19 | deja vu
AAARGHH, ternyata di part sebelumnya ada plot hole.
Zane kan kubikin berangkat ke JKT hari Sabtu siang, semalem doang di sana, tapi agendanya malah dua malem karena lupa, berhubung normalnya klo pulkam berangkat Jumat sore pulang kerja.
Nggak kuedit dulu krn masih mager, dan nggak terlalu ngaruh sama plot besar, jadi mohon maap ya.
19 | deja vu
"Alhamdulillah, masih hidup. Kirain udah wafat, kebanyakan mabok."
Minggu sore, Sabrina meledek Ismail yang akhirnya keluar juga dari kamar, setelah sempat dia kira sudah innalillahi, saking nggak terdengar pergerakannya sama sekali.
Serius, biarpun mukanya cuek bebek begitu, diam-diam Sabrina suka parno sendiri kalau sudah menyangkut keberlangsungan hidup teman-temannya.
Apalagi, hari ini Sabrina dan Bimo sudah tiba di rumah sejak pagi, tapi batang hidung Ismail nggak nongol sama sekali. Padahal malam sebelumnya cowok itu jelas-jelas mengabari di grup chat mereka kalau dia nggak akan ke mana-mana, standby di rumah.
Bimo bahkan sudah berencana mendobrak pintu kamarnya kalau sampai Maghrib nanti itu anak nggak keluar-keluar juga. Beruntung, jauh sebelum rencana lebay itu perlu direalisasi, dari arah kamar terkunci yang nggak pernah mempan cuma diketuk pintunya itu terdengar suara gedebuk keras. Yep, Ismail jatuh lagi dari kasur.
"Btw, ganteng amat, mau ke mana?" Karena ledekannya nggak ditanggapi, Sabrina nanya serius.
"Jemput Regina." Yang ditanya menjawab singkat. Sudah selesai mandi, tapi jelas terlihat masih ada sisa-sisa kantuk.
"Di?"
"Airport."
"Sekalian jemput Bang Zane?"
Mendengar nama Zane disebut, Mail yang sudah lupa punya teman bernama Zane segera menjentikkan jari.
Brilian juga ide Sabrina!
"Bukan sekalian jemput. Sekalian nebeng, lebih tepatnya." Mail mengoreksi kalimat junior kesayangannya itu, merampas kerupuk di tangan sang cewek, lalu melenggang pergi dengan riang gembira.
Well, sebenarnya Mail nggak sekere dan sepelit itu, sampai harus perhitungan soal ongkos taksi segala Cuma ... kalau emang saling kenal, perginya searah, jalan sendiri-sendiri tuh poinnya apa, sih?
Weits, jangan ungkit-ungkit soal kehedonan mereka membawa tiga jeep untuk tujuh orang saat ke Kintamani dua minggu lalu. Itu nggak apple to apple, karena waktu itu memang lagi liburan, self reward, dan mungkin seumur hidup cuma terjadi beberapa kali. Sementara, kalau untuk keperluan sehari-hari, bayangin berapa banyak fossil fuel yang bisa dihemat kalau orang-orang berduit seperti dirinya nggak jaim-jaiman dalam mengefisienkan penggunaan kendaraan bermotor?
Keasyikan ngobrolin fossil fuel dan solar cell dengan supir ojeknya, jarak dua puluh kilometer dengan matahari sore yang masih nyelekit di kulit hampir tak terasa.
Rezeki anak baik yang peduli kelestarian alam semesta, Mail nggak perlu menunggu Regina lama-lama, karena saat dia menginjakkan kaki di area bandara, Regina segera mengabari kalau dirinya baru saja tiba.
"Cuma nggak ketemu satu malem, kayaknya ada yang nambah tinggi, nih." Mail menggumam seraya memeluk gemas pacarnya yang biasanya cuma setinggi pundaknya itu.
Regina nggak pendek kalau dibandingkan mayoritas cewek, tentu saja. Mail aja yang sewaktu kecil kebanyakan makan bihun, jadi tumbuhnya kelewat memanjang.
"Cuma sepatu baru kali, Maiiil. Self reward dikit, mumpung kemarin nemu mall di mana-mana."
Ismail makin gemas, agak susah menahan tangannya untuk nggak mengacak-acak puncak kepala Regina.
Regina tuh nggak pernah pakai alas kaki dengan hak tinggi, karena demen mampir ke pantai tiap pulang kerja. Melihatnya memakai sesuatu yang kecewek-cewekan sore ini membuatnya kelihatan lebih imut dari biasanya.
"Nyari makan di sini dulu mau nggak?" tanya Ismail setelah puas menggoda, melirik arloji sekilas. Harusnya, waktu dua jam nggak terlalu menyiksa untuk dipakai makan tanpa tergesa-gesa. "Sekalian nunggu Zane."
"Zane?" Regina menautkan alis. "Mau ke sini juga anaknya?"
Mail meringis. "Hooh. Mau nyampe, dua jam lagi. Kemarin dia ke Jakarta juga. Berangkatnya satu pesawat sama kamu, malah, tapi aku lupa bilang. Tau gitu kan kita bisa barengan berangkat dari rumah. Tapi ya udah lah ya, udah terlanjur."
Entah cuma perasaannya saja atau bagaimana, Mail sempat melihat ada kilat keterkejutan di wajah pacarnya, tapi Mail nggak mau ambil pusing. Segera menggiringnya menuju tempat makan terdekat dari premium parking—dengan asumsi sang sultan Arab parkir di sana.
~
"Bored, bored, bored, bored, booored ...." Sabrina tantrum di kasur Bimo.
Otak cewek itu kecapekan setelah seharian dipakai memantengi Zoom untuk rakor panitia Rector Cup. Mau refreshing keluar, dia mager jalan. Akhirnya, Bimo menyarankan nonton film sambil delivery KFC.
Random saja memilih salah satu film superhero. Nggak perlu sebut judul lah ya. Bimo sebenarnya sudah nonton, jadi dia nggak terlalu menyimak dan fokus dengan laptop yang terbuka di depan meja lipat di hadapannya, mengerjakan konsep kepanitiaannya sendiri.
Hampir dua jam mereka berdua anteng di kasur, tiba-tiba Sabrina mengamuk karena tokoh perempuan idolanya mati mengenaskan.
"Ini tuh namanya women in refrigerator, tau nggak?!" Cewek itu berteriak kesal.
Okay, biarpun nggak akan mengubah jalan filmnya, setidaknya dengan ngamuk ke Bimo, Sabrina akan sedikit mencerahkan pandangan pacarnya itu biar nggak menormalisasi hal-hal problematik semacam ini, jadi tetep ada nilai positifnya.
"Sorry." Bimo menjawab kalem. "Apaan tuh? Belum pernah denger."
"Tokoh cewek yang sebenernya punya karakter kuat tapi dibikin mati konyol for the sake of male character development! Maksudnya apa coba? Jelas-jelas lebih masuk akal kalau ceweknya tetep hidup sampe akhir. Kalau mau bikin tokoh cowoknya kelihatan keren, mbok ya kreatif dikit! Nggak di dunia nyata, nggak di film, sama-sama nggak ada keadilan! Misogyny!"
Bimo langsung menelan ludah dengan ngeri.
Perasaan, kemarin-kemarin dia tonton itu film di bioskop nggak ada yang terasa salah. Plotnya seru, sangat bisa dinikmati. Tapi ini kok Sabrina ngamuk-ngamuk, seolah dia rugi besar menghabiskan puluhan menit menonton film yang membuatnya merasa harkat dan martabatnya direndahkan.
"Okay, noted. Nggak semua orang menganut nilai yang sama. Tukang bikin film juga beda-beda. Jadi ... tinggal pinter-pinter milih?" Melihat Sabrina belum kelihatan puas, Bimo menambahkan, "Now why we don't watch romcom instead? Kalau nonton romcom, biasanya kita jarang ribut. Apalagi kalau aktornya cakep."
"Ih, Bimooo, serius dikit dong nanggepinnya!" Anehnya, Sabrina tambah ngamuk. "Ini tuh melanggengkan patriarki!"
"I know, I get it. Tapi kalau yang dipermasalahin di film, aku harus gimana? Ngulik lebih dalem, terus nge-post kritik? Ya bisa aja sih, meski nggak tau bakal ada yang baca atau enggak. Tapi menurut aku, yang lebih pasti impact-nya tuh kalau circle kita dulu yang diperhatiin, ada kesenjangan apa enggak. And that's all I can contribute for now; I won't put you in the refrigerator."
Sabrina cemberut tapi baper dikit. "Gregetan banget kalau udah nemu yang berbau patriarki dan kroni-kroninya gini, Biiim. Orang-orang misogyny tuh lupa apa ya, mereka keluar dari mana? Untung Papi ngajarin aku sama Ibel untuk nggak ngerasa inferior jadi cewek. Kerasa banget pas udah gede gini, apalagi Ibel kerja di male dominated industry, tempat dia sering dipandang sebelah mata, dikira modal cakep doang. Dan jangan harap aku bakal mentolerir patriarki sedikit pun di keluargaku nanti. Kalau sampe keluarga suamiku kayak gitu, pisah juga ayo!"
"Hush." Bimo langsung ternganga. "You married the man, not the family."
"Ya kan bakal tetep bersosialisasi sama keluarganya!"
"Ya bersosialisasi sama saling menghargai sekedarnya aja. Married nggak married, urusan dua orang. Kalau keputusan tergantung situasi keluarga, yang sesepuh-sesepuh mau diubah kayak gimana, babe? Kalau yang masih muda-muda, oke lah, bisa diajak mikir. But seriously, kamu bakal minta pisah cuma karena—misal—ada mbah-mbah dari keluarga calon suami nasehatin kamu supaya nanti taat sama suami, padahal itu cuma template yang udah diucapin turun menurun berpuluh-puluh tahun, dan mungkin si mbah juga antara sadar nggak sadar ngomongnya?"
"I hate the term 'taat'. Bisa diganti dengan yang lebih nggak merendahkan satu pihak, nggak? Misalnya nasehatin biar 'nggak sengaja nyari perkara' sama suami, gitu? Lagian kenapa kamu yang ketakutan? Kita kan nggak lagi ngomongin keluarga kamu."
"Ya emang kamu bayangin calon suamimu siapa?"
Sabrina mengangkat bahu dengan santainya.
Bimo mau nangis.
~
Pulang dari airport, Regina nggak menolak diajak menginap di tempat Mail sekalian.
Ngapain juga dia di kos sendirian, nggak ada kerjaan? Toh, Ismail juga hanya akan tinggal beberapa minggu lagi di Canggu, sebelum kemudian mereka harus terpisah jarak. Apa salahnya menikmati kebersamaan selagi sempat?
"Kamu kenapa, sih? Kok kayaknya gelisah gitu dari tadi?" Ismail merengkuh pacarnya yang baru selesai mandi dari belakang, menciumi pundaknya yang terbuka karena hanya memakai camisole. Menghirup wangi sabun mandi dari kulitnya.
Padahal yang dipakai Regina itu sabun miliknya, tapi kalau Regina yang memakai, aromanya terasa berbeda. Lebih memanjakan indera penciuman.
"Lagi PMS deh kayaknya. Dari Jumat kemarin udah kerasa nggak enak. Harusnya dalam waktu dekat bakal datang bulan."
"Kalau PMS sakit banget kayak Sabrina gitu, nggak?"
"Enggak. Cuma mules dikit kadang-kadang. Lebih ngaruh ke psikis daripada fisik sih kalau di aku."
Mail tidak berkata apa-apa lagi.
Dia nggak pernah bisa relate sama derita perdatang-bulanan, of course. Tapi muka Regina yang gloomy membuatnya ingin merengkuh pacarnya erat sebagai mental support.
So sweet ya Ismail? Emang! Nggak mungkin Regina bisa meleleh di pelukannya secepat itu, mengabaikan SOP-SOP kencan sewajarnya—terutama soal durasi PDKT—kalau dia memang nggak se-wort it itu untuk dikecualikan.
"Wanna have sex tonight?" Regina mendadak bertanya.
Mail melongo.
Biasanya dia yang menginisiasi.
"Only if you want it?"
"I want it ...."
Mendadak Mail merasa kamarnya jadi panas.
Padahal, hampir setiap malam mereka berdua melakukannya, tapi dengan Regina, rasanya selalu seperti baru pertama kali. Membuat Mail yang notabene nggak pernah gagal di ranjang jadi nervous dan malu-malu.
Tentu saja nggak pernah gagalnya bukan karena dia punya aset seluar biasa aktor-aktor porn. Melainkan karena Mail selalu berhasil meyakinkan pasangannya kalau sex bukan soal pencapaian, tapi proses untuk lebih mengenal satu sama lain, untuk lebih merasa intimate. Dengan begitu, biasanya pasangannya akan lebih percaya diri dan mau mengkomunikasikan suka dan maunya diperlakukan bagaimana.
"Fuck me hard and fast, until I forget my name. Please ...."
Dimintai seperti itu oleh perempuan yang dia sayang, mana mungkin Mail menolak?
Nggak perlu dikomando dua kali, dia segera menuruti ajakan Regina dan larut dalam pergumulan luar biasa intens dan panas, bahkan mungkin sampai lupa kalau mereka punya tetangga, hingga sejam kemudian saling berpelukan dengan napas terengah-engah dan keringat serta air mata jatuh bercucuran.
"Rei ... kamu yakin nggak apa-apa?" Mail mendadak khawatir melihat air mata Regina seperti bukan sekadar refleks keluar seperti biasanya.
Regina menggeleng dan mengusap mukanya dengan punggung tangan. "Kamu udah capek? Tumben."
Alis Mail bertaut. "Enggak, lah. Lima ronde juga ayo."
Gila aja Mail baru umur dua puluh sudah dipertanyakan staminanya.
Dengan satu seringai tipis, Regina membalik posisi dan ganti menaikinya. "My turn?"
"Okay ..." Excited berlebihan, Mail mengangguk-angguk. "Ride me to heaven, cowgirl."
~
Lagi, Regina terbangun dengan Ismail duduk merokok di kursi dekat jendela. Entah sudah bangun duluan atau malah belum tidur sama sekali.
Regina nggak tahu sekarang sudah jam berapa, yang jelas di luar jendela masih gelap.
"De javu nggak, sih?" Mail mematikan rokoknya yang masih agak panjang ke dasar asbak, kemudian berjalan menghampiri kasur untuk mengecup pacarnya.
Regina yang memejamkan mata saat keningnya dicium, mengangguk-angguk samar. "Ada kamu di sini, I'm the happiest woman alive."
"Hahaha. Dikasih asupan begini terus, self esteem-ku lama-lama bisa meledak."
Lah iya, Mail ini tanpa dipuji-puji juga udah self-love banget anaknya, apalagi dipuji mulu?
"Sebelum ada aku, kamu di kantor akrabnya sama siapa, deh? Perasaan nggak pernah kelihatan nongkrong sama yang lain." Sesi cuddling dan pillow talk dimulai dengan topik yang mendadak lewat di kepala Mail. Bukan pemanis bibir belaka, tapi tulus karena Mail memang khawatir. "Yakin kamu beneran suka kerja di sana?"
"B aja." Regina meringis sambil menangkup sebelah pipi pacarnya. Mengecup puncak hidungnya yang mancung dengan penuh cinta. "Aku kan ke FF buat kerja, bukan buat nyari temen. Jadi selama gaji oke, environment kantor oke, nggak ada yang hobi sikut-sikutan, ya nggak ada masalah. Lagian aku emang suka banget tinggal di Bali. Pengennya sih di Ubud, tapi dapet kerjanya di sini, jadi ya udah. I'm okay."
Mail nggak ngerti kenapa apapun yang dikatakan atau dilakukan Regina membuat perasaan sayangnya seperti disirami. Makin lama makin subur.
Terlalu cepat menyimpulkan, ya? Padahal bisa saja ini cuma efek dopamine dan teman-temannya, berhubung logis saja orang berbunga-bunga di bulan-bulan awal pacaran.
"Kalau nggak ada agenda, mau ke Ubud weekend depan?" Mail memberi ide.
"Boleh." Regina mengangguk.
"Berdua aja?"
Sekali lagi, Regina menjawab dengan anggukan.
Mail mesem dan mengecup keningnya untuk terakhir kali.
Tadinya, sebelum kembali tidur, dia sempat ingin mengajak Regina membicarakan masa depan, tapi segera dia tahan.
Inget, Mail, belum dua minggu, loh! Terlalu grasa-grusu, bisa-bisa malah kabur anak orang!
#bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top