternyata [Name]-san belum lolos, ya?" tanya Syo berjaga di depan pintu gerbang.

Kau mendelik. "Hei. Itu hinaan?"

"Bu-bukan begitu! Mikaze-sama tentu saja akan memilihmu, tapi belum tentu semua penduduk menerimamu. Kiasannya seperti negeri yang sudah merdeka, tapi butuh pengakuan agar segalanya dapat berjalan sela---"

Seolah Syo sudah semangat berpidato sepanjang jalan kenangan, kau sudah menghilang dari sisinya. Kau berjalan gusar dengan langkah besar-besar. Seolah sedang membelah laut. Yang kau kesalkan, Mikaze tak pernah berinisiatif menyatakan terang-terangan bahwa... hanya kaulah satu-satunya pilihan hatinya.

Mengasumsikan demikian memerihkan hati kecilmu. Memang status di antara kalian sangat memengaruhi pandangan penduduk ke depannya. Maka dari itu, seleksi bisa terjadi. Apalagi Camus sangat mendukung hal itu sebagai tangan kanannya. Dengan tanpa pertimbangan perasaanmu sama sekali, Mikaze hanya menurut seolah ucapan Camus adalah titah terbaik.

Istana sedang terbuka khusus publik--- terutama bagi kaum perempuan yang turut menjalani seleksi--- dan jumlah pesertanya kira-kira mencapai puluhan orang dari berbagai kategori usia. Peserta-peserta tersebut diizinkan untuk berada di sana khusus untuk membaca buku-buku dari perpustakaan umum. Namun, jika dengan tekad menemui Mikaze sebelum waktu seleksi dimulai, mereka akan dieliminasi.

Soal itu, tentunya kau sudah bosan berada di sana. Selain kebanyakan gadis-gadis di sana hanya berceloteh hal yang tidak perlu, pertengkaran juga rentan terjadi. Maka tidak mengherankan dari hari ke hari, jumlah peserta semakin menipis oleh seleksi alam meskipun banyak di antaranya yang mulai waspada.

Kau duduk di sebuah bangku taman yang sepi. Sejejak sinar mentari menerpamu dengan ringan karena masih pagi. Kau mengambil notes. Isinya kebanyakan hanya coretan dan materi bimbingan pendalaman kualifikasi bakat-bakat yang kau miliki.

Manikmu mengeruh. Bagaimana bila kau gagal? Apa kau siap melihat gadis lain menggandeng lengannya? Apa kau siap bila... bukan dirimulah yang akan menerima dan memasang cincin sakral tanda sehidup semati itu?

Tahu-tahu, kau mendapati sebuah kertas yang terlipat berbentuk pesawat beterbangan di atasmu. Kau mendongak. Mengambil isinya dengan susah payah karena angin yang berhembus.

Nggak belajar?

Tulisan yang rapi dan kaku tentu saja kau tahu dari siapa. Kau mengintip celah jendela lantai tiga yang terbuka. Terletak paling ujung, persis menyambut matahari yang selalu terbit di ufuk timur.

Kau merindukan pemuda itu. Sangat. Seleksi itu merenggangkan jarakmu dengannya secara tidak langsung. Kau menggigit bibir bawahmu, menahan tangisan yang bisa meleleh kapan saja.

"Jahat sekali," gumammu mencoret asal notes itu dengan tinta hitam. "Kenapa hanya aku yang seolah-olah memikirkanmu?"

Meski kini merasa sebal pun, namanya masih terukir secara fisik juga hatimu.

"Mikaze-sama! Kau lihat saja nanti!" serumu bangkit dari bangku, tidak memedulikan beberapa pasang mata lain yang ada di sana.

Namun, pemuda itu tidak muncul dari jendela sedikitipun meski racauanmu menggema. Meski demikian, kau tetap menulis lalu meletakkan kertas itu di bangku.

Aku sedang belajar menaklukanmu. Bodoh.

Banyak pasang mata ingin menggapai surat yang sengaja kau tinggalkan. Namun, hal itu segera diurungkan sejak kehadiran pemuda yang disegani turun dengan tali tambang. Dengan sigap dan tanpa ekspresi ngeri sedikitpun, kertas itu digapai dengan mudah. Mikaze menatap kertas itu tanpa berkedip. Hanya lima kata, tapi sepertinya ia merenung cukup dalam makna kata-katamu.

"Mikaze-sama---" panggil gadis yang tersipu, ingin memanfaatkan kesempatan untuk sekadar menggodanya. "Ehm, apa ka---"

Tangan Mikaze terentang ke atas, bibirnya berucap. "Camus, segera tarik aku ke atas."

Camus mengintip dari lantai tiga. Ia mendengus, tak habis pikir dengan tingkah polos sang raja. Tali tambang itu telah terikat erat dengan perut Mikaze dan di sisi ujung terkait dengan pengait jendela.

Sebelum sempat gadis itu berespons--- mungkin menyangka bahwa Mikaze melebihi kecantikan bak rapunzel yang anggun, sang raja pun turut menoleh ke arah gadis itu dengan menyampaikan sebuah kabar.

Tentunya, kabar yang sangat buruk.

"Kau ketahuan mengajakku berbicara secara langsung sebelum waktunya, maka sesuai peraturan, kau tereliminasi."

Tanpa mengindahkan sumpah serapah karena kesempatan menjadi wanita nomor satu kerajaan, Mikaze sampai ke ruangannya dengan selamat. Ia tidak peduli dengan hujatan, cacian, dan makian. Di sisi lain, usai Camus mengangkat Mikaze dengan susah payah, ia menyesap english breakfast sembari memandang skeptis.

"Kau sengaja mengeliminasi gadis itu, ya?" tanya Camus. "Kau tahu, hari ini belum berlalu dan sudah sekitar dua puluh orang yang tereliminasi."

Mikaze menopang dagu. "Salah mereka sendiri, memancing obrolan kepadaku lebih dulu."

"Kalau kau memang ingin [Name] ada di sisimu daripada gadis-gadis yang lain, kau harusnya tidak perlu menyetujui seleksi ini dari awal," ucap Camus mendengus pelan. "Kau terkesan mempermainkan perasaannya."

Mikaze mengusap dagu. "Mempermainkan? Aku hanya ingin melihatnya berjuang dengan adil. Dengan demikian, dia tidak akan tersiksa ke depannya."

"Tuan Besar, kau licik sekali," gumam Camus mendesah singkat lalu kembali seduhan teh.

Mikaze memandangi guguran dedaunan hijau yang rimbun. Mengalami overheat sudah menjadi konsekuensi yang harus ia terima ketika mencintai. Namun, kau selalu bisa mengatasi hal itu. Selalu bisa menyelamatkan dirinya berkali-kali. Seolah nyawanya tiada beda dengan mitos nyawa seekor kucing.

• • •

Kau meratapi cincin berbandul safir. Hanya satu-satunya benda ini yang bisa mengaitkan dan meyakini memorimu bahwa Mikaze ada di sisimu.

Manikmu mendapati seorang gadis tengah berlari terisak. Terburu-buru hingga jatuh dengan tubuh mencium hamparan rumput lebih dulu. Hendak ingin menolong, tubuhmu refleks mendekati gadis itu.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyamu panik.

Gadis itu mendongak. Mendapati sosokmu sukses membuat sepasang pupilnya membesar. Air mata masih membekas di kedua pipi. Sekumpulan kebencian masih melekat di hatinya. Yup, dialah peserta yang tereliminasi.

"Jangan membantuku. Dasar gadis jalang," cemooh gadis itu menautkan alis.

Menahan diri untuk tidak langsung marah lebih dulu, kau pun berkata, "Eh? Memangnya apa salahku?"

Gadis itu tidak langsung merespons dengan ucapan. Maniknya masih mendapati cincin yang menjadi bandul dari kalung yang kaukenakan. Biji safir dari cincin itu berpendar cerah, meyakini bahwa kau yang berasal dari rakyat jelata tidak mungkin bisa membeli dengan uang sendiri. Asumsi negatifnya semakin meninggi lalu melakukan sebuah tindakan nekat.

"Kalau tadi kau tidak bermain surat-suratan sialan dengan raja, aku pasti tidak akan tereliminasi!" ucapnya menyalahkanmu.

Ia maju, semakin mendekat. Tangannya meraih kalungmu. Melepasnya dengan paksa. Membiarkan jejak perih disertai bekas ditarik paksa di tengkukmu. Belum sempat kau melawan, cincin pemberian Mikaze hilang karena terlempar asal.

Kau meringis sepintas lalu mencengkram baju gadis itu.

"Apa yang kaulakukan?! Itu cincin yang berharga bagiku! Kembalikan!" serumu mulai merasa buliran bening menggenang sepasang manik. "Tidak akan kumaafkan kalau kau pergi begitu saja!"

Melihatmu terpuruk karena cincin itu, ia malah terkekeh. Sangat keras, seolah puas. Bila ia tak bisa bersama raja, maka merenggut kebahagiaanmu seolah impas.

Gadis itu melepas paksa cengkramanmu. "Bo-doh. Aku takkan mencarinya meskipun kau mengancam akan membunuhku sekalipun."

Tanpa melakukan perlawanan lebih lanjut, ia pergi meninggalkanmu. Kau termenung. Matahari seolah kembali ke peraduan, menunjukkan tanda bahwa malam akan segera tiba.

Dari cincin itulah, bagimu bahwa Mikaze pernah memikirkanmu. Meskipun ia hanya memilih karena Camus. Meskipun harganya tidak sebanding dengan perabotan kelas atas milik istana. Dan untuk kesekian meskipun di bayanganmu, kau mulai berusaha mencari cincin itu kembali.

• • •

Sejak saat insiden pesawat kertas yang Mikaze terbangkan ke taman, kau tidak pernah lagi datang ke sana. Sesekali pemuda itu mengintip dari jendela. Ia mengira, apakah kau marah kepadanya? Namun, ia mengurungkan pemikiran itu.

Kalau bukan marah, kenapa kau tidak pernah datang lagi?

Ketika cuaca cerah, banyak peserta yang berkerumun di halaman. Namun hari itu, awan mulai menggelap. Rintik demi rintik mulai melintasi daratan dan membasahi seluruh permukaan eksistensi yang tidak terlindung. Karena kini sudah sehari sebelum pemilihan dan hujan deras, para peserta disuruh pulang saja.

Melewati lorong istana, Mikaze memegang payung putih transparan. Angin menerpa kulitnya yang disapa dengan acuh tak acuh. Manik biru cerahnya mendapatimu dari kejauhan. Mengenakan jas hujan sembari merangkak ke semak-semak. Terlihat butiran air membasahi wajahmu. Begitu pula dengan helaian rambut meskipun telah mengenakan tudung.

"Tidak menolongnya?" tanya Kurosaki, sang pengawal.

Bila tidak berpikir panjang, Mikaze ingin saja merengkuhmu. Menyuruhmu berhenti melakukan sesuatu yang terlihat bodoh dengan ucapan sarkas. Menyuruhmu agar berdiri di sisinya. Menciptakan rasa aman dalam diam. Sayangnya, ia sang raja yang berpegang teguh pada peraturan. Sekali saja siapapun mendapatimu bersamanya, kalian takkan bisa bersama. Dan, ia tidak mau gadis lain yang mendampinginya selain dirimu. Hanya seorang [Full Name] yang patut berada di sisinya.

"Inikah rasanya dipingit?" Mikaze menghela napas. Tak bisa berbuat apa-apa menyebabkan batinnya terasa sesak. Padahal bukan overheat yang ia alami, tetapi terasa jauh menyakitkan.

Payung yang ia pegang hendak diserahkan kepada Kurosaki. Tanpa berucap apa-apa, tetapi sepasang manik heterokrom Kurosaki memahami maksud tatapan Mikaze saat menyerahkan payung itu.

"Teduhi dia dengan payung ini. Tanyakan apa yang dia lakukan."

• • •

"Bagaimana kalau dia menolakku sebagai tunangannya?!" panikmu mengacak rambut. Menggali-gali semak-semak tidak menemukan apapun. Hujan pun tidak kaupedulikan.

Kau hanya ingin cincin itu kembali ke sisimu.

Awalnya, mantel itu melindungimu dari hujan, tetapi keteduhan menerpamu.

"Oi. Ngapain?" tanya Kurosaki.

Kau menggigit bibir. "Harusnya kau yang ngapain?"

Kurosaki menghela napas. "Sang raja melihatmu bertingkah aneh dan aku hanya menyampaikannya. Lebih baik kau cepat pulang."

Kau menggeleng. "Belum. Sampai aku menemukan benda yang kucari."

Dari hamparan rumput yang menjadi tempat kejadian peristiwa, yang belum kau jamah ada satu.

Selokan.

Tapi genangan air itu bisa terbilang kotor karena campuran tanah bercampur mikroorganisme dan hewan moluska lainnya. Membuatmu sempat merasa jijik. Dengan cepat, kau abaikan pemikiran itu.

Berani kotor itu baik.

"Kurosaki-san, apa kau punya sarung tangan? Terbuat dari plastik juga boleh, tapi bahannya dari karet malah lebih bagus!" tanyamu penuh semangat.

Kurosaki mengernyitkan dahi. "Nggak ada."

Bibirmu mengerucut. "Jangan berbohong, ayolah."

Pemuda berambut jabrik abu itu melihat tubuhmu bergetar. Setelah cukup lama berada di bawah hujan dengan tubuh terlindung sekalipun tetap saja menusuk tulang. Ia berdecak.

"Memangnya apa yang kaucari? Aku akan menyuruh Syo dan Natsuki untuk mencarinya."

Kau menggeleng cepat. "Aku tidak mau merepotkan mereka. Aku...."

Sesaat, pandanganmu terasa menggelap. Butiran hitam menutupi titik cerah. Semakin kau berusaha terjaga, kau semakin tidak mampu. Dan samar-samar mendengar racuan Kurosaki, kau pun tergeletak di hamparan rerumputan, tidak sadarkan diri.

• • •

Pandangan pertama yang kaudapati dalam kondisi siuman adalah langit-langit yang ditempati sebuah lampu mewah.

"Dia sudah sadar!" Tomochika berseru.

Kau menoleh bingung. "Aku kenapa bisa di sini?"

Tomochika menjawab singkat, "Kelelahan dan demam. Sudah, istirahat saja."

"T-Tapi... besok...," ucapmu meragu.

"Sudah selesai semuanya," ucap Tomochika memasang senyuman.

Bibirmu terbuka lebar, bingung. Kenapa sang perawat alih-alih temanmu sangat senang menjawab demikian? Kalau sudah selesai, berarti bukan dirimulah yang bersamanya?

Hatimu terasa tercabik-cabik.

"Tokoh utama sudah datang, tuh. Aku pamit dulu," ujar Tomochika melambai tangan singkat.

Mikaze berdiri di depan pintu. Ia menghampirimu. Kau memegang selimut. Entah dari mana pembicaraan yang bisa kaumulai lebih dulu kepadanya.

"Dasar bodoh."

Satu kata itu membuatmu bingung sekaligus kesal. "Hah?"

Mikaze mengernyitkan dahi. "Cincin itu hanya kubeli bersama Camus dari pedagang pinggir jalan. Kenapa kau mencarinya setengah mati?"

Kau menunduk. "Memang bodoh, makanya aku mencintaimu."

Mikaze menghela napas. "Aku bisa membelikanmu sebanyak apapun yang kaumau."

"Nggak mau dibelikan lagi. Lagipula itu pemberian pertamamu." Alismu bertaut.

Pemuda itu tidak mengerti alasanmu begitu keras kepala. Tetapi mendengar bahwa kau mencintainya melunakkan hatinya yang membeku. Ia duduk di sebelah tempat tidurmu.

Jemari Mikaze menyentuh jemarimu. Cincin berbutir safir itu ada di saku celananya. Tersemat manis ke jemari manis kirimu. Dalam diam, ia mengecup pelan punggung tanganmu.

"Tak kuizinkan kau membiarkanku khawatir lagi."

Pipimu bersemu merah. "C-Cincin itu dapat dari mana?!"

"Sang raja bisa mendapatkan apapun."

Mikaze mengangkat rambutmu. Membiarkan tengkukmu terlihat. Luka yang ditimbulkan dari bekas tarikan itu telah terbalut dengan perban. Ia memegang bahumu pelan lalu perlahan menggiring dalam dekapannya.

"Jangan pernah menyimpan segala keluh kesahmu sendirian lagi."

Kau mengangguk, memegang punggung pemuda itu. "Sendirinya juga begitu."

Mikaze berucap, "Begitu, ya? Kalau begitu, mari berbagi bersama."

Usai melepas dekapannya. Ia memiringkan wajahnya. Mendekatkan jarak antara kau dan dirinya. Dadamu berdesir. Memang ini bukan kali pertama pemuda itu memberimu kecupan di bibir, tetapi gugup masih melanda hatimu.

Tidak disangka, Mikaze mendaratkan di titik yang mengejutkan--- yakni tengkukmu, yang tentunya masih terperban rapi. Refleks, kau langsung memegang jejak ciuman pemuda itu barusan.

"Mi-Mikaze-san!" ujarmu setengah berseru.

"Kata Ren, biar cepat sembuh," Mikaze berkata polos, tanpa merasa canggung sedikitpun. "Mana lagi luka yang diperban?"

Kau mengerjap. "H-Hanya itu saja!"

Mikaze mengernyitkan dahi. "Jangan ada dusta di antara kita. Serius."

Kau merasa siap pingsan untuk ronde kedua. Masih malu, kau berbalik badan. Disertai wajah memerah hingga telinga menjadi sasaran.

Mikaze tersenyum tipis lalu berbisik, "Will you wanna be my fiancee, soon to be mine? (Akankah kau ingin menjadi tunanganku, sesegera menjadi milikku?)"

Sebelum kau menyadarinya, pemuda itu memenangkan hatimu lebih dulu. Disertai anggukan, kau menerima dekapannya dari belakang. Meratapi langit indigo yang cerah ditemani kejora.

__________

OMAKE
__________

Flashback ketika [Name] pingsan.

"Aku tidak mau keluar," ucap Mikaze bersandar di balik tirai kamarnya.

Mikaze tidak mengerti alasanmu setengah mati mencari cincin yang dipilihnya asal. Kata Kurosaki, seseorang melempar kalung berbandul cincin yang tergantung di tengkukmu. Dari penyebab itulah, kau melakukan pencarian cincin tersebut.

Kaki Mikaze menggapai podium. Ia mengutarakan isi benaknya. Semua yang hadir adalah seluruh penduduk yang mengharapkan jawaban pemuda itu.

"Terima kasih bagi kalian yang sudah berjuang keras selama ini. Hari ini adalah penantian akhir. Namun, aku takkan bisa memilih kalian."

Suara bisikan memenuhi penjuru halaman istana. Terlihat raut kecewa, tetapi sepertinya peserta-peserta perlahan mulai mengerti. Mereka sudah tahu bahwa kau, [Full Name] yang hanya bisa menempati hati sang raja. Dan, yang hanya bisa mereka lakukan adalah mengikhlaskan.

"Acara seleksi ini seperti open house. Dari situlah aku bisa menyadari bahwa kalangan perempuan Asvagarde mau belajar. Ingin maju dan itu adalah hal yang baik, tetapi...."

Jeda Mikaze mendiamkan seluruh peserta yang awalnya masih saling bercengkrama.

"Tidak dengan seorang gadis yang senang menyalahkan orang lain lalu bertekad melukai sesamanya."

Sindiran itu menohok sang pelaku, gadis yang melukaimu masih tetap berbaris karena masih mengharapkan peluang. Keringat dingin mulai mengucur. Ia masih tetap diam di tempat, berpura-pura tidak menganggap ia bersalah.

"Hingga kini, cincin milik [Name] masih hilang. Kalau tidak mau mengakui siapa pelakunya di sini, saya tidak segan-segan akan melakukan penggrebekan."

Gadis itu menggigit bibirnya. Cincin itu sebenarnya ada di genggamannya. Ia sengaja seolah-olah melempar benda itu dan kau dengan mudah percaya akan akal-akalannya. Alhasil, ia keluar dari kerumunan dengan berlari menuju Syo yang berjaga di pagar lalu menaruh cincin perakmu di telapak tangan pemuda itu.

"Tuan Mikaze, dia pelakunya!" seru Syo yang disahut dengan desisan sang gadis.

Seluruh pasang mata menangkap eksistensinya. Mikaze juga turut menjadi saksi. Penjaga lain pun membantu Syo menahan gadis itu.

Dari kejauhan, Mikaze berkata, "Jangan biarkan dia pergi."

"Apakah dia akan dihukum?" tanya Kurosaki menggunakan walkie-talkie dari kejauhan.

Mikaze menyahut dengan mesin komunikasi itu sembari memasang senyum tipis, "Lepaskan saja dia."

Pemuda itu tahu cepat atau lambat, gadis yang berniat melukaimu akan merasa malu, terutama karena banyak saksi pasang mata yang berada di sini. Ia akan menjadikan perlakuan itu sebagai hukuman tersembunyi. Karena kenyataannya, ia jauh lebih mengkhawatirkanmu ketimbang berlaku kejam yang membawa dendam.

Fin


A/N:
... Ndak sadar dah tulis banyak.
Jadi kangen bikin skenario lagi, tapi mikir-mikir dulu deh :')

Thanks for reading

Monday, April 24th

Agachii

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top