02. Let's Be Friend

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Sejak berpapasan dengan Lia beberapa hari yang lalu, Jaemin jadi lebih banyak diam dan merenung. Terutama merenungkan kalimat yang diucapkan oleh Lia tentang kebingungannya oleh uang.

Apa yang lebih mengejutkan lagi adalah rencana Jaemin untuk mengajak teman-temannya berlibur ke villa mewah milik keluarganya batal. Jaemin tidak jadi memberitahu teman sekelasnya tapi berakhir termenung memikirkan ucapan Lia.

Sejak kecil hidupnya serba berkecukupan bahkan tidak pernah sekalipun merasa kekurangan. Apa yang menjadi kebingungannya setiap hari adalah bagaimana cara membelanjakan uangnya yang berlimpah itu. Sedangkan Lia malah memikirkan bagaimana cara mengatur pengeluaran supaya tetap hemat dan cukup untuk beberapa bulan ke depan.

Jaemin memang tidak menutup mata tentang mereka yang ada di bawahnya karena orang tuanya sering menyumbang sejumlah uang untuk beberapa panti asuhan dan sejenisnya. Tapi mendengar dengan telinganya secara langsung akan ucapan Lia tempo hari membuatnya seperti tertimpa reruntuhan.

“Chan, kau tahu siswi kelas sebelah yang bernama Choi Lia?” tanya Jaemin pada Haechan yang kini duduk di depannya dengan wajah jengkel karena beberapa saat yang lalu Haechan bertanya pada Jaemin apakah Jaemin ingin membelikannya makanan lagi dan Jaemin menjawab tidak. “Itu, yang rambutnya agak panjang sedikit dari bahu. Wajahnya terlihat dingin tapi kalau senyum sangat cantik. Kadang dia memakai pita kecil sebagai aksesoris di rambutnya.”

Haechan masih bungkam, selain terkejut karena akhir-akhir ini Jaemin jarang mentraktirnya makan lagi. Dia juga terkejut dengan pertanyaan Jaemin barusan tentang perempuan.

Untuk pertama kalinya sejak masuk sekolah dan berkenalan dengan Jaemin, Haechan mendengarnya bertanya tentang perempuan. Padahal dari kemarin-kemarin sudah banyak yang menyatakan cinta tapi Jaemin belum merespon.

“Chan?”

“Iya, aku tahu. Aku sering melihatnya karena kelas kita berdekatan. Memangnya kenapa? Kau menyukainya atau hanya sekedar bertanya?”

“Aku ingin lebih dekat dengannya.”

Haechan refleks berdiri dan memperlihatkan bulu tangannya yang terangkat karena merinding saat mendengar pernyataan Jaemin barusan. Dia bahkan menutup mulutnya tak percaya.

“Jae, kau tahu latar belakang keluarganya atau tidak tahu?” tanya Haechan memastikan dan Jaemin mengangguk pelan sebagai jawaban.

Mendengar gumaman Lia waktu itu, Jaemin bisa menyimpulkan kalau Lia datang dari keluarga menengah ke bawah. Tapi apa yang membuat Jaemin ingin lebih dekat dengannya, ya karena kesederhanaan itu.

“Kau tahu tapi kau tetap ingin mendekatinya? Oh hey, dia masuk ke sini saja menggunakan beasiswa. Aku pernah dengar kalau dia hanya tinggal dengan neneknya karena orang tuanya meninggal. Aku juga pernah melihatnya bekerja paruh waktu di toko pizza.”

“Lalu?”

“Jelas dia tidak pantas bersanding dengan pangeran sepertimu, Jae. Kau datang dari keluarga kaya raya, anak pengusaha sukses sedangkan dia.. Untuk melanjutkan hidup saja harus bekerja paruh waktu. 100% aku yakin keluargamu tidak akan mengizinkan.”

Ucapan Haechan terlalu menyakitkan untuk didengar. Beruntung Lia tidak mendengarnya.

“Aku tahu tapi aku tetap ingin mendekatinya, aku mau berteman dengannya. Sepertinya dia tidak punya teman karena jarang terlihat di kantin.”

“Bagaimana kalau nanti dia mengambil kesempatan untuk memanfaatkanmu. Maksudku, memanfaatkan kekayaanmu untuk dirinya dan neneknya?”

“Lihat saja nanti.”

Haechan geleng-geleng kepala mendengar ucapan Jaemin yang katanya ingin jadi lebih dekat dengan Lia. Gadis biasa saja yang beruntung punya otak cerdas dan wajah yang cantik.

Saat itu juga, Jaemin beranjak dari duduknya dan keluar kelas karena bel istirahat sudah berbunyi. Biasanya, dia akan mengajak Haechan untuk sekedar ke perpusatakaan pada istirahat di jam kedua ini atau bermain basket di lapangan indoor. Tapi tadi, Jaemin berlalu begitu saja.

Tujuannya adalah kelas Lia, sebelum masuk dia lebih dulu mengintip dari balik jendela apakah Lia ada atau tidak. Begitu pandangannya terfokus pada tujuannya, Jaemin mengulas senyum kecil dan segera masuk ke kelas B.

Tentu saja kehadirannya langsung menjadi pusat perhatian seisi kelas. Termasuk Ryujin— teman Lia, yang langsung menepuk-nepuk tangan Lia karena perempuan itu sedang fokus membaca sebuah novel.

“Lia,” sahut Jaemin begitu sampai di depan meja Lia yang ada di barisan ketiga dekat jendela. “Bisa bicara sebentar?”

Ryujin membeku sementara Lia menelan ludah gugup. Memikirkan apakah kesalahan yang pernah dia perbuat sampai seorang Na Jaemin datang ke kelas untuk menemuinya.

“A-ak-aku?” tunjuk Lia pada dirinya sendiri sambil mendongak untuk membalas tatapan Jaemin.

“Iya, kau.”

“Untuk apa? Maksudku, kenapa kau ingin bicara denganku? Seingatku, aku tidak pernah melakukan kesalahan. Iya, bicara denganmu sebelumnya pun aku tidak pernah.”

Jaemin tersenyum, merasa gemas akan kegugupan Lia di depannya. “Memangnya kau harus punya masalah dulu denganku baru kita bisa bicara?”

“Lebih baik kau berdiri dan ikuti saja, dari pada masalah semakin rumit nantinya,” bisik Ryujin pelan saat dirinya sudah sadar.

Lia mengangguk kaku dan segera berdiri lalu mengiakan permintaan Jaemin. Lia mengikuti langkah Jaemin untuk keluar dari kelas dan menuju ke roof top. Saat hendak naik ke tangga yang menuju roof top, Lia sempat menghentikan langkahnya. Merasa ragu kenapa Jaemin harus membawanya ke sana untuk bicara.

“Kenapa harus di sana? Memangnya apa yang ingin kau bicarakan denganku?”

“Jangan khawatir, aku tidak akan macam-macam. Ikuti saja, aku mau di atas karena di sana tenang dan tidak ada gangguan. Sepi juga.”

Pikiran Lia melayang, takut kalau Jaemin akan mendorongnya secara tiba-tiba dari atap. Tidak, Lia tidak mau mati dulu sebelum sukses dan menghidupi nenek dengan layak.

Mereka sampai di roof top dan Lia masih berdiri di belakang Jaemin dengan kaku. Dia masih merasa gugup karena seorang Na Jaemin tiba-tiba ingin bicara dengannya, berdua saja dan di tempat sepi.

Jaemin yang tidak mendapati Lia berdiri di sampingnya langsung berbalik dan menatap Lia yang kini menatapnya dengan takut-takut.

“Kenapa kau gugup? Aku tidak akan macam-macam padamu. Jangan khawatir, rileks.” Jaemin melangkah maju tapi Lia mundur satu langkah. “Ok, aku ingin berteman denganmu. Itu sebabnya aku mengajakmu ke sini karena aku ingin bilang begitu. Aku ingin berteman denganmu, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Bagaimana? Bisakah kita menjadi teman?”

Lia gelagapan mendengar pengakuan Jaemin. Dia menelan ludah sambil mengerejapkan matanya berkali-kali. Masih belum percaya akan apa yang dia dengar tadi.

Jaemin ingin berteman dengannya? Haha, konyol.

“Kenapa aku?”

“Karena itu kau.”

“Tidak, maksudku..” Lia memberi jeda sambil mengibaskan tangannya di depan Jaemin. “Maaf, aku bukannya tidak mau berteman denganmu tapi sepertinya kita tidak bisa menjadi teman. Kau itu anak orang kaya, terpandang, sedangkan aku bukan siapa-siapa. Masuk ke sekolah ini saja aku mendapatkan beasiswa.”

“Tidak ada hubungannya dengan latar belakang keluargaku dan keluargamu. Aku tidak pilih-pilih teman, aku juga tidak berteman dengan orang kaya saja. Di kelasku juga ada anak yang mendapat beasiswa sepertimu tapi kita tetap berteman. Jadi, kenapa malah menolak untuk berteman denganku?”

Lia menunduk, menatap sepasang sepatunya dengan tatapan kosong. Belum tahu mau merespon Jaemin dengan apa.

Bukannya tidak ingin berteman, justru Lia akan sangat senang jika diajak berteman oleh siapa pun. Tapi tetap saja rasanya tidak nyaman karena biar bagaimana pun juga, mereka berbeda. Itu masih menjadi alasan kuat Lia saat ini.

“Tapi..”

“Tapi apa lagi?” tanya Jaemin. “Ah, apa ada syarat untuk bisa berteman denganmu? Misalnya kau ingin sesuatu tapi belum bisa membelinya.. Aku bisa membelikanmu. Katakan saja.”

Dengan gerakan cepat Lia menggeleng sambil mengibaskan dua tangannya di depan Jaemin. Ya Tuhan, tidak, Lia tidak seperti itu.

“Tidak, tidak.. Tidak ada syarat untuk berteman denganku. Lagi pula kalau aku ingin sesuatu, bukan berarti aku akan meminta orang untuk membelikanku.” Lia tersenyum tipis. Sangat mudah bagi Jaemin untuk mengatakannya.

“Jadi, kau mau? Mau, ya?”

Lia menghela napas sejenak. “Iya, ok, tapi aku tidak akan dibenci, kan, oleh anak-anak yang lain?”

“Untuk apa mereka membencimu?”

“Iya, ya.” Lia tertawa kecil tapi jauh di dalam hatinya Lia merasa ketar-ketir. Takut kalau nanti anak-anak menggunjing tentangnya jika mereka tahu Lia berteman dengan Jaemin. “Ya sudah, kita bisa jadi teman.”

Jaemin akhirnya bisa tersenyum lega. Bahkan dari jawaban yang dilontarkan Lia sejak tadi, dia langsung bisa menyimpulkan kalau Lia bukan tipe orang yang akan memanfaatkan kekayaannya. Buktinya Lia malah menolak dengan alasan mereka dari keluarga yang berbeda, Lia menolak saat Jaemin menawarinya untuk membeli sesuatu.

Sejak mendengar ucapan Lia secara langsung tempo hari, Jaemin sudah bisa merasakan sisi positifnya yaitu dia jadi lebih hemat walaupun sedikit.

“Kau sudah makan siang?” tanya Jaemin saat mereka beranjak duduk di sebuah kursi panjang yang ada di atap. Cuaca sedang terik tapi untungnya masih ada sisi yang tidak terkena matahari.

“Sudah, tadi aku bawa bekal,” suara Lia masih terdengar gugup bahkan cara duduknya terkesan kaku. Sangat kentara kalau Lia masih was-was terhadap Jaemin.

“Kalau belum aku mau mengajakmu makan siang di kantin. Ya, walaupun jam makan siang sudah sangat telat.”

“Tidak usah, aku harus berhemat. Jadi, untuk beberapa hari ke depan aku selalu membawa bekal dari rumah supaya tidak belanja di kantin.”

Selain punya otak yang cerdas, paras yang cantik, Lia juga selalu jujur tentang dirinya. Tidak malu saat mengatakan dia dari keluarga yang kurang, tidak malu saat mengatakan dia membawa bekal untuk berhemat. Jarang ada perempuan yang seperti Lia karena kebanyakan mereka gengsi mengakui.

“Aku yang akan membayarkanmu. Jadi kau tidak harus mengeluarkan uang,” sahut Jaemin yang kini duduk dengan posisi bersandar. Menatap wajah Lia dari samping.

Lia sontak menoleh lalu tatapannya terkunci saat melihat betapa tampannya seorang Na Jaemin ketika helaian rambutnya diterpa angin.

“Tidak, tidak. Kau tidak perlu membayarkan makanan untukku. Aku punya uang tapi memang harus berhemat.” Lia lagi-lagi mengibaskan tangannya di depan Jaemin. “Ingat ya, aku mau berteman denganmu bukan karena aku ingin dibelikan ini dan itu olehmu. Maksudku, aku bukannya menolak kebaikanmu tapi aku tidak mau dianggap memanfaatkan situasi. Karena pada kenyataannya latar belakang keluarga kita sangat berbeda. Pasti nanti anak-anak yang lain akan menganggapku memanfaatkanmu. Aku tidak mau itu terjadi. Lagi pula, aku memutuskan mau berteman karena kita tidak boleh pilih-pilih teman. Walaupun tadi aku sempat menolak, itu karena aku masih takut.”

“Jawabanmu panjang sekali.” Jaemin terkekeh. “Ayo turun, sebentar lagi bel masuk lalu setelah itu pulang. Nanti kita pulang sama-sama, ya. Aku akan menunggumu di depan kelas.”

Sudah jadi kebiasaan, Lia mengibaskan tangannya lagi sambil menahan lengan Jaemin yang hendak berjalan lebih dulu.

“Tidak usah, aku harus pergi bekerja. Kalau mau mengajakku pulang bersama untuk main-main, maaf aku tidak bisa.”

“Libur saja satu hari.”

“Nanti gajiku dipotong kalau aku tidak masuk kerja satu kali. Lain kali saja kalau aku ada waktu tapi aku tidak janji karena setiap hari aku selalu bekerja sepulang sekolah.”

Jaemin menghentikan langkahnya di anak tangga pertama lalu menatap Lia. Di saat dirinya tidak memikirkan apa-apa tentang uang, Lia malah takut gajinya akan dipotong. Ya Tuhan.

**

Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.

©dear2jae
2022.02.03 — Kamis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top