Eumoirous [Part 2] - [Kotobuki Reiji x Reader]
Ini last part Reiji x Reader ;3
• • •
'Selamat tinggal, [Name].'
Kertas putih yang digenggam [Name] tergenggam erat hingga ronyok. Ia tak percaya, Reiji akan pergi lagi darinya. Tubuh gadis itu melemas. Akhirnya, ia mendaratkan tubuh hingga jatuh terduduk ke lantai.
Namun, [Name] berusaha membaca lembaran itu sampai habis. Kali ini, ia akan berusaha agar takkan kembali ke lubang menyedihkan yang sama. Kalau perlu, ia akan menjemput kembali Reiji ke sisinya.
Selamat tinggal, [Name]
Perutku mulas karena kebanyakan makan cabai, jadi aku kembali sementara ke rumah untuk berobat karena disuruh keluargaku. Oh ya, di dalam kulkas, masih ada jatah makanan sampai seminggu ke depan. Tinggal dipanaskan saja. Hati-hati di sana, ya!
Reiji.
[Name] ingin menyobek kertas itu menjadi dua bagian. Alih-alih ingin menangis, perempatan berbentuk siku-siku tersemat besar di dahinya.
"Dasar. Kenapa nggak sekalian tulis di dinding saja biar bisa dijadikan artefak?!"
Setidaknya, [Name] bersyukur tidak perlu membuang air matanya dengan sia-sia. Sejak Reiji ada di sisinya, ia tak pernah menyangka akan begitu sulit terbiasa kembali merasakan kesendirian.
Eumorious [Part 2]
Pair: Cook! Kotobuki Reiji x Student! Reader
Uta no Prince-sama (c) Broccoli, Kuruhana Chinatsu, Sentai Filmworks
Rate: T+ (PG-15)
By agashii-san
.
.
.
Tujuh hari serasa tujuh tahun untuk bisa berlalu.
[Name] menghela napas sembari memandangi jendela kelas. Angkasa yang cerah ditemani kawanan burung yang terbang, ranting-ranting yang tak berdaun, serta jalanan yang putih tertimbun salju.
"[Name], kau dipanggil sensei. Datanglah ke kantor," panggil salah satu temanmu yang merupakan ketua kelas.
Gadis itu berhenti menopang dagu. Wajahnya jadi lebih kaku.
"Bukan dihukum, tapi sangat penting," ucap temanmu usai melihat ekspresi wajah [Name] yang menegang.
[Name] pun mengangguk lalu segera beranjak dari kursi. Menapaki lorong yang ramai terisi siswa yang sibuk dengan segala aktivitas--- piket, bercengkrama, bahkan bercanda. Namun, [Name] tak peduli. Dalam diam, ia melangkah.
Ia bukan yang dulu lagi. Ia takkan peduli semua penindasan yang dialami di masa lalu. Meski terlanjur harus mengulang kelas karena terlalu lama mengabsen, tetapi hidupnya kini jauh lebih tenang dan baik searah perubahan dari Reiji.
Wali kelas [Name] segera mempersilakannya duduk. Tangan guru itu mengambil selebaran kertas formulir. Tanpa perlu dilihat lama-lama, gadis itu tahu jika kertas itu merupakan angket yang akan memengaruhi masa depannya.
"[Name], tolong luangkan waktumu untuk menata hal ini."
Tangan [Name] terkepal. "Nggak perlu. Ayah sudah lama bekerja di luar negeri dan sudah bercerai dengan ibu yang sudah tiada. Jadi... aku harus mendiskusikan hal ini kepada siapa?"
"Tidak ada satupun wali yang ada di sisimu?"
[Name] menggeleng. Tiada satupun kerabat yang ingin tahu nasibnya sebagai anak broken home. Sedih memang, tapi itulah kenyataan yang ia hadapi.
Tahu-tahu, sosok Reiji muncul dalam benaknya.
"Wali... bisakah orang itu adalah sosok yang pernah dekat denganku?"
Wali kelasnya menggaruk tengkuk. "Kurasa bisa, selama dia cukup memerhatikanmu."
Manik gadis itu menatap lembaran putih sambil merenung lebih dalam. Reiji memang pergi studi kuliner karena itu haknya. Pemuda itu tak ada salah dalam memilih. Ia yang egois.
Karena sesuatu yang diminati dan ingin digarap, wajar untuk mengejarnya mati-matian, kan?
Untuk pertama kalinya, [Name] menarik kedua sudut bibirnya.
"Terima kasih, sensei. Akan kukembalikan formulir ini secepatnya. Permisi," ucap [Name] mengambil kertas itu di meja lalu beranjak dari kursi.
[Name] tahu langkah apa yang harus ia lakukan.
Yaitu menghubungi Reiji.
• • •
Tangan [Name] bergetar--- gugup.
[Name] baru ingat, terakhir kali mereka berkontak langsung adalah saat pernyataan itu.
Nomor Reiji jelas-jelas telah terpajang dengan jelas di layar. Ia hanya perlu menekan ikon gagang telepon untuk memulai panggilan.
Sambil menarik napas, [Name] mengalihkan ponsel dari wajahnya dengan melangkahkan kakinya menuju rumah.
"Oh, [Name]-chan! Sudah lama sekali nggak melihatmu," sapa tetangga yang merupakan wanita paruh baya yang bermukim di tiga blok sebelum rumahnya.
"Eh, Bibi...."
"Tumben aku nggak melihat cowok berambut cokelat gondrong itu lagi," sambung wanita itu.
"Dia... pulang ke rumahnya karena ada urusan," jawab [Name] yang ingin sekali mengatakan alasan aslinya karena makan cabai kebanyakan.
"Begitukah. Ada baiknya meskipun dia sangat ramah kepada siapa saja. Kau tahu, beberapa hari lalu kalian digosipkan sebagai pasangan kawin lari." Wanita itu mendesah. "Jelas-jelas nggak mungkin, 'kan? Tapi tahu lah, kesenangan tante-tante arisan mencari sensasi dengan mengumbar rumor burung."
[Name] terdiam. Meresapi ucapan tetangganya sejenak. Alasan Reiji rupanya hanyalah kebohongan. Sebetulnya, isi kulkas [Name] memuat bahan makanan lebih banyak daripada sebelumnya. Seminggu takkan mungkin untuk meredakan rumor seisi kompleks. Dan [Name] sadar, Reiji melakukan hal ini demi melindunginya.
"Bibi, terima kasih sudah memberitahukan hal ini. Sampai jumpa," pamit [Name] lalu membungkukkan tubuh.
Rasa malu yang ada di dalam dirinya lenyap. Ia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
Dering ketiga, Reiji menerima panggilannya.
"Reiji," panggil [Name], "apa kau baik-baik saja?"
Reiji yang menyantap bakso ikan berkata, "Tentu saja. Seharusnya aku yang tanya dulu."
[Name] senang Reiji masih memperlakukannya seperti biasa. "Aku baik-baik saja. Reiji, maafkan aku."
Pemuda itu terdiam sejenak. Terdengar nada lirih saat gadis itu berucap. Dan, sekadar mendengar ucapan itu dari kejauhan begitu menggundahkan hatinya yang dipenuhi kerinduan.
"Nggak, aku yang salah karena meninggalkanmu tanpa kabar." Reiji menyugar helaian rambut cokelatnya ke telinga. "Oleh karena itu, aku berjanji kembali ke sisimu... meski harus kuingkari karena belum bisa sekarang."
Gadis itu ingin menangis. Bagai penolakan tidak langsung, tetapi ia cukup tahu penyebabnya.
"Hm," gumam [Name], "aku tahu kenapa. Tapi, apa aku boleh mengajukan suatu hal?"
Demi apapun, Reiji tahu gadis itu tak pernah meminta apapun selain makanan. Oleh karena itu, ia ingin, ingin sekali mewujudkan permintaannya.
[Name] berkata, "Selama kita tak bertemu, aku akan menjadi gadis yang pantas untukmu. Aku nggak apa kalau Reiji nggak datang lagi untuk seminggu, sebulan, atau bahkan setahun lagi...."
Tanpa sadar, Reiji nyaris menjatuhkan ponselnya.
"[Name], kau...."
"Aku tahu ucapanku egois, tapi izinkan aku untuk menunggumu," pinta [Name] membasahi bibirnya. "Omong-omong, bateraiku sudah lemah, jadi aku akhiri dulu."
Tanpa mendengar respons Reiji, [Name] menekan tombol mengakhiri panggilan.
[Name] kini ingin kembali ke kamar tidurnya lagi. Bertemu guling yang menjadi peraduannya. Ia tak pernah mempertaruhkan sesuatu yang sedemikian beresiko. Belum tentu Reiji akan datang sesuai permintaannya.
• • •
"Kau akan menjadi perawat?"
[Name] mengangguk lalu mengambil kembali angket yang sempat dibaca temannya.
"Begitulah. Lagipula, nilai biologiku cukup tinggi."
Temanmu menopang dagu. "Kukira kau memutuskan setelah lulus akan siap menjadi pengantin Mister R, begitu?"
Wajah [Name] pun merona. "Nggak sekontras itu, lah! Tapi... tetap saja, aku menyukainya. Dan... ingin hal itu masuk ke dalam masa depanku."
Manik gadis itu meratapi papan tulis. Ujian akhir semester tidak lama lagi. Ia segera mencatat jadwal ujian dengan saksama. Yang ia tahu apa yang harus dilakukan adalah belajar dengan giat. Dengan demikian, ia bisa menjadi mahasiswa keperawatan yang layak bersama Reiji.
Hari demi hari yang telah berlalu, seminggu kepergian Reiji telah berlalu. [Name] tahu, Reiji takkan pulang karena alasannya. Namun, tetap saja. Ia menahan tangis saat ia tak sengaja melewati sebuah toko kue. Kalau Reiji ada di sisinya, mungkin ia akan membeli kue untuk dimakan bersama sambil mendengar ocehan canda bercampur haru dari pemuda itu.
Hatinya terasa hampa, meskipun ujian semester telah berakhir.
Ia menyeka kasar air mata yang meleleh di pipi.
Ia sadar, Reiji tidak lagi hendak menjemputnya seperti dulu. Melainkan harus dirinya sekarang.
Kaki [Name] melangkah menuju pagar rumah. Anehnya, gadis itu sadar bahwa lampu rumahnya selalu ia nyalakan. Ia memutar kenop pintu lalu menemukan lilin warna-warni yang berpendar di hadapannya.
"Okaerinasai (Selamat datang), [Name]," ucap Reiji tersenyum hangat.
Tas tangan hitam yang ia genggam terjatuh membentur lantai. Detik berikutnya, ia menampar pipinya sendiri. Ia terlalu takut merasa bahagia.
Reiji tergelak sejenak. "[Name], kau kenapa?"
"Kau... benar-benar Reiji?" tanya [Name] setengah terisak. "Ini ujian yang menyakitkan."
Detik berikutnya, gadis itu benar-benar hanyut dalam tangisan.
Reiji mengernyitkan dahi lalu menghampiri [Name]. "Eh? Ujian semesternya susah?"
Di tengah jeda isak gadis itu, ia berkata dengan suara parau, "Ini... tepat seminggu setelah kau menghilang, ba-baka!"
Reiji ikut tersenyum lalu menarik gadis itu menuju meja makan. Selain kue, ada sebuah kotak putih berbalut kertas kado motif marakas hijau. Tak hanya itu, ada sepiring karaage dan tempura. Benar-benar tertata dengan rapi seperti pesta ulang tahun.
"Sejak kapan kau menata semua ini? Minta bantuan Bibi Kana?" tanya [Name] mengusap dagu.
Reiji menyeringai. "Tidak. Aku malah menyuruhnya tak usah datang hari ini. Ayo dimakan dulu... atau mau dibuka kadonya dulu?"
[Name] menatap kado itu dengan penasaran. Ia tidak mau nantinya makan sambil melirik-lirik kotak itu. Akhirnya, ia mengambil kotak itu.
Namun, detik itu [Name] benar-benar menyesal membuka hadiah itu di depan Reiji.
Di dalam kado itu terdapat sebuah kamisol--- kutang yang dimodifikasi sebagai pakaian dalam maupun luar--- berwarna putih dengan corak bunga dan sebuah kalung cokelat-putih bermanik panjang. Sebenarnya kedua benda itu tidak aneh jika yang memberikannya adalah seorang perempuan pula atau suami.
Entah [Name] benar-benar syok karena menerima kado pertama yang termasuk ekstrem atau bahagia, ia tak tahu harus merespons apa. Syukur-syukur, Reiji tidak memberikan kamisol yang dilengkapi satu set dengan celana dalam.
"Reiji... kau...," gumam [Name] mengapit kamisol dengan kedua jari jempol dan telunjuk, "lebih pulang saja."
Pemuda berambut cokelat itu menganga panik. "Nggak suka? Sini, biar kubuang saja!"
[Name] berbalik badan, mencegat Reiji merebut kamisol itu. "Aku suka. Aku mau mencobanya."
Pemuda itu sontak merasa malu. "P-Perlihatkan saja kepadaku. Jangan dipakai di mana pun selain di rumah."
[Name] ikut merasa malu. Meskipun Reiji yang memberikan, tetap saja ia takkan mau menunjukkan sedemikian kontras penampilannya dalam balutan kamisol.
"Nggak mau. Aku makan dulu saja," ujar gadis itu kembali menaruh kamisol itu kembali ke dalam kotak kado.
Reiji sempat kecewa, tetapi tetap mengambilkan piring untuk [Name]. Manik abu-abunya tak lepas memandangi gadis itu saat mengambil kue beserta lauk.
"[Name], apa kau benar-benar ingin aku serumah lagi denganmu?" tanya Reiji menopang dagu.
[Name] menoleh. "Habis ini... kau akan langsung balik lagi, ya?"
Reiji tersenyum tipis lalu menautkan alis. "Maaf, kehadiranku ke sini tak bermaksud untuk mempermainkan harapanmu. Aku kan sudah janji akan ke sini lagi...."
[Name] menarik napas. "Aku tahu alasannya. Aku sudah bilang, aku siap menunggumu. Kalaupun mesti setahun ke depan, aku masih mampu."
Reiji berdiri dari kursi lalu merengkuh pelan tubuh gadis itu. "Terima kasih, [Name]."
Gadis itu membalas dekapannya. Reiji terkejut sekilas, tetapi membiarkan perasaan mereka saling meluap sejenak. Usai berpelukan, Reiji menatap lekat-lekat wajah gadis itu.
"Ada... yang aneh dari wajahku?" tanya [Name].
Tangan Reiji memegang dagu gadis itu. "Kau tahu, selain karena alasan tetangga, kita nggak bisa serumah karena...."
Dada gadis itu berdesir kencang. Gugup, ia langsung memejamkan matanya. Lain halnya, Reiji sadar bahwa ia nyaris kehilangan kendali--- sempat berkeinginan mencuri ciuman pertama [Name]. Karena sebagai kaum adam yang mengedepankan logika ketimbang perasaan, ia pun meniup telinga [Name].
Status [Name] masih harus dianggapnya sebagai adik selama masih bersekolah, bukan gadis yang dicintainya.
"AW! SHIE--! REIJIII! Apaan, sih?!" ringis [Name] setengah mengumpat hendak merasa geli.
Pemuda itu menutupi bibirnya dengan jemari kirinya. "Ya, sekarang saatnya untukku kembali pulang ke toko."
[Name] memegang lengan baju Reiji. "Tunggu. Aku nggak bermaksud mengusir, seriusan."
Reiji mengangguk paham. "Tidak perlu merasa tersinggung, [Name]. Tak hanya kau yang menikmati ujian, aku juga sedang ujian."
"Eh, kok gitu?" tanya [Name] tidak paham.
"Karena ujian yang kuhadapi kini harus menahan diri saat berlama-lama denganmu seperti ini."
Saat pintu utama benar-benar telah tertutup rapat, [Name] langsung membenamkan wajahnya yang memerah padam ke meja makan. Melihat reaksi Reiji yang seperti itu, ia ingin berharap Reiji akan jatuh hati kepadanya. Ingin, meski terkesan beresiko.
• • •
Hari itu hujan. Musim dingin telah berganti menjadi musim semi. Ditunjukkan dengan guguram sakura yang mendarat dengan lembut.
Bukan sekadar hari bagi [Name]. Hari ini merupakan peringatan kematian sang bunda. Namun, ia memutuskan tetap menghampiri makam. Reiji juga berencana akan menjemputnya menuju ke sana bersama-sama.
Tangan gadis itu menjulur ke arah luar rumah. Merasakan percikan air yang membasahi telapak tangan. Tepat saat itu, sebuah mobil kodok terparkir rapi di depan gerbang rumahnya. Reiji keluar dari mobil dengan sebuah payung putih--- untuk meneduhkan diri dan sekaligus menjemput [Name]. Meskipun payung itu bisa meneduhkan, tetapi di sisi pinggir bahu mereka tetap terkena tetesan air. Namun, sedikit saja sehingga tiada satupun dari mereka yang merasa keberatan.
"Sebelum ke makam, kita ke toko bunga dulu, ya," ajak gadis itu sembari melangkah menuju payung yang sama dengan Reiji.
Reiji mengangguk. "Tentu."
Selama perjalanan menggunakan mobil Reiji, bibir gadis itu kerap bungkam. Ia tak tahu harus memulai topik dari mana. Soal perasaan mereka satu sama lain. Soal kelulusan tes seleksi keperawatan. Atau tidak keduanya dulu?
Karena terlalu banyak berpikir, [Name] tak sadar telah mendapati sebuket bunga lily telah berada di pangkuannya.
"Reiji... ini?" Gadis itu menoleh kepada Reiji yang telah memegang setir kemudi.
"[Name], apa yang membuatmu diam seperti ini, sih?" tanya Reiji tanpa menatapnya, terfokus ke jalanan luas.
Gadis itu memilin rambut. "Reiji, sebenarnya aku berhasil lulus seleksi tes keperawatan."
Reiji beralih menatap [Name] sekilas dengan manik abu-abu yang berbinar. "Wah! Selamat! Tunggu... kau mau menjadi perawat?"
[Name] tersenyum kaku. "Ada yang salah?"
"Bukan begitu, sih. Hanya saja... tak kusangka kau akan benar-benar berubah," kata Reiji dengan terselip nada lirih.
[Name] mengusap embun yang menyamari kaca mobil. "Aku takkan berubah dalam hal apapun, Reiji."
Menyadari mobil Reiji telah berhenti, rupanya ucapan [Name] tak terjawab karena pemuda itu ada di sebelahnya. Membukakan pintu mobil khusus untuknya.
"Tadi aku dengar ucapanmu, tapi kita ke makam ibumu dulu, yuk," ajak Reiji mengulurkan tangan.
[Name] menjabat uluran itu. Mereka berjalan menelusuri pemakaman yang sepi. Hujan juga tak begitu deras, tetapi Reiji tetap meneduhi gadis itu agar tak kebasahan. Di sela dengan beberapa belokan, akhirnya mereka sampai di sebuah makam ibunya. [Name] menyerahkan buket bunga itu tepat di depan makam ibunya.
"Okaa-san, bagaimana kabarmu di sana?" tanya [Name] dengan mata berkaca-kaca. "Aku masih sangat merindukanmu, seperti masa-masa yang dulu."
Reiji mengacak rambut gadis itu. Turut merasakan duka yang menancap dalam di hati.
"Begitu pun denganku, tapi baa-san, aku ingin mengakui sebuah hal," ungkap Reiji lalu menebarkan helaian bunga itu keluar dari buketnya lalu menaruh di permukaan tanah, "aku mencintai anakmu. Sungguh."
"R-Reiji... kau?" [Name] menekap setengah wajahnya.
Kedua sudut bibir Reiji terangkat. "Aku butuh restumu setelah membiarkannya menungguku berbulan-bulan. Selain itu juga restu dari ayah [Name]-chan, tapi aku takut digantung hidup-hidup olehnya. Dukung aku, ya!"
[Name] memegang lengan baju Reiji. "Reiji, maksudmu ini... apa?"
Manik abu-abu pemuda itu menyiratkan kehangatan. "Aku melamarmu di depan ibumu, tahu?"
Mendengar ucapan itu, kedua pipi gadis itu basah berlinang air mata. "Ini... bohong, kan?"
Reiji menggeleng lalu menempelkan dahinya ke dahi gadis itu. Tangan besarnya mengusap air mata [Name].
"Di depan ibumu, aku tak setega itu menipumu. Jalinlah hubungan denganku, [Name]. Hanya denganku. Bagaimana?" Reiji menampilkan deretan giginya yang putih, penuh sirat bahagia yang memancarkan kepada siapapun.
Gadis itu mengangguk lalu mendekap pemuda itu erat-erat. Ia tak butuh siapapun selain pemuda itu untuk menguatkan hatinya, menguatkan hari-harinya ke depan.
"Terima kasih sudah mencintaiku, Reiji."
• • •
OMAKE
• • •
Saat mereka berada dalam perjalanan pulang, hujan tidak lagi menunjukkan eksistensinya. Mereka pun bangkit dari makam, hendak memutuskan untuk berpamitan kepada Ibu [Name]. Mereka berjalan bersama-sama, tetapi Reiji mengernyitkan dahi sepintas.
Kemeja putih yang [Name] kenakan sedikit terlihat transparan karena cipratan air hujan tadi. Menampilkan balutan kamisol pemberiannya yang dikenakan [Name] sebagai dalaman. Dan, di dalam hati pemuda itu terselip kesenangan tersendiri.
"[Name]-chan, nanti kau harus kenakan jaketku di dalam mobil, ya!" ucap Reiji menekan tombol remote mobil.
"Eh? Sudah nggak hujan lagi, kok," sahut gadis itu meratapi cuaca yang seutuhnya perlahan cerah.
Reiji mengedipkan sebelah manik abunya. "Sebagai laki-lakimu, aku tak mau kau memamerkan kamisol itu sembarangan. Dengan alasan apapun, kecuali kepadaku...."
Refleks, [Name] memegang sisi bahunya yang terlihat. "A-Apa?! Reiji, kau mesum!"
Pemuda itu hanya tertawa lalu menggandeng sela-sela jemari [Name]. Bermula dari rasa suka menjadi cinta di antara keduanya, tidakkah rasa yang sama begitu indah untuk terjalin? Bahwa kejujuran membawa akhir yang membahagiakan bagi keduanya.
• END •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top