07. Same Person But Different Soul
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Three years ago..
Jika ditanya Lia lebih sayang nenek atau orang tuanya, maka jawabannya adalah nenek. Karena wanita paruh baya itu adalah orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Berjasa dalam membeaarkannya hingga menjadi sosok yang kuat dan mandiri.
Keinginan Lia selama hidup sangatlah sederhana untuk dirinya dan nenek yaitu Lia ingin membuat nenek bahagia dan tinggal di tempat yang bagus. Karena kemarin, mereka hanya menyewa rumah yang sangat kecil untuk ditinggali. Lalu, Lia ingin nenek bangga dengan melihatnya bekerja tetap bukan paruh waktu lagi dan mendapat gaji yang tetap.
Sayangnya, nenek lebih dulu dipanggil oleh Tuhan tepat sebulan sebelum Lia wisuda. Padahal Lia ingin sekali melihat nenek bahagia dan senang di hari pentingnya. Satu-satunya support system yang Lia punya sejak dulu sebelum bertemu dengan Jaemin.
Lia tidak menangisi kepergian nenek karena Lia tahu semua yang bernyawa pasti akan mati. Tapi yang membuat Lia sedih adalah fakta bahwa Lia belum bisa membuat nenek bahagia dengan layak dan fakta bahwa sekarang Lia tidak punya siapa-siapa lagi dari pihak keluarga.
“Aku cuma punya dirimu. Kalau kau pergi, aku tidak tahu bagaimana hidupku nantinya.” Lia melangkah dengan pelan lalu memeluk Jaemin yang saat itu menemaninya di pemakaman nenek.
“Aku di sini, selalu di sini. Tidak akan pernah pergi dan tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri.” Jaemin membalas pelukan Lia seraya memberi tepukan kecil pada pundak Lia. “Justru kau tahu.. Kalau misalnya aku pergi darimu, kau masih bisa hidup dengan semestinya tanpaku karena kau terdidik mandiri sedari kecil. Bisa mengusahakan hidupmu sendiri. Sedangkan aku.. Kalau kau pergi dariku maka aku hancur. Aku tidak bisa apa-apa tanpamu, sayang.”
“Tapi kau masih punya orang tua sedangkan aku sendiri. Benar-benar sendirian. Satu-satunya anggota keluarga yang aku punya yaitu nenek sudah pergi.”
“Tidak apa-apa, aku di sini. Kau punya aku, kau bisa mengandalkanku. Aku tidak akan ke mana-mana, aku di sini.”
Lia meletakkan setangkai mawar putih di atas makam nenek. Bersimpuh di sampingnya kemudian memanjatkan doa untuk nenek.
Jam sudah menunjukkan tujuh malam dan Lia baru saja pulang bekerja. Kemarin Jaemin sudah berjanji untuk menjemputnya, mengatakan bahwa Lia harus menemaninya pergi membeli sepatu tapi sayangnya laki-laki itu tak kunjung datang dan pada akhirnya mengirim pesan kalau dia tidak bisa karena ada beberapa urusan. Jadi, di sinilah Lia saat ini.. Di makam nenek.
Walaupun hari sudah malam, tapi Lia sama sekali tidak merasa takut karena sudah terbiasa datang malam-malam.
“Nek, dulu Jaemin bilang padaku bahwa dia akan selalu ada untukku, tetap di sampingku dan tidak akan ke mana-mana. Tapi sekarang, rasanya seolah aku telah kehilangannya.” Lia berujar lirih. Segala sesuatu yang terpendam, Lia pasti menceritakannya pada nenek. “Dia bukan Jaeminku yang dulu. Aku tidak tahu dia kenapa tapi Jaeminku yang dulu telah hilang. Dia berubah, nek. Jaemin yang sekarang jadi lebih menyeramkan. Tidak ada perilaku baik dan sopan seperti dulu, tidak ada tatapan teduh yang selalu dia berikan padaku. Sekarang Jaemin jadi orang yang otoriter, bersikap semaunya dan terkadang menatapku dengan tajam kalau aku membantahnya. Aku sedih, nek. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja walaupun dia berubah karena aku masih mencintainya. Aku akan berusaha membawanya kembali ke jalan yang benar dan akan membuatnya sadar.”
Ada satu hal yang masih sangat melekat di kepala Lia sampai detik ini. Yaitu ucapan nenek ketika sudah bertemu dengan Jaemin, dulu. Yang sampai saat ini Lia belum tahu alasan pasti kenapa nenek bilang begitu.
“Nenek setuju dengan siapa pun kau menjalin hubungan karena nenek yakin kau pasti tahu yang terbaik untukmu. Tapi, apa tidak ada orang lain selain dirinya yang bisa kau jadikan pacar?”
Entah kenapa, seolah ada yang disembunyikan oleh nenek. Dari tutur kata wanita paruh baya itu, Lia bisa sedikit menyimpulkan kalau ada sesuatu yang Lia tidak tahu.
Lia sudah bertanya tapi nenek tidak pernah mau menjawab. Nenek selalu mengalihkan pembicaraan kalau Lia bertanya arti dibalik kalimat nenek itu.
Bahkan hingga detik terakhir hidup nenek, nenek masih saja bertanya pada Lia tentang hubungannya dengan Jaemin. Sampai Lia semakin merasa aneh dan heran.
“Semoga semuanya baik-baik saja nantinya. Nenek selalu berdoa supaya kau bisa bahagia, supaya kau tidak pernah sedih-sedih lagi nantinya. Jika memang dia pilihan terbaikmu, semoga kalian tetap bahagia dan tidak bertengkar nantinya.”
Tapi Lia tidak pernah mau bertanya pada Jaemin tentang kegelisahaannya itu. Sampai saat ini, detik ini, Lia belum menemukan alasan dibalik ucapan nenek itu.
“Nek, aku pulang dulu, ya. Nanti kalau ada waktu lagi, aku datang. Sampaikan salamku pada ayah dan ibu di sana. Semoga kalian bahagia selalu.” Lia beranjak dan menyusuri jalanan setapak untuk sampai di persimpangan.
*
Haechan meraih botol minum yang ada di atas meja lalu meneguknya. Hampir satu jam rapat dimulai tapi sampai sekarang belum juga berakhir. Apalagi tadi sebelum mulai, dia sempat kena semprot oleh Jaemin karena ulahnya semalam yang pulang dan mengabaikan pekerjaannya.
“Jun, bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku minta?” Jaemin meletakkan ponselnya setelah mendapat balasan pesan dari Lia.
Yup, rapat sempat terhambat karena Lia belum membalas pesan Jaemin.
Renjun menggeleng. “Aku sudah mengusahakan segala cara yaitu mencari informasi lewat orang-orang yang pernah melakukan transaksi dengannya. Tapi mereka mengaku bahwa mereka tidak pernah sekalipun melihat bossnya. Sama sepertimu, konsumen kita hanya melakukan transaksi denganku atau Haechan.”
Haechan dan Renjun. Dua orang itu berhasil ikut masuk ke dalam pasar gelap karena ditarik oleh Jaemin. Kalau Haechan, anak itu selalu mementingkan uang jadi apa pun caranya yang penting dapat uang, ya oke. Kalau Renjun, awalnya dia menolak tapi Jaemin berhasil membujuknya sebab Renjun sangat diperlukan karena otak encernya. Jaemin membutuhkannya untuk mengelola uang yang didapat dari penjualan barang terlarangnya.
“Kau serius akan berhenti setelah membalas dendam?” sahut Haechan.
Hening sesaat, ruangan itu mendadak sunyi ketika Jaemin termenung setelah mendengar pertanyaan Haechan.
“Hm.. Aku akan membuatnya bangkrut dan mati secara perlahan. Aku heran, kenapa harus saling membenci dalam berbisnis. Harusnya dia berusaha untuk memperbaiki usahanya, bukannya malah benci terhadap ayahku yang lebih sukses darinya dan berakhir bermain kotor.” Jaemin meraih beberapa lembar dokumen yang ada di atas meja kerjanya lalu mulai membubuhi tanda tangan. “Lagi pula, aku harus berhenti sebelum Lia meninggalkanku.”
Renjun terkekeh, dia meraih satu biskuit yang ada di meja lalu menjejalkannya ke dalam mulut. “Aku kira dulu kau hanya bermain dengannya. Ternyata sekarang kau serius, ya. Sangat serius malah. Sampai Lia seberpengaruh itu dalam hidupmu.”
“Aku lebih baik kehilangan semua harta yang aku miliki dari pada harus kehilangan Lia. Kalau bukan karena ingin membalas perbuatan kotor mereka, aku juga tidak akan sampai masuk ke pasar gelap. Itu sebabnya, kau harus segera mencari titik lemah dari pihak musuh sebelum Lia bosan dan muak lalu meninggalkanku.” Jaemin menyerahkan dokumen itu pada Renjun.
Sebuah dokumen yang berisi beberapa persyaratan dan aturan ketika mereka memasarkan barang terlarang.
“Jae, apa kau tidak merasa curiga terhadap apa yang terjadi baru-baru ini?” sahut Haechan lagi setelah lama hening. Jaemin mengangkat alisnya bingung. “Target pasar kita selalu sama dengan mereka. Seolah mereka ingin mengambil wilayah kita dan menguasainya.”
“Maksudmu, ada seseorang di pihak kita yang membocorkan informasi?” terka Renjun.
Haechan mengangguk. “Aneh saja, padahal sebelumnya tidak pernah seperti ini. Tapi sekarang kenapa malah tumpang tindih? Aneh, kan?”
Jaemin beranjak, mengabaikan ocehan dua orang itu. Aneh memang tapi Jaemin tidak mau berpikiran negatif dulu terhadap anak buahnya.
“Apa orangnya itu kau?” tunjuk Jaemin pada Haechan. “Itu sebabnya kau lebih dulu memberitahuku supaya aku mencurigai orang lain?”
Haechan yang tidak terima langsung berdiri dan balik menunjuk Jaemin dengan tatapan sinis. “Aku bolos bekerja satu jam saja, kau mengancam akan memotong jariku! Bagaimana aku bisa melakukan hal seperti itu saat tahu taruhannya adalah nyawaku?”
Renjun tertawa melihat perdebatan itu. Mereka kemudian sama-sama keluar dari ruangan Jaemin dan bergegas untuk pulang.
Sebelum kembali ke mansion, Jaemin selalu menyempatkan untuk menemui Lia. Walaupun hanya beberapa menit. Jaemin juga ingin meminta maaf karena hari ini mereka tidak jadi pergi.
Sesampainya di apartemen Lia, hal yang selalu Jaemin lakukan adalah marah-marah saat sampai di basement. Walaupun tidak ada keluhan tapi Jaemin tetap saja marah-marah. Menyalahkan lift yang terasa lambat padahal itu sudah berjalan semestinya.
Lia yang sedang makan malam sambil menonton televisi langsung mengalihkan perhatian saat Jaemin masuk dengan wajah jengkel. Sebelum Jaemin melanjutkan keluhannya, Lia lebih dulu menyodorkannya air putih.
“Minum dulu, kau terlihat lelah.” Lia tersenyum. Seketika, semua lelahnya hilang bahkan Jaemin tidak jadi marah-marah. “Sudah makan malam?”
“Belum, suapi aku.” Jaemin melepas jasnya kemudian duduk di samping Lia dan membuka mulutnya ketika Lia langsung menyuapinya makanan. “Enak, selalu enak. Rasanya seperti bekal yang selalu kau buat dulu, untukku.”
“Hm.. Aku berhadapan dengan orang yang sama, menyuapi orang yang sama.. Tapi dengan jiwa yang berbeda.” Lia tersenyum tipis sambil menatap Jaemin.
Raut wajah Jaemin berubah datar, kunyahannya terhenti sejenak. Bahkan tatapannya berubah tajam. Rahangnya mengeras.
“Kau marah karena ucapanku?” tanya Lia sambil menyodorkan satu suapan lagi di depan mulut Jaemin.
Jaemin menghela napas pelan kemudian membuka mulutnya lagi, berusaha tetap mengendalikan emosinya supaya tidak marah-marah, apalagi sampai memarahi Lia.
“Tidak, aku tidak pernah marah padamu. Justru aku marah pada diriku sendiri.” Jaemin meraih piring yang ada di tangan Lia kemudian meletakkannya ke atas meja. Dia menarik tangan Lia lalu memeluknya, menyandarkan kepalanya dengan nyaman di pundak Lia. “Aku juga tidak mau mengambil jalan yang salah, hanya saja aku terpaksa karena orang tuaku meninggal dengan tidak wajar. Ceritanya nanti saja, itu cukup panjang. Sekarang, aku hanya ingin kau bersabar sebentar lagi dan menungguku.”
“Jae, kau lebih memilih tetap melakukan pekerjaan sampingan yang membahayakan itu atau kau lebih memilih aku?”
Seketika, Jaemin mengangkat kepalanya dan menatap Lia. Sangat terkejut akan pertanyaan Lia yang tiba-tiba. Apakah Lia benar-benar bosan dengannya? Oh no, ini gawat.
“Lia.. Ku mohon, aku..”
“Simpan saja jawabanmu. Aku hanya iseng bertanya. Lagi pula aku sudah tahu jawabannya.”
Lia meraih piring kotor serta gelasnya lalu beranjak ke dapur. Sedangkan Jaemin langsung memejamkan matanya sejenak karena pening tiba-tiba menyerangnya. Lianya marah dan dia tahu itu.
Lia kembali dari dapur tapi langsung menuju kamar. Mengabaikan tatapan Jaemin yang menunggunya. Bukan bermaksud membuat Jaemin marah atau kecewa akan sikapnya yang tidak pengertian. Tapi Lia sedang berusaha untuk menuntun laki-laki itu kembali ke jalan yang benar. Risikonya banyak kalau sampai pihak berwajib tahu. Denda atau bahkan kurungan bertahun-tahun dan Lia tidak mau itu terjadi.
Lia.. tidak mau kehilangan Jaeminnya yang dulu untuk kedua kalinya.
“Sayang, ku mohon..” Jaemin memeluk Lia dari belakang ketika Lia sedang berdiri untuk membasuh wajahnya di kamar mandi. “Aku janji bahwa aku akan kembali padamu menjadi Jaeminmu yang dulu tapi nanti setelah aku menyelesaikan urusanku. Sumpah demi Tuhan, aku berjanji.”
Lia menatap pantulan dirinya dan Jaemin di cermin. “Hm.. Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan. Kau tidak perlu berjanji, bisa saja nanti kau tidak bisa menepatinya dan berakhir ingkar. Aku tidak mau berharap dan kecewa nantinya. Lagi pula, kau juga tidak mau mendengarku. Aku memang tidak tahu alasan kenapa kau bisa terlibat bisnis barang terlarang tapi apa pun alasannya, itu tetap salah. Sekarang, lakukan saja apa yang ingin kau lakukan.”
Kaitan tangan Jaemin pada pinggang Lia mengendur seiring dengan tubuhnya yang merosot. Jaemin bersimpuh dan menunduk. Dia kacau.
Nada bicara Lia memang tenang dan pelan tapi bagi Jaemin itu sangat menyakitkan untuk di dengar, seolah Lia tidak peduli lagi padanya.
Lia ikut bersimpuh dan memeluk Jaemin, merasa dirinya kelewatan kali ini. Lia tahu, sedikit saja ucapannya menyinggung maka Jaemin akan sedih.
“Bangun, jangan bersimpuh. Aku tidak suka melihatmu memohon seperti ini. Aku menghormatimu sebagai lelakiku, jadi cepat berdiri.”
“Jangan tinggalkan aku.”
“Iya.”
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.
©dear2jae
2022.02.13 — Minggu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top