Twelveth Harmony-Hear the Name
"Sepertinya sekarang ini sudah cukup."
Seulas senyum lebar mengembang sempurna di wajahku. Aku mengusap peluh yang sedati tadi membanjiri wajah. Telapak tangan kiriku kebas, namun rasanya sama sekali tidak memudarkan kebahagiaanku saat ini. Aku melirik gitar yang ada di dekapanku. Aku... sudah bisa memainkan benda satu ini.
"Rajin saja berlatih, nanti juga kau pasti addict memainkannya." Shiro memberi saran.
"Baik!" seruku tanpa memudarkan senyuman. "Kalau begitu, apakah sekarang kita sudah bisa memainkan sebuah lagu?"
"Mungkin," Fuyumi yang sedari tadi sibuk menekan-nekan tuts piano menyahut. "Mau coba? Ayo kita mainkan lagu pop favoritku!" Gadis bersurai cokelat kelam itu melompat berdiri, kemudian melesat meraih dua stik drum.
Shiro melipat keningnya, "kupikir Yuki belum siap."
"Sudah kok," aku menautkan kedua alisku menjadi satu. "Hampir sebulan belajar bermain gitar itu sudah lebih dari cukup."
"Yah... mungkin."
"Tidak terasa ya!" Fuyumi tersenyum. "Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa dua minggu lagi Festival bunga salju akan digelarkan!"
Shiro menatap datar sosok Fuyumi. "...Kau sudah menyelesaikan lagunya?"
Mendengar itu, Fuyumi hanya menyengir lebar sembari mengelus tengkuknya. "Sebentar lagi, kok."
"Pembohong."
"Tidak! Aku serius!"
Perdebatan kecil terjadi di antara dua sepupu ini. Hanya di saat seperti ini, aku bingung harus membela siapa. Mereka berdua temanku, tidak mungkin aku mendukung sebelah pihak saja. Maka dari itu, yang bisa kulakukan hanyalah tertawa pelan.
Ditengah perdebatan mereka, sesuatu menghampiri ingatanku. "Oh iya, Fuyu! Besok kita ada pekerjaan rumah kan? Kalau tidak salah pelajaran kimia."
"AH! AKU LUPA!!" Fuyumi berseru histeris, seakan langot akan runtuh saat ini juga. "Bagaimana ini Yuki?! Hima-sensei itu kan seram sekali!"
"Salah sendiri," cibir Shiro. "Sana, lebih baik kau kerjakan sekarang."
"Lalu, kita tidak jadi memainkan lagu, dong?" Fuyumi mengerucutkan bibirnya, sebal.
"Lain kali saja."
"Huh, baiklah." Dengan sebal, Fuyumi beranjak dan meraih tasnya, lalu mengambil sebuah buku catatan. "Yuki..!"
Kupikir Fuyumi akan meminta izin kepadaku untuk menyalin pekerjaan rumahku. Aku sudah bersiap merogoh tasku, hingga lanjutan dari perkataan Fuyumi membuatku membeku.
"...Tolong selesaikan lagunya ya! Aku mau mengerjakan tugasku dulu."
"Hah?" Aku melongo sendiri. "Kamu tidak mau menyalin?"
"Menyalin?" Fuyumi justru balik bertanya. "Untuk apa?"
"Erm... agar cepat?"
Fuyumi mendengus pelan, tampak sedikit tersinggung. "Menyalin memang mudah dan cepat. Tapi dengan begitu, kita tidak bisa merasakan setiap prosesnya. Bukankah lebih baik jika melakukannya dengan usaha sendiri?"
Aku terdiam, kemudian tertawa. "Iya, kau benar." Aku beranjak berdiri dan meletakkan gitarku--atau mungkin gitar pemberian Fuyumi--di atas sofa, lalu mengambil sebuah buku catatan milik Fuyumi yang berisi coretan lirik lagu. "Tapi aku tidak tahu cara membuat nada instrumentalnya, lho!"
"Itu nanti aku yang buat," Shiro menyahut dari sofa. "Kamu buat saja liriknya."
"Oh, jangan lupa band kita ini gengrenya rock-pop!"
Aku termangut-mangut, mengerti. Hingga beberapa detik kemudian aku kembali membuka mulutku, teringat akan sesuatu, "lalu nama band kita apa?"
Baik Shiro maupun Fuyumi terdiam. Jelas mereka melupakan hal ini.
"Ah iya juga ya. Band kita belum punya nama..."
"Baiklah kalau begitu," Fuyumi menepuk tangannya sekali, namun cukup keras. "Ayo kita pikirkan namanya dulu!"
"Lalu, bagaimana dengan tugasmu...?"
"Itu nanti malam juga bisa," Fuyumi tampak begitu semangat. "Nah, mulai dari aku ya? Saran dariku sih namanya.... SUPER GIRLS!! Bagaimana??"
"Payah."
"Eeeehhh?" Fuyumi menatap Shiro dengan tatapan tersakiti. "Memangnya ada apa dengan nama itu?"
Shiro menghela napas panjang, kemudian menunjuk dirinya sendiri menggunakan ibu jarinya. "Kau lupa ada aku di sini?"
"Ingat kok! Memang kenapa?"
"Aku laki-laki, tahu!"
"Oh iya, aku lupa..."
Aku tergelak mendengar perdebatan konyol mereka. Fuyumi ini memang benar-benar deh.
Gadis itu tampak sebal, terlihat dari bagaimana ia mengerucutkan bibitnya hingga beberapa senti. "Memangnya kamu punya saran, Shiro?"
"Hmm... entahlah." Shiro tampak berpikir. "Bagaimana dengan The Band?"
"Payah."
Sebelah alis lelaki itu terangkat, "kau mau membalas atau apa?"
"Tidak," Fuyumi bersedekap. "Saranmu memang payah. Kau hanya menambahkan kata 'the' di depan kata 'band' yang jelas-jelas namanya sedang kita cari. Payah. Payah. Payah. Dasar payah."
"Oke cukup," Shiro mengangkat telapak tangannya, menunjukkan angka lima. Mengisyaratkan Fuyumi untuk berhenti bicara. "Aku hanya mengataimu payah sekali."
Yang bisa kulakukan hanya menertawai tingkah kedua sepupu ini. "Sudah, jangan bertengkar."
"Kalau saranmu apa, Yuki?"
Aku berpikir sejenak. Menurutku nama band itu harus mencerminkan anggotanya. Tapi karena Shiro dan Fuyumi selalu berselisih, tidak mungkin nama band kami ini the rude, kan? Tidak, jangan sampai mereka menjadi musuh. Hmm... jika dilihat dari nama kami, maka...
Aku menjentikkan jariku, membuat Fuyumi dan Shiro menatapku bersamaan. "Bagaimana dengan The Winters?"
"Huwah, seperti arti namaku, ya?" Fuyumi berseru dengan penuh percaya diri.
Aku menggeleng pelan, "seperti arti nama kita. Salju, putih, dan musim dingin. Jika digabung, arti nama kita itu serasi, bukan?"
"Iya, di musim dingin ada salju yang berwarna putih." Shiro mengangguk-anggukan kepalanya. "Kurasa ini cukup bagus."
Aku dan Fuyumi saling tatap, kemudian tersenyum puas.
"Baiklah kalau begitu. Hari Selasa, 5 Desember, The Winters resmi dibuat!"
***TBC***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top